Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS PERFORMA 

PADA TUGAS PERHITUNGAN 
Oleh: Wiwik Nurwijayanti 
 
Pengantar 
 
Seorang pelajar muda, Freddy, duduk dibangkunya untuk menghitung akar kuadrat 
dari 2704. apa yang terjadi? Kita dapat melihat bagaimana dia memulai: dengan mengambil 
selembar kertas dan pensil, melaksanakan tugas untuk menemukan akar kuadrat. Freddy 
akan menghasilkan sebuah jawaban baik salah maupun benar, sehingga kita juga dapat 
melihat ketika jawaban tersebut sudah tercatat di kertasnya. Jawaban ini akan menjadi bukti 
kita bahwa beberapa jenis pemrosesan yang terjadi memindahkan angka tertentu kedalam 
angka lain yang memenuhi ketentuan tugas. Kira-kira pemrosesan ini terdiri dari apa saja? 
 
Proses perhitungan sendiri akan membangkitkan informasi tambahan dari ingatan, 
seperti fakta angka khusus, pembentukan konvensi, perkiraan teknik, dan penggunaan 
prosedur. Sejauh ini, kita telah menebak bahwa tugas memerlukan persepsi, ingatan, dan 
strategi pemecahan masalah. Jika semua berjalan dengan baik, usaha pemrosesan Freddy 
menghasilkan jawaban yang benar. 
 
Jika membandingkan Freddy dengan sebuah mesin penghitung, mungkin kita 
mengatakan dia memasukkan informasi tertentu, memproses informasi tersebut, dan 
memproduksi hasil; kita dapat melihat input dan output. Yang tidak bisa kita lihat adalah 
pemrosesan yang sebenarnya, yaitu, apa yang dilakukan Freddy selama memecahkan 
masalah matematik, baik yang sederhana dan algoritmatik atau kompleks dan heurarkis. 
 
Bagaimana seseorang memperoleh informasi tentang pemrosesan informasi 
manusia ketika aspek kegiatan kognitif tidak dapat dilihat? Sebenarnya, ada banyak hal 
yang harus dipelajari dengan memeriksa manifestasi pemikiran keluar. 
 
Kewajiban para peneliti pendidikan dan psikilogii untuk meneliti tingkah laku 
manusia dan atas dasar untukmengembangkan model umum performa yang dapat 
digunakan untuk membandingkan performa perorangan. Para psikolog telah 
mengembangkan metode percobaan yangs secara khusus diarahkan pada penafsiran 
perilaku yang dapat diamati dalam hal pemrosesan mentalnya. 
 
Pembelajaran yang kita gambarkan pada bab ini menganalisa tingkah laku anak-
anak dan dalam beberapa hal, termasuk orang dewasa pada tugas-tugas perhitungan. 

Pertama-tama kita perhatikan pada data-data yang memungkinkan. Kita membuat 


kesimpulan tentang permintaan proses perhitungan. Kemampuan ini tampaknya menjadi 
prasyarat untuk pemahaman matematis, dan tetap sebagai komponen penting penghitungan 
algoritma bagi banyak anak si sepanjang tahun sekolah dasar. 
 
Kemudian kita memberikan model psikologis pemrosesan yang diperlukan dalam 
tugas penjumlahan dan pengurangan sederhana berdasarkan pada data waktu. Penelitian 
detail penampilan anak dalam pengaturan masalah aritmatika dasar dilaporkan, dan cirri-
ciri strategi pemrosesan dari jalan keluar. Yang bagus dan yang jelek dibandingkan. Juga 
menjelaskan bagaimana kesalahan penghitungan dapat dianalisa guna menemukan 
penyimpangan sistematis dari algoritma yang diajarkan dan untuk memberi pengetauan 
keadaan kedalam langkah-langkah pemrosesan. Akhirnya, ditunjukkan bagaimana para 
psikolog telah memprogramkan sebuah komputer untuk memecahkan soal kata aljabar dan 
bagaimana dengan membandingkan perilaku komputer denga subyek manusia, mereka 
telah membantu memusatkan perhatian pada aspek-aspek konseptual dan representasional 
pemecahan masalah. 
TUGAS MATEMATIKA SEDERHANA 
 
Ketika setiap langkah dalam perhitungan memerlukan waktu yang terbatas, maka 
menarik untuk mempelajari seberapa lama waktu yang diperlukan untuk mengerjakan suatu 
tugas perhitungan. Dengan membandingkan waktu yang diperlukan untuk dua tugas yang 
sama, misalnya seseorang dapat menduga perbedaan jumlah langkah dan terkadang jenis 
langkah yang diperlukan pada tugas-tugas tersebut. Khususnya para psikolog mengukur 
lama waktu yang berlalu antara pemberian suatu soal dan respon, atau reaksi, subyek. Pola 
waktu reaksi memberi petunjuk bagaimana pikiran menafsirkan dan menanggapi tugas 
apapun. 
 
Studi yang dibahas pada sesi ini menganalisa data pada waktu reaksi sebagai cara 
mengevaluasi hipotesis tentang bagaimana orang mengerjakan tugas matematika sederhana. 
Kemudian kita berurusan denga persyaratan pemrosesan perilaku menghitung sederhana 
dari penjumlahan dan pengurangan. Pembaca akan memperhatika level menurut detail-
detail dalam analisis. Data dikumpulkan dalam mesin khusus yang mencatat waktu reaksi 
dalam mildetik, dan perbandingan antara masing-masing penampilan dituliskan dalam 
istilah fraksi sekon yang sangat kecil. Namun karena pikiran bekerja pada tingkat yang 

sangat tinggi, bahkan variasi sekecil itupun masih bisa menghasilkan kesimpulan penting 


tentang pemrosesan.  
 
Menentukan kuantitas : Menghitung dan Subtizing 
 
Kita mulai dengan mengerti apa yang hampir pasti menjadi operasi matematik yang 
paling dasar: menghitung dan menghubungkan cara-cara tekait menetapkan jumlah. 
Penelitian terbaru yang dilaporkan ole Gelman dan Gallistel (1978) memberi tahu kita 
bahwa anak-anak terlibat dalam operasi perhitungan sebelum usia sekolah dan bahwa 
operasi ini adalah elemen performa matematis yang lebih kompleks yang harus diikuti. 
Meskipun sebagian besar anak-anak memasuki sekolah mengetahui dasar-dasar 
penghitungan dan pengukuran, tampaknya ketrampilan ini berkembang seiring dengan usia 
dan praktek. Jadi layak dipertimbangkan dalam beberapa perincian penelitian pada operasi 
matematika yang sangat dasar. 
 
Dengan definisi matematika, menghitung adalah suatu proses dimana obyek dalam 
suatu kumpulan diperhatikan sekali dan hanya sekali. Lebih lanjut, saat tiap obyek 
diperhatikan, ia dipasangkan dengan sebuah kata (nama angka) dan kata-kata ini dinamai 
dengan urutan yang tetap (“satu, dua, tiga, …”). Proses hitungan ini terkadang dapat dilihat, 
tetapi sering berjalan dengan diam. 
 
Menghitung obyek satu persatu tiap kali akan berjalan lancer ketika angka obyek 
relative kecil. Akan tetapi, jika kumpulan yang besar harus diukur, penghitungan satu demi 
satu sangat tidak efisien dan ada kesempatan besar akan terjadinya kesalahan. Dalam 
keadaan ini mudah kehilangan satu tempat atau melanggar satu obyek atau menghitungnya 
lebih dari sekali. Beckwith dan Restle (1966) menyimpulkan bahwa dalam situasi ini, 
penghitung yang memiliki ketrampilan, pertama-tama mengelompokkan obyek itu dulu 
kedalam sub kumpulan yang berbeda secara persepsi, kemudian menghitung tiap sub 
kumpulan, dan akhirnya menjjumlahkan banyaknya. 
 
Pola respon mengesankan bahwa anak-anak mengunakan format persegi untuk 
membantu mereka menyusun dan mengatur obyek untuk dihitung. Tetapi orang dewasa 
kelihatannya menggunakan  fungsi khusus untuk susunan persegi dengan megalikan baris 
dan kolom, sehingga mengurangi perhitungan yang diperlukan. 

 
Untuk menyelidiki pengelompokkan lebih jauh lagi, Nekwith dan Restle (1966) 
memberikan murid kumpulan untuk menghitung diposisi mana obyek sepenuhnya acak, 
tetapi dimana petunjuk warna dan bentuk terkadang berfungsi sebagai bantuan untuk 
pengelompokkan perceptual. Misalnya, pengelompokkan perceptual diisyaratkan secara 
kuat ketika empat warna dan empat bentuk disusun sehingga dalam satu bagian halaman 
ada persegi yang seluruhnya berwarna biru. Pada halaman lain berupa lingkaran yang 
seluruhnya berwarna merah, dan sebagainya. Disisi lain, pengelompokkan tidak ada atau 
lemah saat warna dan bentuk terpencar sendiri-sendiri dan secara acak pada suatu bidang. 
Seperti yang diharapkan, semakin baik isyarat warna dan bentuk untuk pengelompokkan 
perceptual, semakin cepat perhitunga. S chaeffer, Eggleston, dan Scott (1974) menemukan 
fasilitas yang sama untuk anak-anak berumur 4 tahun. 
 
Membandingkan dua model hitungan 
 
Menghitung adalah hal yang dominan tetapi bukan satu-satunya cara. Hal ini  dapat 
dibuktikan melalui demonstrasi sederhana berikut: (gambar4.1) adalah gambar susunan 
beberapa titik. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar 4.1 

Hanya dibutuhkan sekilas pandang saja untuk menetapkan berapa banyak titik yang 


tercakup. Perhitungan tidak penting bagi susunan 3 dan 4 karena mata segera menangkap “ 
ketigaan dan keempatan”. Ini yang dinamakan subtizing , suatu istilah teknik yang berasal 
dari akar bahasa latin subito, tetapi jika jumlah titik bertambah menjadi 6 atau 10, 
pengenalan secara segera ini tidak mungkin lagi. 
 
Klahr dan Wallace (1976) telah memperdebatkan bahwa subtizing tidak hanya lebih 
cepat daripada menghitung, tetapi juga berkembang lebih awa;ldan bahkan prasyarat bagi 
perkembangan penghitungan pada anak-anak. Perbedaan ini dalam model penghitungan 
memiliki implikasi bagi aspek-aspek lain dari perkembangan matematis anak-anak. 
Implikasinya dapat dipertimbangkan dengan mengacu pada model memori, yang dijelaskan 
pada bab 2, dimana kapasitas pemrosesan ingatan kerja terbatas. Secara umum kita dapat 
menganggap bahwa subtizing memerlukan sedikit ruang dalam ingatan kerja daripada 
penghitungan. Seharusnya kita lebih mudah menggunakan informasi tentang jumlah jika 
mereka telah memperoleh informasi melalui subtizing daripada melalui penghitungan. 
Akan ada banyak ruang kosong dalam ingatan kerja untuk operasi lainnya. 
 
Dugaan bahwa subtizing mendahului perhitungan dalam perkembangan atau yang 
lebih mendasar bagi pemahaman matematika daripada menghitung telah dicoba oleh 
Gelman dan Gallistel (1978). Mereka mengungkapkan bahwa anak berusia 3 tahun 
menunjukkan perilaku menghitung yang spontan dan terampil dengan kumpulan obyek 
yang sedikit. Tetapi Gelman dan Gallistel sependapat bahwa perhitungan pada anak-anak 
kecil berkembang dengan baik hanya untuk kumpulan yang kecil dan bahwa bentuk 
pemikiran matematis yang lain (konservasi, misalnya) bergantung pada perhitungan yang 
aman. Jadi, kita berpikir orang lain akan sependapat dengan anjurran pengajaran yang kita 
simpulkan dari kerja perhitungan awal. Jika seseorang akan mengajarkan sebuah konsep 
yang bergantung pada pengetahuan umum kumpulan (misalnya, konsep “lebih besar” atau 
“kurang dari”), dan bila konsep lebih penting daripada ukuran kumpulan tempat 
penerapannya, maka orang tersebut mungkin harus membiarkan anak-anak bekerja lebih 
dulu dengan kkumpulan kecil. Demikian pula, karena menghitung tampaknya menjadi 
semakin efisien dengan usia, dan kiranya, dengan latihan, mungkin lebih baik untuk 
menunda kerja konseptual, atau bahkan kerja penghitungan mahir, pada kumpulan besar 
sampai ketrampilan menghitung cukup baik berkembang untuk memulai pada tingkat 

sekitar tiga item perdetik sebagai ganti I setiap detik yang sepertinya mencirikan anak 


berusia 5 tahun. 
 
Proses-proses pemecahan untuk persamaan sederhana 
 
Persoalan yang dihadapi sekarang sebagai tugas dasar pada sekolah aritmetika 
adalah proses pemecahan untuk persamaan sederhana. Focus kita adalah pada proses 
dimana anak-anak menghitung jawaban-jawaban atas masalah pengurangan dan 
penjumlahan sederhana yang melibatkan angka-angka tunggal yang berkisar antara 0 ). Jika
orang dewasa ditanya “berapa banyak  , 9 – 6 = sampai 9 (misalnya 3 + 6 = 
jumlah 3 + 4 ? “ dia mungkin tahu dengan segera tanpa benar-benar menghitung dengan 
teliti jawabannya. Kebanyakan orang dewasa telah menyimpan respon ingatan angka 
panjang, 7, yakni dihubungkan dengan stimulus 3 + 4. Dalam hal ini seolah-olah ada 
sebuah petunjuk yang sangat besar dalam kepala mereka, dan beberapa dari catatan itu 
adalah bilangan yang harus “dicari/ditemukan” . tetapi pemikiran sekarang, apa yang terjadi 
ketika seseorang mengalami kehilangan memori sekali-kali, ketika fakta angka lepas dari 
genggaman. Untuk menjawab pernyataan tersebut harus disusun kembali langkah-langkah 
tertentu. Proses penyusunan ini harus sesuai dengan tingkat kematangan setiap anak. 
Karena anak-anak sebagian besar membutuhkan analisa data waktu mereka. Analisa data 
waktu reaksi memungkinkan kita meneliti proses-proses semacam ini sebagai penambahan 
dan pengurangan meskipun biasanya di lakukan secara internal. 
 
Ada tiga model performa pada persamaan yang dihipotesiskan oleh Suppes dan 
Groen (1967; Groen & Parkman, 1972). Pertama , bilangannya di setel pada suatu jumlah 
jumlah a. kemudian simpul kenaikan dimulai. Sebelum tiap kenaikan selalu dibuat sebuah 
tes untuk melihat apakah angka yang telah di tentukan untuk kenaikan  (X) telah 
memenuhi. Ketika tes menghasilkan jawaban positif, pemrosesan keluar dari simpul 
kenaikan dan bilangan tersebut dapat “dibaca”.  
 
Sebagai contoh model rangkaian urutan pemrosesan sebagai berikut: bilangan 
disetel pada angka 0 dan kemudian di naikkan tiga kali; kemudian, tanpa melakukan setel 
ulang, bilangan ini dinaikkan empat kali lagi. Hasil akhirnya, 7, sekarang dapat dibaca pada 
bilangan. Ini merupakan cara yang masuk akal dari penambahan dan hal ini sebenarnya 
dekat dengan prosedur penambahan yang diajarkan pertama kali pada anak-anak di sekolah.  

 
Model penambahan yang kedua sedikit lebih canggih, mengingat bilangan dalam 
kepala, tetapi tidak di setel pada nol, seperti dalam model sebelumnya, tetapi pada 
berapapun angka pertama yang ada dalam persamaan. Sehingga, untuk persamaan 3 + 4 , 
bilangan disusun untuk memulai perhitungan dari angka 3. angka ini kemudian bertambah 
empat kali, maka akan menghasilkan 7. ini merupakan prosedur yang lebih canggih karena 
orang yang melakukan ini mengakui bahwa angka 3 selalu mewakili jumlah yang sama. 
Jumlah tiga tidak perlu dibuktikan tiap kali dengan hitungan samapi 3. 
 
Cara ketiga, melakukan penambahan bahkan yang lebih rumit dari pada yang kedua. 
Menurut model ini, bilangannya disetel dulu untuk dua angka manapun yang lebih besaqr; 
kemudian prosedur penaikan di gunakan untuk angka lain. Jadi soal 3 + 4 dipecahkan 
dengan menyetel bilangan pada 4 dan menaikkan 3 kali. Hal ini menghemat waktu karena 
selalu ada jumlah minimum yang harus dilakukan. Di samping menjadi lebih efisien 
daripada model-model lainnya, prosedur ini menunjukkan tingkat pemahaman yang lebih 
tinggi. Orang yang menggunakan operasi pada model ini, memahami bahwa jawaban akhir 
3 + 4 selalu sama dengan 4 + 3. Hal ini tidak membuat perbedaaan urutan mana yang 
ditambah. Secara umum, ini merupakan hokum komutatif menurut ahli matematika. 
Prosedurnya juga sedikit lebih kompleks karena memerlukan keputusan mana angka yang 
lebih besar, jadi dari mana seharusnya memulai perhitungan. 
 
Jika kita meletakkan tiga model penambahan ini dalam konteks waktu yang nyata, 
masing-masing memiliki durasi waktu yang berbeda untuk mengerjakan tugas. Pada setiap 
kasus, kita menganggap bahwa keadaan awal bilangan memerlukan jumlah waktu yang 
tetap. Jadi tiak ada bedanya apakah disetel pada 0, atau 3 atau 7; waktu yang diperlukan 
sama. Ini berarti dalam mengevaluasi ketiga model ini, kita perlu membandingkan waktu 
yang diperlukan saja untuk menaikkan bilangan. Dalam model pertama, pengertian tugas 
akan memerlukan waktu untuk menandai angka dan bilangan (misalnya, dalam soal 2 + 7, 
waktu yang diperlukan untuk mengitung 9). Dalam model yang sama, bilangan akan disetel 
dalam angka 2, dari pengerjaannya akan memerlukan waktu selama di perlukan untuk 
menghitung sisa 7. dalam model ketiga, diperlukan sedikit sekali waktu untuk mengambil 
angka besar dan menyetel bilangan untuk dimulai pada angka 7, plus waktu yang 
diperlukan untuk menghitung sisa 2. 

Transisi dalam kompetensi. Bila percobaan dengan jenis yang sama di terapkan 


pada anak-anak yang berbeda usia, mungkin tujuannya adalah untuk mengetahui 
bagaimana strategi penghitungan berubah sering usia dan mungkin seiring pengajaran. 
Dalam suatu penelitian yang menganalisa prosedur anak-anak untuk memecahkan soal 
pengurangan dari bentuk m-n = r (Woods, Rsnik, & Groen, 1975), para penguji coba 
membandingkan anak-anak kelas dua dan empat. Langkah oertama adalah membuat model 
hipotesis untuk proses pengurangan dan kemudian memperkirakan pola kelatenan tiap 
model. Dua strategi dasar untuk pengurangan di hipotesiskan : setel bilangan pada m dan 
hitung mundur dari waktu n (kemunduran ) (model A); atau sekumpulan bilangan pada n 
dan hitung maju sampai mencapai m (kenaikan) (model B). Bergantung pada ukuran 
perbedaan antara m dan n, model A ataupuun model B bisa jadi yang tercepat. Hal ini 
mengesankan model ketiga: apakah prosedur kenaikan atau kemunduran, bergantung pada 
mana yang akan menjadi tercepat (model C).Yang terakhir ini disebut “model pilihan.” 
Dalam model ini, 8-3 = □    akan di pecahkan dengan menyetel bilangan untuk 8 dan 
memundurkan tiga kali; 8-5 =  □     akan di pecahkan dengan menyetel bilangan pada lima 
dan menaikan tiga kali. Kedua soal ini akan memerlukan jumlah waktu yang sama. 
 
Rutinitas pemunduran yang lurus (Model A) dekat dengan sesuatu yang kita anggap 
biasanya di ajarkan di sekolah; hitung blok m; kemudian pindahkan blok n dan katakan 
berapa banyak yang tersisa, r. Tampaknya bahwa anak-anak kelas dua, menjadi secara 
relatif dekat dengan pengalaman pertama mereka pada pengurangan, akan mengikuti model 
ini. Namun anak-anak mungkin suatu saat dapat efisien menghitung dari n ke m untuk 
mencapai r, dan untuk tiap soal tertentu yang di pilih mungkin adalah cara tercepat yang di 
pilihnya untuk menemukan jawaban yang benar. Jadi dengan siswa kelas 4 kita mungkin 
berharap penggunaan pilihan model lebih banyak (model C). Inilah yang secara kasar di  
temukan oleh Woods dkk, (1975). Seperlima dari anak-anak kelas dua memiliki data 
kelatenan yang di perkirakan oleh model A. Dan seperempat yang lain sesuai dengan pola 
model C  tampaknya pantas untuk menganggap bahwa perubahan dari kemunduran untuk 
memilih sebagian besar anak memiliki “temuan” mereka sendiri berdasarkan pengamatan 
mereka atas hubungan antar angka selama soal-soal penambahan dan pengurangan tak 
terbilang yang telah mereka hitung selama bulan-bulan masuk sekolah. 

 
Aspek menarik data ini adalah bahwa anak-anak kelas dua memerlukan 400 
milidetik per kenaikan terlepas dari model apa yang digunakan. Hal ini tercermin dalam 
lereng grafik, yang sama dengan panel (a) dan (b). Lereng untuk kelas empat lebih 
dangkal,mengesankan waktu kenaikan yang hanya 250 milidetik . Tetapi anak-anak kelas 
empat mungkin sebenarnya telah menghitung tiap item dengan lebih cepat. Daripada, 
mereka telah memperoleh pasangan pengurangan yang diingat sebagian, dengan 
menggunakan rutinitas menghitung hanya ketika tidak dapat mengingat jawaban secara 
langsung atau ingin memeriksa ingatan mereka. Bila kasusnya seperti ini, tiap soal akan 
memerlukan waktu kurang dari rata-rata. Jadi, lereng yang lebih dangkal  akan muncul, 
bahkan bila setiap mereka menghitung, mereka bekerja pada kecepatan 400 milidetik yang 
sama sebagai anak kelas dua. Data dari percobaan ini tidak memungkinkan kita untuk 
memilih antara kedua penjelasan ini, tingkat kenaikan yang lebih cepat atau pengingatan 
sebagian; tetapi data memperkuat bahwa kapanpun anak-anak kelas empat memecahkan 
soal dengan menghitung, mereka menggunakan model C. 
 
Penelitian penambahan dan pengurangan yang telah dijelaskan seajuh ini keduanya 
menggunakan subyek-subyek yang telah diajarkan disekolah . Peneliti menebak, 
berdasarkan praktek sekolah umumnya, bahwa anak-anak ini belum diajarkan rutinitas 
yang diamati.untuk menguji secara langsung ide bahwa anak-anak ini menemukan rutinitas 
perhitungan yang lebih efisien daripada yang diajarkan., sebuah studi penelitian lebih lanjut 
(Groen dan Resnik, 1977) dilakukan, pelaku penelitian ini mengendalikan apa yang 
diajarkan pada anak-anak dengan mengajarkannya secara langsung. Supaya yakin bahwa 
anak-anak tidak mendapat paparan pengajaran sebelum disekolah, anak-anak prasekolah 
digunakan sebagai subyek. 
 
Membantu Perkembangan Transisi Dalam Kompetensi 
Pengajaran itu sendiri penting untuk secara eksplisit mengajarkan rutinitas dan prosedur-
prosedur yang membuat seseorang menjadi penyaji tugas-tugas matematika yang terampil. 
Atau, hal ini dapat beruasaha menciptakan situasi-situasi dimana kesempatan muncul tanpa 
pengajaran langsung mungkin lebih umum dalam pengembangan pendidikan anak-anak 
daripada yang telah kita ajarkan sampai saat ini. Analisis-analisis tugas empiris yang baru 
saja dideskripsikan mengungkapkan perbedaan-perbedaan antara prosedur yang diajarkan 

Anda mungkin juga menyukai