Anda di halaman 1dari 22

Ruang Lingkup Pajak Penghasilan Umum

Temu ke-1

Kelompok 3 :
Jovan Michael Sandrico (02)
Maria Magdalena Santalia Jhon (06)
Aloysius Mario Mardhani Sutardi (11)
Putu Ersanti Nurwita Devi (21)
Ni Kadek Ayu Sasmita Cahyani (26)

Program Diploma III Perpajakan


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2019
DAFTAR ISI

PETA KONSEP PAJAK PENGHASILAN.......................................................................................1


PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
1.1 Definsi Pajak Penghasilan.............................................................................................................2
1.2 Subjek Pajak Penghasilan.............................................................................................................2
1.3 Objek Pajak Penghasilan..............................................................................................................3
1.4 Kewajiban Pajak Subjektif...........................................................................................................4
1.5 Cara menghitung pajak penghasilan..........................................................................................6
Contoh cara menghitung PPh.............................................................................................................6
1.6 Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak......................................................................7
1.7 Sanksi Pidana.................................................................................................................................9
1.8 Pengurangan penghasilan ( Biaya )...........................................................................................11
KESIMPULAN..................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA:.......................................................................................................................20
PETA KONSEP PAJAK PENGHASILAN

PENGHASILAN BRUTOXXX
PENGURANGAN PPh BRUTOXXX (-)
OBYEK PPh TARIF PPh PENGHASILAN NETTO XXX
FINAL BRUTO KOMPENSASI RUGI FISKALXXX(-)
PPh SETELAH KOMPENSASI RUGIXXX
PTKP HANYA BAGI WP OPXXX (-)
PENGHASILAN KENA PAJAKXXX
TARIF PPhXXX
PPhTERHUTANGXXX
KREDIT PAJAKXXX (-)
PPh KB/NXXX
MEKANIS
OBYEK DIKENA WP
ME
PPh I PPh BADAN
UMUM
KREDIT PAJAK
PPh Dipot/diput PIHAK LAIN
KREDIT PAJAK DALAM NEGERI
PPh Pasal 21 XXX
PPH Pasal 22 XXX
PPh Pasal 23 XXX XXX
KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
OBYEK PPh XXX
PENGHASIL TIDAK FINAL PPh Pasal 24
AN PPh YANG DIBAYAR SENDIRI
XXX
PPh PASAL 25
JUMLAH KREDIT PAJAK
XXX

WP OP
NORMA
PENGHASILAN BRUTOXXX
YANG PENGMBILAN
NORMA PENGHITUNGAN XXX (-)
PENGHITUNGAN
DIKECUALIKAN TIDAK PENGHASILAN NETTOXXX
DARI OBYEK DIKENAI PPh
PTKP XXX(-)
PPh PENGHASILAN KENA PAJAKXXX
TARIF PPh XXX (-)
PPh TERHUTANGXXX
PAJAK TERHUTANGXXX
KREDIT PAJAK XXX (-)
PPh KB/NXXX

1
PEMBAHASAN
1.1 Definsi Pajak Penghasilan
Berikut adalah beberapa pengertian tentang pajak penghasilan yang antara lain adalah :

1. Pajak penghasilan dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh 25
adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan
hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau
regresif.
2. Menurut Soebakir Pengertian pajak penghasilan sebagai suatu pajak yang dikenakan
terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
pajak. Salah satu subjek pajak adalah badan, terdiri dari perseroan terbatas, Perseroan
Komanditer, Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma,
kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pension dan
bentuk badan usaha lainnya. Dengan demikian, pajak penghasilan badan yang
dikenalkan terhadap salah satu bentuk usaha tersebut, atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam satu tahun pajak.
3. Menurut Djoko Muljono: pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang
dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
4. Secara Umum Pajak Penghasilan adalah Angsuran Pajak Penghasilan yang dipungut
pemerintah pusat dan harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun
berjalan sesuai dengan peraturan perpajakan.

1.2 Subjek Pajak Penghasilan


Yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c. bentuk usaha tetap
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
d. tempat kedudukan manajemen;

2
e. cabang perusahaan;
f. kantor perwakilan;a.
g. gedung kantor;
h. pabrik;f. bengkel;
i. gudang;
j. ruang untuk promosi dan penjualan;
k. pertambangan dan penggalian sumber alam;
l. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
m. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
n. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;m. pemberian jasa dalam bentuk
apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam
jangka waktu 12 bulan;
o. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
p. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
q. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.

1.3 Objek Pajak Penghasilan


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

3
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada
pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut
dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak
yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah
dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha
Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat
(KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai
dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi
kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan
secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi, termasuk premi reasuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki
landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah
tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga; dan
s. surplus Bank Indonesia.Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak
Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah
dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.

1.4 Kewajiban Pajak Subjektif


Pajak Penghasilan adalah jenis pajak subjektif di mana pengenaan pajaknya lebih
melihat subjeknya dulu daripada objeknya. Coba kita tengok Pasal 1 UU Pajak Penghasilan,
yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Penekanannya yang pertama
adalah subyek pajak, baru kemudian obyeknya yaitu penghasilan. Urutan pasal-pasal dalam
UU Pajak Penghasilan juga menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif.
Ketentuan mengenai subyek pajak diatur lebih dulu di Pasal 2, 2A dan Pasal 3. Baru
kemudian diatur mengenai objeknya di Pasal 4.

4
Sehubungan dengan subyek pajak ini, dalam Pajak Penghasilan dikenal istilah Kewajiban
Pajak Subjektif. Istilah ini mengandung arti bahwa seseorang, sesuatu atau badan sudah
memenuhi syarat untuk dikenakan Pajak Penghasilan dilihat dari sudut subyeknya. Apabila
subyek pajak ini menerima atau memperoleh penghasilan, maka ia dapat dikenakan Pajak
Penghasilan.
Tetapi sebaliknya, apabila sesuatu, seseorang atau badan tidak memenuhi syarat
kewajiban pajak subjektif, maka walaupun ia memiliki penghasilan, ia tidak dapat dikenakan
Pajak Penghasilan berdasarkan UU Pajak Penghasilan.Jadi, kewajiban pajak subjektif ini
sangat penting maknanya dalam Pajak Penghasilan karena merupakan entry point dalam
pengenaan Pajak Penghasilan. Dengan demikian, kapan seseorang, sesuatu atau badan mulai
memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif adalah sangat penting dalam Pajak Penghasilan.
Begitu juga dengan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. 

Mulai dan Akhir Kewajiban Pajak Subjektif 

Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan tempat di Pasal 2A yang khusus


mengatur kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. Selengkapnya, saat mulai
dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut : 

a. Untuk subjek pajak orang pribadi dalam negeri :


dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat
tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya. 
b. Untuk subjek pajak badan dalam negeri :
dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan
berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. 
c. Untuk subjek pajak luar negeri berupa BUT :
dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap. 
d. Untuk subjek pajak luar negeri non BUT :
dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut. 

Kewajiab Pajak Subjektif dan PTKP 

Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik setiap tahun. Jangka waktu
pengenaan Pajak Penghasilan ini dinamakan tahun pajak sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 1 UU PPh. Tahun pajak ini pada umumnya adalah tahun takwim mulai dari 1 Januari
sampai dengan 31 Desember. Nah, jika kewajiban pajak subjektif bermula atau berakhir di
pertengahan akhir pajak, maka pengenaan pajak ini tidak utuh dalam satu tahun pajak tetapi
dalam bagian tahun pajak. Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, pengenaan Pajak
Penghasilan dalam bagian tahun pajak ini tidak menimbulkan masalah dalam perhitungan
pajaknya. Namun tidak demikian dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri karena
ada unsur Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Hak untuk mendapatkan PTKP dikaitkan dengan kewajiban pajak subjektif. Jika
seseorang kewajiban pajak subjektifnya meliputi satu tahun penuh, maka PTKP nya pun satu
tahun penuh. Apabila, kewajiban pajak subjektifnya misalnya cuma dua bulan, maka ia
berhak atas PTKP dua bulan. Dari konsep ini lahir istilah PPh terutang disetahunkan dalam

5
perhitungan PPh Pasal 21 dalam kasus orang luar negeri yang baru berada di Indonesia pada
pertengahan tahun atau orang yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya pada
pertengahan tahun. Begitu juga dalam kasus orang yang meninggal dunia. 

1.5 Cara menghitung pajak penghasilan


1. Hitung penghasilan kotor selama setahun, meliputi gaji pokok ditambah tunjangan.
2. Hitung penghasilan bersih, caranya kurangi penghasilan kotor dengan iuran atau biaya
lainnya.
3. Hitung PTKP sesuai kategori status perkawinan dan jumlah tanggungan.
4. Hitung PKP, caranya kurangi penghasilan bersih dengan PTKP.
5. Hitung pajak penghasilan, caranya kalikan PKP dengan tarif PPh yang berlaku.

Contoh cara menghitung PPh


contoh kasus :

Budi dan Fahru sama-sama bekerja di perusahaan A. Mereka memiliki jobdesc dan
penghasilan yang sama, yaitu sebesar Rp 10 juta per bulan tanpa tunjangan tambahan. 

Keduanya juga sama-sama harus membayar iuran pensiun sebesar Rp 250 ribu per bulan
yang langsung dipotong dari gaji. 

Perbedaan antara keduanya adalah Budi sudah menikah dan memiliki dua orang anak,
sementara Fahru masih melajang. 

Dari informasi tersebut, perhitungan pajak Budi dan Fahru adalah sebagai berikut:

1. Fahru (belum kawin/ TK)

 Penghasilan kotor = Rp 120 juta per tahun


 
 Penghasilan bersih = penghasilan kotor - iuran tahunan
Penghasilan bersih = 120.000.000 - (250.000 x 12 bulan) = Rp 117 juta
 
 PTKP TK = Rp 54 juta per tahun
 
 Penghasilan kena pajak = penghasilan bersih - PTKP
Penghasilan kena pajak = 117.000.000 - 54.000.000 = Rp 63 juta
 
 Tarif PPh 21 untuk penghasilan Rp 63 juta adalah 15 persen, dengan rincian:
-  5%x Rp 50.000.000 = Rp 2,5 juta
- 15% x Rp 13.000.000 = Rp 1,95 juta

Total pajak penghasilan adalah Rp 2,5 juta + Rp 1,95 juta = Rp 4,45 juta per tahun
atau Rp 370.833 per bulan.

6
2. Budi (kawin dengan dua anak/ K2)

 Penghasilan kotor = Rp 120 juta per tahun


 
 Penghasilan bersih = penghasilan kotor - iuran tahunan
Penghasilan bersih = 120.000.000 - (250.000 x 12 bulan) = Rp 117 juta
 
 PTKP K2 = Rp 67,5 juta per tahun
 
 Penghasilan kena pajak = penghasilan bersih - PTKP
Penghasilan kena pajak = 117.000.000 - 67.500.000 = Rp 49,5 juta
 
 Tarif PPh 21 untuk penghasilan Rp 49,5 juta adalah 5 persen. Rinciannya:
Pajak penghasilan = penghasilan kena pajak x tarif PPh 21
Pajak penghasilan = 49.500.000 juta x 5% = Rp 2,475 juta per tahun atau Rp
206.250 per bulan

Dari contoh di atas, diketahui bahwa PPh yang harus dibayar Fahru sebesar Rp 4,45
juta per tahun, sementara Budi hanya membayar Rp 2,475 juta per tahun. Dengan kata
lain, meskipun memiliki penghasilan yang sama, status perkawinan dan jumlah
tanggungan bisa membuat beban pajak penghasilan jauh berbeda. 

1.6 Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak


Pada dasarnya setiap Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) maupun Wajib Pajak Badan
(WP  Badan) memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran dan penyetoran pajak
terutang. Wajib Pajak (WP) perlu mengetahui tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak agar dalam pelaksanaannya tepat pada waktunya. Jika pembayaran dan
penyetoran pajak tidak tepat pada waktunya, dapat mengakibatkan WP dikenakan sanksi atas
keterlambatan pembayaran dan penyetoran pajak. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap
jenis pajak mempunyai tanggal jatuh tempo yang berbeda-beda, tidak menutup kemungkinan
adanya WP yang keliru dalam menetapkan tanggal jatuh tempo, misalnya tanggal jatuh
tempo penyetoran PPh Pasal 21 menurut WP adalah tanggal 15 bulan berikutnya, seharusnya
tanggal jatuh tempo penyetoran tersebut adalah tanggal 10 bulan berikutnya. Sebagian WP
juga masih bingung apakah hari libur mengakibatkan pembayaran dan penyetoran pajak
dipercepat atau ditunda ke hari berikutnya. Oleh karena itu, mengetahui tanggal jatuh tempo
sangat penting bagi WP agar terhindar dari sanksi atas keterlambatan pembayaran dan
penyetoran pajak terutang.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 bahwa setiap WP wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Definisi jatuh tempo menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah batas waktu
pembayaran atau penerimaan sesuatu dengan yang telah ditetapkan; sudah lewat waktunya;
kedaluwarsa. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU KUP yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan

7
Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah terakhir diubah dalam PMK
Nomor 80/PMK.03/2010 bahwa pembayaran dan penyetoran pajak mempunyai batas tanggal
jatuh tempo. Berikut ini adalah tabel batas jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
untuk berbagai jenis pajak :

Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PMK No.184/PMK.03/2007 sebagaimana tetal terakhir


diubah dalam PMK No.80/PMK.03/2010 bahwa apabila dalam hal tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari

8
libur nasional (termasuk penyelengara Pemilihan Umum dan cuti bersama), pembayaran dan
penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

1.7 Sanksi Pidana


Sanksi pidana bidang perpajakan terdiri dari tiga, yakni denda, pidana dan kurungan.

Berikut ini tabel yang merinci mengenai sanksi pidana perpajakan.

No Peraturan Tentang Jenis Sanksi


Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. Tidak menyampaikan SPT Pidana kurungan paling sedikit 3
b. Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak bulan/paling lama 1 tahun atau
denda paling sedikit 1 kali jumlah
UU KUP 2007 Pasal 38 ayat benar atau tidak lengkap atau
1 melampirkan keterangan yang isinya pajak terutang yang tidak/kurang
(1)
benar sehingga dapat menimbulkan dibayardan paling banyak 2 kali
kerugian pada pendapatan negara dan jumlah pajak terutang yang tidak
perbuatan tersebut merupakan perbuatan atau kurang dibayar
setelah perbuatan yang pertama kali.
    Setiap orang dengan sengaja:  
a. Tidak mendaftarkan diri untuk
diberikan NPWP atau tidak
     
mendaftarkan usaha untuk dikukuhkan
sebagai PKP
b. Menyalahgunakan/menggunakan
     
tanpa hak NPWP/PKP
    c. Tidak menyampaikan SPT  
d. Menyampaikan SPT dan/atau SPT
     
tidak lengkap
    e. Menolak dilakukan pemeriksaan  
Penjara paling singkat 6 tahun dan
f. Memperlihatkan pembukuan,
denda paling sedikit 2 kali jumlah
pencatatan, atau dokumen lain yang
UU KUP 2007 Pasal 39 ayat pajak terutang yang tidak atau
2 palsu/dipalsukan seolah-olah benar atau
(1) kurang dibayar dan paling banyak 4
tidak menggambarkan keadaan yang
kali jumlah pajak terutang yang
sebenarnya
tidak/kurang dibayar
g. Tidak menyelenggarakan
pembukuan/pencatatan di Indonesia,
     
tidak meminjamkan buku,
catatan/dokumen lain
h. Tidak menyimpan buku,
catatan/dokumen yang menjadi dasar
pembukuan/catatan dan dokumen lain
    termasuk hasil pengolahan data dari  
pembukuan yang dikelola secara
elektronik/diselenggarakan secara
program aplikasi online di Indonesia
i. Tidak menyetorkan pajak yang telah
dipotong/dipungut sehingga
     
menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara

9
Pidana penjara paling singkat 6
tahun dan denda paling sedikit 2
kali jumlah pajak terutang yang
Seseorang melakukan lagi tindak pidana
tidak atau kurang dibayar dan
UU KUP 2007 Pasal 39 ayat di bidang perpajakan sebelum lewat 1
3 paling banyak 4 kali jumlah pajak
(2) tahun terhitung sejak selesainya
terutang yang tidak/kurang dibayar
menjalani pidana yang dijatuhkan
dan sanksi tersebut akan
ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali
sanksi pidana
Pidana kurungan paling singkat 6
bulan/paling lama 2 tahun atau
Sesuatu yang diketahui/diberitahukan
denda paling sedikit 2 kali jumlah
kepadanya oleh WP Dalam rangka
restitusi yang dimohonkan
UU KUP 2007 Pasal 39 ayat jabatan/pekerjaannya untuk menjalankan
4 dan/kompensasi atau pengkreditan
(3) ketentuan per UU Perpajakan
yang dilakukan dan paling banyak 4
dan/keterangan yang isinya tidak
kali jumlah restitusi yang
benar/tidak lengkap
dimohonkan dan/kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan
    Setiap orang dengan sengaja:  
    Pidana penjara paling singkat 2
tahun dan paling lama 6 tahun serta
5 UU KUP 2007 Pasal 39A a. Menerbitkan, menggunakan faktur pajak, denda paling sedikit 2 kali jumlah
bukti potong, bukti setoran pajak yang tidak pajak dalam faktur pajak, bukti
berdasarkan yang sebenarnya pemungutan pajak, pemotongan
pajak dan/atau bukti setoran pajak
b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dan paling banyak 6 kali jumlah
dikukuhkan sebagai PKP pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, pemotongan
pajak dan/atau bukti setoran pajak
       

Pejabat yang karena kealpaannya tidak


memenuhi kewajiban merahasiakan
segala sesuatu yang
Pidana kurungan paling lama 1
UU KUP 2007 Pasal 41 ayat diketahui/diberitahukan kepadanya oleh
6 tahun dan denda paling banyak Rp
(1) WP dalam rangka jabatan/pekerjaannya
25 Juta
untuk menjalankan ketentuan per UU
perpajakan, atas pengaduan orang yang
kerahasiaannya dilanggar

Pejabat yang dengan sengaja tidak


memenuhi kewajiban merahasiakan
segala sesuatu yang
Pidana kurungan paling lama 2
UU KUP 2007 Pasal 41 ayat diketahui/diberitahukan kepadanya oleh
7 tahun dan denda paling banyak 50
(2) WP dalam rangka jabatan/pekerjaannya
Juta
untuk menjalankan ketentuan per UU
perpajakan, atas pengaduan orang yang
kerahasiaannya dilanggar
Setiap orang yang wajib memberikan
keterangan/bukti yang diminta oleh
Direktur Jenderal Pajak pada saat
Pidana kurungan paling lama 1
melakukan pemeriksaan pajak,
8 UU KUP 2007 Pasal 41A tahun dan denda paling banyak Rp
penagihan pajak/penyidikan tindak
25 Juta
pidana dibidang perpajakan tetapi
dengan sengaja tidak memberi
keterangan/bukti yang tidak benar

10
Setiap orang yang dengan sengaja
menyebabkan tidak terpenuhinya
kewajiban pejabat dan pihak lain dalam
Pidana kurungan paling lama 3
merahaiakan segala sesuatu yang
9 UU KUP 2007 Pasal 41B tahun atau denda paling banyak 75
diketahui/diberitahukan kepadanya oleh
juta
WP dalam rangka jabatan/pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan
per UU perpajakan
Setiap orang yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban merahasiakan
segala sesuatu yang Pidana kurungan paling lama 1
UU KUP 2007 Pasal 41C
10 diketahui/diberitahukan kepadanya oleh tahun dan denda paling banyak 1
ayat (1)
WP dalam rangka jabatan/pekerjaannya milyar
untuk menjalankan ketentuan peraturan
per UU perpajakan
Setiap orang yang dengan sengaja tidak
terpenuhi kewajiban pejabat dan pihak
lain dalam merahasiakan segala sesuatu
UU KUP 2007 Pasal 41C
11 yang diketahui/diberitahukan kepadanya
ayat (2)
oleh WP dalam rangka Pidana kurungan paling lama 10
jabatan/pekerjaannya untuk menjalankan bulan dan/atau denda paling banyak
ketentuan per UU perpajakan 800 juta
Setiap orang yang dengan sengaja tidak
memberikan data dan informasi yang
UU KUP 2007 Pasal 41C
12 diminta oleh Direktur Jenderal Pajak
ayat (3)
dalam menghimpun data dan informasi
untuk kepentingan penerimaan negara  
Setiap orang yang dengan sengaja
Pidana kurungan paling lama 1
UU KUP 2007 Pasal 41C menyalahgunakan data dan informasi
13 tahun dan/atau denda paling banyak
ayat (4) perpajakan sehingga menimbulkan
500 juta
kerugian bagi negara

1.8 Pengurangan penghasilan ( Biaya )

Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam dua
golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu tahun
dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Beban yang mempunyai masa
manfaat tidak lebih dari satu tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya
gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya.

Adapun pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu,
apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih
kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Berikut
penjelasaan lebih lengkap mengenai biaya-biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan
bruto.

11
1. Biaya yang Secara Langsung atau Tidak Langsung Berkaitan dengan Kegiatan
Usaha

Biaya-biaya ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun
pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut
harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Biaya-biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
usaha tersebut antara lain:

 biaya pembelian bahan;


 biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
 bunga, sewa, dan royalti;
 biaya perjalanan;
 biaya pengolahan limbah;
 premi asuransi;
 biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK);
 biaya administrasi; dan
 pajak kecuali PPh;

Untuk biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak
boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran
untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang
dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk
kepentingan pribadi, juga tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Namun, pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya
boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Adapun bagi pegawai yang bersangkutan,
premi tersebut merupakan penghasilan.

Perlu dicatat, pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh


dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang (benefit in cash).
Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind),
misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai
biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Kemudian, pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang
yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran
tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran

12
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Hal ini diatur lebih lanjut dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.

Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan.
Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang
penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan PMK No. 02/PMK.03/2010. Adapun
pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain PPh,
misalnya pajak bumi dan bangunan (PBB), bea meterai (BM), pajak hotel, dan pajak
restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.

2. Biaya Penyusutan dan Amortisasi


Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Hal ini diatur lebih lanjut dalam
Pasal 11 (penyusutan) dan Pasal 11A (amortisasi) UU PPh. Penyusutan dilakukan atas
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi dilakukan atas
pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan biaya lain.
Selain itu, sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan
terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan secara alokasi
atau sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap
penghasilan. Contohnya, pada April 2019 wajib pajak menyewa sebuah kantor untuk
jangka waktu 5 tahun sebesar Rp600 juta. Maka biaya sewa tahun 2019 hanya sebesar
Rp600 juta x (9 bulan/60 bulan) atau sebesar Rp90 juta saja.
Secara garis besar, metode untuk penyusutan dan amortisasi untuk keperluan pajak
adalah sebagai berikut:

 metode garis lurus (straight line method), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang
sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut; dan
 metode saldo menurun (double declining method), yaitu dilakukan dalam bagian-
bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.

UU PPh juga mengatur besaran tarif yang berlaku untuk penyusutan dan amortitasi
tergantung dari kelompok aktiva.

13
Tabel 1 - Tarif Penyusutan

Tabel 2 - Tarif Amortisasi

Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar biasa, seperti kebakaran atau banjir, maka
aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya, nilai buku yang ada langsung dibiayakan.
Sebaliknya, jika aktiva itu dijual maka harga jualnya merupakan penghasilan bagi wajib
pajak. Selain itu, apabila wajib pajak mendapat penggantian asuransi kerugian maka
penggantian asuransi tersebut juga merupakan penghasilan.

3. Iuran kepada Dana Pensiun yang Pendiriannya telah Disahkan oleh Menteri
Keuangan
Pengeluran iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada
dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.

4. Kerugian atas Penjualan atau Pengalihan Aset


Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak
dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan

14
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sementara kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang
dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

5. Kerugian Selisih Kurs Mata Uang Asing


Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang dilakukan di Indonesia.

6. Biaya Penelitian dan Pengembangan


Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam
jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan
perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Biaya penelitian dan
pengembangan di luar Indonesia tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.

7. Biaya Beasiswa, Magang, dan Pelatihan


Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam
rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan
sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.

8. Piutang Tak Tertagih


Tidak semua piutang macet boleh dibiayakan. Istilah yang digunakan oleh UU PPh
adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang
usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya
penagihan yang maksimal atau terakhir oleh wajib pajak. Persyaratan lebih lanjut tentang
persyaratan piutang macet ini diatur dengan PMK No. 207/PMK.010/2015 tentang
Perubahan Kedua atas PMK No. 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata
Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Berdasarkan PMK
207/2015, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai
pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan berikut:

 telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;


 wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak berbentuk hard copy dan soft copy; dan
 piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:
o telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara;
o terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
tersebut;
o telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
o adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk
jumlah utang tertentu.

15
Persyaratan telah dipublikasi dalam penerbitan umum atau khusus tidak berlaku untuk
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil
lainnya.

9. Biaya Sumbangan
Pada prinsipnya, pengeluaran sumbangan tidak dapat dibiayakan atau tidak dapat
mengurangi penghasilan bruto. Namun, UU PPh mengecualikan lima jenis sumbangan
yang dapat dibiayakan. Kelima sumbangan yang dimaksud adalah:

 sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan


sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui
badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui
lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang
untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
 sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan
untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia
yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
 sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas
pendidikan yang disampaikan melalui lembaga Pendidikan;
 sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk
membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi
cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah
raga; dan
 biaya pembangunan infrastruktur sosial yang merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan
bersifat nirlaba.

Kemudian, PMK No. 76/PMK.03/2011 mengatur lebih detail terkait syarat-syarat


pengeluaran sumbangan yang dapat dibiayakan, yaitu:

 wajib pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan surat pemberitahuan


(SPT) tahunan PPh tahun pajak sebelumnya;
 pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada tahun pajak
sumbangan diberikan;
 didukung oleh bukti yang sah;
 lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, (NPWP) kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana
diatur dalam UU PPh;
 besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk satu tahun dibatasi tidak melebihi 5%
dari penghasilan neto fiskal tahun pajak sebelumnya; dan
 pemberi dan penerima tidak memiliki hubungan istimewa.

Selain persyaratan di atas, PMK 76/ 2011 juga mengatur nilai sumbangan, tata cara
pencatatan dan pelaporan biaya sumbangan.

16
10. Sumbangan Keagamaan
Menurut Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh, zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila memenuhi
persyaratan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010
dan PMK No. 254/PMK.03/2010.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

 zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan/atau oleh wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
 sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama selain agama Islam dan/ atau oleh wajib pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia
yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah.
 badan amil zakat atau lembaga amil zakat adalah badan atau lembaga yang
dibentuk berdasarkan UU yang mengatur tentang pengelolaan zakat dan
perubahannya.
 zakat atau sumbangan keagamaan berupa uang atau yang disetarakan dengan
uang. Yang disetarakan dengan uang adalah zakat atau sumbangan keagamaan
yang diberikan dalam bentuk selain uang yang dinilai dengan harga pasar pada
saat dibayarkan.
 zakat atau sumbangan keagamaan harus didukung oleh bukti-bukti yang sah yang
diterbitkan oleh lembaga yang disahkan oleh Pemerintah. Jika dikeluarkan oleh
lembaga yang belum disahkan, maka tidak boleh dibiayakan.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 05/PJ/2019 ditetapkan lembaga-lembaga


keagamaan penerima sumbangan atau zakat yang dapat pengeluarannya dapat
dibiayakan secara fiskal.

11. Kompensasi Kerugian


Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan di atas dikurangkan dari
penghasilan bruto dan didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan neto atau laba fiskal selama lima tahun berturut-turut dimulai sejak tahun
berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Contoh :
PT A dalam tahun 2015 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1,2 miliar. Dalam lima tahun
berikutnya laba rugi fiskal PT A adalah sebagai berikut:

2016: laba fiskal Rp200 juta

2017: rugi fiskal (Rp300 juta)

2018: laba fiskal Rp Nihil

2019: laba fiskal Rp100 juta

2020: laba fiskal Rp800 juta

17
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut (dalam juta rupiah):

Rugi fiskal tahun 2015 sebesar Rp100 juta yang masih tersisa pada akhir tahun 2020
tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2021, sedangkan rugi fiskal tahun
2017 sebesar Rp300 juta hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2021 dan
tahun 2022, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2017 berakhir pada
akhir tahun 2022.

18
KESIMPULAN

Pajak Penghasilan adalah Angsuran Pajak Penghasilan yang dipungut pemerintah pusat dan
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun berjalan sesuai dengan
peraturan perpajakan. O b j e k penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan


dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.

19
DAFTAR PUSTAKA:

Buku pajak penghasilan, Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pajak
pdf.
http://finance.detik.com/read/2009/11/09/085934/1237796/690/seputar-sistem-pemungutan-
pajak-indonesia
http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=13769
http://www.leutikaprio.com/produk/110228/modul_ajar/1108239/panduan_praktis_pemotong
an_dan_pemungutan_pajak_penghasilan/1102195/dudi_wahyudi_ak_mm
http://masalahpajak.blogspot.com/2007/11/pembayaran-pemotonganpemungutan-dan.html

20

Anda mungkin juga menyukai