Anda di halaman 1dari 10

TEKS EKSPLANASI

KESENIAN OJUNG
BONDOWOSO

Disusun oleh:
Giankana Inggita (08)
Rofiatul Lutfiah Ariani (30)
Misi Asiyah (16)
Khoirul Anam (11)
Muhammad Faisol (

SMAN 1 TENGGARANG
BONDOWOSO
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat  Allah SWT, karena
rahmat dan hidayah-Nya kami telah menyelesaikan makalah ini. Rasa syukur itu dapat kita
wujudkan dengan cara memelihara lingkungan dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dengan sebaik-baiknya. Rasa syukur kita mampu di wujudkan dengan senantiasa raji belajar
dan mengikuti perkembangan ilmu kesenian. Dengan cara itu insyaAllah kelak kita mampu
menjadi generasi penerus bangsa yang berbobot dan cerdas.

Makalah ini kami susun sesuai dengan standar isi dan kebutuhan kami sebagai mana
mestinya. Dari pembuatan makalah ini masih banyak hal yang perlu kami perhatikan, dan
tambahkan. Namun, dengan belajar sedikit demi sedikit semoga kedepannya kami mampu
mengembangkan karya kami yang lebih baik lagi.

Segala usaha telah kami lakukan untuk menyelesaikan makalah ini. Namun, dalam
usaha yang maksimal itu pun kami menyadari 1001 kekurangan yang masih terselip didalam
makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua yang telah membaca
makalah kami ini, agar kedepannya kami mampu menciptakan suatu karya-karya tulis yang
lebih baik. Namun, di balik semua kritikan dan saran kami pun belum mampu
menyempurnakan karya makalah kami, karena kami menyadari sesungguhnya
kesemppurnaan hanya milik Allah semata, kita sebagai seorang makhluk ciptaannya hanya
perlu untuk bersyukur atas segala pemberiaannya.

Atas segala perhatian dan partisipasi anda yang telah membaca makalah kami, kami
ucapkan banyak terima kasih,  semoga dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan
tentang kesenian yang ada di Bondowoso. Selamat membaca. Terima kasih.

Tenggarang, September  2017

Penyusun
PENCIRIAN DATA

A. Kajian Pustaka

Tradisi merupakan segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke
masa kini atau sekarang. Tradisi dalam arti sempit ialah warisan-warisan sosial khusus yang
memenuhi syarat saja yaitu yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat
ikatannya dengan kehidupan masa kini.

Tradisi dilihat dari aspek benda materialnya ialah benda material yang menunjukkan
dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu. Contoh tradisi; Candi,
Puing kuno, Kereta Kencana, sejumlah benda-benda peninggalan lainnya, jelas termasuk ke
dalam pengertian tradisi.

Tradisi yang dimiliki masyarakat bertujuan agar membuat hidup manusia kaya akan
budaya dan nalai-nilai bersejarah. Selain itu, tradisi juga akan menciptakan kehidupan yang
harmonis. Namun hal tersebut akan terwujud hanya apabila manusia menghargai,
menghormati dan menjalankan suatu tradisi secara baik dan benar serta sesuai aturan.

Tradisi berfungsi sebagai penyedia fragmen warisan historis yang kita pandang
bermanfaat. Tradisi yang seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang
dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu.
Contoh: peran yang harus diteladani “misalnya tradisi kepahlawanan, kepimpinan karismatis,
dan sebagainya”.

B. Hasil Wawancara

Dari wawancara yang kami lakukan kepada narasumber, menurut Pak Markus selaku
informan (50 tahun lebih) dan merupakan jago tua ojung di desa Mangliwetan dan desa
sekitarnya, beliau mengatakan sewaktu ia masih kecil sudah sering menonton Ojung. Me-
nurut juju Nawahir buyutnya permainan Ojung sudah berlangsung sejak dahulu. yaitu
diselenggarakan setiap akhir musim kemarau, waktu hujan tak kunjung jatuh ke bumi, maka
diselenggarakanlah rokad yang disertai dengan permainan Ojung. Permainan rakyat
tradisional ini bersifat religius-magis.
Tradisi ini diselenggarakan pada siang hari sekitar pukul 15.00 wib oleh seluruh
penduduk desa Manglwetan di akhir musim kemarau atau di awal musim hujan. Mata
pencaharian penduduk adalah bertani. Bagian terbesar tanah pertaniannya terdiri dari ladang.
Air merupakan kebutuhan pokok bagi usaha pertaniannya dan untuk air minum penduduk
desa beserta ternak-ternaknya. Di musim kemarau, untuk kebutuhan air minum dirinya dan
ternaknya, mereka adakalanya mencarinya sampai berkilo-kilo meter jauhnya dari desa- nya.
Untuk kebutuhan makan minum ternaknya lebih diutamakan dari pada pemiliknya.

Serunya permainan Ojung dan luka-luka memar atau berdarah sebagai tumbal yang
meyakinkan mereka bahwa permohonan mereka akan terkabul. Konon katanya dahulu, kalau
permainan Ojung sebut sampai pada puncaknya, para pemain sering tidak sadar lagi (trance).
Karena itu dalam permainan ini ada babuto yaitu orang yang bertindak sebagai pelerai,
sekaligus sebagai wasitnya atau kalau dulu haruslah seseorang yang dianggap memiliki
kekuatan magis. Seusai permainan tersebut, para pemain peserta kembali ke kehidupan yang
akrab, tak ada perasaan dendam dan bersama dengan seluruh penduduk desa, mereka terpusat
pada harapan akan terkabulnya permohonan mereka, yaitu turunnya hujan agar ladang-ladang
serta sawah-sawah serta kebutuhan air bagi ternak dan dirinya terpenuhi seluruhnya.

Jumlah pemain “ojung” tidak pasti berapa, tergantung pada – kesediaan para pemuda
desanya masing-masing. Hanya saja jumlah pemainnya harus genap dan pasangan-
pasangannya harus sebanding. Usia para pemainnya sekitar tujuh belas tahun ke
atas, dan hanya terdiri dari para pemuda saja.

Panjang alat pemukul tersebut sekitar 1 meter. Setiap peserta membawa alat
pemukulnya sendiri, yang nanti diperiksa oleh “babuto”. Selain itu, untuk dipakai sebagai alat
pelindung kepala yang disebut “bukot” yaitu alat pelindung yang dibuat dari anyaman daun
kelapa, kemudian dibungkus Karung goni (rangkap satu) diikat dengan tali sehingga
membundar dan di bagian muka diberi tali temali pelindung, sebab bagian muka tersebut
terbuka untuk dapat melihat sasaran. Sebelum “bukot” dipasang, bagian kepala peserta sudah
dibungkus dengan selembar sarung. Sehingga bagian kepala peserta mendapat perlindungan
cukup tebal.

Selembar sarung yang lain diikatkan di bagian lengan kiri peserta, untuk digunakan
sebagai perisai. Sedangkan selembar sarung yang lain diikatkan di bagian luar celana
pendeknya (sekaligus juga merupakan celana dalamnya) untuk mempertebal perlindungan
pada alat vitalnya. Perlengkapan yang lain ialah lapangan seluas 9m untuk arena permainan.
Selama permainan “Ojung” berlangsung, iringan gamelan yang disebut “okol” terus
menggema. Perangkat gamelan disebut “okol” tersebut terdiri dari sebuah gambang tua dart
sebuah “dung-dung” (semacam kendang).

Permainan “Ojung” dimulai pukul 15.00 wib. (setelah sembahyang Ashar) dan setelah
upacara rokad berakhir. “Babuto” kemudian maju ke arena, memilih pasangan yang akan ber-
tanding, yang diperkirakan sebanding. Pasangan tersebut kemudian memasang
perlengkapannya dibantu oleh pemuda- pemuda yang lain. Perlengkapan yang merupakan
alat pelindung diri itu diperiksa oleh “Babuto”, apakah sudah dipakai dengan baik dan kuat
oleh setiap peserta. Alat pemukulnya pun diperiksa pula. Setelah siap, kedua pemain “Ojung”
itu dibawa ke arena. Keduanya kemudian duduk berjongkok saling memungkiri dengan
“babuto” ada di tengah-tengah mereka. Kedua pemain duduk berjongkok dengan memegang
alat pemukulnya, sambil membaca do’a.

Setelah itu “babuto” yang bertindak sebagai wasit dan pemisah, menyuruh kedua
pemain tersebut berdiri sambil berhadapan. Kedua alat pemukul pemain dipegang ujungnya
dengan tangan kanan oleh “babuto” sambil memberi nasehat-nasehat, mengingatkan pada
peraturan-peraturan permainan, jangan mengikuti nafsu marah, dalam permainan ini harus
sungguh-sungguh, tak ada yang kalah dan yang menang sebab merupakan rokkadda somor
menta’ o jari” (selamatan minta turunnya hujan). Ucapan-ucapan “babuto” bersifat humor,
sehingga sering menimbulkan gelak tawa para penonton. Apabila “babuto” melepaskan
pegangan pada ujung alat pemukul para pemain dan memberikan aba-aba permainan dimulai,
maka kedua pemain tersebut mulai saling pukul memukul, siasat menyiasati mencari peluang
untuk melancarkan pukulan-pukulannya kepada lawan, diiringi sorak sorai penonton.

  Dalam peraturan permainan, dilarang’pemain mempergunakan alat pemukulnya untuk


menusuk lawannya, memukul bagian perut kebawah, apalagi menusuk muka. Yang
diperkenankan hanya memukul bagian perut ke atas. Apabila “babuto” melihat adanya
permainan tak seimbang atau serunya permainan sudah mengarah keluapan hawa-nafsu atau
bila ada alat pemukul salah seorang pemain yang jatuh, maka “babuto” segera memisahkan
kedua pemain tersebut. Kedua ujung alat pemain (alat pemukulnya) dipegang lagi, lalu de-
ngan ucapan-ucapan jenaka “babuto” mengadu lagi kedua pemain tersebut.
  Bekas pukulan yang mengenai tubuh (umumnya di bagian lengan atas dan punggung)
sering kali tidak hanya membekas saja, tetapi berdarah. Konon menurut penjelasannya, dulu
waktu dipertandingkan, di mana “kekuatan-kekuatan magis” ikut pula memainkan perannya,
maka sering bekas pukulan lawannya tidak tersembuhkan sampai berbulan-bulan. Tetapi bagi
pemain yang memperoleh perlindungan dari seorang yang “kuat daya magisnya” maka bekas
luka pukulan lawannya, begitu permainan usai, hanya diusap dengan telapak tangan berair
dari pelindungnya, bekas luka tersebut segera lenyap tanpa bekas. Dengan permainan
“kekuatan magis”, sering terjadi alat pemukulnya patah, kehilangan kekuatan untuk memukul
kena pukul lalu pingsan, alat pemukulnya jatuh, semuanya ini bila terjadi dianggap kalah
(dalam pertandingan). Selama permainan berlangsung, suara gamelan “okol” terus bergema
lebih-lebih suara “dung-dung” terus bertalu-talu. Dalam upacara “rokad”, permainan “Ojung”
setiap pasang paling lama hanya berlangsung setengah jam. Sebelum waktu sembahyang Ma-
grip, permainan sudah selesai.

Permainan “Ojung” ini hanya tersisa di beberapa wilayah yaitu Leprak kecamatan
Prajekan , desa Blimbing kecamatan tapen dan juga di kecamatan Cermee. Menurut Pak
Markus, hal itu karena “Ojung” jarang dipertandingkan lagi, juga karena para pemuda desa
banyak yang berkecimpung dalam usaha pertanian.

Selain itu ada tanggapan dari kalangan agama, bahwa “Ojung” dilarang oleh agama.
Tanggapan ini perlahan-lahan pengaruhnya makin meluas di kalangan masyarakat, sekalipun
kalau ada permainan “Ojung” boleh ada hanya sekedar sebagai “syarat” dari suatu rangkaian
upacara permintaan turunnya hujan. Kengerian melihat akibat permainan ini anggota
masyarakat menganggap “Ojung” tidak cocok lagi dalam kehidupan sekarang. Pengaruh
kalangan agama yang mengarahkan untuk minta turunnya hujan cukup dengan melakukan
sembahyang bersama memohon kepada Tuhan agar hujan segera turun. Kata Pak Markus,
buktinya kalau ada “Ojung” setelah “rokad”, orang jarang sekali “se nangga’” (yang
mengundang), pemain-pemainnya tambah lama tambah berkurang. Demikian penjelasan Pak
Markus, jago tua “Ojung” dari lima jaman yang sekarang mencoba-coba peruntungannya
dalam usaha pertanian.

C. Dokumentasi
TRADISI OJUNGAN

Salah satu tradisi masyarakat Bondowoso yang sedikit terkesan ekstrim  yaitu tradisi
tarung Ojung atau Ojungan. Tradisi ojung merupakan sebuah tradisi yang hingga kini masih
tetap dipertahankan warga Desa Mangliwetan, Bondowoso yang bertujuan untuk meminta
turun hujan agar desa mereka tak mengalami kekeringan ketika musim kemarau panjang tiba.
Ojung ini memadukan ketangkasan, seni, religi dan beladiri dimana para peserta
akan saling cambuk menggunakan rotan tanpa menggunakan baju. Biasanya kesenian ini
digunakan sebagai ritual untuk menurunkan hujan ketika di Bondowoso mengalami musim
kemarau panjang. Para pemain ojung percaya semakin banyak darah yang diteteskan akan
semakin cepat turun hujan. Tak ada dendam di sini, selesai acara mereka akan saling berjabat
tangan menandakan perdamaian.

Jumlah pemain “ojung” tidak pasti berapa, tergantung pada – kesediaan para pemuda
desanya masing-masing. Hanya saja jumlah pemainnya harus genap dan pasangan-
pasangannya harus sebanding. Usia para pemainnya sekitar tujuh belas tahun ke
atas, dan hanya terdiri dari para pemuda saja. Pemain “Ojung” dilarang bagi wanita sebab
selain permainan ini berbahaya, juga karena para pemainnya tidak boleh memakai baju,
artinya bagian dadanya terbuka. Peralatannya terdiri dari alat pemukul yang terbuat dari
ikatan beberapa batang rotan.

Panjang alat pemukul tersebut sekitar 1 meter. Setiap peserta membawa alat
pemukulnya sendiri, yang nanti diperiksa oleh “babuto”. Selain itu, untuk dipakai sebagai alat
pelindung kepala yang disebut “bukot” yaitu alat pelindung yang dibuat dari anyaman daun
kelapa, kemudian dibungkus Karung goni (rangkap satu) diikat dengan tali sehingga
membundar dan di bagian muka diberi tali temali pelindung, sebab bagian muka tersebut
terbuka untuk dapat melihat sasaran. Sebelum “bukot” dipasang, bagian kepala peserta sudah
dibungkus dengan selembar sarung. Sehingga bagian kepala peserta mendapat perlindungan
cukup tebal.

Selembar sarung yang lain diikatkan di bagian lengan kiri peserta, untuk digunakan
sebagai perisai. Sedangkan selembar sarung yang lain diikatkan di bagian luar celana
pendeknya (sekaligus juga merupakan celana dalamnya) untuk mempertebal perlindungan
pada alat vitalnya.
Perlengkapan yang lain ialah lapangan seluas 9m untuk arena permainan. Selama
permainan “Ojung” berlangsung, iringan gamelan yang disebut “okol” terus menggema.
Perangkat gamelan disebut “okol” tersebut terdiri dari sebuah gambang tua dart sebuah
“dung-dung” (semacam kendang).

Permainan “Ojung” dimulai pukul 15.00 wib. (setelah sembahyang Ashar) dan setelah
upacara rokad berakhir. “Babuto” kemudian maju ke arena, memilih pasangan yang akan ber-
tanding, yang diperkirakan sebanding. Pasangan tersebut kemudian memasang
perlengkapannya dibantu oleh pemuda- pemuda yang lain. Perlengkapan yang merupakan
alat pelindung diri itu diperiksa oleh “Babuto”, apakah sudah dipakai dengan baik dan kuat
oleh setiap peserta. Alat pemukulnya pun diperiksa pula. Setelah siap, kedua pemain “Ojung”
itu dibawa ke arena. Keduanya kemudian duduk berjongkok saling memungkiri dengan
“babuto” ada di tengah-tengah mereka. Kedua pemain duduk berjongkok dengan memegang
alat pemukulnya, sambil membaca do’a.

Setelah itu “babuto” yang bertindak sebagai wasit dan pemisah, menyuruh kedua
pemain tersebut berdiri sambil berhadapan. Kedua alat pemukul pemain dipegang ujungnya
dengan tangan kanan oleh “babuto” sambil memberi nasehat-nasehat, mengingatkan pada
peraturan-peraturan permainan, jangan mengikuti nafsu marah, dalam permainan ini harus
sungguh-sungguh, tak ada yang kalah dan yang menang sebab merupakan rokkadda somor
menta’ o jari” (selamatan minta turunnya hujan). Ucapan-ucapan “babuto” bersifat humor,
sehingga sering menimbulkan gelak tawa para penonton. Apabila “babuto” melepaskan
pegangan pada ujung alat pemukul para pemain dan memberikan aba-aba permainan dimulai,
maka kedua pemain tersebut mulai saling pukul memukul, siasat menyiasati mencari peluang
untuk melancarkan pukulan-pukulannya kepada lawan, diiringi sorak sorai penonton.

  Dalam peraturan permainan, dilarang’pemain mempergunakan alat pemukulnya untuk


menusuk lawannya, memukul bagian perut kebawah, apalagi menusuk muka. Yang
diperkenankan hanya memukul bagian perut ke atas. Apabila “babuto” melihat adanya
permainan tak seimbang atau serunya permainan sudah mengarah keluapan hawa-nafsu atau
bila ada alat pemukul salah seorang pemain yang jatuh, maka “babuto” segera memisahkan
kedua pemain tersebut. Kedua ujung alat pemain (alat pemukulnya) dipegang lagi, lalu de-
ngan ucapan-ucapan jenaka “babuto” mengadu lagi kedua pemain tersebut.
  Bekas pukulan yang mengenai tubuh (umumnya di bagian lengan atas dan punggung)
sering kali tidak hanya membekas saja, tetapi berdarah. Konon menurut penjelasannya, dulu
waktu dipertandingkan, di mana “kekuatan-kekuatan magis” ikut pula memainkan perannya,
maka sering bekas pukulan lawannya tidak tersembuhkan sampai berbulan-bulan. Tetapi bagi
pemain yang memperoleh perlindungan dari seorang yang “kuat daya magisnya” maka bekas
luka pukulan lawannya, begitu permainan usai, hanya diusap dengan telapak tangan berair
dari pelindungnya, bekas luka tersebut segera lenyap tanpa bekas. Dengan permainan
“kekuatan magis”, sering terjadi alat pemukulnya patah, kehilangan kekuatan untuk memukul
kena pukul lalu pingsan, alat pemukulnya jatuh, semuanya ini bila terjadi dianggap kalah
(dalam pertandingan). Selama permainan berlangsung, suara gamelan “okol” terus bergema
lebih-lebih suara “dung-dung” terus bertalu-talu. Dalam upacara “rokad”, permainan “Ojung”
setiap pasang paling lama hanya berlangsung setengah jam. Sebelum waktu sembahyang Ma-
grip, permainan sudah selesai.

Permainan “Ojung” ini hanya tersisa di beberapa wilayah yaitu Leprak kecamatan
Prajekan , desa Blimbing kecamatan Tapen dan juga di kecamatan Cermee. Menurut Pak
Markus, hal itu karena “Ojung” jarang dipertandingkan lagi, juga karena para pemuda desa
banyak yang berkecimpung dalam usaha pertanian.

Selain itu ada tanggapan dari kalangan agama, bahwa “Ojung” dilarang oleh agama.
Tanggapan ini perlahan-lahan pengaruhnya makin meluas di kalangan masyarakat, sekalipun
kalau ada permainan “Ojung” boleh ada hanya sekedar sebagai “syarat” dari suatu rangkaian
upacara permintaan turunnya hujan. Kengerian melihat akibat permainan ini anggota
masyarakat menganggap “Ojung” tidak cocok lagi dalam kehidupan sekarang. Pengaruh
kalangan agama yang mengarahkan untuk minta turunnya hujan cukup dengan melakukan
sembahyang bersama memohon kepada Tuhan agar hujan segera turun. Kata Pak Ma Lesu,
buktinya kalau ada “Ojung” setelah “rokad”, orang jarang sekali “se nangga’” (yang
mengundang), pemain-pemainnya tambah lama tambah berkurang.

Kita sebagai generasi muda jaman sekarang, harus bisa mengembangkan tradisi yang
sudah ada sejak jaman dahulu. Dengan mengembangkannya, tradisi Ojung tersebut tidak
akan cepat musnah dari kabupaten Bondowoso.

Anda mungkin juga menyukai