Anda di halaman 1dari 13

A.

Pengertian Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Demos” berarti
rakyat atau penduduk dan “Cratein” atau “Cratos” berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Dari dua kata tersebut terbentuklah suatu istilah “ demoscratein” atau “demokratia”
yang berarti negara dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, pemerintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan negara rakyat yang berkuasa.
Dalam kehidupan bernegara istilah demokrasi mengandung pengertian bahwa
rakyat yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah menegenali kehidupannya,
termasuk menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan
kehidupan rakyatnya. Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi maka
pemerintahannya diselenggarakan atas kehendak rakyatnya.
Pemerintahan demokrasi adalah suatu pemerintahan yang melaksanakan
kehendak rakyat, akan tetapi kemudian ditafsirkan dengan suara terbanyak dari rakyat
banyak. Jadi tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat, karena selalu mengalahkan
kehendak golongan yang sedikit anggotanya. Dalam pemerintahan demokrasi dijamin
hak-hak kebebasan setiap orang dalam suatu negara.
Demokrasi dapat dipandang sebagai suatu mekanisme dan cita-cita hidup
berkelompok sesuai kodrat manusia hidup bersama dengan manusia lain yang disebut
kerakyatan, yaitu bersama dengan rakyat banyak atau masyarakat. Oleh karena itu,
demokrasi adalah mementingkan atau mengutamakan kehendak rakyat.
Demokrasi dapat dikatakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, yaitu adanya tuntutan atau dukungan dari rakyat sebagai masukan, kemudian
tuntutan itu dipertimbangkan dan dimusyawarahkan oleh rakyat yang duduk di lembaga
legeslatif sebagai proses konversi, dan hasilnya berupa kebijaksanaan atau aturan untuk
rakyat sebagai keluaran atau produk untuk rakyat. Hasil keluaran dapat mempengaruhi
tuntutan baru, jika tidak sesuai dengan apa yang dituntut. Pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat digambarkan dalam bentuk diagram dibawah ini.

Umpan balik

Demokrasi atau kerakyatan merupakan pola hidup berkelompok didalam organisasi


negara yang sesuai dengan keinginan dan tuntutan orang hidup berkelompok. Keinginan dan
tuntutan orang-orang yang hidup berkelompok terutama ditentukan oleh pandangan hidup
(weltanschauung), filsafat hidup (filosofiche grondslag), dan ideologi bangsa yang
bersangkutan, yang menjadi aksioma kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa dan
bernegara.1[2]

Demokrasi atau kerakyatan muncul sebagai akibat suatu sistem pemerintahan diktator
yang otoriter yang membawa akibat buruk bagi orang banyak sebagai rakyatnya. Akibat-
akibat buruk tersebut antara lain adalah:

 Penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat, terutama eksploitasi tenaga dan pikiran
rakyat sehingga rakyat hanya kewajiban tanpa hak.
 Kondisi kehidupan masyarakat seperti diatas selalu mengakibatkan timbulnya konflik
dengan korban yang lebih banyak dipihak rakyat.
 Kesejahteraan bertumpu pada para penguasa dan pemimpin sedangkan rakyat
dibiarkan hidup melarat tanpa jaminan masa depan.

Faktor-faktor diatas melatarbelakangi ide pemerintah yang demokratis untuk menjamin


kesejahteraan rakyat banyak secara merata(Sumarno dkk, 2001)

Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan
memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam
penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintah berada di tangan
rakyat mengandung pengertian: pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan
pemerintahan untuk rakyat. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis, bila ketiga hal di atas
dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan (Dede Rosyada dkk, 2003).2[3]

B. Sejarah Munculnya Demokrasi


1. Dalam pandangan Sejarah Dunia
Demokrasi dalam sejarah peradaban muncul sejak jamam Yunani Kuno di
mana rakyat  memandang kediktatoran sebagai bentuk pemerintahan terburuk.
Capaian praktis dari pemikiran demokrasi Yunani adalah munculnya “negara kota”. 
Dengan Polis adalah bentuk demokrasi pertama. Demokrasi berasal dari taka tain
yaitu demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan).
Peradaban Yunani menunjukkan bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi
kota-negara bagian yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000 warga).  Setiap orang

2
menyuarakan pendapatnya atas persoalan-persoalan pemerintahan. Istilah demokrasi
sendiri pertama kali di kemukakan pada pertengahan abad 5 M di Athena.
Konsep demokrasi memang sedikit sulit untuk dipahami karena banyak
memiliki kesamaan makna  yaitu variatif, evolotif dan dinamis. Untuk itu tidak begitu
mudah membuat definisi yang baku tentang demokrasi. Banyak Negara yang
mengklaim bahwa negaranya merupakan negara demokrasi, walaupun nilai-nilai
demokrasi dalam pemerintahannya banyak yang dilanggar.
Demokrasi diakui banyak orang dan negara sebagai system nilai kemanusiaan
yang paling menjanjikan masa depan umat manusia di dunia. Abraham Lincoln adalah
presiden Amerika Serikat pertama yang pernah mengatakan, bahwa demokrasi adalah
memerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
2. Hilang dan munculnya kembali paham demokrasi

Baron de La Brède et de Montesquieu (18 Januari 1689 – 10 Februari 1755)

Demokrasi di Yunani sendiri akhirnya menghilang. Baru setelah ratusan bahkan


ribuan tahun kemudian paham demokrasi muncul kembali. Tapatnya di Perancis saat terjadi
revolosi Perancis. Ia adalah Baron de La Brède et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 –
meninggal 10 Februari 1755) yang lebih dikenal dengan Montesquieu.  Momtesquieu
terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yaitu Trias Politika dimana
kekuasaan dibagi menjadi Legeslatif, Eksekutif dan Yudikatif. Ia juga yang mempopulerkan
istilah “feodalisme” dan kekaisaran Bizantium”.3[5]

Peristiwa diserangnya Penjara Bastille memulai runtuhnya kerajaan dan masyarakat


meruntuhkan kerajaan tersebut, melakukan rapat besar untuk membuat suatu bentuk dari
pemerintahan yang berbeda dari Kerajaan mereka mengatakan bahwa setiap orang berhak
menjadi pemimpin tidak hanya para keluarga Raja. Ide yang sangat bagus dan enak ditelinga
membuat masyarakat mendapatkan angan-angan bahwa suatu saat mereka dapat mempunyai
kesempatan menjadi penguasa layaknya raja. Akhirnya semua lapisan masyarakat
menyutujuinya dan Memilih orang-orang yang dapat berperan dalam tiga unsur demokrasi
tersebut.

Perjuangan demokrasi di Perancis sendiri juga tidak mudah karena raja tidak ingin
menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Walau demikian perubahan di Perancis ini telah

3
mempengaruhi banyak Negara tetangganya.  Hingga muncullah sistem Monarki Parlementari
di Inggris, German, Italia, dan Eropa barat.

Setelah revolosi Perancis, krisis akibat perebutan kekuasaan masih terus berlangsung.
Pada akhirnya perancis kembali dengan system monarki dengan Napoleon Bonaparte sebagai
kaisarnya.

Kegagalan demokrasi di Perncis ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian besar


masyarakat di Eropa untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang berkeadilan.
Setidaknya mereka ingin terbebas dari tirani gereja dan pemerintah negaranya. Dengan
ditemukannya benua Amerika, di mana di benua tersebut tidak ada kekuasaan kaisar dan
penduduk aslinyapun peradabannya dianggap masih primitive, maka masyarakat Eropa yang
ingin mendapatkan kebebasan berbondong-bondong ke Amerika untuk membangun negara
baru dengan dasar kebebasan. Perancis kemudian menghadiahkan patung Liberty (kebebasan)
yang dibangun di New York sebagai simbol penyambutan kepada para pencari kebebasan.

C. Pemikiran dan Teori-Teori Demokrasi

Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase
Klasik (Demokrasi Athena), Fase Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer
(Paska Perang Dingin).4[6]

1. Fase Klasik
Fase Klasik ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan
praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari
negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran
yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan
gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan
jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-
filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM),
Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan
pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai
ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu
persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan

4
dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada
waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda
terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat
dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap
dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati
Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah
sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite
yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang
dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang
justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan
bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam
pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan
yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas
bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif,
karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya
sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak,
dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena
dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga
yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya
dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang
atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam
proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan
sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
2. Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)
Yang mengemuka adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut
yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir
era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-
1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai
dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal
(Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal
(Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan
(Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari
Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi
legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang
membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika
(1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem
demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan
Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi
pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat
tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua
atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh
pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat
lebih terjamin.

Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara
menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja
penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut.

a) Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.


b) Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c) Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang
(mengadili).

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara


kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat
dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung
untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan
terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak
terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu
kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.5[7]

3. Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20)


Menyaksikan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi
berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas,
5
nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu,
terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru
sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara
kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ
Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859),
Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan
J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial
antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan,
dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan.
Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu
perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau.
Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan
utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary
system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi
negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti
pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De
Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi
dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu
masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-
komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung.
Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk
melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas
burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan
digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator
proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan
materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan
yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis
dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu
mengartikulasikan kepentingan kaum proletar. Max Weber dan Schumpeter adalah
dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih
menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan
demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai
dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut
fungsi dan peran.
Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem
pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan
rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka
yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern
adalah kompetisi kaum elit.
4. Era Kontemporer
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer
menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa
dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan
sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir
semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kenbdatipun variannya sangat
besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Demokrasi kemudian menjadi
alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di
negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin
mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance).
Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi
bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para
pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju
pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik,
kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh
kekuasaan. Praktik demokrasi pada fase-fase tersebut tidak berarti selalu berjalan
berkesinambungan, tetapi bisa terjadi overlapping dan bahkan ruptures, sehingga
perkembangan tersebut tidaklah berjalan linear. Demikian pula, harus diingat bahwa
selalu ada diskrepansi atau gap antara “pemikiran”,“gagasan (ideas)” dengan praksis
dan realitas yang sedang berkembang. Dengan demikian tidak berarti bahwa dalam
fase klasik realitas politik di Athena merupakan pengejawantahan total gagasan
demokrasi yang ada. Bisa jadi bahwa gagasan yang muncul pada suatu era ternyata
masih merupakan gagasan yang belum terealisasi sebelumnya, atau kalaupun
terealisasi ternyata mengalami berbagai penyimpangan atau perbedaan.

D. Perkembangan Demokrasi di Indonesia


Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945
memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam
mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR
dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki
seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme
perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi
singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas
di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin
sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila,
sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto,
Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika
pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi
Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
1. Periodesasi dan Macam-macam Demokrasi di Indonesia
a. Periode 1945-1959 (demokrasi Parlementer)
Demokrasi dimasa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem
parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun
demikian model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya
budaya demokrasi untuk mempraktikkan demokrasi model barat ini telah memberi
peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan social
politik.6[8]
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan system demokrasi
parlementer ini akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan
dan agama. Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini
jarang dapat bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah. Hal
ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional
yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan
pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalanya
demokrasi itu sendiri.
Faktor-faktor dissintegrasi diatas, ditambah dengan kegagalan partai-partai
dalam majelis konstituante untuk mencapai consensus mengenai dasar Negara untuk
undang-undang dasar baru, mendorong presiden Soekarno untuk mengeluarakan
6
dekrit presiden pada 5 juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali undang-
undang dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan system
parlementer berakhir, diganti oleh demokrasi terpimpin yang memosisikan presiden
Soekarno menjadi pusat kekuasaan Negara.
2. Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Periode ini di kenal dengan sebutan demokrasi terpimpin. Ciri-ciri demokrasi
ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan
peranan tentara ABRI dalam panggung politik nasional. Hal ini di sebabkan oleh
lahirnya dekrit presiden 5 juli 1959 sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari
kebuntuan politik melalui pembentukan kepemimpinan nasioanal personal yang kuat.
Sekalipun UUD 1945 memberi peluang presiden untuk memimpin pemerintahan
selama lima tahun ketetapan MPRS No.III/1963 mengangkat Ir. Soekarno sebagai
presiden seumur hidup dengan lahirnya ketetapan MPRS ini secara otomatis telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan presiden tanpa batas ini terbukti melakukan tindakan dan
kebijakan yang menyimpang dari ketentuan UUD 1945. Misalnya pada tahun 1960
presiden Soekarno membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum,
padahaldalampenjelasan UUD 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak
memiliki wewenang untuk berbuuat demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan
dekrit presiden 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh presiden.
Dalam pandangan sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif, demokrasi terpimpin
sebenarnya ingin menempatkan presiden Soekarno ibarat seorang ayah ibarat dalam
sebuah keluarga besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada
ditanganya. Dengan demikian, kekeliruan yang sangat besar dalam demokrasi
terpimpin dalam model Soekarno adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi,
yakni lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin, dan pada
saat yang sama hilangnya kontrol social dan check and balance dan legislative
terhadap eksekutif.

Dalam kehidupan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) sangatlah menonjol.


Bersandar pada dekrit presiden 5 juli sebagai sumber hukum didirikan banyak badan
ekstrakonstitusional seperti front nasional yang digunakan oleh PKI sebagai kegiatan wadah
politik. Front nasional telah dimanipulasi oleh PKI untuk menjadi bagian strategi taktik
komunisme internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan
kearah terbentuknya demokrasi rakyat. Strategi politik PKI untuk mendulang keuntungan dari
charisma kepemimpinan presiden Soekarno dengan cara mendukung pemberedelan pers dan
partai politik misalnya Masyumi yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan.

Perilaku politik PKI yang berhaluan sosialis marxis tentu tidak dibiarkan begitu saja
oleh partai politik islam dan kalangan militer (TNI) yang pada waktu itu merupakan salah
satu komponen politik penting presiden Soekarno. Akhir dari demokrasi terpimpin presiden
Soekarno yang berakibat dari perseteruan politik ideologi santara PKI dan TNI adalah
peristiwa berdarah yang dikenal dengan gerakan 30 september 1965.

3. Periode 1965-1998( Demokrasi Orde Baru)


Periode ini merupakan masa pemerintahan presiden Soeharto dengan orde
barunya. Sebutan orde baru merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, orde
lama. Orde lama, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk
meluruskan kembali penyelewengan terhadap undang-undang dasar 1945 yang terjadi
dalam masa demokrasi terpimpin. Seiring pergantian kepemimpinan nasional,
demokrasi terpimpin ala Soekarno telah diganti oleh elite ordebaru dengan demokrasi
pancasila.
Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan
presiden seumur hidup untuk presiden Soekarno telah dihapuskan dan diganti dengan
pembatasan jabatan presiden lima tahun dan dapat dipilih kembali melalui proses
pemilu.
Demokrasi pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen
demokrasi.Pertama,demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah
menegakkan kembali asas-asas Negara hokum dan kepastian hokum. Kedua,
demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi
semua warga Negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hokum pada hakikatnya bahwa
pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Hal yang sangat disayangkan adalah, alih-alih pelaksanaan ajaran pancasila secara
murni dan konsekuen, demokrasi pancasila yang dikampanyekan oleh orde baru, baru sebatas
retorika politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan kepemerintahanya, penguasa orde baru
bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Seperti dikatakan oleh M. RusliKarim, ketidak
demokratisan penguasa orde baru ditandai oleh:

1) Dominannya peranan militer (ABRI);


2) Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik;
3) Pengembirian peran dan fungsi partai politik;
4) Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik;
5) Politik masa mengambang;
6) Monolitisasi ideologi;
7) Inkorporasi lembaga non pemerintah.
4. Periode pasca orde baru
Periode pasca orde baru sering disebut era reformasi. Periode ini erat
hubunganya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksannaan demokrasi
dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya presiden Soeharto
dari tumpuk kekuasaan orde baru pada mei 1998. Setelah lebih dari tiga puluh tahun
berkuasa dengan demokrasi pancasilanya. Penyelewengan atas dasar Negara pancasila
oleh penguasa orde baru berdampak pada sikap antipasti sebagian masyarakat
terhadap dasar Negara tersebut.
Pengalaman pahit yang menimpa pancasila, yang pada dasarnya sangat
terbuka, inklusif dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan
tokoh reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin
pada pengalaman manipulasi atas pancasila oleh penguasa orde baru, demokrasi yang
hendak dikembangkan setelah kejatuhan oleh rezim orde baru adalah demokrasi tanpa
nama atau demokrasi tanpa embel-embel dimana hak rakyat merupakan komponen
inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Wacana
demokrasi pasca orde baru erat kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat madanai
dan penegakan HAM secara sungguh-sungguh.

KESIMPULAN

1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Demos”
berarti rakyat atau penduduk dan “Cratein” atau “Cratos” berarti kekuasaan atau
kedaulatan. Dari dua kata tersebut terbentuklah suatu istilah “ demoscratein” atau
“demokratia” yang berarti negara dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di
tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat,
pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan negara rakyat
yang berkuasa. Pemerintahan demokrasi adalah suatu pemerintahan yang
melaksanakan kehendak rakyat, akan tetapi kemudian ditafsirkan dengan suara
terbanyak dari rakyat banyak. Jadi tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat,
karena selalu mengalahkan kehendak golongan yang sedikit anggotanya. Dalam
pemerintahan demokrasi dijamin hak-hak kebebasan setiap orang dalam suatu negara.
2. Sejarah Munculnya Demokrasi
Demokarsi muncul pertama kali di Yunani. Peradaban Yunani menunjukkan
bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara bagian yang kecil-kecil (tidak
lebih dari 10.000 warga).  Setiap orang menyuarakan pendapatnya atas persoalan-
persoalan pemerintahan. Istilah demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan pada
pertengahan abad 5 M di Athena. Muncul kembali abad pertengahan di Perancis.
Hingga lahirnya piagam Magna Charta serta pembuatan Patung Liberty sebagai
simbol Kebebasan( Demokrasi
3. Pemikiran dan Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa digambarkan dalam tiga fase
utama: Fase Klasik (Demokrasi Athena), Fase Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase
Kontemporer (Paska Perang Dingin).
4. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
 Periode 1945-1959 (demokrasi Parlementer)
 Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
 Periode 1965-1998( Demokrasi Orde Baru)
 Periode pasca orde baru

Anda mungkin juga menyukai