oleh:
HENDRI MULYAWAN
(13030114120023)
Kelas A/ SEMESTER V (LIMA)
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Hasil Kebudayaan Dari Wayang Kulit” dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima kasih
pada Bapak Drs. Supriyo Priyanto, M.Hum selaku dosen matakuliah Metodologi
Ilmu Budaya UNDIP yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai hasil kebudayaan dari wayang kulit
ditinjau melalui analisi 7 unsur kebudayaan, dan juga bagaimana memahami
filosofi dari wayang kulit itu sendiri. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan memohon kritik
dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................i
BAB II .................................................................................................................... 3
2.4 Peranan Wayang Kulit sebagai salah satu kesenian luhur dan agung yang
berbudaya di Indonesia. ....................................................................................... 7
BAB IV ................................................................................................................. 15
KESIMPULAN.................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
Wayang adalah salah satu kesenian yang telah ada di Indonesia sejak
ajaran Hindu masih tersebar di seluruh Nusantara. Wayang sendiri mengambil
tokoh-tokoh dewa maupun ksatria yang ada dalam agama Hindu dari India.
Wayang di Indonesia tersebar dalam beberapa versi sesuai dengan daerah, sebagai
contoh Wayang Ringgit, Wayang Uwong dari Jawa, Wayang Golek dari Sunda
atau Jawa Barat, Wayang Bali dari Bali, Wayang Palembang dari Sumatra
Selatan, Wayang Sasak dari Nusa Tenggara Barat, baik Wayang Cina yang
berasal dari Cina yang diadopsi dan berkembang pesat di masyarakat Tiong Hoa
di Indonesia.
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
2
BAB II
3
bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga
beberapa kali menjadi lebih kecil.
Wayang dikenal oleh bangsa Indonesia sudah sejak 1500 th. sebelum
Masehi, karena nenek moyang kita percaya bahwa setiap benda hidup mempunyai
roh/jiwa, ada yang baik dan ada yang jahat. Agar tidak diganggu oleh roh jahat,
maka roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk gambaran (gambar ilusi) atau
bayangan (wewayangan/wayang ), disembah dan diberi sesajen yang kemudian
dikenal kemudian dengan kepercayaan Animisme.
4
dari cerita-cerita Panji, cerita Menak yang berkembang pada masa Kesultanan
Ngayogjakarta Hadiningrat.
5
berbagai perubahan pemerintahan, politik, sosial budaya maupun kepercayaan
membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan penting dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Tiap adegan dengan iringan gending sendiri-sendiri dan makin lama makin
meningkat laras dan iramanya sehingga mencapai klimaks yang ditandai dengan
tancep kayon, setelah semua masalah di dalam lakon terjawab dan berhasil
diselesaikan. Kesemuanya itu menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia
di dunia ini dengan segala aspek dan dinamikanya, yang tidak lepas dari peran dan
kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai makhluk
sosial.
Dalam hal ini telah jelas, sebagai manusia yang berbudaya, bangsa
Indonesia menganggap wayang sebagai bagian dari kehidupan yang bernilai
tinggi dan luhur. Bagi kelangsungan eksistensi wayang ini, paling tidak, ada tiga
hal yang perlu dicermati dalam kehidupan publik. Pertama, sikap dan pandangan
hidup pragmatis telah dianut oleh sebagian besar masyarakat. Kedua, implikasi
dari realitas ini tidak hanya diterapkan dalam perilaku ekonomi dan politik, tetapi
juga dalam memilih bentuk kesenian dan kebudayaan. Ketiga, akibat selanjutnya
adalah budaya massa dan budaya populer menjadi kiblat mayoritas publik.
6
Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga
Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain.
Yaitu “Mana yang Isi” (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit)
harus dicari (Wayang Golek)”.
2.4 Peranan Wayang Kulit sebagai salah satu kesenian luhur dan agung yang
berbudaya di Indonesia.
Hal ini patut dicermati mengingat bahwa budaya wayang kulit merupakan
budaya tua yang masih bertahan sampai dengan saat ini yang meminjam
istilahnya Alvin Toffler berarti tetap bertahan pada masa gelombang pertama,
gelombang kedua, sampai dengan gelombang ketiga yang merupakan abad
informasi dengan komunikasi termasuk internet sebagai tulang punggung
pendukung utamanya. Bertahannya budaya wayang kulit menjadi menarik
mengingat bahwa:
1. Wayang kulit berbasis cerita Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari
budaya Hindhu dari India.
3. Cerita dalam wayang kulit berbasiskan cerita tentang kerajaan yang raja dan
ksatria sebagai fokus utamanya yang berarti semangat dalam ceritanya adalah tata
budaya feodal.
7
4. Masyarakat Jawa terpelajar umumnya berbasis pendidikan Barat yang tidak
mau terpengaruh budaya Barat.
Dalam hal ini penulis sangat kagum kepada Prof. Danys Lombard yang
dalam bukunya “Nusa Jawa – Silang Budaya” yang menyadari betul pengaruh
wayang purwo atau kulit juga tulisan klasik Jawa lainnya seperti Babad Tanah
Jawi, Serat Centini, dalam kehidupan masyarakat Jawa sampai dengan saat ini.
Jelas bahwa wayang tidak lepas dari keseharian kehidupan manusia Jawa
di masa lalu (yang juga masih hidup di pedesaan masa kini) dalam ritus kehidupan
sehari-hari. Dipercaya bahwa budaya wayang kulit sudah ada bahkan sebelum
pengaruh agama Hindu datang dengan bukti adanya unsur punakawan (Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong) yang tidak ada dalam cerita asli baik Ramayana
ataupun Mahabharata. Walaupun basis cerita wayang adalah Ramayana dan
Mahabharata tetapi dalam kenyataannya ceritayang dibawakan sudah bercampur
atau diubah dengan cerita yang diperhalus dan disesuaikan dengan budaya Jawa
sebagai contohnya adalah :
1. Dewi Drupadi dalam cerita Mahabharata yang asli bersuami lima yaitu semua
Pendawa Lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) dalam pewayangan
diceritakan adalah hanya istri Puntodewo/Yudistira karena budaya Jawa tidak
mengenal poliandri.
2. Gatotkaca adalah anak Bima yang raksasa di Mahabharata dan hanya muncul
pada saat perang Bharatayuda, dijadikan idola pahlawan yang gagah perkasa
dalam pewayangan dengan berbagai cerita kesaktiannya dengan ajian-ajian seperti
Brajamusti yang sampai saat ini masih bisa dipelajari dikalangan masyarakat
Jawa.
8
unsure punakawan didalamnya. Bahkan di beberapa tempat di Jawa diberi nama
tempat yang mengesankan seolah-olah kejadian cerita Mahabharata itu memang
betul-betul terjadi ditanah Jawa. Sebagai contoh: Didaerah yang sekarang
dijadikan waduk Sempor, Gombong, Jawa -Tengah, nama asli desa tersebut
adalah Cicingguling. Penduduk setempat percaya tempat tersebut adalah tempat
Bhima berperang melawan Duryudana dengan menghantamkan gadanya di bagian
pahanya sehingga Duryudana terpaksa menyisingkan kainnya (celananya) –
bahasa Jawanya menyisingkan adalah cicing – juga berguling- guling karena
kesakitan, oleh karena itu desa tersebut diberi nama Cicingguling. Begitu juga di
daerah pegunungan Dieng di Jawa Tengah maupun di puncak gunung Lawu di
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama-nama tempatnya diberi
kesan seolah-olah tempat tersebut adalah tempat keberadaan para dewa dalam
cerita Mahabharata. Ketika agama Islam datang ke Indonesia, bahkan oleh salah
satu wali sanga (sembilan wali) – Sunan Kalijaga – wayang dijadikan alat untuk
penyebaran agama Islam yang memasukkan unsur Islam dalam kandungan cerita
Mahabharata. Sebagai contoh: Yudhisthira sebagai raja di Amartapura
mempunyai jimat (pusaka) yang bernama “Jamus Kalimasada” yang merupakan
pegangan atau lambang keunggulan sebagai raja diterjemahkan sebagai “Kalimat
Sahadat” yang melambangkan keunggulan Islam sebagai pegangan hidup dengan
pengakuan “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
9
karena itu ada sebahagian masyarakat Islam bahkan mengharamkan “wayang
purwo/kulit” yang jelas nafas Hindunya atau Jawanya lebih menonjol
dibandingkan dengan nafas Islamnya, lepas dari kenyataan bahwa wayang kulit
masih tetap digemari masyarakat Jawa yang Islam maupun yang bukan Islam.
10
BAB III
Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari
setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan
masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan
mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha.
Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga
menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama
Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang
hanya bisa melihat bayangan.
11
dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat
dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada
di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan
wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu
pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
12
Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda.
Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon
gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya
bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis
besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak
bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai
pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
13
-Warna Rias Wajah Memiliki Arti Simbolis
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi
tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah misalnya,
sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang
memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi
juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu
sendiri. Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning,
adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna
muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton,
sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang
dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna,
Werkudara dan lain-lain. Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui
oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu
sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan
wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak
tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit selain merupakan sarana hiburan juga
merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa,
ngruwat dan lain-lain.
14
BAB IV
KESIMPULAN
Seni wayang kulit sendiri mempunyai nilai yang sangat penting bagi
bangsa. Karena didalam setiap ceritanya terkandung nilai moral yang luhur.
Cerita-cerita dalam wayang kulit, mengisahkan kehidupan manusia dari lahir
sampai mati. Menceritakan tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang luhur. Ajaran
yang tidak bisa kita dapatkan ketika menonton pertunjukan lain yang hanya
sekedar “hiburan”.
Seni wayang kulit itu, sebenarnya berisi pesan moral yang sangat luar
biasa. Karena tiap ceritanya pasti mempunyai pesan yang positif kepada
penontonya. Selain itu, falsafah wayang, dalam implementasinya dalam
kehidupan berperan penting dalam membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebab, dalam seni wayang terdapat kearifan lokal yang bermanfaat
untuk membangun karakter dan jatidiri bangsa Indonesia melalui watak tokoh
dalam wayang.
Wayang kulit sebagai karya agung, bukan hanya isapan jempol semata,
karena dunia pun sudah mengakui bahwa seni wayang kulit merupakan karya
yang agung dan luhur. Terbukti dengan disematkannya penghargaan sebagai
masterpiece (karya agung) dari UNESCO kepada seni wayang kulit.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://dian-marfuah.blog.ugm.ac.id/2011/11/08/tugas-makalah-dasar-dasar-ilmu-
budaya-wayang-kulit-sebagai/ (diunduh pada 06 Oktober 2016 pukul 20.08)
http://nisasline.blogspot.co.id/2013/03/teknik-penulisan-berita.html (diunduh
pada 06 Oktober 2016 pukul 22.07)
http://pepadi.kebumenkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i
d=8%3Asejarah-singkat-wayang&catid=3%3Aartikel&Itemid=9&limitstart=1
(diunduh pada 06 Oktober 2016 pukul 23.47)
16