Anda di halaman 1dari 251

NABI BARU ATAU

PENJAHAT ROHANI?
Kumpulan Resensi
Film Denny JA
DAFTAR ISI:

Pengantar Penulis:
Hidup Berkali-Kali melalui Film – Denny JA | I

Resensi Pembuka: Nabi Baru Atau Penjahat Rohani?


(Review 6 Seri Film Dokumenter: The Wild-Wild Country) | Ix

1. FILM KISAH NYATA

Semakin Bersahabat, Perbedaan Politik Semakin Tak Jadi


Soal
(Review Film The Green Book, Pemenang Globe Award 2019 untuk Film
Terbaik Musikal Atau Komedi) | 1
Cinta Tak Biasa Seorang Super Star
(Review Film Bohemian Rhapsody, 2018) | 7
Janji Seorang Tentara yang Menjadi Drama
(Review Film: Ayla, The Daughter Of War, 2017) | 13
Apa yang Kita Butuhkan dari Pemimpin?
(Review Film Darkest Hours, Nominasi Film Terbaik Oscar 2018) | 21
Ketika Pemilik Koran Besar Berteman dengan Politisi
Berpengaruh
(Review Film The Post, Nominasi Film Terbaik Oscar 2018) | 29
Ketika Cinta Melawan Pemerintahan
Review Film A United Kingdom (2016) | 37
Mencegah Bercampurnya Etnis
Review Film Rabbit Proof Fence (2002) | 45
Drama Politik Sebuah Lukisan
Review Film Woman In Gold (2015) | 53
Di Balik Layar Penulis Besar
Review Film Genius (2016) | 61
Spirit yang Mengalahkan Takdir?
Review Film Spare Parts (2015) | 67
Permintaan yang Tak Biasa
Review Film Session (2012) | 77
Rasa Pilu yang Lahirkan Karya Besar
Review Film Ray (2004) | 85
Karya yang Bertumpu Pada Kaki Kiri
Review Film My Left Foot (1989) | 93
Api Dalam Tubuh yang Lumpuh
Review Film The Diving Bell And Butterfly (2007) | 101
Pernikahan yang Mengubah Sejarah
Review Film Loving (2016) | 107
Che Guevara di Atas Motor
Review Film Motorcycle Diary (2004) | 115
Hidup di Luar Peradaban
Review Film Into The Wild (2007) | 123
“Kamu Jenius, Tapi Pribadimu Rusak”
Review Film Steve Jobs (2015) | 131
Suara Anaknya yang Mati Dibunuh Terus Memanggil
Review Film The Revenant (2015) | 135
Mungkinkah Pastor Menikah Suatu Ketika?
Review Film Spotlight (2015) | 141
Mimpi Tentang Tuhan dan Karl Marx Selalu
Menghantuinya
Review Film Persepolis (2007) | 145

2. FILM KISAH FIKSI

Ketika Keluarga Superkaya Berurusan Dengan Cinta


(Review Film Crazy Rich Asian, 2018) | 151
Trauma yang Meretakkan Asmara
Review Film Salesman (2016) | 159
Cinta yang Tumbuh Di Lumpur
Review Film Moonlight (2016) | 165
Harus Tetap Ada Cahaya
Review Film The Fences (2016) | 169
Menegakkan Keadilan 150 Tahun Lalu
Review Film The Hateful Eight (2015) | 175
Seberapa Lama Memori pada Mantan Kekasih Bertahan?
Review Film 45 Years (2015) | 179

3. SERIAL TV
Ekplorasi Jiwa Manusia Melalui Drama Kekuasaan
Review 65 Serial House Of Cards (1) | 185
Semakin Kau Efektif sebagai Pemimpin, Semakin Kau
Kurang Manusiawi
Review 65 Serial House Of Cards (2) | 189
Cinta yang Terselip di Pinggir Kekuasaan
Review 65 Serial House Of Cards (3) | 193
Selalu Ada Kejutan dalam Kekuasaan, Juga dalam
Cinta
Review 65 Seri House Of Cards (4) | 197
Berbagi Kekuasaan, dan Juga Berbagi Cinta
Review 65 Serial House Of Cards (5) | 203
Wanita Di Balik Lelaki yang Berbahaya
Review 65 Serial House Of Cards (6) | 209

4. FILM INDONESIA

Pemimpin yang Membangun Peradaban


Review Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta | 217
Jika Pemerintah Membuat Film Baru Soal G 30 S/ Pki
| 225
Janji Cinta Seorang Aktivis
Review Film Surat Dari Praha (2016) | 231
Bunga Penutup Abad
Review Teater
(Dengan Tulisannya, Sang Pemula, Ikut Mengawali Kebangkitan Indonesia) | 235
Ketika Terorisme Mencari Target yang Mudah
Review Film 22 Menit (2016) | 241
Tentang Penulis
| 247
NABI BARU ATAU

PENJAHAT ROHANI?
Kumpulan Resensi
Film Denny JA
Pengantar Penulis

Hidup Berkali-Kali Melalui Film

Jika kau ingin hidup berkali-kali, dengan pribadi yang berbeda


dan pengalaman yang beragam, tonton dan hayatilah banyak
film. Alami dalam imajinasi dan renungkan aneka kisahnya
seolah dirimu hidup di dalamnya.

Demikianlah sabda dari Robert Altman, seorang raksasa


film maker yang mendedikasikan hidup pada dunia film.

Saya pribadi merasakan benarnya kutipan itu. Sejak


kelas dua SMA, saya menjadi kutu buku, dan senang
berjumpa dengan begitu banyak jenis manusia.
Kegiatan ini sudah saya lakukan sampai 2017: 40 tahun.

Namun sejak tahun 2007, 10 tahun lalu, saya sangat


hobi mengoleksi dan menonton film. Ternyata
pengalaman menonton banyak film selama 10 tahun
jauh lebih banyak mengajarkan saya soal hidup
dibandingkan 40 tahun pengalaman membaca ribuan
buku dan jumpa ratusan manusia.

Dengan menonton film yang bagus, seolah saya


mengalami peristiwa yang lain, menyelam, masuk ke
dalam film. Saya berinteraksi dengan aneka peran di
film itu, merasakan kisah kedalaman atau kepalsuan
cinta, perjuangan, persahabatan, sukses, atau
kegagalan, pengkhianatan, dan tragedi yang disajikan.

Film selesai, keluar pula saya dari film itu, namun


dengan pribadi yang sudah diperkaya oleh peristiwa
orang lain. Pengalaman kisah sepenggal waktu, atau
mungkin puluhan tahun aneka peran di film itu sampai
ke saya hanya dalam waktu 90-180 menit, sesuai
dengan durasi film.

Menonton film lain, kembali saya masuk ke sana


berjumpa dengan pengalaman yang berbeda, sesuai
dengan tokoh utama dan perannya. Menonton ratusan
film, bagi saya sama dengan hidup ratusan kali dengan
dunia yang beragam. Kadang saya seolah hidup dengan
peran dan waktu yang mustahil saya jangkau di dunia
saya yang nyata, kini dan di sini.

Misalnya ketika menonton film Rabbit Proof Fence


(2002). Seolah saya masuk ke tahun 1940an, menjadi
saksi dua gadis cilik campuran suku Aborigin dan kulit
putih, yang kabur lari ribuan kilometer. Seolah dua gadis
itu bercerita kepada saya tentang hidupnya yang celaka,
hanya karena separuh kulit putih separuh Aborigin.
Mereka diburu untuk masuk camp agar dididik kembali
menjadi murni kulit putih.

Jelaslah mustahil saya mengalami dialog dengan dua


gadis Aborigin tahun 1940an dalam kondisi saya hidup
di era hak asasi manusia 2017.

Sejak 2007, ada harta yang sangat saya banggakan.


Kepada banyak teman dekat, saya bercerita. Harta itu
koleksi lebih dari 1000 film yang disimpan dalam sebuah
software.

Dibantu oleh seorang programmer, selama 6 bulan,


saya mendapatkan semua film yang menang Festival
Film Oscar sejak tahun pertama, Festival Film Cannes
sejak tahun pertama, Festival Film Berlin sejak tahun
pertama.
Koleksi ditambah lagi oleh 100 film terbaik sepanjang
sejarah pilihan AFI (American Film Institute) baik untuk
kategori umum, ataupun yang dibagi lagi ke dalam
aneka genre.

Diperkaya dan diupdate lagi koleksi saya setiap tahun


oleh top 100 movie of the year pilihan para kritikus di
Rotten Tomatoes. Di kantor dan di rumah, sayapun
membuat bioskop mini untuk menikmatinya.

Setiap minggu saya menonton 3-10 film, tergantung


kegiatan lain. Teman yang tahu keasyikan saya soal film
mengatakan, konsultan politik atau bisnis adalah
pekerjaan sampingan saya. Tapi pekerjaan utama saya
menonton film.

Namun tak semua film yang saya tonton menggerakkan


tangan untuk menuliskan kesan. Kesadaran menulis
baru muncul kembali empat tahun belakangan ini,
setelah saya hijrah ke dunia bisnis dan konsultan politik.

Ketika mereview film, tak pula saya membahas


teknikalitis soal aneka pandangan sinematografis. Saya
tidak mereview film dengan aneka teori akademik
seperti yang ada dalam buku Signs and Meaning in
Cinema karya Peter Wollen misalnya. Atau seperti buku
Hitchcook’s Film karya Robin Wood.

Saya memilih mencari gagasan utama film itu yang


inspiratif, atau informatif. Yaitu gagasan yang
bersentuhan dengan drama manusia, perubahan
karakter atau sisi perjuangan yang membuat kita
merenung tentang hal ihwal soal hidup yang tak kunjung
selesai.
Separuh dari review yang dimuat di buku ini film kisah
sejati. Drama konkret manusia dipindahkan ke layar
lebar.

Bagaimana misalnya kisah cinta yang begitu


diperjuangkan melawan resistensi keluarga besar, dan
masyarakat. Namun kisah cinta itu akhirnya mengubah
sistem pemerintahan (A United Kingdom).

Atau kisah cinta yang membuat mereka masuk penjara


karena itu terjadi antara kulit putih dan kulit hitam di satu
masa. Namun mereka bersikeras mempertahankan
cinta itu. Mereka melawan hukum yang tak adil hingga
ke tingkat Mahkamah Agung. Upaya mereka dengan
aneka penderitaan akhirnya mengubah hukum nasional
sebuah negara (Loving).

Ada pula kisah sejati soal keterbatasan fisik (disabel).


Pribadi yang besar tak terhalangi oleh keterbatasan fisik
meraih puncak (Ray, My Left Foot, The Diving Bell and
Butterfly).

Bagaimana Ray Charles menjadi buta mata sejak kecil.


Lalu ia kembangkan daya dengar telinga dan
kemampuan menyanyi. Sepanjang karirnya, ia berjumpa
pengusaha yang acapkali menipu dirinya dan
memanfaatkan matanya yang buta.

Sejak kecil ia selalu ingat ibu yang mendidiknya secara


keras: jangan pernah kau berharap belas kasihan orang
lain karena kau buta. Kau harus berjuang untuk dirimu
sendiri. Ia bahkan berjuang mengalahkan kecanduan
narkoba, pelariannya dari dunia nyata. Kini Ray Charles
tercatat sebagai penyanyi paling berpengaruh nomor 2
dalam sejarah.
Atau film dari serial TV: House of Cards. Saya menonton
65 serialnya yang menghabiskan waktu 60 jam. Ketika
menonton film ini saya mengalami flow: lupa waktu,
hilang intens dalam tontonan.

Dari serial film House of Cards, saya tuliskan enam


serial kisah perjuangan suami istri menggapai puncak
kekuasaan di White House. Menonton 65 serial ini
bahkan mengajarkan saya soal politik lebih dalam dan
hidup dibandingkan sekolah Ph. D saya di Amerika
Serikat bidang political science.

Itulah hebatnya film yang bagus.

Saya memang merencanakan ingin menerbitkan buku


review film. Tapi saya menunggu lebih banyak lagi film
yang sudah direview. Juga saya perlu menyusun review
atas pilihan film secara lebih sistematis dan kategoris.

Namun era digital ini memungkinkan kita menerbitkan


buku dengan konsep tumbuh melalui eBook. Tak apa
buku diterbitkan berdasarkan apa yang ada dulu. Ketika
ada bahan tambahan, bahan itu tinggal dicangkokkan
saja ke dalam buku, dengan mengeditnya kembali
secara digital.

Selama bukunya dalam bentuk eBook, mudah saja


menerbitkan buku dengan konsep buku tumbuh. Ini
analog dengan rumah tumbuh, rumah yang sudah kita
siapkan desain akhirnya. Tapi kita sudah bisa
membangun dan tinggal di rumah itu yang baru
dibangun sebagian saja dulu.

Sampai hari ini sudah menjadi habit saya untuk selalu


menonton film. Berpindahnya bioskop dari mall ke
internet sungguh menjadi peristiwa besar. Aneka film
baru yang belum muncul di bioskop sudah bisa ditonton
di internet.

List 5 film terbaik nominasi Oscar yang terbaru misalnya.


Tak satupun dari nominasi itu yang sudah masuk ke
Indonesia. Tapi saya sudah menonton semuanya
melalui internet.

Bukan kepuasan menonton film terbaru itu benar yang


menggugah saya. Tapi film itu membuat saya seolah
melakukan perjalanan batin masuk ke dalam suasana
dan peristiwa di film itu. Batin saya sungguh diperkaya.
Kadang sambil menonton film, sendirian saya tertawa,
marah, terdiam, tercekam, dan teteskan air mata.

Saya teringat ucapan Richard Nixon ketika ia berkata:


“Jika anda ingin mendalami politik, jangan baca buku
ilmu politik, tapi bacalah agama, filsafat, dan sastra.”

Berdasarkan pengalaman pribadi, kutipan Nixon itu


perlu direvisi dan diperluas. Jika anda ingin mendalami
jiwa dan karakter manusia, tontonlah film yang bagus.
Merenunglah dan hiduplah seolah anda ikut terlibat
dalam peristiwa di film itu.

Juni 2019

Denny JA
Nabi Baru Atau Penjahat Rohani?

Review 6 Seri Film Dokumenter: The Wild-Wild


Country, Neflix, 2018, total 6-7 Jam

Di mata pengikut, Osho atau Baghwan Shree Rajneesh


itu nabi baru. Ia guru spiritual yang membebaskan
mereka dari peradaban lama yang tengah membusuk. Ia
membawa filosofi pada kebahagiaan yang lebih sejati,
lebih tinggi.

Tak kurang dari penulis dari Barat seperti Judith M Fox.


Ia menganggap Osho atau Rajneesh sebagai satu dari
10 Tokoh India yang paling berpengaruh mengubah
dunia, bersama Siddharta Gautama dan Mahatma
Gandhi. Pemikiran Rajneesh membawa spirit bebas
untuk lepas dari formalisme dan kotak-kotak agama.

Filsuf Jerman Peter Sloterdijk menganggap Rajneesh


semacam Wittgeinstein bagi Agama. Rajneesh adalah
satu dari pemikir terbesar abad 20. Rajneesh dianggap
melakukan dekonstruksi, atau membongkar
conventional wisdom, apa yang selama ini dianggap
benar, akibat mendalamnya pengaruh ribuan tahun
agama besar.

Namun di mata mereka yang antipati, Osho itu penjahat


rohani. Ia guru seks bebas. Ia guru yang materialistik,
bangga dengan 69 mobil Rolls Royce. Bahkan ia
kriminal. Tempat yang pantas baginya tak lain neraka
jahanam.

Di mata pengikutnya, Rajneesh membawa sebuah


eksperimen yang tak pernah terjadi dalam sejarah
manusia. Rajneesh menginspirasi mereka membangun
komunitas, mengubah tanah kosong di Wasco County,
Oregon, Amerika Serikat. Mereka membeli tanah seluas
sekitar 30 ribu hektar, setara setengah provinsi DKI
Jakarta. Mereka bangun tak hanya perumahan, tapi
hotel, restoran, bahkan lapangan udara.

Tak hanya bangunan fisik, tapi dari sana mengalir ajaran


yang lebih sejati untuk bahagia. Tak hanya ajaran, tapi
hadir dan hidup komunitas, ribuan anggota yang
bergairah dengan nilai baru itu.

Di mata yang antipati, gerakan ini menggunakan


kelemahan hukum untuk mengkoloni teritori Amerika
Serikat, meluaskan pengaruh, merebut pemerintahan
lokal, dan menyebarkan kultur yang sangat
bertentangan dengan ajaran Kristen.

Ma Anand Sheela, gadis muda penuh dedikasi. Ia murid


yang begitu membela sang guru Osho (nama kemudian
dari Rajneesh). Ia menjadi sekretaris pribadi. Ia
bergerak sebagai jenderal lapangan mengubah tanah
kosong menjadi kota. Ia mengatur siasat mengalahkan
komunitas lingkungan yang bermusuhan.

Namun waktu terus berputar. Ma Anand Sheela berubah


menjadi pengkritik sang guru paling keras. Bagaimana
bisa?

Itulah drama yang menyentak. Dua hari saya habiskan


waktu, total lebih dari 6 jam terpaku. Ini kisah
eksperimen gerakan spiritual di Amerika Serikat, mulai
dari kebangkitan, hingga kejatuhan. Mulai dari solidnya
gerakan hingga perpecahan.
Wow!!!! Kata itu berulang-ulang saya ucapkan karena
tersentak oleh drama yang berbalik-balik.

Ini seri yang sangat bagus. Tak heran, ia mendapatkan


penghargaan Emmy Award 2018 untuk Non-Fiction/
Documentary.

Tahun 80-90an, sebelum saya sekolah ke Amerika


Serikat, saya juga seorang pencari spiritual. Di samping
menjadi aktivis demokrasi dan penulis, di usia belasan
dan dua puluhan tahun, sayapun gelisah dengan makna
hidup.

Saya membaca karangan Filsuf mulai dari John Locke


yang kanan hingga Karl Marx yang kiri. Mulai dari Filsuf
yang percaya ada The First Mover seperti Tuhan (Plato,
Aristoteles) hingga Feurbach yang menganggap
manusia yang menciptakan Tuhan.

Namun saya berkeliling juga mendalami banyak aliran,


mulai dari Karmayoga, Khrisnamurti, Subud, Ki Ageng
Suryomentaram, hingga sufisme.

Di era itu, pertama kali saya bersentuhan dengan Osho.


Ia menulis begitu banyak buku, mulai dari intisari Budha,
Zen, Tao, hingga sufisme. Namun semua ia rangkum
dan kemudian menjadi filosofinya sendiri, dengan nama
Rajneesh Movement.

Tak banyak lagi yang saya ingat dari gagasannya,


kecuali satu hal yang saya lupa dari buku mana. Ia
berkata: manusia menghabiskan waktu, sepanjang
sejarah mencari dan menciptakan makna. Lalu mereka
membuat agama, menciptakan aneka konsep Tuhan
agar hidup bermakna. Konsep itu membuat mereka
saling pula berperang. Padahal yang penting menikmati
realitas apa adanya. Nikmati keindahan yang ada, apa
adanya, tanpa perlu ditambah ilusi.

Seketika perjumpaan awal saya dengan Osho itu yang


teringat ketika memulai menonton enam seri The Wild
Wild Country.

Ini film dokumenter. Tak ada teknik yang lebih dramatik


ketimbang meminta para pelaku utama sejarah untuk
menceritakan apa yang terjadi di masa lalu. Ada yang
mewakili para pendukung dan pemuja Rajneesh. Ada
yang mewakili pendukung yang kemudian berbalik arah.
Ada yang mewakili komunitas yang “perang” ingin
mengusir gerakan Rajneesh (Osho) di sana. Ada yang
mewakili pemerintah yang menegakkan hukum.

Para saksi itu semua sudah tua. Di tahun 2017 mereka


mencoba mengingat kembali kisah 30 tahun lalu, yang
berawal di tahun 1981 ketika para murid Osho membeli
tanah maha luas di Antelope, Oregon, Amerika Serikat.
Aneka footages, potongan video, dimunculkan
memperkaya kisah flashback.

Jika ada momen penting yang tak ada potongan video,


film dokumenter itu menyajikan sketsa lukisan yang kira-
kira menyerupai fisik dan suasana.

Kisah dimulai tumbuhnya gerakan Rajneesh di India, di


ujung tahun tujuh puluhan. Namun konservatisme Hindu
tak menerima mereka. Pernah terjadi percobaan
pembunuhan terhadap Rajneesh, Sang Guru.

Saat itu, seorang gadis muda India tapi lama bersekolah


di Amerika Serikat mengambil peran. Ia kemudian diberi
nama baru: Ma Anand Sheela. Gagasan ia bisikkan
kepada sang guru. Bagaimana jika pusat Rajneesh
Movement kita pindahkan ke Amerika Serikat? Kultur di
sana lebih bebas. Pasal-pasal konstitusi melindungi.

Rajneesh sudah lama punya mimpi. Ia membayangkan


sebuah kota puluhan atau ratusan ribu pengikutnya dari
aneka negara berkumpul jadi satu. Di sana mereka
membangun peradaban baru, altenatif bagi peradaban
dunia yang sedang sakit.

Ujar Rajneesh, dunia Timur hanya menampilkan


separuh dimensi manusia: sisi batin. Dunia Barat hanya
memberikan separuh lainnya: sisi materi. Rajneesh
datang melahirkan manusia yang utuh kembali. Kita
memerlukan teritori maha luas untuk kerja sejarah.

Surveipun dimulai. Tim kecil dibentuk. Ma Anand Sheela


melengkapi tim dengan para profesional. Mereka ahli
soal hukum, soal konstruksi, soal keuangan, soal
manajemen.

Dipilih sebidang tanah luas sekali di pelosok kota:


Antelope. Penduduknya hanya sekitar 40-50 orang. Kata
Sheela, ini kota yang mati. Kita ubah menjadi kota
bercahaya.

Dalam video dokumenter itu jelas tergambar. Sayapun


berulang berdecak kagum. Hanya pada bilangan tahun,
tanah kosong itu berubah menjadi kota yang hidup,
dengan hotel, diskotik, perumahan bahkan airport.
Pengikut Rajneesh pun dari aneka negara pindah ke
sana.

Sayangnya film dokumenter ini kurang menggali berapa


dana yang dihabiskan. Dan dari mana datang dana itu.
Memang ada beberapa adegan yang menggambarkan
para murid yang kaya raya. Mereka dengan senang hati
mendermakan begitu banyak dana untuk membangun
kota baru.

Satu hal yang tak mereka duga, penduduk lokal


melakukan perlawanan. Ini kota Kristen konservatif.
Rumor beredar. Ada orang asing datang mengotori kota
mereka dengan seks bebas dan uang.

Polisi, pemerintah setempat, wali kota antipati.


Beberapa kali penduduk asli berjalan seperti membawa
senjata.

Merespons penduduk asli yang tak bersahabat, Ma


Anand Sheela merenung. Rajneesh Movement harus
merebut pemerintahan lokal melalui pemilu demokratis.
Mereka harus juga menjadi pemerintah di sana. Ini satu-
satunya cara agar aman.

Tak tanggung-tanggung, strategi jitu dimainkan. Mereka


memborong rumah sebanyak mungkin. Mereka buat
sebanyak mungkin penduduk lokal pergi. Sehingga
jumlah pengikut Rajneesh lebih banyak.

Ketika datang pemilu, wakil dari Rajneeshpun menang.


Mereka merasuk lebih jauh. Nama kota diubah: dari
Antelope City menjadi Rajneesh City. Nama jalan,
restoran diubah. Nama Rajneesh ada di seantaro kota.

Gerakan Rajneesh yang berhasil merebut pemerintahan


kota segera menjadi berita nasional di Amerika Serikat.
Video kontroversial kegiatan komunitas ini luas beredar.
Termasuk soal terapi psikologis bagi anggota baru yang
penuh kekerasan. Termasuk juga seks bebas antar
anggota.

Warga di luar Antelope city, terutama kalangan aktivis


Kristen semakin gerah. Permusuhan semakin tajam.

Komunitas Rajneesh mempersenjatai diri. Mereka mulai


mengadakan latihan militer, menumpuk senjata. Lebih
jauh lagi, mereka ingin merebut pemerintahan yang
lebih besar, dari hanya kota kecil (city) ke Wasco
County.

Tapi bagaimana caranya? Jumlah penduduk county


lebih banyak.

Tak kehilangan akal, Ma Anand Sheela dan tim


menampung lebih dari 10 ribu homeless dari aneka
pelosok Amerika untuk tinggal di sana. Mereka
mengerahkan begitu banyak bus. Penduduk yang tidur
di jalan dijemput, diberi pakaian, diberi penginapan,
diberi makan.

Para homeless people akan dijadikan penduduk untuk


punya hak suara. Ujar Sheela, untuk survival komunitas,
inilah cara menang pemilu. Pemerintahan yang lebih
besar harus direbut.
Penduduk di Wasco tak kalah cerdas. Mereka berkongsi
agar 10 ribuan homeless itu tak diakui dulu sebagai
penduduk yang memiliki hak suara.

Inilah awal segala petaka. Sheela merasa dicurangi.


Mereka akan dikalahkan secara kotor. Baginya tak ada
alasan mengapa 10 ribuan homeless people yang kini
tinggal di Rajneeshpuram tak diberikan hak suara.

Gagasan kriminalpun dimulai. Tak terbayangkan,


gagasan ini datang dari sebuah gerakan spiritual.
Mereka meracuni penduduk setempat secara massal.
Satu tujuannya, di hari pemilu, harus banyak warga tak
datang karena sakit.

Kota heboh. Begitu banyak warga sakit. Polisi turun


tangan. Rasa curiga terhadap pengikut Rajneesh
sebagai pelaku menyebar. Tapi tak ada bukti.

Konflik internal dalam gerakan Rajneeshpun dimulai.


Tak semua anggota nyaman dengan gaya perang yang
ditempuh Ma Anand Sheela. Tapi apa daya. Semua
mereka tak punya akses untuk berjumpa dengan sang
Guru Baghwan Shree Rajneesh. Hanya Sheela yang
punya akses berjumpa rutin.

Namun datang komunitas baru yang mengitari sang


guru. Mereka penduduk Amerika yang lebih kaya,
bahkan ada yang dari dunia Hollywood. Paling menonjol
adalah Hasya. Ia dan suaminya ikut memproduksi film
The Godfather.

Hasya tak hanya membawa komunitas baru. Ia juga


membawa banyak dana besar. Ia menghadiahkan guru
dengan jam berlian. Hasya juga kemudian menikah
dengan dokter pribadi sang guru. Kini tak hanya Sheela,
Hasya dan suami juga mempunyai akses langsung
kepada Rajneesh.

Sang guru mulai sering sakit. Empat tahun sudah ia


absen tak lagi berbicara di hadapan para murid. Ia
beberapa kali bertanya soal bagaimana menghilangkan
rasa sakit. Bahkan pernah pula bertanya bagaimana
cara mati tanpa rasa sakit. Sang Guru juga punya ajaran
bahwa manusia berhak untuk mati.

Paranoia menghinggapi Sheela. Ia merasa akan ada


konspirasi dokter pribadi yang mengabulkan permintaan
agar Sang Guru dibantu untuk mati. Hari kematian Guru
sudah dipilih.

Sheela memimpin tim kecil. Tempat tinggal Sang Guru


dan sekitarnya direkam. Sheela mendapat laporan dari
tim: siapa yang datang menjumpai guru dan apa yang
dibicarakan. Ia harus tahu jangan sampai ada tindakan
yang membuat guru akhirnya mati.

Lebih jauh lagi Sheela membagi tugas. Ujar Sheela, ia


mendapat informasi penting. Dalam waktu dekat guru
akan mati. Waktu yang dipilih untuk mati adalah The
Master Day. Dokter pribadi diminta guru membantu
kematiannya.

Ujar Sheela: Ini tak boleh terjadi. Upaya pencegahan


harus diambil. Guru harus tetap hidup. Guru harus
diselamatkan dari komunitas orang-orang kaya itu, yang
bermain dengan drugs.
Tak ada jalan lain, ujar Sheela, dokter pribadi Guru
harus dibunuh. Mereka pun berbagi tugas, siapa yang
bersedia membunuh dokter pribadi sebelum terlambat.

Kembali saya tersentak: Wow!!! Dari komunitas spiritual


yang banyak berbicara cinta lahir plot pembunuhan.

Aksi pembunuhan dengan suntikan terjadi. Namun sang


dokter tidak mati. Sang guru juga tidak mati.

Entah gusar atau lainnya, tak lama kemudian, Sheela


bersama 20 elite timnya, pergi meninggalkan asrama.
Mereka pergi tak tahu ke mana. Ribuan pengikut yang
selama ini dipimpin Sheela bingung. Apa yang terjadi?

Terdengar berita Sheela di Jerman. Atau di Swedia.


Yang jelas, Sheela dan tim tak lagi di Amerika Serikat.

Lebih bingung lagi ketika mereka mendengar kabar


sang Guru akan datang. Setelah empat tahun lebih
berdiam diri, puasa bicara, sang Guru akan bicara.
Namun, tak hanya para murid yang mendengar. Banyak
pula wartawan yang diundang dan datang.

Mereka saling bertanya, ada apa? Tak semua hal


penting terbuka.

Sang Gurupun bicara yang menyentak semua. Ujar


Rajneesh, selama 4 tahun lebih saya puasa bicara.
Sekelompok pimpinan dikomando oleh Sheela
berkuasa. Kini mereka pergi. Bahkan tanpa pamit pada
saya.
Gurupun membuat pernyataan yang semua terkaget:
Sheela adalah kriminal. Ia meracuni penduduk. Ia
bahkan membunuh dokter pribadi saya, tapi gagal. Ia
juga membawa pergi sekitar 40 juta dollar. Ia bahkan
sangat berani merekam tempat saya tinggal.

Para murid gempar. Polisi lokal mendapat alasan untuk


menyelidiki asrama. Tindakan kriminal sudah
dituduhkan, tak tanggung-tanggung, dari sang guru
sendiri.

Melalui video dari tempat tersembunyi, Sheela


membalas sang Guru. Semua tuduhan Sang Guru tidak
ia bantah. Tapi Sheela balik menyerang Sang Guru
pula.

Kini para murid dan publik luas melihat Sheela yang


sangat berbeda. Ia seorang pemuja, kini berubah
menjadi pengkritik sang Guru paling keras. Rajneesh,
ujar Sheela, anda seorang jenius. Tapi saya
menyaksikan betapa anda menggunakan kelebihan itu
untuk mengeksploitasi kelemahan manusia.

Drama dengan aneka aneka hal baru terus mengalir.


Sang Guru yang begitu menawan dan kharismatik,
anggun, sempat pula diborgol dan masuk penjara.

Philip Toelkes, seorang ahli hukum, pernah menjadi


walikota di Rajneesh City, berulang ulang berlinang air
mata menceritakan keindahan sang Guru. Ujarnya,
Amerika Serikat, sangat merugi sudah memperlakukan
sang Guru dengan buruk. Ujarnya lagi, dalam hidup,
saya tak pernah menjumpa manusia yang begitu indah
dan mencerahkan seperti Rajneesh.

Sheela, di usia senja, setelah keluar dari penjara,


berulang kali juga meneteskan air mata ketika bicara
soal Sang Guru. Walau tak lagi menjadi bagian dari
Rajneesh Movement, ia tak menyembunyikan pesona
sang Guru sebagai intelektual raksasa.

Sang Guru, Rajneesh, akhirnya terusir dari Amerika


Serikat. Itu deal pengadilan agar ia tidak dipenjara.
Eksperimen kota suci Rajneesh gagal. Kini tanah luas
itu dibeli orang kaya lain untuk gerakan spiritual yang
lain, yang lebih dekat dengan agama Kristen.

Rajneesh Movement yang kini berganti mana menjadi


OSHO movement terus tumbuh. Kini pusatnya tak lagi di
Oregon, namun di Puna, India.

Pada tahun 1990, empat tahun setelah ia meninggalkan


Amerika Serikat, Osho wafat. Penyebab kematiannya
pun menjadi kontroversi. Apakah ia dibunuh oleh
pengikutnya sendiri? Apakah ia sakit secara wajar?
Ataukah Ia sendiri yang minta dibuat mati.

Selesai menonton serial dokumenter ini, lama saya


terdiam. Merenungkan kembali adegan demi adegan.
Banyak tak terduga. Walau ini film dokumenter, tapi
berhasil menciptakan drama.

Jika ada kekurangan, seri drama ini kurang menggali


kontroversi dan kedalaman pemikiran OSHO. Padahal
itulah api dari gerakan. Itulah yang membuat OSHO
bercahaya, melampaui wilayah fisik.
Kembali muncul pertanyaan awal, siapakah Osho? Bagi
pengikut, ia adalah Nabi baru. Bagi oposan, ia adalah
penjahat rohani. Tapi bagi saya pribadi, ia salah satu
pencari, guru, dari ribuan guru yang pernah ada, dan
akan ada.

Hidup terus berjalan. Selalu ada guru yang mati. Selalu


ada guru yang dilahirkan.

Febuari 2019
1
KISAH NYATA
Semakin Bersahabat, Perbedaan
Politik Semakin Tak Jadi Soal
Review Film The Green Book, pemenang Globe
Award 2019, untuk film terbaik musikal atau komedi.

Generasi milenial yang tak mempelajari sejarah,


mungkin akan heran dengan sebuah buku hijau (Green
Book). Pernah satu masa, bahkan di pusat demokrasi
dunia Amerika Serikat, di tahun 60an, diterbitkan satu
buku pemandu.

Itu era ketika Google Map atau Waze belum ditemukan.


Buku hijau menjadi petunjuk mengenai hotel dan
restoran yang boleh disinggahi kulit hitam. Di era
diskriminasi ras kulit hitam, green book itu menjadi
penunjuk bagi kulit hitam jika ingin berpergian.

Dan ini adalah kisah yang sebenarnya. Tony Vallelonga,


kulit putih keturunan Italia, tumbuh sebagai seorang
yang rasis, dengan keahlian menyelesaikan banyak
masalah kekerasan. Ia bertemu dan kemudian bersama
secara intens dengan jenius musik pemain piano kulit
hitam, Don Shirley. Mahershala Ali memainkan peran
Don Shirley secara apik yang membuatnya meraih
Golden Globe 2019 untuk aktor pembantu terbaik film
musikal atau komedi.

Tony dan Don adalah dua pribadi yang sangat berbeda.


Awalnya mereka tak saling menyukai. Satu kulit putih
yang rasis, satu kulit hitam yang jenius dan sadar
berada dalam kultur dan prestasi yang lebih tinggi.
Namun perjalanan bersama selama dua bulan membuat
keduanya saling mengenal dan akhirnya saling
membela.

-
Film dimulai dengan kisah Tony yang menjadi pekerja
sebuah restoran dan sekaligus tukang pukul. Restoran
ditutup, Tony kehilangan pekerjaan. Aneka lowongan
kerja ia cari untuk menghidup istri yang sangat ia cintai
bersama anak-anaknya.

Baik istri Tony dan keluarga besar Italia di sekitar Tony


mengetahui betapa rasisnya Tony. Suatu ketika mereka
kedatangan dua pekerja kulit hitam memperbaiki rumah.
Sang istri menyambut normal menyajikan dua gelas
minuman kepada dua tamu kulit hitam. Sepulang tamu,
dua gelas kulit hitam itu oleh Tony dibuang ke sampah.

Namun apa daya? Kini pekerjaan yang tersedia, Tony


menjadi supir sekaligus semacam body guard bagi
seorang kulit hitam, jenius musik. Tak tanggung-
tanggung, itu kerja menuntut Tony selama dua bulan
penuh tidak pulang ke rumah. Ia bertanggung jawab
membawa sang pianis kulit hitam konser dari negara
bagian ke negara bagian lainnya.

Tony hanya dibekali satu perlengkapan: Green Book. Itu


buku panduan soal hotel dan restouran yang kulit hitam
boleh singgah. Sejak awal Tony sudah dibriefing:
“kadang dirimu satu hotel dan satu restoran dengan
Don. Kadang tidak. Namun kamu hanya dibayar penuh
jika berhasil membawa Don dari satu konser ke konser
lain, sesuai jadwal.

Tony tak punya banyak pilihan. Ia mengambil pekerjaan


itu semata ia butuh uang. Iapun nampak melecehkan
sang pianis kulit hitam. Sementara sang pianis
mempekerjakan Toni karena juga keahlian Tony sebagai
body guard. Sang pianis kulit hitam merasa jauh lebih
cerdas, lebih berpendidikan, lebih beradab, juga merasa
berjarak dengan Tony.

-
Perjalanan dari konser ke konser membuka mata Tony
betapa tak adilnya rasisme. Ia tercengang dengan
kemahiran piano Don Shirley. Ia terkagum melihat
banyak tamu elite kulit putih terpukau dengan
penampilan musik Don. Berulang-ulang Don
diperkenalkan sebagai jenius musik, sejak usia 2 tahun
sudah belajar piano.

Namun di luar konser, Tony menyaksikan tak adilnya


tuan rumah kepada Don. Walau Don menjadi bintang
utama, ia tak diperkenankan makan malam bersama
para tamu. Ia ditempatkan di ruang belakang seperti
gudang.

Bahkan ketika Don ingin ke toilet, Don tak dipekenankan


menggunakan toilet tuan rumah. Ia harus ke seberang
sana, ke tempat terpisah.

Pernah satu kali mereka melintasi area yang sangat


rasis. Polisi kulit putih menyetop mereka, mencari gara-
gara, yang akhirnya sempat memenjarakan Don.

Tony ikut pula tersentuh oleh keahlian Don berbahasa.


Suatu ketika Don ikut mengedit surat Tony buat sang
istri. Dengan sentuhan seni dan puisi, betapa sang istri
takjub mendapatkan surat yang begitu menyentuh.

Namun Tony berlaku pula sebaliknya. Don seorang


yang sangat kesepian. Beberapa kali di malam hari ia
menyelinap ke luar hotel mencari hiburan. Ia pernah
tertangkap basah dalam hubungan dengan homoseks.
Ia pernah pula dikeroyok anak muda yang rasis kepada
kulit hitam. Tony datang membela.
Tony juga mengajak Don untuk lebih merakyat. Tak
hanya musik klasik tinggi, ia tunjukkan musik rakyat rock
and roll.

Dua bulan perjalanan, Tony dan Don tumbuh saling


mengisi. Dari Don, Tony belajar menulis. Tidak
diceritakan dalam film, Tony akhirnya berkembang
menjadi penulis. Ia ikut menulis serial TV HBO, The
Sopranos.

Don juga tersentuh dengan kehangatan kasih sayang


keluarga yang dicontohkan Tony. Sungguhpun banyak
dipuja, Don selalu kesepian, hidup menyendiri.

Selesai sudah perjalanan dua bulan. Tony dan istri


beserta keluarga besar merayakan Natal. Tak diduga,
Don datang berkunjung dan disambut Tony dengan
penuh persahabatan dan kasih sayang. Keluarga besar
tercengang. Tony yang sebelumnya sangat rasis,
nampak begitu menghormati dan menyanyangi musisi
kulit hitam.

Lama saya terdiam setelah film selesai. Bukan saja oleh


keberadaan Green Book, dokumen sejarah rasisme.
Saya lebih tersentuh dengan drama hubungan pribadi.
Betapa berkuasanya prasangka. Namun pengalaman
pribadi, pengalaman bersama, renungan, akhirnya yang
lebih menentukan hubungan manusia.

Betapa persahabatan di atas politik!

Januari 2019
Cinta Tak Biasa Seorang Super Star

Review Film Bohemian Rhapsody, 2018

Setiap tokoh jenius, ujar Aristoteles, punya unsur


kegilaan. “No great mind has ever existed without a
touch of madness.” Sejenis kegilaan itu pula saya
rasakan pada Freddie Mercury, legenda Rock Star dari
Band Queen.

Saat itu imajinasinya sedang liar. Ia tak ingin


menghasilkan lagu rock biasa. Ia ingin menghadirkan
suasana opera. Tak hanya pada musik, namun liriknya
pun tak biasa. Ditemukan dalam lirik itu kata Galileo,
Bismillah, Scaramouche, Fandago. Ditambah dengan
awalan “Mama, just kill a man.”

Produser dari EMI Record yang akan merekam lagu


bertanya. Ini lirik soal apa? Kata Freddie, itu puisi. Itu
bukan lirik biasa yang mudah dimengerti.

Sang produser masih bisa berkompromi soal lirik. Tapi


mengapa panjang lagunya 6 menit? Ini dua kali lebih
panjang dari lagu biasa. Tak ada radio yang bersedia
memutarnya. Memproduksi lagu ini juga sangat mahal.
Mohon pendekkan menjadi 3 menit. Sang produser
memberi arahan. Tim lain dari perusahaan itu
memperkuat arahan.

Tapi tidak bagi Freddie. Baginya, lagu yang ia beri judul


Bohemian Rhapsody itu maha karya. Jangan lagu itu
diukur dengan formula biasa. Ia ingin lagu itu tampil apa
adanya. Dan lagu itu harus menjadi lagu utama album
yang ia beri judul Night at Opera.
Terjadi adu argumen. Ketidaksepahaman memuncak.
Sang produser keras berkata: “Uangku yang
dipertaruhkan di album ini. Potong lagu itu hingga 3
menit. Atau lagu itu dibuang dan tonjolkan lagu lainnya.”

Freddie Mercury bersama Queen memilih meninggalkan


EMI Record mencari perusahaan lain. Tak lupa ia
berkata pada sang produser: anda akan dikenang
sebagai orang yang kehilangan Queen. Tak lupa pula ia
lemparkan batu memecahkan jendela kaca sang
produser.

Bagi Freddy, tak ada kompromi. Imajinasinya soal opera


dalam musik rock, puisi yang tak mudah dimengerti
dalam lirik, harus diwujudkan. Ia tak peduli bahkan
panjangnya 6 menit. Ia tak peduli bahkan perusahan
rekaman menolak. Ia tak peduli jikapun radio menolak
memutarnya. Ia juga tak peduli, bahkan lagu itu hingga
kini dikenang lagu yang paling mahal proses
produksinya.

Namun justru sejenis kegilaannya melawan konvensi itu


yang membuat berbeda. Lagu Bohemian Rhapsody
dengan panjang 6 menit meledak. Bahkan lagu itu
termasuk lagu yang paling sering diputar oleh radio di
Inggris.

Dua kali pula lagu itu berada dalam posisi Hits tangga
pertama dalam dua kurun waktu yang berbeda. Pertama
ia hits untuk UK Single Charts selama 9 minggu di tahun
1976. Penjualannya pun melampaui 1 juta.

Lagu itu kembali hits 15 tahun kemudian. Ia kembali


nomor 1 di tahun 1991, selama lima minggu, tak lama
setelah Freddie Mercury meninggal. Puisi gelap dalam
lagu itu justru terus menjadi perdebatan soal apa arti
sesungguhnya.

Lagu yang keras ditentang oleh market dan selera


industri musik saat itu, justru kini dikenang sebagai satu
maha karya dari Queen. Ia dianggap salah satu lagu
terbaik yang pernah diciptakan dalam sejarah musik
rock. Di tahun 2012, lagu itu bahkan berada dalam
rangking pertama Poll yang dibuat ITV sebagi lagu
paling favorit nasional selama 60 tahun sejarah musik.

Siapakah Mama yang dimaksud dalam lagu Bohemian


Rhapsody? Apa pula arti Mama Mia let me go?
Mengapa ada ekspresi “Mama, life had just began. But
now I have gone and thrown it all the way?” Apa yang ia
maksud dengan “I dont want to die. I sometime wish I ‘d
never born at all?”

Para ahli musik mendebatkannya. Mereka menggali apa


yang terjadi pada Freddie di tahun penciptaan lagu itu.

Satu interpretasinya adalah cinta tak biasa dari Freddie


Mercury kepada seorang gadis yang kemudian
dinikahinya: Mary Austin. Freddie merasakan
kedalaman cinta yang sangat pada Mary. Wanita itu
adalah love of my life-nya. Freddie ekspresikan cintanya
dalam sebuah lagu legendaris lain yang ia tulis dengan
judul yang ia rasakan untuk Mary: Love of My Life.
Namun batinnya bergolak. Sebagian dari dirinya harus
pergi dari Mary. Karena itu ia berseru dalam lagu
Bohemian Rhapsody: Mama Mia, Mama Mia let me go.

Dicarinya waktu yang tepat untuk menyatakan. Mary


sudah menduga. Ujar Freddie: Mary, Saya seorang
biseksual. Mary meluruskan pernyataan Freddie. Dirimu
seorang homoseksual.
Tapi Freddie tetap ingin hidup berkawan sejati dengan
Mary. Cinta Freddie padanya tak berubah, walau hasrat
seksualnya kini beralih pada lelaki.

Hati Mary juga untuk Freddie. Ujar Mary: “aku tahu ini
bukan salahmu. Namun dirimu akan memasuki dunia
yang sulit.” Mereka berpelukan. Mereka menangis.
Walau tak lagi menjadi partner seksual, mereka
merasakan kuatnya ikatan batin.

Dugaan Mary benar belaka soal Freddie akan memasuki


hidup yang sulit. Walau Freddie tumbuh menjadi super
star. Walau kekayaannya melimpah ruah. Di balik
badannya yang kekar, tersimpan hati yang kesepiaan. Ia
memelihara banyak kucing untuk menemani hidupnya.
Masing-masing kucing itu bahkan ia buatkan kamar
sendiri-sendiri.

Namun kesepian itu selalu menyelinap. Freddie


melarikan diri pada dunia gelap: obat terlarang.
Berganti-ganti pasangan homoseksnya. Tapi kesepian
itu tetap hadir. Ia teriakkan batinnya dalam lagu
Bohemian Rhapsody itu: I sometime wish I’d never born
at all.

Cinta Sang Super Star kepada Mary memang menjadi


cinta yang tak biasa. Mary punya pasangan lain dan
punya anak. Freddie juga memilki partner lain. Mereka
tetap berhubungan mendalam.

Beberapa kekasih Freddie di kemudian hari bertanya.


Mengapa mereka tetap tak bisa menggantikan posisi
Mary. Ujar Freddie, itu karena Mary adalah love of my
life, walau ia hidup bersama pria lain.

Begitu mendalamnya cinta Freddie pada Mary juga


terasa dari surat wasiat. Sebagian besar harta, ia
serahkan untuk Mary. Bahkan kepada Mary; ia
pesankan: Freddie ingin jasadnya dikremasi. Ia minta
Mary yang menaburkan abu jasadnya di tempat yang
orang lain tak boleh tahu. Hanya Mary yang tahu. Hanya
“love of my life” nya yang boleh tahu di mana abu dirinya
ditaburkan.

Selesai menonton film itu, lama saya terdiam. Aneka


lagu Queen kembali saya putar.

Entah mengapa. Terasa kesedihan dan keharuan yang


mendalam. Terasa betapa perkasanya rasa cinta. Tapi
cinta yang tak biasa. Cinta dalam tragedi, dalam sepi,
dalam hampa. Itulah rasa yang melanda seorang super
star Freddie Mercury.

Oktober 2018
Janji Seorang Tentara yang Menjadi Drama

Review Film Ayla, The Daughter of War, 2017

“Jangan tinggalkan aku, Bapak,” menangis bocah Korea


usia lima tahun. Ia peluk lelaki itu. Seolah ia
gantungkam seluruh hidupnya di sana. Sang bapak
adalah tentara Turki yang dikirim dalam perang Korea di
tahun 50-an.

Tentara itu meneteskan air mata. Pelan dan dalam ia


berkata. Ditatapnya mata gadis bocah itu. “Kau sudah
kuanggap anakku sendiri. Segala cara aku sudah coba
membawamu ikut ke Turki. Tapi peraturan melarangku.”

Bocah Korea itu terus menangis dalam sekali. “Bapak


tinggal di sini saja.” Tentara Turki yang dianggap bapak
oleh bocah Korea itu terguncang batinnya. Teman-
temannya, tentara lain, menyaksikan dan menunggu.
Kapal segera berangkat.

Sang tentara pun berjanji. “Dengar Ayla. Ini janjiku.


Ketika sudah memungkinkan, aku akan datang lagi
menjemputmu.” Air mata menetes di pipi Ayla. Air mata
menetes di pipi Sulayman, sang tentara.

Lama saya terdiam merenungkan adegan ini. Sebuah


drama True Story, yang diangkat dari kisah nyata,
difilmkan dengan sangat menyentuh: Ayla, the Daughter
of War.

Begitu kuat ikatan batin sang tentara dan anak yang


ditemukannya di medan perang. Begitu kuatnya janji
yang terus bergema puluhan tahun.

-
Kisah dimulai dengan Perang Korea. Di bawah PBB,
tanggal 17 September 1950, Turki mengirimkan
sebanyak 5090 tentara menjaga perdamaian. Satu dari
tentara itu bernama Suleyman, usia 25 tahun.

Berat sekali awalnya bagi Suleyman meninggalkan


Turki. Seorang kekasih di Ankara sangat dicintainya
berpesan. Ingin ia secepatnya pulang. Hati tengah
kasmaran. Hari-hari mereka lalui penuh kasih.

Namun di Korea segala hal berubah. Perang sangat


brutal. Membunuh atau dibunuh. Beberapa kali ia
melewati desa yang ratusan penduduknya dibantai.

Suatu ketika menjelang malam, Suleyman dan regu


melewati hutan. Didengarnya bunyi di semak. Tegang
menyeliputi. Biasanya puluhan musuh muncul seketika.
Tembak-menembak akan terjadi.

Pelan ia mendatangi arah suara. Terkejut Suleyman.


Ratusan mayat berjejer. Dan asal suara itu: Astaga.
Seorang bocah gadis menangis memegang tangan
ibunya yang mati, di antara mayat lain.

Pelan Suleyman meyakinkan bocah untuk tidak


takut. Namun ada kendala bahasa. Mereka saling tak
memahami. Entah mengapa. Ketika sang bocah
menatap mata tentara itu, ia pun pasrah digendong.

Para tentara lain bertanya. Akan kau apakan anak


Korea ini? Tak mungkin aku tinggalkan anak ini di sini.
Kita bawa ke markas, ujar Suleyman.

Situasi tak terduga. Di tengah suasana perang yang


buas, bocah ini menjadi tumpahan kasih sayang para
tentara di barak. Suleyman menamakannya Ayla. Dalam
bahasa Turki, artinya Bulan, seperti wajah bocah yang
bulat putih.

Bergantian para tentara itu menggendongnya. Ada yang


mencarikan susu untuk bocah. Ketika mereka apel siaga
setiap hari, sang bocah duduk menonton.

Hati Suleyman memang penuh kasih. Tak jarang, ia


menyelimuti Ayla ketika tidur. Ia peluk. Ia suapi. Hingga
suatu ketika, Ayla menyebutkan satu kata dalam bahasa
Korea. Suleyman tak mengerti, apa arti kata itu.
Ternyata itu sebutan untuk bapak, untuk seorang Ayah.

Ayla menganggap Suleyman seperti Ayah. Tentara lain


ia anggap sebagai paman. Awalnya Suleyman kikuk.
Namun akhirnya ia jatuh hati. Ayla ia benar benar
anggap sebagai anaknya sendiri.

Tibalah masa Suleyman harus kembali ke Turki.


Pergantian jadwal tentara diberlakukan. Itu waktu
Suleyman pulang. Apalagi sang kekasih menunggu.
Pernikahan disiapkan.

Entah mengapa. Ikatan Suleyman dengan Ayla begitu


kuat. Ia selalu menunda untuk pulang. Ia mencari cara
untuk tetap di Korea, menemani Ayla yang tak punya
siapapun.

Setelah berkali-kali menunda kepulangan, atasan


Suleyman menegurnya keras sekali. Tak ada diskusi. Ini
perintah. Kau harus pulang.

Tak ada lagi alasan Suleyman untuk berada di Korea.


Atasan menyatakan keheranannya. Tentara lain suka
cita ingin pulang. Mengapa Suleyman ingin menetap.

Suleymanpun bercerita. Berat baginya meninggalkan


Ayla sendiri di Korea, tanpa siapapun. Tapi kata atasan,
peraturan sangat keras. Suleyman sebagi tentara
dilarang membawa pulang anak orang lain, walau orang
tuanya sudah tiada.

Atasan dan teman mencari solusi. Ayla dicarikan panti


asuhan, sekaligus agar Ayla memulai sekolah. Berhari-
hari Suleyman mengintip Ayla diam diam di panti
asuhan itu.

Suleymanpun pamit pada Alya. Ia harus pulang. Sambil


menitipkan pesan agar ia rajin belajar. Namun Ayla
menangis dalam sekali. Ia peluk Suleyman, tak mau
lepas.

Suleymanpun mencari cara membawa Ayla ke Turki.


Berdua mereka sepakat membuat rencana. Rencana ini
hampir saja sukses. Namun sebelum masuk kapal, ibu
panti asuhan datang melaporkan. Ayla hilang. Para
tentara kaget. Seketika teman-teman tentara mengerti
dan melihat koper besar yang dibawa Sulayman.

Koper dibuka. Ayla ada di sana.

Perpisahan tak terhindari. Suleyaman tak bisa lagi


berdalih. Di situlah Sulayman, seorang tentara, berjanji.
Ia akan kembali ketika perang sudah usai. Ia akan
menjemput Ayla.

Sesampai di Turki, kekasih hati sudah menikah dengan


orang lain. Ujar sang kekasih, kamu lebih memilih
tinggal berlama-lama di Korea bersama anak itu. Kamu
biarkan aku menunggu dan menunggu. Jangan
salahkan aku jika datang padaku pria lain.

Suleymanpun menikah dengan wanita pilihan Ayahnya.


Ia lalu punya putri. Namun Suleyman selalu gelisah.
Perang Korea sudah selesai. Ada janji yang sudah ia
ucapkan. Dibantu istri, Suleymanpun mencari Ayla.
Lima puluh tahun lamanya Suleyman tak kunjung
menemukan Ayla. Panti asuhan tempat ia menitipkan
Ayla sudah ditutup. Aylapun diganti nama oleh wali di
sana.

Lima puluh tahun janji itu bergema. Walau Suleyman


sudah mempunyai putri, Ayla tak bisa ia lupakan. Kisah
Suleyman dan Ayla pun menjadi berita, baik di Turki
ataupun Korea Selatan.

Hingga suatu ketika sekelompok jurnalis dan peneliti


membantu mencarikan Ayla. Bekalnya hanya foto
Suleyman yang sedang memangku Alya, puluhan tahun
silam.

Begitu kuat getaran cinta seorang Ayah kepada yang


sudah dianggapnya anak. Begitu dalam aura kasih
seorang anak kepada yang sudah dianggapnya Ayah
sendiri.

Getaran dan aura itu yang menggerakkan jurnalis dan


peneliti. Akhirnya setelah lima puluh tahun berpisah,
Suleyman dan Ayla bertemu kembali.

Peristiwa ini begitu unik. Pemerintah Korea dan Turki


menjadikannya sebagai ikon persahabatan dua negara.
Kementerian pariwisata mengubahnya menjadi film.

Begitu tergugah saya menyaksikan film ini. Saya lacak


pula kisah ini pada Om Google. Saya melihat adegan di
luar film. Ayla menemani Suleyman di rumah sakit,
ketika Suleyman menghembuskan nafas terakhir.
Betapa nyenyak tidur panjang Suleyman. Janjinya pada
Alya, ia penuhi. Walaupun itu terkabul lima puluh tahun
kemudian.

Agustus 2018
Apa yang Kita Butuhkan dari Pemimpin?

Review Film Darkest Hours, nominasi Film Terbaik


Oscar 2018

Akhirnya saya memahami. Mengapa Winston Churchill,


Sang Perdana Menteri, dipilih BBC Poll (2002) sebagai
warga Inggris terbesar sepanjang masa (Rangking 1
dari The 100 Great Brittons).

Saya juga mengerti. Mengapa pula Churchill sang


politisi, yang hanya menulis satu novel itu, dipilih
sebagai pemenang Nobel Sastra yang teramat
bergengsi (1953).

Hari itu, tekanan datang pada Churchill bertubi-tubi.


Bahkan elite berpengaruh partainya sendiri meminta ia
bersedia negosiasi dengan Hitler. Nazi saat itu begitu
perkasa. Satu persatu negara Eropa ditaklukkan.

Churchill mendapat laporan, melawan Hitler berperang


itu sama dengan mati! Ratusan tentara Inggris terjebak
di Dunkirk dan Calais. Mereka kalah dalam segala hal
dan tinggal menunggu dibantai.

Saingan utama di partainya sendiri, Lord Halifax


mengancam mengundurkan diri dari kabinet. Menolak
negosiasi, menurut Halifax, itu sama dengan misi bunuh
diri. Berapa banyak lagi kau tega membiarkan tentara
kita mati? Lebih rasional cari kemungkinan terbaik dari
percakapan damai.

Raja saat itu, King George VI, sudah mulai gelisah. Apa
jadinya jika Hitler masuk dan menjajah Inggris. Banyak
yang sudah menyarankan King George mengungsi
masuk Kanada dan memimpin Inggris dari jauh.

Dalam kondisi tanpa harapan, Churchill menelpon


sekutu mereka, Presiden Amerika Serikat Roosevelt. Ia
yakinkan Roosevelt untuk kirim bantuan. Jika tidak,
Eropa Barat jatuh ke tangan Hitler. Dunia dipertaruhkan.
Tinggal Inggris yang betahan.

Namun Roosevelt tak bisa berbuat banyak. Ada hukum


Netrality Acts of 1930 di Amerika Serikat yang
membatasi. Presiden Amerika tak boleh ikut terlibat
apapun dalam konflik perang saat itu. Dilarang
membantu senjata atau mengirimkan serdadu.

Politisi pada umumnya akan menyerah dalam situasi


mencekam. Tiada lagi celah.

Namun pagi itu, Churchill mencari celah. Ia tak hendak


berunding dengan diktator. Tapi ia perlu alasan lebih
kuat karena secara militer Inggris pasti kalah.

Ia pergi ke stasiun kereta bawah tanah. Ia jumpa


dengan rakyat pada umumnya. Ia naik kereta tanpa
dikawal. Rakyat kecil terbelalak mata. Perdana Menteri
yang terhormat berbaur dengan mereka di kereta.
Awalnya rakyat tegang. Tapi kemudian mereka
bersorak.

Kepada mereka Churchill bertanya, apa yang harus kita


lakukan melawan Hitler? Haruskah kita menyerah dan
berdamai? Atau kita lawan sampai kapanpun?
Tak ia duga rakyat jelata tak sudi menyerah. Hitler harus
dikalahkan. Satu persatu menyatakan tekadnya
melawan Hitler dengan senjata apapun yang mereka
punya. Dengan lugu, mereka saling cerita apa yang
akan mereka lakukan di jalan jika jumpa tentara Jerman.

Churchill yang sempat ragu, khawatir banyak penduduk


Inggris mati sia-sia dalam perang yang pasti kalah,
bangkit kembali. Ada yang lebih kuat dibanding senjata.
Ada yang lebih perkasa dibanding jumlah serdadu. Ialah
hati manusia yang menolak menyerah. Ialah hati yang
percaya pada perjuangan.

Churchill pun bergegas menuju parlemen. Para politisi


sudah menunggu. Mereka sudah siap untuk dukung
kebijakan berunding damai dengan Hitler.

Tapi Churchill tampil beda. Ia menyampaikan pidato


yang terkenal: We shall Fight on the Beaches. Begitu
banyak serial pidato yang Churchill buat. Tak hanya
indah kata. Tapi gagasannya menggugah. Itu gugatan
yang menolak tunduk pada kejahatan. Menolak takut
pada diktator. Pentingnya kebebasan dan perjuangan.

Lord Halifax saat itu sudah merasa di atas angin.


Mayoritas parlemen nampak akan menekan Churchill
untuk bernegosiasi dengan Hitler. Namun setelah
mendengar Churchill pidato, opini parlemen bergeser.
Churchill didukung mayoritas melanjutkan perang
melawan Hitler apapun risikonya.

Selesai sidang parlemen, Lord Halifax ditanya rekan


satu aliran. Mengapa parlemen bisa berubah
mendukung perang dilanjutkan? Ujar Halifax: Churchill
menggunakan kekuatan kata-kata.
Ya itu dia. kekuatan kata-kata. Tak heran. Bukan Novel
Churchill yang membuatnya mendapatkan hadiah Nobel
sastra. Tapi kekuatan kata dan retorika dalam
pidatonya. Kekuatan kata dalam buku non-fiksinya.
Serta kekuatan kata-kata pembelaannya pada
kebebasan dan inspirasi keberanian.

Itulah yang membuat Churchill satu-satunya kepala


pemerintahan yang mendapat Nobel Sastra.

Sepanjang film berdurasi 2 jam lebih, saya terpana pada


kemampuan akting Gary Oldman. Begitu apiknya ia
memerankan Churchill. Indahnya itu akting. Tak heran
Oldman difavoritkan mendapat Oscar aktor terbaik tahun
ini.

Tapi saya lebih terpana pada hal lain. Imajinasi


berkelana lebih jauh. Ini perkara sejarah. Jika saja
Churchill politisi biasa, mungkin kita sampai pada
sejarah yang berbeda. Tak ada lagi kekuatan yang
berani melawan Hitler. Nazi akan menguasai Eropa dan
dunia. Saat itu tinggal Inggris yang berani melawan
walau kekuatan militer tak seberapa.

Jika Churchill takut dan memilih damai, yang kini


dominan mungkin bukan demokrasi dan hak asasi tapi
Nazisme. Atau mungkin sejarah pembantaian manusia
atas superioritas ras akan lebih panjang. Atau
demokrasi dan hak asasi akhirnya tetap menang namun
lebih lambat kemajuannya dibanding saat ini.

Ternyata ini topik yang menjadi studi sejarah. Para


ilmuwan mencoba menerka apa jadinya jika saat itu
Churchill memilih bernegosiasi dengan Hitler. New York
Times membuat artikel khusus mengulasnya di tahun
2000: Rethinking Negotiation with Hitler.

Saya terus terngiang indahnya retorika Churchill.


Ujarnya “kita harus menuju kemenangan dengan
seluruh risikonya. Kemenangan walau sehebat apapun
teror mengancam. Kemenangan walau begitu sulit dan
panjang jalan harus kita tempuh. Jika kita tak menang,
hal baik dalam peradaban akan musnah.”

Itu sebabnya mengapa tak perlu ada negosiasi dengan


diktator. Hitler tak ada keinginan lain kecuali kuasai
Eropa, lalu dunia.

Atau ketika banyak yang pesimis dengan situasi,


Churchill menggugah. “Ini era yang mengharuskan kita
untuk optimis. Situasi meminta kita untuk tidak bersikap
lain.”

Atau “Jangan pernah menyerah, jangan pernah


menyerah. Jangan, jangan, dan jangan. Baik menyerah
untuk hal besar ataupun hal kecil. Kita hanya boleh
menyerah untuk kebaikan dan martabat.

Churchill mencontohkan dengan baik kisah seorang


pemimpin. Ia bukan saja berani tapi pandai menggugah.
Ia bukan saja kepala pemerintahan tapi cemerlang soal
gagasan. Ia bukan saja memerintah tapi membangun
peradaban.

Ia bukan saja tegas menyatakan TIDAK kepada diktator,


tapi juga pandai mempengaruhi opini. Ia bukan saja
percaya pada cita cita mulia, namun juga percaya pada
kekuatan kata
Menonton film Darkest Hours, merenungkan figur ideal
seorang pemimpin, dan menyimak politik Indonesia
sejak reformasi, ada rasa sepi.

Oh, betapa saya rindu romantisme itu. Betapa saya


damba politik yang penuh gagasan dan inspirasi. Betapa
kita berharap hadirnya seorang pemimpin yang juga
pejuang.

Januari 2018
Ketika Pemilik Koran Besar Berteman
dengan Politisi Berpengaruh
Review Film Te Post, nominasi film terbaik Oscar
2018

Sulitnya saat itu menjadi Katharine Graham. Ia wanita


pertama di antara kaum lelaki yang memiliki koran
sangat besar, The Washington Post. Suaminya baru
wafat karena bunuh diri. Itu juga menjadi isu tersendiri.

Hari itu ia harus membuat keputusan. Risikonya, ia


masuk penjara dan korannya disalahkan pengadilan.
Sudah pasti pula para investor akan meninggalkannya.
Padahal The Washington Post baru go public, IPO.
Legacy keluarga bisa hancur.

Namun jika ia mundur, apa yang akan dikatakan rakyat


Amerika Serikat? Ia akan dianggap mengkhianati fungsi
pers yang utama. Yakni, melindungi hak rakyat banyak
untuk tahu, bukan melindungi penguasa berbohong atas
nama dokumen rahasia negara.

Lama Katharine terombang-ambing. Dipandangnya foto


suami dan Ayah yang mewariskan koran ini padanya.

Selama hampir dua jam, saya pun ikut terombang


ambing menonton film ini. Sambil terus saya bertanya.
Jika saya menjadi Katharine Graham, apa yang saya
lakukan?

Film ini sungguh pantas tak hanya menjadi nominasi film


terbaik Oscar 2018. Meryl Streep yang memerankan
Katharine Graham juga pantas ke sekian kali
dinominasikan aktris terbaik Oscar 2018.
Film ini dicatat pula oleh TIME dan AFI sebagai satu dari
10 film terbaik tahun 2018.

Sepanjang film saya teringat Christopher Dodd. Ujarnya,


ketika hak rakyat untuk tahu terancam. Ketika hak media
mempublikasikan kejujuran terancam. Maka terancam
pula kebebasan sebuah bangsa. Hak rakyat untuk tahu
dan hak media mempublikasikan kejujuran agar rakyat
tahu adalah fondasi.

Katharine ada dalam posisi itu. Ia kini berada dalam


tekanan hebat. Robert McNamara adalah teman yang
sangat dekat. Saat peristiwa berlangsung, ia menjadi
menteri pertahanan (1961-1968) di bawah presiden
Lyndon Johnson. Ketika suaminya bunuh diri,
McNamara setia menemani.

McNamara adalah sahabat yang kebetulan seorang


politisi sangat berpengaruh saat itu. Tapi perkara perang
Vietnam saat itu tengah menjadi isu hangat. Bangkit
demonstrasi di aneka tempat. Rakyat Amerika bergolak
menentang perang.

Awalnya adalah riset. McNamara meminta tim akademik


mengkaji soal perang Vietnam, berikut rekomendasi.
Tim akademik bekerja. Kesimpulannya, mustahil
Amerika Serikat menang perang.

Tapi politisi merespon kajian ilmiah dengan perspektif


berbeda. Mustahil Amerika menyerah kalah. Ke mana
harus diletakkan martabat negara super power jika kalah
dalam perang Vietnam melawan negara kecil?

Tak ada politisi yang bersedia mengambil risiko malu.


Akibatnya, anak muda Amerika terus dikirim. Kematian
demi kematian serdadu Amerika serikat di Vietnam terus
pula terjadi. Demi sebuah martabat! Kebohongan soal
perang Vietnam perlu dibuat agar rakyat teryakinkan
oleh kebijakan pemerintah.

Aneka studi soal masalah perang Vietnam


didokumentasikan dalam files yang disebut Pantagon
Papers. File ini yang bocor ke kalangan media.

Daniel Ellsberg, seorang analis militer, ikut membuat


studi itu. Ia membocorkan dokumen itu bertahun-tahun
kemudian. Awalnya kepada The New York Times. Lalu
dibocorkan pula kepada The Washington Post.

Di tahun enam puluhan itu, Daniel mendengar sendiri


ucapan McNamara di pesawat kepada sesama pejabat
pemerintahan. Ujar McNamara, sesuai studi yang
dibuat, tak ada harapan Amerika memenangkan perang.

Tapi turun dari pesawat, di hadapan wartawan, atas


nama kepentingan negara, McNamara membuat
pernyataan yang bertolak belakang. Ia berkata, perang
perlu diteruskan dan dimenangkan.

Ellsberg secara sembunyi memilih memgambil risiko


membocorkan Pentagon Papers kepada media. Ia tak
tahan pemerintah berbohong. Ia tak tega melihat
kematian sia-sia tentara Amerika Serikat di Vietnam.
Sekitar hampir 20 tahun kemudian, paper itu ia
bocorkan.

Problemnya kemudian beralih kepada pemilik koran. Itu


tahun 1996, sudah belasan tahun setelah Ellsberg
mendengar percakapan McNamara di pesawat, kasus
dimulai. Keputusan harus diambil Katherine.

Pengacara sudah mengatakan, Katharine berisiko


dibawa ke pengadilan dan masuk penjara jika
mempublikasi dokumen negara dengan klasifikasi
rahasia.

Katharine terdiam. Ia mengingat sahabatnya, McNamara


yang justru menjadi kunci paper Pentagon. Betapa
sahabatnya akan menderita akibat publikasi ini.
McNamara sudah pula memperingati Katherine. Ujar
McNamara, Presiden Nixon akan keras sekali bertindak
dan menghancurkanmu.

Pernyataan bahwa “pemerintah Amerika bertahun-tahun


berbohong kepada rakyat soal perang Vietnam,” itu isu
yang terlalu menyakitkan bagi Nixon. Berarti Nixonpun
dituduh ikut berbohong karena ia juga presiden yang
menyimpan rahasia. Board of Director yang mengelilingi
Katharine menyatakan hal yang sama. Jangan ambil
risiko. Investor akan pergi. Kau akan masuk penjara.
Koran kita akan hancur. Mana tanggung jawabmu
kepada para investor?

Satu-satunya yang mendorong Katharine ambil risiko


mempublikasi dokumen rahasia penuh kebohongan
adalah Ben Bradlee. Ia sejak awal dikenal sebagai
jurnalis pembela gigih kebebasan pers. Jika pengadilan
mengalahkan mereka, Katharine dan Ben Bradlee
masuk penjara.

Ujar Bradlee, jika kita mundur, siapa lagi yang akan


memperjuangkan hak rakyat untuk tahu? Siapa lagi
yang menentang kebohongan? Siapa lagi yang
mengatakan bahwa pemerintah harus dikontrol?

Namun malam itu, Bradlee tak sekeras sebelumnya.


Istrinya menyentak agar ia tak terlalu menekan
Katherine. Beban dan risiko terbesar ada di Katherine,
selaku pemilik, bukan pada Bradlee.
Kini semua di tangan Katherine. Ia yang harus
memutuskan. Semua silang pendapat berhenti
menunggu keputusan.

Ia menimbang kanan dan kiri. Kadang ia ragu. Kadang


ia mencoba berani. Tapi keputusan harus diambil
segera.

Malam itu, Katharine Graham membuat keputusan yang


kemudian mengharumkan nama. Ia ambil risiko
dipenjara demi berjuang untuk kebebasan pers.
Publikasi dokumen rahasia berlanjut. The Washington
Post menjadi medium.

Pengadilanpun dimulai. The Washington Post dan The


New York Times menjadi tertuduh. Koran besar ini
dianggap tak peduli pada keamanan negara.

Yang mengharukan, aneka media Amerika Serikat lain


serempak ikut membocorkan rahasia negara sebagai
solidaritas.

Bagi awak media, rahasia negara yang membohongi


rakyat tak pantas dihormati. Walau rahasia negara itu
diklaim dalam rangka kepentingan nasional. Mereka
akan berjuang memgambil risiko bahkan masuk penjara.

Sejarahpun mencatat kemenangan kebebasan pers.


Hakim dengan skor 6:3, sekali lagi menegaskan prinsip
demokrasi modern. Pers harus bebas memberitakan
apapun sejauh akurat, termasuk rahasia negara yang
membohongi rakyat.

Katharine lepas dari segala tekanan. Para anggota


board of director dan jajaran wartawan teryakinkan.
Seorang wanita pertama yang memimpin koran besar,
yang awalnya diragukan, ternyata menyimpan kekuatan
yang sungguh.

Awak pers seluruh Amerika Serikat bersorak. Terpujilah


Katharine Graham. Terpujilah mereka yang berani
mengambil risiko berjuang untuk kebebasan. Terpujilah
Steven Spielberg yang mendokumentasikan peristiwa
penting itu dalam film yang menarik.

Sepanjang 12 jam sudah, saya lepas dari film ini. Tapi


adegan demi adegannya masih memenuhi kepala. Ia
seolah meronta, mengeong, minta dituliskan.

Pagi sekali setelah minum kopi, menuliskan review film


ini adalah kegiatan pertama saya membuka hari.-

Januari 2018
Ketika Cinta Melawan Pemerintahan

Review Film A United Kingdom (2016)

Ini kisah sejati di daerah Afrika dan Inggris, yang terjadi


di tahun 1946. Sebuah kisah cinta yang sulit namun
akhirnya bahkan mengubah sebuah pemerintahan.

Lama saya terdiam setelah film selesai. Yang teringat


justru dua penyair besar. Yaitu Kahlil Gibran ketika ia
menulis: jika cinta memanggilmu, datanglah walau
pedang di balik sayapnya melukaimu. Kau akan ditempa
sebagaimana aluminium dipukul dan dibakar agar
menjadi piala.

Teringat juga Jalaluddin Rumi. Ujar Rumi: panggilan


cinta sejati melampaui akal pikiran manusia biasa.
Percayalah pada kekuatan cinta, dan nikmati perjudian
di dalamnya.

Pangeran kulit hitam dari wilayah yang sangat miskin di


Afrika, Seretse Khama dari Bechuanaland diperankan
dengan baik oleh David Oyelowo. Kekasihnya berkulit
putih dari keluarga terhormat Inggris diperankan oleh
Rosamund Pike.

Ini sebuah drama sejarah kisah, yang memang terjadi di


dunia nyata, yang akhirnya happy ending dibandingkan
kisah tragedi cinta Romeo and Juliet karya
Shakespeare.

-
Seretse dikirim pamannya untuk belajar ke London,
setelah selesai perang dunia kedua. Ayah dan ibu
Seretse sudah wafat sejak usianya tiga tahun. Kerajaan
Bechuanaland didirikan sudah ratusan tahun oleh
Keluarga Khama. Sambil menunggu Seretse dewasa
dan siap menjadi raja, tampuk kekuasaan dipegang
sementara oleh paman Seretse.

Sang paman begitu dihormati oleh Seretse dan


dianggap sebagai ayahnya sendiri. Sang paman juga
menyiapkan Seretse selama dua puluh tahun agar siap
menjadi raja bagi komunitas kulit hitam.

Di tahun 1946, diskriminasi kulit hitam dan putih hal


yang biasa. Di era itu tokoh seperti Martin Luther King
yang berjuang untuk anti diskriminasi masih berusia 27
tahun dan belum dikenal pergerakannya. Afrika Selatan
selaku tetangga terbesar Bechuanaland masih
menerapkan Apartheid yang secara sah menjadikan
kulit hitam sebagai kelas dua. Dunia menerima kultur
diskriminasi itu.

Kultur zaman saat itu, di tahun 1946, bukan saja


didominasi oleh cara pandang kulit putih yang
menganggap kulit hitam sebagai manusia dengan 5
derajat yang lebih rendah. Mayoritas kulit hitam juga
melihat kulit putih selaku jenis manusia yang menindas.
Kulit hitam dan kulit putih memang dua spesies manusia
yang berbeda saat itu.

Namun di London 1946 itu, sesuatu telah terjadi.


Sesuatu yang tak biasa. Seretse, sang pangeran kulit
hitam, berjumpa dengan Ruth, putri kulit putih di pesta
dansa. Ada getaran yang kemudian mengubah sejarah
sebuah negeri.
Cinta bersemi di antara dua insan ini. Namun lingkungan
mereka bersikap seperti yang dikatakan Ruth: “Seretse,
hanya kita berdua yang menganggap apa yang kita
jalani ini benar. Kita melawan dunia.” Beberapa kali
Seretse dan Ruth merenungkan apakah kisah cinta ini
harus dipadamkan.

Tapi panggilan cinta itu begitu kuat. Tanpa persetujuan


kedua keluarga masing-masing, merekapun menikah.
Ruth siap pindah dari London yang metropolitan untuk
menjadi ratu sebuah kerajaan sangat miskin di Afrika.

Tantangan pun datang. Yang paling berat justru dari


paman yang sangat dicintai dan dihormatinya. Ujar
paman: “aku sudah anggap dirimu anakku sendiri.
Sudah 20 tahun aku menyiapkanmu menjadi raja.
Sudah 20 tahun rakyatmu menunggu. Mana bisa
mereka menerima ratu kulit putih yang selama ini
menindas mereka.”

“Demi rakyatmu, kau harus bercerai. Itu keputusan


keluarga besar Khama.” Saat itu Bechuanaland berada
dalam kekuasaan Inggris. Pemerintah Inggris dengan
seluruh kekuasaannya juga mencoba memisahkan
Seretse dengan Ruth.

Karena cinta mereka berdua terlalu kuat, akhirnya sang


paman dan pemerintah Inggris memberikan pilihan.
Seretse boleh terus menikah namun ia harus mundur
dari tahta raja. Paman, keluarga besar dan
pemerintahan Inggris satu suara. Mereka menyiapkan
segala hal untuk menyingkirkan Seretse menjadi raja.
Seretse melawan. Mengapa cintanya pada seorang
wanita menjadi penghalang haknya menjadi raja?
Apakah ia menjadi raja atau tidak, jangan diputuskan
oleh pamannya, juga jangan oleh pemerintah Inggris. Ia
ingin itu diputuskan oleh para tetua adat yang menjadi
elite dan rakyat Bechuanaland.

Sidang raya digelar. Pamannya berpidato meminta


rakyat mendukung pencopotan hak raja bagi Seretse.
Sebaliknya, Seretse juga pidato yang menggugah. Ujar
Seretse berapi-api tapi menyentuh: rakyat
Bochuanaland harus membuka mata. Ia pewaris sah
kerajaan. Ia cinta rakyatnya. Tapi ia juga cinta istrinya.
Cinta pada istrinya yg kulit putih tidak menjadi
penghalang pengabdiannya kelak kepada rakyat.

Ruth sendiri terlihat pasrah. Sudah berhari-hari ia


menemani suaminya pulang ke Bechuanaland. Ia tak
punya teman. Ia bahkan dimusuhi oleh keluarga besar
Khama. Rakyat Khama menganggap aneh jika ratu
mereka berkulit putih dari jenis manusia penindas.

Namun sang paman kaget luar kepalang. Para tetua ada


dan elite Bechuanaland lebih banyak yang menerima
Seretse. Yang tak setuju Seretse secara damai eksodus
pindah ke wilayah lain.

Konflik antara paman dan Seretse tak kunjung selesai.

Suasana kemiskinan, penyakit semakin mewarnai

Bechuanaland ketika Seretse menjadi raja.


Kerajaan Inggris dan pamannya kembali berupaya
memisahkan Seretse dengan istrinya, atau
menyingkirkan Seretse dari politik Bachuana. Alasanpun
dibuat: Seretse gagal menjadi raja, tak mampu. Dengan
aneka tipu daya politik, Seretse akhirnya diasingkan,
hidup terpisah dari istri dan rakyatnya.

Kembali Seretse dipaksa hidup di London. Istrinya


tinggal di Bechuanaland. Aneka berita media massa
saat itu banyak mengangkat drama cinta dan politik ini.
Kasus Seretse bahkan menjadi agenda pertikaian politik
Inggris antara Partai Konservatif yang dipimpin Winston
Churcill melawan Partai Buruh.

Pada momen itu, kita menyaksikan Seretse tidak saja


mulia dari sisi kesetiaan cinta. Namun ia juga pemimpin
yang lihai berpolitik. Ia mainkan media dan pers. Ia
berjumpa dengan para lobbyist politik. Ia juga membina
relasi dengan para pengusaha. Apalagi setelah ia tahu
Bechuanaland menyimpan potensi luar biasa: berlian
terbaik di dunia.

Kegigihan cintanya berbuah. Persistensinya sebagai


pemimpin juga berbuah. Ia bisa berkumpul kembali
dengan istrinya, berdamai dengan pamannya. Iapun
berhasil mengubah Bechuanaland yang berbentuk
kerajaan menjadi Botswana, pemerintahan demokratis.
Seretse sendiri terpilih sebagai presiden pertama.

Lebih dari itu, ia berhasil mengubah Bechuanaland yang


sangat miskin menjadi satu dari negara terkaya di benua
Afrika. Anaknyapun terpilih menjadi presiden Botswana
yang keempat setelah kematiannya.
Banyak politisi mengenang Seretse selaku pemimpin
yang berhasil. Namun akan lebih banyak manusia
mengenang Seretse sebagai insan yang begitu teguh
memenuhi panggilan cinta, seterjal apapun jalan yang
harus ditempuh.

Lama saya terdiam. Bertanya di dalam hati. Mampukah


saya seperti Seretse yang tetap memelihara cinta ketika
rintangan, dan jebakan, begitu besar?

-
Mencegah Bercampurnya Etnis

Review Film Rabbit Proof Fence (2002)

Di setiap zaman, selalu dilahirkan pribadi yang melawan


ketidakadilan, dengan cara yang kadang di luar
perkiraan. Di Australia tahun 1931, di kalangan suku
Aborigin, yang melawan ketidakadilan itu adalah tiga
bocah berusia 14 tahun, 10 tahun dan 8 tahun. Mereka
berjalan kaki 9 minggu, menempuh 2400 kilometer, yang
kira-kira jarak tempuhnya sama dengan tiga kali jarak
Jakarta-Surabaya.

Saya terpana dan terpaku di sepanjang film 93 menit itu.


Film ini dibuat berdasarkan buku yang ditulis oleh Doris
Pilkington Garimara. Doris adalah anak dari Molly,
bocah 14 tahun itu yang melawan itu.

Pemain utama film Evelyn Lee Marie Sampi


memerankan Molly. Artis ini memang keturunan
Aborigin. Dari wajahnya, publik segera mengenali ia
bukan dari kulit putih murni, dan bukan pula suku
Aborigin asli.

Pernah ada masa bahkan di dunia Barat sana. Di


Australia tahun 1931, dikenal apa yang disebut sebagai
kumpulan manusia “setengah kasta.” Mereka bukan kulit
putih. Mereka bukan suku Aborigin. Mereka etnis
campuran.

Acapkali ayahnya kulit putih, ibunya suku Aborigin. Bagi


pemerintah Australia tahun 1931, manusia setengah
kasta, yang blasteran ini, yang suku bercampur ini,
adalah sebuah ancaman.

Pemerintah membuat kebijakan khusus. Mereka


menggunakan ilmu pengetahuan seadanya di era itu.
Komunitas setengah kasta ini harus diselamatkan.

Seorang ahli berhasil meyakinkan pemerintah Australia.


Jika manusia setengah kasta itu kembali kawin dengan
kulit putih, pelan-pelan keturunan mereka akan kembali
menjadi kulit putih. Campuran suku Aboriginnya akan
hilang karena perkawinan itu. Aneka bukti yang
menguatkan dipaparkan lengkap dengan foto.

Program pun dibuat dengan misi suci: komunitas


setengah kasta, campuran etnik itu harus diupayakan
dijadikan kulit putih kembali. Pemerintah Australia kala
itu mendukung program ini. Pemerintah menyediakan
dana negara, juga para pegawai untuk memastikan etnik
yang bercampur harus dibersihkan sedini mungkin.

Tim kerja dan perangkatnya disiapkan. Mereka


mendata, siapa saja dan tinggal di mana saja manusia
setengah kasta itu. Langkah pertama, seawal mungkin,
mereka harus dipisahkan dari ibu asal originnya, dan
dididik di sebuah kamp.

Film memusatkan kisah pada perburuan tiga anak


setengah kasta. Tim riset berhasil mengidentifikasi
tempat tinggalnya: Molly (14 tahun), adik kandungnya
Daisy (8 tahun), dan keponakannya Grace (10 tahun).

Tiga anak ini tak lagi dijenguk oleh ayah mereka yang
kulit putih. Mereka tinggal di wilayah unik, di sekitar
pagar yang disebut Rabbit Proof Fence.
Itu jenis pagar yang juga mungkin hanya ada di Australia
di era 1931. Saat itu tak diduga kelinci cepat sekali
beranak pinak. Autralia mengembangkan sejenis “Great
Wall China,” mendirikan pagar yang sangat istimewa.

Pagar itu dibangun sepanjang 1500 mil, setara dengan


2400 km. Ia dirakit dengan bahan sederhana sejenis
kawat saja. Fungsinya, pagar itu memisahkan kelinci
dan hewan lainnya untuk hidup di satu sisi saja, dan
tidak masuk ke wilayah di seberang pagar. Yang
dilindungi dari kelinci itu pertanian penduduk.

Molly, Grace, dan Daisy sering memandang kelinci dari


pagar itu. Ia pernah bertanya pada ayah, ujung pagar
panjang itu di mana. Ayahnya menjawab, ujung pagar
itu jauh sekali, di tempat yang tak akan pernah bisa kau
tempuh. Ternyata pagar itu yang kemudian menjadi
penyelamat Molly dan adiknya. Pagar itu menjadi
penguat hatinya.

Dalam tempo yang cepat, Molly, Grace, dan Daisy


diburu pemerintah Australia. Mereka bertiga berlari
sekuat tenaga. Ibu dan nenek melindungi mereka sekuat
daya. Tapi pemerintah selalu lebih kuat.

Penduduk yang ingin menyelamatkan Molly dan adiknya


tak berdaya. Para pemburu menunjukkan dokumen
resmi pemerintah. Mereka adalah aparat yang bergerak
berdasarkan hukum. Jangan ada yang berani dan nekat
melawan hukum.

Molly, Grace, dan Daisy dibawa menempuh perjalanan


yang jauh sekali dengan mobil. Tinggallah nenek dan
ibu menangis meraung. Sang nenek tak henti berdoa
dalam bahasa Aborigin, meminta bantuan leluhur yang
sudah tiada. Di langit, burung rajawali terbang seolah
mendengar doa dua wanita yang sangat menderita.

Molly, Grace, dan Daisy ternyata dibawa untuk hidup


dalam sejenis perkampungan. Di sana sudah berkumpul
puluhan bocah setengah kasta lainnya. Di dalam
komunitas itu, mereka “diselamatkan,” dididik khusus
agar menjadi bagian dari kulit putih kembali.

Mereka dilarang dan dihukum jika menggunakan bahasa


Aborigin. Bahasa mereka mulai hari pertama hidup di
komunitas harus bahasa Inggris. Mereka juga dididik
secara Kristen. Mereka diajarkan cara berdoa sesuai
dengan aturan gereja.

Para guru dan biarawati yang mendidik mereka, banyak


yang memiliki pribadi penuh kasih. Namun semua guru
punya misi yang sama. Para manusia setengah kasta ini
harus dibantu menjadi kulit putih kembali yang
berbahasa Inggris dan beragama Kristen.

Yang istimewa dari komunitas itu adalah hadirnya


seorang pencari jejak asal suku Aborigin asli. Untuk
anak yang melarikan diri, pencari jejak mudah
menemukannya dengan melihat tanah, pasir, ataupun
tumbuhan patah karena terinjak.

Molly menyaksikan sendiri seorang anak yang melarikan


diri berhari-hari berhasil ditemukan. Setelah ditemukan,
anak itu dikurung terpisah sebagai hukuman dan contoh
bagi anak lain.
Banyak anak setengah kasta yang betah dengan
program pemerintah ini. Mereka punya tempat tidur lebih
baik, makan lebih terjamin, bersekolah. Berkali-kali guru
dan biarawati meyakinkan mereka akan hidup terjamin.
Banyak bocah yang senang hati menyambut program
menjadi bagian kulit putih kembali.

Tapi Molly melawan. Ia rindu nenek dan ibunya. Ia


merasa ini tak adil. Ia tak mau menjadi kulit putih. Ia
merencanakan melarikan diri.

Sepertiga durasi film ini adalah adegan Molly dan dua


adiknya melarikan diri berjalan selama sembilan minggu.
Satu pasukan melacak mereka, termasuk ahli pelacak
suku Aborigin.

Sejak awal dua adiknya ragu-ragu untuk melarikan diri.


Ujar sang adik, “Moodoo (nama pencari jejak yang ahli)
akan mudah menemukan mereka.” Molly meyakinkan
bahwa mereka bisa menghilangkan jejak seperti yang
diajarkan tetua suku Aborigin.

Aneka drama terjadi selama 9 minggu itu. Mulai dari adu


strategi menghilangkan jejak oleh Molly versus
kemampuan pencari jejak membaca tipuan Molly.
Mereka jumpa sesama suku Aborigin yang
mengesankan membantu namun justru mengkhianati.

Ada pula adegan Molly dan adiknya kelaparan dan


mencuri. Seorang ibu kulit putih yang makanannya dicuri
justru membantu. Konflik kakak beradik mengenai apa
yang harus dilakukan selanjutnya. Acapkali pula mereka
kelelahan dan hampir mati.
Satu patokan Molly melarikan diri adalah menemukan
pagar sepanjang 2400 kilometer itu. Ujar Molly, “pagar
itu yang akan mempertemukan mereka dengan ibu dan
nenek yang sangat mereka cintai.”

Anggaran khusus pemerintah untuk menemukan Molly


sudah melampaui yang disiapkan. Pemerintah juga
menunggu Molly di kediaman ibu dan nenek Molly.
Namun ibu dan nenek segera berpindah lokasi agar tak
ditemukan.

Dengan ikatan batin yang kuat, dan arah terbang


rajawali yang seolah digerakkan leluhur, Molly dan
adiknya bertemu dengan ibu dan nenek di tempat
khusus, yang tak diketahui para pemburu.

Di akhir film, kita melihat wajah asli Molly dan adiknya


yang sudah sangat tua. Terasa guratan wajah seorang
yang teguh melawan.

Di tahun 1943, kebijakan setengah kasta, yang ingin


memurnikan kulit putih resmi dicabut. Namun kita tahu.
Majunya peradaban masa kini tak datang begitu saja.
Selalu hadir di setiap zaman, manusia yang melawan.
Tak jarang mereka melawan dengan risiko hidupnya
sendiri. Kita berutang budi kepada mereka yang
melawan ketidakadilan di sepanjang zaman.

-
Drama Politik Sebuah Lukisan

Review Film Woman in Gold (2015)

Sebuah lukisan menjadi legenda bukan saja karena


kualitas fenomenal lukisannya. Tapi juga oleh drama
sosial politik di seputar lukisan itu.

Ini yang terjadi untuk kasus lukisan Gustav Klimt: The


Portrait of Adele (1907). Adele yang menjadi figur
sentral lukisan itu adalah seorang bangsawan Yahudi,
dari keluarga kaya raya yang kemudian tersingkir oleh
perubahan politik.

Perjumpaan saya yang pertama dengan lukisan The


Portrait of Adele, terjadi di tahun 2008. Saat itu saya
dalam proses membuka bisnis galeri lukisan. Melalui
Google saya ketik pencarian lukisan termahal di dunia.

Saat itu yang ada di benak saya lukisan Monalisa karya


Leonardo da Vinci. Karena saya awam lukisan, agak
kaget juga ketika yang saat ini muncul rangking 1 justru
lukisan lain. Berulang saya baca judul lukisan itu: The
Portrait of Adele, karya Gustav Klimt.

Saya baca harga yang tertera di sana. Jika dikurskan


dengan kurs saat itu harganya di atas 1 trilyun rupiah.

Lama saya tatap lukisan itu, mencari tahu apa yang


membuatnya melampaui 1 trilyun rupiah. Saya tatap
gambar wajah wanita ningrat dengan lukisan didominasi
warna emas itu. Namun saya tetap tak mengerti
mengapa lukisan itu mahal sekali.
Perjumpaan kedua dengan lukisan itu ketika saya
menonton film Woman in Gold. Saya tak menyangka
ternyata di balik lukisan The Portrait of Adele tersimpan
drama politik yang seru. Kasus hukumnya bahkan
melibatkan dua pemerintahan Austria dan Amerika
Serikat.

Helen Mirren memainkan dengan baik Maria Altmann. Ia


wanita lanjut usia yang menghabiskan waktu lebih dari
10 tahun untuk kembali memiliki lukisan itu.

Ini memang kisah yang sebenarnya. Film dimulai


dengan Maria Altmann. Ia sudah berusia lanjut, berumur
di atas 70an, di tahun 1990, hidup menjanda, dan tak
lagi kaya. Ia wanita Yahudi kelahiran Austria yang
mengungsi ke Amerika Serikat ketika Nazi mencaplok
Austria. Ini kasus sebelum perang dunia kedua.

Setelah menghadiri pemakaman kakaknya, Maria


menemukan dokumen. Ini upaya kakaknya untuk
mengambil kembali koleksi benda seni yang mereka
punya. Karena dari keluarga Yahudi, aneka benda seni
bernilai tinggi itu dirampas oleh Nazi.

Maria Altmann terdiam lama. Yang ia ingat pertama


adalah lukisan The Portrait of Adele ketika lukisan itu
dipajang di rumah pamannya. Saat itu, ia masih bocah.
Adele di lukisan itu ternyata bibinya.

Ia teringat dipangku oleh bibinya, Adele. Ia ditanya


bagaimana pendapatnya tentang bibinya di lukisan itu.
Pamannya juga menunjukkan padanya aneka koleksi
seni yang mereka punya.
Sebagai keluarga Yahudi yang kaya raya, Maria sejak
bocah sudah mengenal banyak benda seni. Ayahnya
senang memainkan sejenis biola yang sangat besar.
Namun memang ayahnya tak sekaya pamannya yang
merupakan suami Adele.

Mereka keluarga Yahudi yang dihormati warga di sana.


Ketika Nazi masuk ke Austria, suasana berubah total.
Mereka menjadi keluarga yang diburu, diperlakukan
semena-mena.

Ia sempat menyaksikan aneka benda seni yang mereka


punya dirampas begitu saja. Ia sangat sedih melihat
lukisan The Portrait of Adele diturunkan oleh polisi Nazi
dari dinding untuk dibawa ke tempat lain. Ia mau
berteriak tapi takut. Dilihatnya bahkan pamannya yang
dulu powerful, kaya raya, bahkan tak berdaya.

Maria teringat betapa ia harus berpisah dengan


ayahnya. Bersama suami, ia dengan segala upaya
melarikan diri ke Amerika Serikat. Memori masa silam
datang silih berganti. Maria akhirnya bertekad
meneruskan upaya yang sudah dirintis kakaknya. Ia
ingin menggugat pemerintah Austria untuk mengambil
kembali hak keluarga mereka, terutama lukisan The
Portrait of Adele.

Namun ia tak punya banyak uang, tak mampu menyewa


lawyer mahal. Untung ada lawyer muda, belum
berpengalaman, anak sahabatnya, yang bersedia
membantu.

Selanjutnya film berkisah soal perselisihan paham di


pengadilan Austria. Maria beserta pengacaranya harus
datang ke Austria. Dijenguknya kembali apartemen
mahal itu tempat pamannya tinggal. Kini sudah dimiliki
pihak lain.

Beruntung Maria, ia berjumpa dengan wartawan


investigatif Hubertus Czernin. Ia juga dikenal karena ikut
membongkar betapa presiden Austria Kurt Waldheim itu
seorang pengikut Nazi. Ini kasus yang sempat
menggemparkan dunia.

Di galeri di Viena sempat Maria melihat kembali lukisan


The Portrait of Adele. Beberapa kali hatinya sempat
goyah. Lukisan itu agaknya sudah benar disimpan di
galeri yang bisa dilihat orang banyak. Apalagi
pemerintah Austria menyatakan lukisan itu sudah
menjadi ikon Austria. Jangan lukisan itu dipisahkan dari
rakyat Austria, itu gumamnya.

Maria sendiri sebenarnya pernah menemui langsung


menteri kebudayaannya mengajak kompromi. Maria
merelakan lukisan itu diambil oleh pemerintah Austria
dengan kompensasi yang pantas.

Namun pemerintah Austria menolak kompromi dan


kompensasi apapun. Ia memegang bukti surat wasiat
Adele sendiri. Adele pernah menyatakan jika ia mati, ia
ingin lukisan itu disimpan di galeri.

Kesombongan pemerintah Austria membuat Maria tak


jadi menyerahkan lukisan itu. Ia terus melawan.
Wartawan itu ikut membantu membawa bukti bahwa
surat wasiat Adele tidak sah. Lukisan itu bukan milik
Adele, tapi milik pamannya. Ditambah lagi, lukisan itu
bukan ditaruh di sana secara suka rela namun dirampas
pemerintahan Nazi. Maria pewaris yang sah dari semua
harta pamannya.
Namun pengadilan mengalahkan Maria. Ia tetap bisa
naik banding dengan membayar sejumlah dana. Maria
tak punya dana sebanyak itu. Pulanglah Maria dan
pengacaranya dengan tangan hampa kembali ke
Amerika. Ia marah dan bertekad tak akan menginjak
Austria lagi. Ini negara yang merampas hak mereka.

Di Amerika, Maria kembali menjalani hidupnya selaku


warga senior. Ia menolak membicarakan apapun soal
koleksi seninya yang dirampas pemerintah Austria.

Sampailah suatu masa yang kebetulan. Pengacaranya


(versi film), atau wartawan Hubertus (versi dokumen
lain) menemukan dalil hukum yang mempunyai
preseden. Maria tetap bisa menuntut kepemilikannya
atas The Portrait of Adele dan koleksi lain melalui
pengadilan Amerika Serikat.

Dalam perawatannya, lukisan itu juga menerima dana


dari sumbangan warga Amerika. Situasi ini membuat
lukisan itu bisa menjadi objek dari hukum Amerika
Serikat.

Yang bersemangat untuk memperkarakan kembali


kasus tersebut justru pengacaranya. Maria malah pasif
dan cenderung tak mendukung. Akhirnya disepakati
Maria mengijinkan pengacaranya membuka kasus itu
kembali. Maria seolah tak lagi mau tahu.

Di sinilah terlihat keuletan dan kecerdasan seorang


pengacara muda yang belum berpengalaman. Dengan
dana terbatas, pinjam uang sini dan sana, bahkan tak
didukung penuh oleh kliennya sendiri, pengacara ini
nekat terus bertarung.
Ujung kasus ini, sebuah kejutan yang menggembirakan.
Setelah lebih dari 10 tahun menggugat, Maria
mendapatkan kembali haknya atas lukisan itu beserta
koleksi seni lain.

Oleh Maria lukisan itu dibawa ke Amerika Serikat. Ia


kemudian melelangnya. Beserta lukisan lain, Maria
mendapatkan dana lebih dari tiga triliun rupiah.

Maria pun mendirikan yayasan amal. Sebagian dana ia


berikan kepada pengacara muda itu. Sisa dana untuk
badan amal dan kelangsungan hidupnya sendiri untuk
kembali menikmati hidup yang nyaman.

Lukisan itu sempat diganti namanya oleh Nazi menjadi


Woman in Gold. Kata Adele dibuang dari judul karena
berbau Yahudi. Maria mengembalikan nama lukisan itu
menjadi The Portrait of Adele.

Lukisan itu kini menjadi jajaran utama lukisan legenda


dunia. Lebih dari lukisan lain, drama sosial politik yang
mengitari lukisan itu sungguh memberi banyak
pelajaran. Ia memberi banyak renungan.-
Di balik Layar Penulis Besar

Review Film Genius (2016)

Seberapa banyak yang menduga? Bahkan di balik


penulis besar kelas dunia, tersembunyi seorang editor
yang memilih tak muncul ke permukaan. Namun
perannya begitu besar bukan saja kepada naskah akhir
sebuah karya. Tapi juga pada kehidupan pribadi sang
penulis besar itu.

Menjelang akhir hayatnya, penulis besar Tom Wolfe


meminta pensil dan kertas. Itu bulan September 1938.
Awalnya suster rumah sakit melarang karena Tom Wolfe
harus beristirahat total. Namun Tom memaksa. Ia
merasa ajalnya tak lama lagi menjemput.

Di kertas itu, Tom menuliskan kata terakhirnya. Kata-


kata itu ternyata bukan untuk kekasihnya. Bukan pula
untuk ibunya. Surat terakhir itu untuk editornya, Max
Perkins. Bagi Tom, Max adalah orang yang sangat
berjasa dalam hidupnya, menemaninya sejak ia tak
dikenal hingga dianggap satu dari penulis terbaik dunia
di eranya.

Saya tertegun menonton hubungan unik Tom Wolfe


(1900-1938) dengan editornya, Max Perkins. Sangat
jarang sekali tulisan atau film yang mengangkat peran
editor beserta seluruh dramanya.

Film ini adalah kisah sejati yang diangkat dari buku A.


Scott Berg: Editor of Genius. Buku tersebut
memenangkan National Book Winning 1978 karena
berhasil mengangkat secara detail dan bagus profesi
yang selama ini tak dieksplorasi.

Aktor penerima Oscar, Colin Firth memainkan peran


Max Perkins dengan apik. Jude Law berperan sebagai
penulis besar Tom Wolfe yang labil.

Tak banyak yang mengenal nama Max Perkins. Ia


memang memilih tidak menonjol selaku editor. Namun
scholar seperti Matthew Bruccoli menyebut Max Perkins
sebagai editor paling menonjol dan berpengaruh abad
ini. Ia tidak saja mengedit buku. Ia juga menemukan dan
membentuk penulis dunia ketika saat itu mereka belum
dikenal.

Di tangan Max Perkins, lahir Ernest Hemingway yang


menerima Nobel Sastra tahun 1954. Lahir pula F. Scott
Fitzgeral yang menulis novel Great Gatsby (1925).
Hingga kini novel itu masuk dalam 100 novel terbaik
abad ini pilihan Modern Library.

Perkins juga menemukan James Jones yang kemudian


menulis From Here to Eternity. Novel ini menjadi dasar
film dengan judul yang sama, memenangkan Oscar
1953 selaku film terbaik. Novel itu juga masuk dalam list
100 novel terbaik sepanjang masa.

Film Genius membuka mata kita tentang kerja seorang


editor. Tom Wolfe tak dikenal saat itu. Naskah
panjangnya ditolak aneka penerbit. Suatu ketika
sampailah naskah itu ke tangan Max Perkins. Max
bekerja di penerbit Charles Scribner’s Son.

Berbeda dengan editor lain, Perkins justru melihat karya


Tom Wolfe sejenis batu permata yang masih
tersembunyi dalam bongkahan tanah. Jika hanya
melihat bongkahan tanahnya, draf novel panjang itu
akan pula ia tolak. Tapi mata Perkins lebih jeli. Iapun
merasa harus terus melahirkan penulis berbakat.

Dimulailah kerja seorang editor. Ia akan menerbitkan


buku Tom tapi dengan syarat. Ia memaksa Tom Wolfe
untuk membuang hampir separuh dari draf panjangnya.
Ia meminta Tom mengubah judul, mengubah banyak
ekspresi kata, mengubah beberapa suasana.

Tom melonjak kegirangan. Ia sudah putus asa karena


ditolak oleh semua penerbit. Tom lakukan saja apa yang
diminta Max. Walau setelah buku selesai, ia kadang
bertanya apakah ini karyanya atau karya Max sang
editor. Begitu jauh dan dalam sang editor merombak
naskahnya.

Kerja editor bagi Max tak hanya duduk di atas meja dan
mencorat-coret kertas. Ia harus berteman dengan
penulis itu. Menghabiskan waktu bersama sambil selalu
mendiskusikan cara terbaik mengekspresikan gagasan
dalam kata.

“Ini bukumu dan tetap harus dirimu yang memutuskan


finalnya. Aku hanya kawan diskusi dan menyatakan
secara profesional jika ekspresimu belum pas,” ujar
Perkins. Mereka pun menghabiskan waktu bersama
dalam club dan pub.

Lebih dari itu, Perkins selaku editor ternyata tak bisa


menghindari diri dalam kisah asmara Tom Wolfe.
Kekasih Tom yang selama ini menjadi kawan diskusi
Tom merasa tersingkir. Ia cemburu karena Tom selalu
bercerita menurut Max harus begini. Ujar Max ini yang
harus saya lakukan. Tapi kata Max itu harus dibuang.
Hanya Max yang seolah didengar Tom.
Bahkan istri Max juga cemburu. Mereka sempat ribut
besar. “Kau lebih memperhatikan Tom ketimbang anak
dan istrimu,” protes sang istri. “Bahkan kau menolak
untuk liburan keluarga karena lebih memilih
menghabiskan waktu mengedit novel Tom.”

Max membentak istrinya. “Aku ini seorang editor. Dalam


masa hidupku, sangat jarang aku bisa menemukan
seorang jenius untuk naskahnya aku edit. Aku harus
total dan juga berkorban.”

Dengan tekun selaku editor Max menemani perjalanan


hidup Tom. Selesai novel pertama yang sukses besar,
masuk ke novel kedua. Max harus pula turun tangan
ketika dua penulis besar yang ia asuh tidak rukun. Tom
dengan gaya urakan menyerang menurunnya kualitas
tulisan Scott di depan istri Scott.

Tak jarang Max terdiam melihat ulah Tom. Setelah


terkenal, Tom acapkali mengejek Max. Seolah Tom
kemudian melupakan jasa Max.

Max ikhlas saja. Sebagai editor, Max merasa dirinya


hanya membantu sebuah karya untuk tampil terbaik di
hadapan pembaca. Ia tak terlalu peduli jika penulis yang
ia temukan, ia besarkan, kemudian meninggalkannya
dan malah mengejeknya.

Di balik sifat urakannya, dan kesan suka mengejek, Tom


menyimpan rasa hormat dan rasa sayang yang besar.
Max baru menyadarinya setelah Tom menjelang ajal.
Tulisan terakhir Tom justru dialamatkan padanya. Max
duduk lama merenung mengenang Tom. Tak ia duga
jika pengaruh dirinya selaku editor begitu dalam pada
kehidupan pribadi Tom.

Setelah Tom wafat, hidup Max selaku editor terus


berjalan normal. Ia kembali mencari, menemukan dan
membentuk penulis besar lain. Ia acapkali mengulang-
ulang ucapannya kepada calon penulis yang datang.
Sebagai editor ia tak boleh muncul. Buku yang akan
terbit bukan bukunya, tapi buku sang penulis.

Begitu ikhlas seseorang memilih bekerja di balik layar. Ia


ikhlas tepuk tangan itu bukan untuk dirinya.

Namun zaman berganti. Kini dalam buku A Scott Berg


dan dalam film Genius, tepuk tangan itu justru untuk
Max Perkins sang editor. Tepuk tangan itu justru untuk
ia yang memilih menjadi “the person behind the gun.”

-
Spirit yang Mengalahkan Takdir?

Review Film Spare Parts (2015)

Angela Lee Duckworth meneliti mereka yang sukses.


Hasil risetnya cukup inspiratif. “Yang membuat sukses
itu bukan kecerdasan,” ujarnya. “Bukan pula bakat,
bukan pula kekayaan yang membuat individu jaya.”

Yang paling menentukan apakah individu itu akhirnya


gagal atau sukses adalah GRIT. Ini sebuah spirit,
passion jangka panjang, sejenis api yang terus hidup di
dalam hati untuk meraih puncak.

Spirit itu membuat individu terus mencari cara mengejar


mimpinya. Ia tak mudah patah. Derita yang ia hadapi
tetap memberikannya makna. Sekali GRIT itu tumbuh,
spirit itu menjadi energi besar mendorong individu
berprestasi.

Ketika mendengar presentasi Angela Duckworth di Ted


Talk, reaksi saya biasa saja. GRIT adalah nama lain dari
apa yang sudah dikatakan oleh Psikolog Henry dan
David McClelland dengan istilah need for achievement.
Itu spirit untuk berprestasi, meraih sesuatu yang
gemilang.

Namun memori soal GRIT itu muncul kembali ketika


saya menonton film Spare Parts (2015). Spirit itu saya
saksikan terpancar dari anak-anak SMA latino (Asal
Amerika Latin di Amerika Serikat). Mereka miskin,
mereka imigran yang diburu petugas untuk dideportasi.
Sebagian datang dari keluarga yang broken home.

Tapi mereka bertekad memenangkan kejuaraan robot


tingkat nasional, mengalahkan sekolah super elite
termasuk MIT (Massachusetts Institute of Technology).
MIT dianggap satu dari sekolah paling prestisius di
dunia.

Spare Parts menarasikan kisah sejati, true story, kisah


yang benar-benar terjadi soal anak-anak latino itu di
tahun 2004. Film dibuat berdasarkan artikel di Wired
Magazine dengan judul La Vida Robot (2004).

Ini bukan kisah David versus Goliath, si kecil dan si


miskin mengalahkan si besar dan si kaya. Ini kisah anak
anak SMA yang hidup sehari-harinya susah. Namun
mereka kemudian bermimpi besar: meraih matahari.

Oscar Vasques ke mana-mana selalu menggunakan


baju militer Amerika Serikat. Baju itu disiapkan oleh
ibunya. Bukan Oscar, tapi ibunya yang sangat ingin ia
menjadi tentara Amerika Serikat.

Oscar ikuti saja keinginan ibunya, walau tahu hampir


mustahil ia menjadi tentara. Ia imigran ilegal, tak punya
dokumen tinggal sah di Amerika Serikat. Bagaimana
mungkin ia bisa diterima bekerja di lembaga
pemerintahan. Apalagi diterima menjadi tentara?

Bagian penerima aplikasi memberikan perhatian ekstra


pada Oscar. Ujarnya, “kamu tahu mustahil kamu bisa
menjadi tentara di sini karena kamu imigran gelap.”
“Ingat pesan saya. Jangan pernah kamu mengirimkan
lamaran kerja di pemerintahan. Kamu bukan saja pasti
ditolak. Tapi kamu akan akan diburu untuk dideportasi
kembali ke negara asalmu.”

Oscar tidak kaget karena ia sudah tahu semua itu. Tapi


ia lakukan saja perintah ibunya untuk mencoba
melamar. Siapa tahu ada keajaiban.

Namun di kantor militer itu, Oscar membaca lomba


membuat robot tingkat nasional. Semua robot akan dites
dan dinilai dari kemampuannya melakukan aneka tugas
di dalam air.

Lomba robot itu yang membakar semangat Oscar.


Pulang dari kantor militer ia tidak sedih, walau ia ditolak.
Oscar justru gembira.

Namun ia harus membentuk tim dari sekolah SMA-nya.


Dan ia harus bekerja diam-diam ikut lomba itu, tanpa
sepengetahuan ibu. Sudah pasti ibu melarangnya. Ibu
hanya ingin ia fokus untuk diterima sebagai tentara
Amerika Serikat.

Hal yang berbeda terjadi dengan Lorenzo Santillan. Di


rumah acapkali ia dinomorduakan oleh ayahnya sendiri.
Ia selalu ditugaskan Ayah menjaga adiknya yang nakal
dan suka mencuri. Bedanya, adiknya itu punya dokumen
legal sebagai imigran. Sementara Lorenzo imigran yang
tak legal. Ayahnya berharap nanti adiknya yang menjadi
tulang punggung mereka agar sah tinggal di Amerika
Serikat.

Frustrasi karena perlakuan tak adil ayahnya membuat


Larenzo banyak menghabiskan waktu mengutak-atik
mesin. Bahkan kadang ia mencuri barang dari mobil
yang bisa ia buka dengan kemampuan mekanikalnya.

Suatu ketika perbuatan nakal Lorenzo itu kepergok oleh


guru bernama Cameron. Ia dihukum Cameron dengan
cara memaksanya ikut dalam tim lomba robot. Lorenzo
satu tim bersama dengan Oscar dan lainnya.

Lorenzo awalnya tidak berminat dengan lomba itu. Ia


hanya asyik dengan dirinya sendiri dan mengutak-atik
mesin saja. Tapi ia terpaksa ikut karena tak ingin kasus
kriminalnya diungkap. Bertahap Lorenzo akhirnya
sangat menyukai lomba tersebut.

Oscar, Lorenzo di bawah bimbingan Cameron, merekrut


dua lainnya untuk ikut kompetisi. Mereka akan
mengatasnamakan sekolah SMA mereka: Carl Hayden
High School.

Ini sebuah SMA miskin di daerah Phoenix, Arizona.


Sebanyak 90 persen siswanya keturunan Hispanic,
Latino. Sebagian siswa berasal dari imigran gelap asal
Mexico, dan negara sekitar.

Tim ini melapor kepada kepala sekolah ingin ikut lomba.


Tentu kepala sekolah mendukung. Namun sekolah tak
punya dana.

Mereka diminta kepala sekolah mencari dana sendiri.


Kepala sekolah juga tak berharap banyak dengan tim.
Apalagi ia tahu ada tim dari MIT, yang tahun
sebelumnya juara pertama.
Setidaknya kepala sekolah harus menunjukkan respons
positif. Sebagai pimpinan ia menghargai inisiatif apapun
yang ingin mengangkat prestasi anak didik.

Jika semangat mereka normal saja, tak banyak yang


mereka bisa lakukan. Mereka tak berhasil mencari dana
minimal untuk membeli spare parts. Mereka tak punya
alat-alat standar minimal yang diperlukan untuk
membuat robot yang baik.

MIT misalnya memiliki dana untuk membuat robot itu


dengan dana di atas 10 ribu USD. Sementara dana
yang bisa mereka kumpulkan paling banyak hanya
kurang dari sepersepuluhnya, kurang dari 800 USD
saja.

Akibatnya mereka harus kreatif mencari spare parts


pengganti yang murah meriah. Yang penting spare
sparts itu memberikan fungsi yang sama.

Beberapa kali mereka putus asa. Dana yang tak cukup


sangat menghalangi. Namun mimpi untuk ikut kejuaraan
membuat mereka semangat kembali.

Mereka misalnya harus mencari alat yang bisa


menyerap air. Alat biasa yang standar terlalu mahal.
Akhirnya mereka sepakat menggunakan alat yg murah,
yaitu “pembalut wanita,” tampon yang biasa dipakai
ketika seorang wanita sedang haid. Banyak spare parts
lain yang mereka juga cari pengganti murahnya.

Ketika lomba dimulai, mereka kecut di hati. Dilihat


secara fisik, robot mereka terlihat sangat murah dan
terkesan asal-asalan. Sementara lawan mereka
menggunakan teknologi mahal dan mutakhir. MIT, sang
juara bertahan, bahkan menggunakan sinar laser.

Mereka minder. Kepala sekolah juga tak bisa datang


karena ada hambatan biaya. Tapi kepala sekolah
meminjamkan mobil besar yang butut, untuk digunakan
ke tempat kejuaraan.

Beberapa peserta lain yang melihat penampilan robot


mereka juga terkesan melecehkan. Mereka kecil hati
dan saling pandang saja.

Pertandingan dimulai. Ada dua tahap penilaian.


Pertama, tes robot di kolam renang. Ada beberapa
tugas yang harus diselesaikan robot. Setiap tugas yang
tuntas diberikan poinnya.

Kedua, tes akademik. Tim juri menginterview peserta


mengenai hal ihwal pembuatan robot itu. Yang ingin
diketahui dari interview tak hanya pengetahuan teori.
Penting juga bagi juri untuk tahu entrepreneurship,
kreativitas dan team work dari setiap peserta.

Tes robot saja sudah membuat team Carl Hayden ini


waswas. Beberapa kali mereka gagal. Tapi hasil akhir
tahap pertama sudah luar biasa.

Mereka untuk tahap pertama masuk dalam empat besar.


Rangking pertama tetap diraih MIT yang super canggih.

Berita masuk empat besar di ronde pertama saja sudah


membuat gempar sekolah mereka. Kepala sekolah
mengumumkan prestasi luar biasa itu. Mereka berharap
ada keajaiban mendapatkan nomor tiga, piala perunggu.
Ketika masuk ke tahap kedua, wawancara, para juri
terkagum mengetahui riwayat tim Carl Hayden. Dana
membuat robot tim Carl Hayden hanya sepersepuluh
dari umumnya peserta lain. Cara mengumpulkan dana
juga dengan sistem gerilya kanan dan kiri. Mereka tak
punya dan tak bisa lakukan sistem fund raising yang
standar dilakukan sekolah prestisius.

Yang tambah membuat juri tercengang lagi bahan


material robot. Mereka mendayagunakan bahan sangat
murah, seperti pembalut wanita. Ini “spare parts”
pengganti alat yang selama ini tak pernah digunakan
membuat robot apapun. Para juri tertawa namun kagum.

Mereka berkumpul di aula. Pengumuman pemenang


segera dipublikasi. Nama Carl Hayden disebut pertama
kali sebagai tim favorit. Mereka senang basa basi, dan
senyum kecut. Berarti mereka juara empat.

Target juara tiga untuk piala perunggu tak tercapai.


Mereka bersalaman saling memberi semangat agar tak
usah kecewa. Bisa juara yang selevel dengan juara
empat harus tetap disyukuri.

Juara ketiga dan kedua juga diumumkan. MIT juara


kedua. Mereka kaget ada tim lain yang bisa
mengalahkan MIT.

Mereka bertambah kaget lagi. Ternyata juara pertama


dengan score tertinggi mengalahkan MIT adalah tim
Carl Hayden High School. Mereka berteriak kencang.
Carl Hayden High School, sekolah miskin para imigran,
mampu juara pertama mengalahkan MIT.
Para juri yang terdiri dari akademisi dan guru itu tak
hanya melihat pencapaian robot. Mereka juga menilai
kreativitas, entrepreneurship dan aneka langkah “out of
the box.”

Tim Carl Hayden memilih “pembalut wanita” untuk


menyerap air sebenarnya bukan kesengajaan. Itu
semata karena tak ada biaya. Namun spirit yang
memaksakan diri ikut lomba dan berprestasi akhirnya
melahirkan langkah out of the box. Spirit itu yang mahal.

Lama saya merenung teringat masa kecil saya sendiri.


Ketika saya tahu orang tua bahkan susah membiayai
saya sekolah di kampus, saya bermimpi harus sekolah
setinggi mungkin sampai ke Amerika Serikat.

“Apakah ini juga GRIT?” Tanya saya. Kopi saya hirup,


mensyukuri tumbuhnya passion ingin berprestasi itu.
Mensyukuri mereka yang melawan “takdir,” melawan
nasib, melawan keterbatasannya.

-
Permintaan yang Tak Biasa

Review Film Session (2012)

Apa yang harus dijawab oleh seorang pendeta? Mark


umat Kristiani, gembala yang rajin ke gereja dan
berdiskusi dengannya. Tapi kali ini permintaan Mark
sangat menyentuh namun sulit. Ini permintaan yang
sangat manusiawi tapi melanggar prinsip gereja.

“Usiaku sudah hampir 40 tahun, Bapa,” ujar Mark


mengawali curhatnya dengan ragu dan malu. “Hidupku
tak lagi lama. Aku tak ingin mati sebagai perjaka.” Mark
akhirnya berani menyatakan apa yang dulu tak pernah
tuntas diekspresikannya.

Pendeta Brenden menatap Mark. Berbeda dengan


gembala lainnya, Mark cacat total. Sejak usia 6 tahun, ia
hanya membujur terbaring saja di tempat tidur khusus.
Ia terjangkit polio yang membuatnya lumpuh. Ia terkena
penyakit paru-paru pula yang harus dibantu mesin
pernapasan.

Pendeta bertanya, “Anda ingin berhubungan seks


dengan gadis yang anda nikahi?” Pendeta berharap
jawaban positif dari Mark.

“Tidak, Bapa,” jawab Mark. “Tak ada yang mau menikahi


saya, Bapa. Saya sudah mencoba berkali-kali. Saya
lumpuh total dan hanya akan menjadi beban bagi
siapapun.”
“Jadi,” ujar pendeta, “kau minta restu saya untuk
membolehkanmu berhubungan seks di luar nikah?”
“Betul Bapa,” jawab Mark.

Pendeta terdiam. Ia menatap patung Jesus yang


terpasang di dinding gereja. Ia serba salah, mencari
respons yang paling pas dari suara hati. Berkali-kali ia
menatap wajah Mark, dan patung Jesus, bergantian.

Dipegangnya tangan Mark untuk berdoa bersama.


Pendeta Brenden merasa Tuhan memahami
keputusannya. Ia merestui Mark untuk “journey”
pengalaman seksual sebelum ajal menjemput. Mark tak
ingin mati sebagai perjaka.

Ini film yang sangat menyentuh dan penuh dilema moral.

Film ini kisah true story, yang diangkat dari esai tulisan
Mark sendiri.

Walau badan sepenuhnya lumpuh, otak Mark sangat


cemerlang. Walau ia hanya bisa hidup dalam posisi
terbaring, ia cakap bicara. Khayalan, fantasi, emosi,
termasuk hasrat seksnya sepenuhnya sehat dan normal.

Nama lengkapnya Mark O’Brien. Ia aktivis kaum disable


sekaligus juga penulis. Melalui mulut, dibantu alat, ia
bisa menulis. Ia mendapatkan nafkahnya dari esai dan
puisi karangannya.

Suatu ketika Mark ditawari riset yang unik. Ia diminta


mewawancarai kaum disable, mereka yang cacat, hanya
untuk isu seksual saja. Ingin diketahui bagaimana
tepatnya hasrat seksual mereka. Bagaimana pula solusi
yang mereka lakukan.

Sebagian dari kaum disable yang ia wawancarai berani


bicara terbuka dan blak-blakan. Mark berpikir tentang
kebutuhannya sendiri. Selama ini, itu topik yang tabu ia
bicarakan.

Kini ia mendapatkan keberanian baru. Mark tak bisa


menipu diri. Hasrat seksual itu juga tumbuh padanya.

Beberapa kali Mark pernah mengutarakan cintanya.


Termasuk kepada perawat yang merawatnya. Dengan
harapan ia akan mengalami seks yang sah dan direstui
Tuhan.

Yang terjadi, perawat itu pergi. Padahal awalnya sang


perawat sangat baik hati, penuh perhatian,
mengasihinya.

Mark menyadari penyakit ini tak bisa membuatnya


berumur panjang. Ia butuh pengalaman seksual segera.

Kerja riset soal sex and disable memperluas wawasan


Mark. Ia tahu ternyata ada lembaga yang secara khusus
bisa membantu kaum disable mendapatkan pelayanan
seksual. Ia kontak lembaga itu melalui perawatnya. Tapi
lembaga itu sudah tutup.

Perawatnya mendapatkan contact person seorang


terapis yang pernah bekerja di sana bernama Cheryl
Cohen Greene. Jika Mark bersedia, terapis itu akan
datang.
Mark yang tadinya bersemangat kini ia justru takut. Ia
bertanya pada dirinya sendiri. Apa benar ia ingin
mendapatkan pengalaman seksual di luar pernikahan?

Kembali ia ingin meneguhkan diri lewat Pendeta


Brenden. Pendeta bertanya, “apakah Cheryl melakukan
ini untuk uang?” Mark mengamini. Pendeta kembali
mendukung Mark untuk menjalaninya, jika itu memang
suara hati.

Mark gelisah alang kepalang ketika langsung bertatap


muka dengan Cheryl. Yang pertama dilakukan Cheryl, ia
menjelaskan soal profesinya. “Mark,” ujar Cheryl, “saya
ingin anda tahu. Saya bukan pelacur. Saya seorang
terapis profesional.”

“Saya membantu mereka yang memiliki kendala


substansial untuk mengalami keintiman, pengalaman
seksual. Saya mengajak diskusi, menemukan kendala.
Jika psikilogis kendalanya, saya ada program relaxing.
Jika kendalanya bersifat fisik, saya lakukan dulu terapi
pijat.”

Hasil akhir dari jasa ini, klien akan mengalami hubungan


seksual yang puncak dan normal. Ini sebuah profesi.
Mark setuju. Ia memang sudah membaca profesi
bernama Sex Surrogate itu.

Terapi pun dimulai dengan menuntaskan aneka kendala


psikologis. Mereka bercakap. Berbagi pandangan hidup.
Hubungan mereka menjadi tak biasa karena kemudian
muncul ikatan emosional yang lebih dalam.

Mark mulai membuat puisi untuk Cheryl. Suami Cheryl


sempat cemburu karena ini bukan lagi relasi antara
terapis dan klien. Cheryl pun semakin menyukai Mark.
Di balik kelumpuhannya, banyak ucapan Mark yang
cerdas, filosofis, dan jenaka.

Mark dan Cheryl menyetujui mengakhiri session lebih


cepat. Keduanya menyadari emosi dan ikatan batin
yang tercipta sudah melampaui hubungan kerja.

Mark mendapatkan lebih dari yang ia harap. Ini bukan


saja pengalaman seksualnya yang pertama. Namun ia
rasakan pula hati yang hangat, lembut di balik
pengalaman seksual itu.

Begitu mendalam pengalaman ini bagi Mark. Iapun


menulis esai “On Seeing a Sex Surrogate.” Kolom
panjang tersebut dimuat Majalah Sun, November 2012.
Kolom itu pula yang menjadi basis pembuatan film.

Mark terus menjalani hidup seperti sebelumnya. Cheryl


juga tetap menjalani hidup berkeluarga seperti biasa.

Namun perjumpaan Mark dengan Cheryl banyak


mengubah hidupnya. Sebelum ajalnya tiba, Mark
berjumpa gadis lain. Dengan bangga ia menyatakan
bahwa dirinya tidak perjaka lagi.

Ketika ia dimakamkan, puisi Mark dibacakan. Cheryl dan


suami hadir di sana. Cheryl tahu, itu puisi yang dibuat
Mark untuknya.

Selesai menonton film, saya penasaran. Dari google


search saya ingin tahu lebih banyak soal Cheryl.

Ia memang tokoh yang sebenarnya. Ia tidak hanya


seorang terapis yang melayani dan membantu
kebutuhan seksual mereka yang punya kendala. Ia juga
seorang penulis.

Wow! Memang banyak keunikan dunia yang belum saya


ketahui.

-
Rasa Pilu yang Lahirkan Karya Besar
Review Film Ray (2004)

Rasa pilu, rasa bersalah yang mendalam, tak hanya


membawa efek merusak. Dalamnya kesedihan itu bisa
pula menghasilkan karya besar.

Itulah kesan setelah menonton film Ray (2004). Ini kisah


sebenarnya, seorang anak yang buta total sejak usia
tujuh tahun, merangkak tertatah-titih menjalani
kesedihan, dizalimi lingkungan, namun berkembang
menjadi Ray Charles, penyanyi, pencipta lagu, dan
musisi legenda dunia.

“Ingat anakku,” ujar ibunya. “Tak ada yang kasihan


padamu hanya karena kau buta. Jangan minta kasihan
pada orang. Kau harus berjuang, menolong dirimu
sendiri.”

Ucapan ibu itu selalu datang kapanpun Ray mengalami


kesulitan. Keyakinannya mulai muncul ketika ia baru
saja mengalami kebutaan. Di ruang tamu yang kumuh
dan berantakan, ia terjatuh.

Ia teriak, “ibu tolong aku.” Ibunya hanya berjarak 3 meter


di ruang yang sama. Namun sang ibu diam saja sambil
berharap cemas agar anaknya menolong dirinya sendiri.
Ibu terdiam menangis dan berharap anaknya bangkit.

Saat itu, Ray mengembangkan mata yang lain. Kedua


matanya ia coba buka tapi yang ada hanya kegelapan.

Pelan-pelan telinganya sangat peka. Bahkan Ray seolah


melihat serangga kecil di dekatnya.
Dengan telinganya, tangannya meraba lantai, mendekati
serangga, dan menangkapnya. Serangga berhasil
ditangkap. Ia tersenyum.

Lirih, Ray kecil berkata. “Ibu, aku tahu kau ada di sini.
Serangga ini untukmu.” Terharu ibu memeluknya sambil
terurai air mata. Terus diucapkannya mantra itu: “Kau
memang buta anakku. Tapi kau bukan orang bodoh.
Jangan berharap orang kasihan padamu. Kau harus
berjuang untuk dirimu sendiri.”

Ray memang berhasil mengatasi buta matanya. Tapi


rasa pilu dan rasa bersalah selalu menghantui ke
manapun ia pergi.

Film dibuka dengan masa kecil Ray ketika matanya


masih sehat. Usianya sekitar 5 tahun. Ia bermain di
kawasan kumuh lingkungan rumahnya dengan adik
yang sangat disayanginya, George.

Ibu menafkahi mereka berdua dengan menjadi pencuci


pakaian. Ibu memiliki sejenis panci besar yang
diletakkan di atas meja. Ada air di dalamnya. Itulah alat
ibu mencari nafkah.

Pada suatu hari George berdiri di atas meja itu.


Terpeleset ia masuk ke dalam panci. Ray sang kakak
berdiri berjarak sekitar 5 meter. Ia terpana melihat
George. Namun kakinya tak bergerak. Mulutnya tak
bicara. Ia terdiam saja.

Ketika ibu tahu George tenggelam dalam panci, itu


sudah terlambat. George sudah mati. Ibu meraung
sedih, sambil berteriak pada Ray: Mengapa kau diam
saja melihat adikmu tenggelam? Mengapa kau tidak
panggil ibu?

Tak tahu harus menjawab apa. Ray hanya menangis


sedih melihat adiknya mati. Namun yang jauh lebih
dalam, ia merasa bersalah. Ia menyebabkan adiknya
mati.

Rasa bersalah dan kesedihan acapkali datang di


pikirannya. Dan itu tak hanya mewarnai perilakunya.
Tapi juga mewarnai alunan suaranya yang mendalam
dan meraung, terutama jika membawakan lagu
melankoli. Seolah ia ingin membagi luka yang begitu
menyayat.

Itu terjadi di tahun 1935, di desa Greenville, Florida.


Berbeda dengan anak kecil biasa, Ray sejak kecil sering
mengintip menyelinap masuk ke Wylie Pitman’s Red
Wing Cafe. Ia terkesima dengan musik dan piano yang
dimainkan oleh Pitman.

Suatu ketika Pitman memergokinya. Usia Ray baru tiga


tahun. Pitman mengajak Ray duduk bermain piano. Ray
sangat senang tak hanya belajar piano. Ia juga
mendapatkan figur ayah. Sejak kecil ia tak tahu ayahnya
pergi entah ke mana.

Ketika buta, Ray hanya senang dan hanya bisa main


piano. Ibu bersusah payah mencari sekolah untuk
anaknya yang mengajarkan musik. Guru piano melihat
bakat berbeda pada diri Ray. Sejak dini, Ray dididik
musik klasik memainkan lagu Beethoven, Mozart, dan
sejenisnya.
Namun sedih di hatinya membuat Ray lebih senang
memainkan musik blues yang menusuk hati. Apalagi
setelah ibunya wafat saat usianya 14 tahun. Wafatnya
ibu ia anggap tragedi kedua setelah matinya George.

Luntang lantung Ray hidup ke sana kemari. Kadang ia


menahan lapar tidak makan. Kesedihan semakin
mewarnai musiknya. Lebih jauh lagi, kesedihan itu
mewarnai suaranya, yang tak biasa, berat, serak,
namun menyayat.

Ia terus berjuang untuk musiknya. Beberapa kali ia


diajak main Band, dan ditipu sana dan sini soal
pembagian honor. Semakin ia membenarkan nasehat
ibunya. Orang tidak kasihan padanya karena ia buta.
Sebaliknya ia sering dicurangi. Ia harus menolong
dirinya sendiri.

Ray mulai hidup dari kafe ke kafe di aneka kota. Yang


termudah mencari uang, ia memainkan saja musik dari
penyanyi yang sudah terkenal, seperti Nat King Cole
dan Charles Brown. Ray memirip-miripkan suaranya
dengan idolanya itu.

Sampai satu masa Ray jatuh cinta. Sang kekasih


bertanya mengapa ia tak ingin menjadi dirinya sendiri,
menciptakan musiknya sendiri. Ray menjawab ia hanya
perlu uang. Orang datang untuk mendengar musik yang
mereka sudah sukai.

Pertanyaan yang sama ditanyakan seorang pebisnis


bidang musik. Ray menjawabnya sama. Ray merenung
ketika pebisnis itu merespons balik. Jika kau berpikir
penny kau dapatkan penny. Jika kau berpikir dollar kau
dapatkan dollar.

Ray mulai berpikir menciptakan musiknya sendiri. Ia


buatkan lagu untuk kekasih yang kemudian menjadi
istrinya: I Got a Woman.

Ia gabungkan blues dengan musik gospel yang sering ia


dengar di gereja. Di tangan Ray, lahirlah genre musik
baru yang disebut Soul. Bersama dengan musisi lain,
selanjutnya Ray dikenal sebagai pencipta genre musik
soul.

Namun Ray tak puas sampai situ. Ia juga


menggabungkan musik country dan pop. Lahirlah aneka
aransemen lagu yang jauh lebih menyayat dibandingkan
lagu aslinya. Satu lagu yang paling terkenal yang
dinyanyikan Ray, bahkan melampaui penyanyi aslinya: I
can’t stop loving you.

Ray sibuk tur ke aneka kota. Tapi tempat kelahirannya


Georgia selalu ada di pikirannya. Ini membuat versi
yang berbeda untuk lagu Georgia on My Mind. Lagu
versinya ini kemudian menjadi lagu resmi negara bagian
Georgia.

Ray berhasil sukses dan kaya. Namun rasa bersalah


dan pilu selalu menyertainya. Itu pula yang membuat
Ray lama tenggelam dalam pelarian obat terlarang.
Penggunaan obat terlarang berkali-kali membuatnya
berurusan dengan polisi, pengadilan, bahkan ancaman
penjara.

Pelarian itu pula yang membuatnya mencari kehangatan


dari satu pelukan wanita ke pelukan wanita lain. Ray
tercatat memiliki 12 anak dari sembilan wanita. Hanya
dua wanita yang ia nikahi resmi. Rehabilitasi bagi
kecanduannya sangat sulit karena ia terus berlari dari
rasa bersalah. Adik kesayangannya mati di depan
matanya. Ia merasa bisa menyelamatkan adiknya
seandainya ada sesuatu yang ia lakukan. Tapi saat itu ia
terdiam, terkesima saja.

Lantai yang ia pijak kadang terasa basah oleh air panci


itu. Koper yang ia buka kadang seolah berisi air panci.
Di air panci itu adiknya mati tenggelam.

Di puncak rehabilitasi, fantasi ibu dan adiknya datang


dan berkata: “Ray, kau tidak bersalah. Kami
menyayangimu. Berhentilah menyalahkan dirimu
sendiri.” Ray menangis meraung sendirian, di tengah
malam, di sudut kamar.

Ray lahir kembali. Lepas dari obat bius. Ia terus


berkarya. Majalah musik terkemuka Rolling Stones 2010
membuat daftar 100 penyanyi terbesar sepanjang
sejarah. Ray Charles berada di posisi kedua, di atas
Elvis Presley. Ia bahkan di atas idolanya, Nat King Cole.

Dalam ulasannya, majalah Rolling Stones menulis:


Ketika kita mendengar Ray Charles bernyanyi, kita
rasakan penuh luka batin yang menjadi nada.

Di tangan Ray Charles, luka batin itu melahirkan karya


besar, walau ia buta.

-
Karya yang Bertumpu pada Kaki Kiri

Review Film My Left Foot (1989)

Saya tercengang membaca review Bernard Share dari


The Irish Time. Bukan karena novel Down All the Days
dianggap novel terpenting Irish sejak era novel legenda
Ulysess karya James Joyce. Tapi karena penulis novel
itu, Christy Brown, adalah seorang penderita Cerebral
Palsy. Sejak lahir, Brown hanya bisa menggerakkan kaki
kirinya. Ia sangat sulit sekali bicara.

Ayah dan ibunya tak pernah menduga. Dari kelumpuhan


itu, dapat lahir karya besar. Christy tak hanya menulis
novel. Ia juga menulis puisi. Ia terlebih dahulu menjadi
pelukis. Ia menggerakkan kuas hanya dengan kaki
kirinya. Ia mengetik novel juga hanya dengan kaki
kirinya.

Sebuah fillm dibuat berdasarkan kisah hidup yang ditulis


sendiri oleh Christy Brown: My Left Foot. Daniel L Lewis
memerankan Christy Brown dengan bagus sekali.
Majalah TIME 2015 menyebut dalam cover storynya,
Daniel L lewis aktor terbesar sepanjang masa.

Dalam film itu, Daniel mendapatkan Oscar pertamanya.


Ia satu-satunya aktor sepanjang sejarah industri film
yang mendapatkan tiga kali Oscar untuk peran utama
pria. Peran Daniel dalam My Left Foot disebut seni
akting terbaik sepanjang industri film. Ia melampaui
peran Marlon Brando dalam film Godfather.

Ketika lahir, Christy dianggap ayahnya sebagai sebuah


bencana. Ayah meremehkan dan melecehkannya.
Sedangkan ibu memperlakukan sebaliknya. Ia
menganakemaskan Christy, mengajarkan moralitas dan
semangat hidup.

Christy lahir dari keluarga yang miskin. Ia harus tidur di


satu ranjang berdesakan bersama tiga adik kakaknya.
Kadang lampu harus dimatikan sebelum waktunya untuk
menghemat. Mereka makan seadanya, yang harus
dibagi sekeluarga besar. Kadang mereka makan hanya
dari bubur ke bubur lagi karena tak cukup uang.

Yang banyak membantu Christy adalah dunia fantasi! Ia


beruntung disenangi teman-teman masa kecil. Di usia
sangat dini, teman-temannya bercerita dan berfantasi
soal seks. Ibu kadang mengajaknya ke gereja bercerita
tentang fantasi dunia malaikat dan surga. Di hari
Halloween, ia diajak bermain fantasi dunia hantu dan
setan.

Christy tumbuh awalnya seperti layaknya sayuran. Tak


ada yang bisa ia lakukan. Untuk apapun ia tergantung
ibunya. Kaki kiri yang bisa ia gerakkan juga tak ia
gunakan.

Ia hanya bersedih, diam, menyaksikan susahnya hidup


keluarga. Kadang ia protes bersuara namun tak ada
yang mengerti suara yang ia dengungkan kecuali ibu.

Kamar Christy di lantai atas. Turun dan naik, ibu


acapkali menggendongnya dari kamar di atas, ke meja
makan di bawah.

Perubahan hidupnya justru dimulai ketika ia mendengar


suara. Ia sedang berdua saja dengan ibunya. Ia di lantai
atas. Ibunya turun tangga ke lantai bawah. Tiba-tiba ia
mendengar suara keras terjatuh dari tangga. Ia
langsung menduga itu ibunya.

Bersusah payah, Ia mendayakan kaki kirinya. Satu-


satunya tubuh yang bisa ia gerakkan. Awalnya ia tak
mampu. Tapi ia paksakan karena ingin menolong ibu.

Berjuang sekuat tenaga ia turun dari ranjang. Ia turun


dari tangga. Ia lihat ibunya terkapar. Ia tendang pintu
dengan kaki kirinya agar ada tetangga yang datang.

Ibunya selamat. Sejak itu ia merasa menjadi orang yang


bisa berguna bagi orang lain. Ia mulai mendayagunakan
kaki kirinya. Ia tidak ke sekolah. Tapi ada semacam guru
informal yang datang mengajarinya membaca dan
menghitung.

Suatu malam, keluarga besarnya mulai tercengang.


Usia Christy sekitar 9 tahun. Adiknya bertanya
berapakah 1/4 dari 25 persen? Ayahnya menjawab, 25
persen itu sudah 1/4. Tak ada lagi 1/4 dari 1/4. Adik dan
kakak lain, juga ibunya mengamini Ayah.

Di lantai, tiba tiba kaki kiri Christy mengambil kapur.


Bersusah payah, kakinya menulis. Tak terlalu jelas
tulisannya. Tapi terbaca 1/16. Pada saat yang lain, kaki
kirinya mengambil kapur menulis serupa di lantai.
Semua keluarga melihat dengan tercengang. Perlahan
tertulis kata pertama yang ia pernah tulis: Mother.

Keluarganya bersorak sorai. Ayah yang tadinya


meremehkannya, mulai membanggakannya. Ia
digendong ayahnya dibawa ke kedai minum. Ayahnya
membanggakan: kenalkan anak saya Christy Brown
seorang genius.

Dalam suasana kesepian dan sering menyendiri, Christy


mulai mengembangkan kaki kirinya melukis dan
melukis. Ia selalu mengekspresikan hatinya dengan
melukis saja. Ia lukis ibunya. Ia lukis ayahnya.

Hanya tubuhnya yang lumpuh. Tapi emosinya normal


seperti remaja lain. Ketika ia jatuh cinta, Christy
membuat lukisan seindah mungkin untuk wanita yang
dicintainya. Itu lukisan ekspresif suasana hati.

Ibu mulai khawatir. Ia tahu teman-teman banyak


menyayangi Christy. Tapi soal cinta lain perkara.
Terdiam ibu ketika menyaksikan Christy sedih alang
kepalang. Cintanya ditolak dan lukisannya dikembalikan.

Tak tahan melihat kesedihan anaknya, Ibu berinisiatif


mencari guru agar anaknya menghabiskan waktu untuk
melukis saja. Ia berjumpa dengan Dr. Eileen Cole,
seorang ahli sekaligus aktivis yang sangat berdedikasi
mengembangkan bakat para penderita Cerebral Palsy.

Eileen membuat Christy tumbuh ke tahap yang lebih


tinggi. Ia memberikan bacaan buku novel kelas berat
karya James Joyce hingga Shakespeare. Perenungan
hidup Christy semakin dalam, semakin filosofis. Christy
juga mengembangkan minatnya pada puisi dan novel.

Eileen juga mulai mengajarkan Christy berbicara.


Mereka berteman akrab. Christy semakin lancar
berbicara. Berulang-ulang ia bersuara mengutip
Shakespeare: “To be or not to be. That is the question.
Wheather this nobler in mind to suffer.”

Ayah sangat senang mendengar suara Christy semakin


jelas dan mudah dimengerti. Sebaliknya ibu semakin
cemas. Kata ibu, dari suara Christy ada harapan yang
berlebih. Ia kuatir Christy kecewa yang lebih dalam.

Ibu membaca gelagat. Christy jatuh cinta pada Eileen


Cole. Dengan gagah dan berani Christy mengutarakan
cintanya. Ketika ia tahu, Eileen akan menikah dengan
lelaki lain, Christy mengamuk dan berteriak. Begitu
patah hati Christy sehingga ia pernah bunuh diri walau
digagalkan.

Patah hati yang mendalam, membuat Christy


menyibukkan diri dengan berkarya. Dengan satu kaki ia
mengetik novel. Lahirlah aneka novel yang kemudian
membuat Christy mendapatkan tempat khusus dalam
sejarah sastra negara Irish.

Di ujung hidupnya, Eileen kembali datang dan


bersahabat dengannya. Eileen kembali memainkan
peran penting bagi proses kreatif Christy.

Film ditutup dengan pernikahan Christy bersama


perawat Maria Carr.

Untuk kedua kalinya saya menonton film itu kembali.


Saya semakin tersentuh oleh kisah Christy, individu
yang berhasil melawan keterbatasan untuk berkarya.

Seorang spiritualis mungkin berkata, Tuhan sengaja


menjatuhkan ibunya dari tangga ketika Christy kecil.
Akibatnya segala daya Christy menggerakkan kaki kiri
untuk menyelamatkan ibu. Itu peristiwa yang membuat
Christy akhirnya hijrah berkarya mendayagunakan kaki
kirinya menghasilkan keajaiban.

-
Api dalam Tubuh yang Lumpuh

Review Film The Diving Bell and Butterfly (2007)

Buku memoar itu akan selalu dikenang. Bukan karena ia


terjual jutaan kopi. Bukan pula karena ia kisah hidup
seorang penulis sebelum dan setelah fisiknya lumpuh
total.

Buku itu akan dikenang karena sang pengarang


menuliskan buku itu berdasarkan kedipan mata saja.
Mengedip satu kali berarti Yes!. Mengedip dua kali
berarti No!

Penulisnya hanya bisa berkomunikasi dengan kedipan


mata. Seorang care giver, perawat yang super sabar,
membacakan huruf mana yang dimaksud.

Dari kedipan mata itu dipilih huruf. Huruf disusun


menjadi kata. Kemudian kata menjadi kalimat. Akhirnya
kumpulan kalimat menjadi buku dengan judul The Diving
Bell and Butterfly.

Ini film true story berdasarkan kisah nyata penulis Jean-


Dominique Bauby. Begitu unik kisahnya. Hingga di
tahun 2007 film maker Julian Schnabel
memindahkannya ke layar lebar.

Film berbahasa Perancis ini memenangkan banyak


penghargaan, termasuk sutradara terbaik Festival Film
Cannes 2007.
Lama saya merenung setelah selesai menonton film ini.
Dalam tubuh yang lumpuh total, hanya bisa
mengedipkan mata saja, api kreativitas bisa terus
menyala, mencari jalannya sendiri, melawan
keterbatasan.

Di tahun 1995, dalam usia 43 tahun, Bauby terkaget


alang kepalang. Dokter menyatakan ia tak sadar selama
20 hari. Ketika sadar, tak ada satupun yang bisa ia
gerakkan. Dokter menjelaskan ia terkena stroke jenis
locked-in syndrom. Hanya mata kirinya yang bisa
berkedip. Yang lain kaku tak merespons.

Dalam waktu 20 minggu setelah stroke, ia turun 20


kilogram. Ia masih bisa mendengar dan memahami
percakapan orang lain. Ia juga bisa menyatakan sesuatu
tapi tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya.

Seorang ahli menemukan cara berkomunikasi.


Dibacakan kepada Bauby abjad huruf tapi bukan
susunan alphabetica seperti A, B, C, D, E dan
sebagainya. Seorang ahli sudah menyusun urutan huruf
baru berdasarkan frekuensi huruf yang paling sering
digunakan bahasa Perancis: E, S, R, A, I dan
seterusnya.

Seorang care giver yang cantik jelita dan sabar sengaja


dipilih untuk mengajarkan dan menumbuhkan spirit.
“Aku akan sebut huruf. Jika memang itu yg kau pilih,
kedipkan satu kali. Jika aku salah menebak, kedipkan
dua kali.” Dalam empat atau lima kali kedipan, tersusun
satu kata.
Kalimat pertama yang diucapkan Bauby, cukup
mengagetkan. Ia ingin mati. Diulangi lagi oleh suster itu,
tetap yang Bauby ekspresikan, ia ingin mati.

Suster itu bersedih. Dengan penuh kasih, ia bertanya


mengapa Bauby memilih mati. Bauby berbakat, masih
bisa berkomunikasi.

Suster juga bercerita tentang majalah tempat Bauby


bekerja. Ia sempat membacanya. Dengan sabar selalu
ditemaninya dan dibangkitkannya semangat Bauby.
Sehingga kata selanjutnya yang diekspresikan Bauby
adalah “Terima kasih.” Bauby berterima kasih atas
ketelatenan suster itu mendampinginya.

Bauby juga berupaya membangkitkan semangat


hidupnya sendiri. Ia acapkali membayangkan sedang
bermain ski di salju maha luas. Atau bermesraan
dengan kekasihnya. Tak jarang kadang ia juga
mengkhayalkan hubungan percintaan dengan suster
cantik dan baik hati itu.

Ia mulai menjalani kehidupan rutin. Anak-anak yang


masih kecil mengunjunginya. Juga ia dikunjungi istri
yang ia sebut ibu anak-anaknya. Saat itu Bauby memiliki
kekasih lain, yang juga diketahui istrinya.

Anaknya yang paling dekat, si sulung berusia belasan,


beberapa kali menangis melihat ia tak berdaya. Kadang
air liur menetes dari mulut Bauby. Anaknya menyeka air
liur itu sambil menitikkan air mata.

Ketika anak dan istrinya mengunjungi, beberapa kali


Bauby bicara dalam hati. Ia belum sempat
membahagiakan mereka. Kini apa daya? Ia lumpuh
total.

Suatu hari yang tak terduga. Bangkit ilham dan api di


hati Bauby. Ia ingin menulis buku. Ada kontrak membuat
buku ketika ia masih sehat. Ia ingin menuntaskan buku
itu walau kini ia lumpuh total.

Bauby mengutarakan niat hatinya melalui komunikasi


kedipan mata kepada suster. Sang suster mengontak
penerbit. Tentu saja awalnya penerbit menolak.
Bagaimana Bauby bisa menulis buku? Ia lumpuh total.

Suster meyakinkan. Bauby tetap bisa menulis dengan


bantuan seorang care giver. Mereka bersama memilih
asisten untuk membantu Bauby menulis.

Dibuatlah jadwal dan mekanisme. Bauby bangun setiap


hari jam 5 subuh. Ia memikirkan dulu apa yang ingin ia
tulis. Lalu setiap hari selama 4 jam, asisten menyebut
huruf untuk disusun menjadi kata sesuai kedipan mata
Bauby.

Agar tak bosan, kadang mereka bekerja di taman.


Kadang mereka bekerja sambil plesiran di kapal.

Jika satu kata rata-rata 4 huruf. Satu baris itu 10 kata


dan satu halaman itu 15 baris. Maka satu halaman
membutuhkan sekitar 4 x 10 x 15, sama dengan minimal
600 kedipan mata.

Jika tebal buku sekitar 300 halaman lebih, maka satu


buku itu membutuhkan sekitar 200 ribu kedipan mata.
Tak terhitung jika ada kedipan yang salah dan dikoreksi.
Dalam waktu 10 bulan, buku itu akhirnya selesai. Isinya
sebuah memoir yang menceritakan suasana batinnya
terkunci dalam badan yang lumpuh total. Kadang juga ia
flash back menarasikan masa ketika sehat dan hal lain
yang relevan.

Lahirnya buku dengan kedipan mata itu sebuah


peristiwa unik dan besar. Publik Perancis terkesima.

Di hari pertama publikasi, buku itu langsung terjual 25


ribu kopi. Di minggu pertama terjual buku 150 ribu kopi.
Siapa menduga buku tersebut kemudian menjadi best
seller nomor 1 di seluruh Eropa. Terjual jutaan kopi.

Namun di tahun 1997, dua hari setelah bukunya


dipublikasi, Bauby wafat. Ia tak sempat tahu jika
bukunya dibaca luas di aneka negara.

Bukan hanya isi buku itu yang menginspirasi. Bauby


menunjukkan apa yang disebut “the mind over the
body.” Api yang menyala di pikiran akan mencari
jalannya, mengatasi badan yang lumpuh total sekalipun.

-
Pernikahan yang Mengubah Sejarah

Review Film Loving (2016)

Richard Loving dan Mildred Jeter terdiam dan khawatir.


Mereka berdua kini mendekam di penjara. Berulang-
ulang Richard memprotes kepada polisi itu. “Ia istri saya
yang sah. Kami sudah menikah. Saya mencintainya.”

Dingin dan sinis saja polisi menatap Richard.


Diulanginya lagi pasal hukum itu yang ia yakin Richard
pun tahu. “Kamu dihukum justru karena kamu nekat
menikah. Itu perbuatan kriminal melanggar Anti-
Miscegenation Act.”

Walau tahu konsekuensinya, Richard dan Mildred tetap


kaget mendapati diri mereka dipenjara. Richard kulit
putih. Wildred kulit hitam. Pernikahan kulit putih dan
hitam tersebut kriminal!

Kisah Richard dan Mildred itu tidak terjadi nun jauh di


sana di Afrika. Juga tidak terjadi berabad lalu. Ia terjadi
di wilayah puncak peradaban dunia, di Amerika Serikat,
sekitar 60 tahun lalu. Tepatnya di Virginia tahun 1958.

Kisah cinta sejati itu difilmkan secara apik oleh Jeff


Nichols dengan judul Loving. Judul tersebut memang
nama belakang dari Richard Loving. Namun bisa juga
Loving itu kata sifat yang berarti perhatian penuh karena
cinta.

Ini memang film tentang cinta. Namun berbeda dengan


umumnya film cinta biasa, ini kisah cinta yang ikut
mengubah sejarah Amerika. Isu pernikahan Richard dan
Mildred bergulir menjadi kasus yang kini dipelajari dalam
banyak mata kuliah sejarah, hukum, ataupun Hak Asasi
Manusia.

Untuk kasus hukum, kisah mereka abadi dalam


dokumen Supreme Court Loving vs Virginia, 1967.

Richard dan Mildred penduduk biasa dari kalangan


menengah bawah di Caroline County Virginia, Amerika
Serikat. Berbeda dengan kebanyakan penduduk yang
terpilah kulit hitam vs kulit putih, mereka justru berteman
akrab. Lalu saling jatuh cinta.

Tibalah keputusan sulit. Mildred hamil. Pernikahan kulit


hitam dan putih bisa membuat keduanya dipenjara. Saat
itu Virginia masih menerapkan Anti-Miscegenation Laws.
Itu hukum produk zaman perbudakan yang sudah
diterapkan sejak 1691.

Setelah melewati banyak perdebatan, mereka sepakat


menikah. Namun itu tak bisa dilakukan di Virginia.
Negara bagian yang membolehkan pernikahan antar ras
di dekat sana: Washington DC. Ayah Mildred mengantar
mereka sambil terus mewanti-wanti pernikahan ini harus
dirahasiakan. Tak ada yang mau masuk penjara.

Merekapun kembali ke Virginia setelah resmi menikah.

Suatu malam, melalui operasi tangkap tangan, suami


istri ini digeledah polisi sedang tidur berdua di kamar.
Dengan paksa keduanya dimasukkan penjara.
Di dalam penjara Richard menerka-nerka siapakah yang
melaporkan mereka kepada polisi? Seandainya tak ada
yang melaporkan, ia dan istri akan aman saja.

Ibu Richard seorang bidan yang membantu kelahiran


anak. Suatu ketika ibu pernah berkata Richard tak harus
menikahi Mildred. Jawab Richard, “saya kira ibu suka
Mildred.” Ibu kembali merespons: “Saya menyukai
banyak orang. Tapi itu tak berarti Richard perlu menikahi
mereka!”

Namun Richard tak pasti apakah ibunya yang


melaporkan. Apakah ibunya setega itu yang
membuatnya masuk penjara?

Seorang lawyer ternama disewa Richard untuk


membantunya keluar penjara. Lawyer yang
berpengalaman dengan kasus ini segera memberikan
solusi. Hakim memutuskan sama persis dengan solusi
dari lawyer itu: Richard dan Mildred boleh meneruskan
pernikahan. Namun mereka harus pergi dan tak boleh
kembali berdua ke Virginia selama 25 tahun sejak kasus
diputuskan.

Richard serba salah. Ia tahu Mildred sangat dekat


dengan adik dan keluarganya. Bagaimana memisahkan
mereka tak berjumpa selama 25 tahun? Namun Richard
juga tak mau bercerai agar tetap bisa tinggal di Virginia.

Apa daya mereka harus pindah. Pernikahan antar ras


membuat mereka hidup terpisah dengan keluarga besar.
Adik Mildred marah dan mulai terbuka menyerang
Richard: “teganya dirimu memisahkan kakakku dari
kami.”
Ia teringat tanah luas yang sudah ia beli untuk Mildred di
Virginia. Mildred pernah ia ajak ke sana. “Di sini akan
aku bangun rumah kita. Di sebelah sini dapur. Di sini
kamar anak-anak,” ujar Richard. Mildred senang alang
kepalang sambil memeluk Richard.

Namun tanah itu harus ia lupakan. Kini ia harus hidup di


negara bagian lain.

Selanjutnya film menceritakan kehidupan Richard dan


Mildred di Washington DC. Mildred sudah hamil besar.
Suatu malam ia berkata: aku ingin melahirkan di
Virginia. Aku ingin ibumu yang menjadi bidannya.

Richard tak setuju karena itu melanggar hukum. Mereka


sudah berjanji pada lawyer hanya kembal ke Virginia 25
tahun mendatang. Mildred tetap bersikeras. Ia juga rindu
keluarganya.

Akhirnya Richard mengalah. Diam-diam mereka ke


Virginia. Ibu menjadi bidan membantu kelahiran. Mildred
berkumpul kembali dengan keluarga.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.


Polisi kembali menciduk. Mereka berdua dianggap tak
menaati peraturan. Penjara kembali menanti.

Lawyer yang sama diminta membantu Richard.


Diaturlah sebuah skenario untuk membebaskan Richard
dan Mildred, namun kali ini dengan janji. Jika mereka
berdua kembali ke Virginia sebelum 25 tahun, lawyer ini
akan menyerah dan tak ingin membantu kembali.
Kepada hakim, lawyer-nya berbohong. Ini semua
kesalahan saya pak Hakim, ujar lawyer. Saya lupa
menyatakan pada mereka untuk tak boleh kembali ke
Virginia untuk alasan apapun. Mereka mengira jika ingin
melahirkan boleh kembali.

Richard mengalami trauma dengan penjara dan


pengadilan. Dua kali cukup sudah. Ia membuang
mimpinya untuk kembali ke Virginia sebelum 25 tahun.
Sebaliknya, Mildred justru bertambah semangat mencari
aneka cara. Mereka acapkali bertengkar jika bicara soal
kembali ke Virginia.

Suatu ketika di TV, perjuangan anti diskriminasi semakin


marak di Amerika Serikat. Mildred melihat sosok yang
bisa diharap membantunya: Jaksa Agung Robert F
Kennedy. Ia adik kandung presiden AS John F Kennedy.

Mildred tanpa sepengetahuan Richard menulis surat


kepada Robert Kennedy. Ia minta perlindungan hukum
atas kasusnya. Mildred menulis saja dan siap pula jika
suratnya tak dianggap.

Tak diduga, Robert Kennedy merespons. Mildred pun


kaget mendapat respons tokoh penting. Ia bahagia luar
biasa. Kini terbuka kemungkinan baru.

Kennedy mengirimkan ahli hukum Benard S. Cohen. Di


tangan Cohen, kasus Richard Loving diskenariokan agar
diperkarakan sampai ke tahap Mahkamah Agung. Tak
lupa Cohen pula yang mengatur agar kisah Richard
Loving dipublikasi di majalah nasional LIFE. Itu agar
kasus ini menjadi perhatian nasional. Bobot politik kasus
ini akan menjulang.
Cohen sudah lama ingin ikut terlibat membuat sejarah.
Kasus Richard Loving ini sungguh menggetarkan
hatinya. Ia bekerja militan mencari semua peluang untuk
menang.

Awalnya Richard menolak untuk aktif berperan. Ia


khawatir ujung kasus ini hanya akan membawanya
masuk penjara lagi. Namun istrinya lebih aktif dan
suportif.

Buah kasus ini, keputusan bersejarah Mahkamah Agung


1967. Peradaban berubah. Semua aturan yang
melarang pernikahan antar ras untuk pertama kalinya
dihapus di seluruh negara bagian Amerika. Tak boleh
ada pembatasan rasial bagi pernikahan anak manusia.

Richard dan Mildred bisa kembali ke Virginia. Richard


menjalankan mimpinya membuat rumah untuk
keluarganya di tanah yang sudah ia beli itu.

Di kalangan pejuang anti diskriminasi, kasus Richard


dan Mildred menjadi unik. Umumnya pihak lain
mengubah sejarah melalui demonstrasi besar.
Sedangkan Richard dan Mildred melakukannya dengan
lebih personal. Yaitu cukup dengan jatuh cinta, percaya
pada cinta, menikah dan tak peduli jika pernikahan
mereka melanggar hukum.

Cinta akhirnya menang. Love wins.


-
Che Guevara di atas Motor

Review Film Motorcycle Diary (2004)

Tahun 1967, Fidel Castro berpidato mengabarkan


kematian Che Guevara.

“Jika ditanya, siapa manusia yang layak dijadikan


teladan? Che jawabnya.

Apa yang layak diajarkan pada anak-anak sekolah?


Didik mereka mempunyai spirit Che Guevara”

Nelson Mandela tak kalah memuji: “Che Guevara


memberikan kita inspirasi hidup seorang pejuang
kebebasan.” Bahkan seorang sastrawan kritis Jean Paul
Sartre ikut menyatakan hal yang melambung: “Che
bukan saja seorang intelektual. Ia menampilkan sosok
manusia paling lengkap di era kita.”

Sebuah film dibuat jauh sebelum Che Guevara menjadi


tokoh revolusioner dunia. Dalam film ini, Che yang
masih lebih sering dipanggil Fuser, di tahun 1952, masih
tumbuh sebagai anak muda hura-hura. Ketika itu ia
masih berusia 23 tahun.

Yang unik dalam film ini, bukan saja kisahnya ditulis


oleh Che sendiri. Tapi ini true story kisah perjalanannya
dengan motor bersama sahabat, mengelilingi aneka
negara Amerika Latin. Ia menghabiskan waktu 4,5 bulan
dan menjelajahi tak kurang total 14.000 km.
Masa muda Che yang dipanggil Fuser awalnya seorang
petualang biasa, sebagaimana anak muda pada
umumnya. Alberto sahabatnya membujuknya dengan
menunjuk seorang tua yang duduk mengantuk di ujung
sana.

“Coba kau lihat lelaki tua itu Fuser. Apa kau ingin
hidupmu berakhir seperti itu? Ia ngantuk, letih, dan
bosan? Ayo kita bertualang. Kita nikmati aneka gadis
Amerika Latin. Kita naik sepeda motor saja menyusuri
keindahan Amerika Latin!”

Lalu Alberto menunjukkan peta. Dengan spidol ia


gambarkan rute aneka negara yang akan mereka lalui.
Bermula dari negara mereka Argentina hingga ke Peru.
Alberto sangat ingin sampai ke Peru dan nanti bekerja di
sana.

Fuser awalnya ragu. Ia digambarkan sebagai anak


mama, yang sangat dekat dengan keluarga, dan hobi
menulis buku harian. Sekolahnya di bidang kedokteran
belum selesai. Lebih dari itu ia terkena penyakit asma.

Ibu begitu memperhatikan Fuser. Dengan berat hati


keluarga melepas Fuser berpetualang dengan motor.
Hanya satu pesan ibu, jangan lupa obat asma.

Awalnya tak ada yang istimewa dalam petualangan


motor itu. Fuser mengunjungi aneka tempat. Mereka
datang pada kenalan lama. Fuser nikmati pesta dansa.
Tak lupa ia bercumbu dengan sang gadis. Semua serba
hura-hura, mencari kesenangan, menikmati masa muda.

Pelan-pelan situasi berubah. Fuser dan Alberto semakin


menunjukkan karakter yang berbeda. Alberto lebih
lincah bergaul, pandai memikat wanita, lihai berdansa,
dan asyik berbasa-basi, tipu sana dan sini untuk
menyenangkan aneka tempat yang dikunjungi.

Fuser lebih kaku, tak bisa berdansa, tak ingin berbasa-


basi. Ia memilih terus terang walau membuat tak
nyaman orang yang mereka temui. Mereka acapkali
bertengkar. Gara-gara keterusterangan Fuser, banyak
kenikmatan yang seharusnya mereka peroleh menjadi
batal.

Mereka misalnya pernah dijamu oleh seorang dokter


yang sangat ingin menjadi novelis. Berdua mereka
diberikan novel itu untuk dibaca. Dengan hati bangga,
penulis novel minta komentar. Alberto memberikan
pujian yang berbunga-bunga. Tuan rumah sangat
senang.

Namun Fuser menyatakan apa adanya: “novelmu


membosankan. Mengapa dirimu tidak fokus menjadi
dokter saja.” Melihat tuan rumah agak tersudut, Fuser
menyatakan ia harus berterus terang karena itu cara ia
menghormati tuan rumah.

Dalam perjalanan, Alberto menegur Fuser mengapa ia


tak mau sedikit berbohong. Perjalanan mereka
membutuhkan penerimaan orang banyak. Namun Fuser
menolak berbohong. Ia harus jujur menyatakan isi
hatinya, apapun risikonya.

Petualangan perjalanan itu akhirnya sampai pada


suasana yang mengubah hidup Fuser. Setidaknya ada
tiga tempat dan tiga peristiwa yang kemudian mengubah
Fuser menjadi Che Guevara.

Mereka menyaksikan banyak kemiskinan dan


ketidakadilan. Begitu terenyuh hati Fuser melihat
sebuah keluarga miskin yang diperlakukan semena-
mena oleh perusahaan tambang. Tanpa kuasa, keluarga
ini hanya bisa menerima ketidakadilan itu jika ingin
survive.

Ia juga menyaksikan suku yang sangat arif dan ahli


merawat tradisi dan gaya arsitektur ratusan tahun.
Namun semua menjadi rusak karena masuknya
kapitalisme. Segala hal dikomoditikan dan
dikomersialkan. Yang tak ikut kultur komersial, akan
tersingkir.

Iba Fuser pada kaum papa dan tersingkir semakin


tumbuh. Suatu ketika ia melihat dua masyarakat yang
dipisahkan oleh sungai. Di seberang sana tinggal
komunitas penyakit lepra yang menular dan miskin.
Mereka diasingkan agar tidak menularkan penyakit pada
komunitas lain.

Fuser mulai menunjukkan kapasitas emosi, komitmen,


dan kepedulian yang tak biasa. Ia mengajak Alberto
melayani komunitas lepra itu. Ia bahkan menolak
memakai sarung tangan. Mereka datang di pagi hari.
Lalu malam hari kembali menyeberang tinggal di
seberang sungai.

Dilayaninya mereka yang terkena lepra dengan hati. Ia


ajak bicara dari hati ke hati. Di suatu malam, para dokter
dan suster merayakan ultah Fuser yang ke 24. Selesai
perayaan, Fuser ke pinggir sungai. Ditatapnya kembali
komunitas lepra di seberang sungai itu. Nekat ia
berkata, ia akan berenang menyebrang sungai untuk
tidur dengan mereka. Itu caranya merayakan ulang
tahun.

Alberto mati-matian mencegahnya. Tak pernah ada


orang yang bisa menyeberangi sungai itu malam hari.
“Ibumu akan membunuhku. Please Fuser, jangan
lakukan.” Alberto sangat khawatir, apalagi Fuser terkena
asma yang mudah sekali kambuh jika kedinginan.
Dalam perjalanan beberapa kali Fuser kambuh asmanya
dan fatal.

Namun tak ada yang bisa mencegahnya. Iapun terjun ke


sungai dan menyeberang. Penduduk gempar. Semua
melihat Fuser berenang tanpa bisa menolong. Malam
hari tak ada perahu.

Fuser sampai ke seberang dalam kondisi yang hampir


pingsan. Iapun bermalam di rumah penduduk lepra itu
hingga pagi.

Sejak malam ini Alberto merasa Fuser bukan orang


biasa. Ada api yang membuatnya mampu melakukan
hal yang tak terbayangkan.

Perjalananpun sampai ke Peru. Motor tak bisa


digunakan sejak separuh jalan. Kadang mereka berjalan
kaki. Kadang menumpang truk. Sepanjang perjalanan,
Fuser menyaksikan dan mendengar kisah kemiskinan
dan ketidakadilan.
Alberto memilih tinggal dan bekerja di Peru. Ia mengajak
Fuser bergabung. Fuser menjawab: perjalanan ini sudah
mengubahku. Ada panggilan lain yang harus aku jalani.
Merekapun berpisah.

Fuser dengan pesawat kembali ke Argentina. Setelah itu


iapun menjelma menjadi legendaris Che Guevara.

Selesai menonton film ini lama saya merenung. Banyak


hal tak terduga bisa mengubah anak muda yang
awalnya hura-hura menjadi gerilyawan revolusioner.

Beruntunglah mereka yang terus membuka diri.


Beruntunglah mereka yang berpetualang, dan akhirnya
berani memilih jalan hidup penuh passion, walau
berisiko sekalipun. -
Hidup di Luar Peradaban

Review Film Into the Wild (2007)

“Banyak orang hidup dalam lingkungan yang tak


bahagia. Dan mereka tak punya inisiatif serta nyali untuk
mengubahnya.”

Kalimat ini dituliskan sendiri oleh Christopher


McCandless ketika usianya masih 23 tahun. Christ lalu
menjalankan apa yang ia sarankan. Ia tinggalkan
keluarganya. Ia buang kartu identitasnya. Dana kuliah
yang ia punya sebanyak 25 ribu USD, setara 300 juta
rupiah, ia sumbangkan ke Oxfam, yayasan
kemanusiaan. Ia tinggalkan pula mobilnya.

Ia bertekad menempuh jalan yang berbeda: keluar dari


peradaban, hidup menyatu dengan alam.

Film ini kisah sejati perjalanan Christoper McCandless


hidup ke luar peradaban, dan menyatu dengan alam di
tahun 1992. Kisah tersebut dituliskan dengan apik oleh
Jon Krakauer: Into The Wild. Tokoh Christ diperankan
oleh Emile Hirsch. Film ini melibatkan nama besar
Hollywood seperti Sean Pean dan William Hurt.

Di usia 23 tahun, Christ tumbuh sebagaimana anak


muda menengah kota lain. Ia datang dari keluarga yang
serba berkecukupan. Namun ia tak bahagia karena
konflik ayah dan ibunya. Ia anak yang cerdas.
Christ banyak menghabiskan waktu membaca buku
terutama karangan seorang filsuf Henry David Thoreau
(1817-1862).

Dua buku Henry yang mempengaruhinya mendalam:


Walden. Ini semacam renungan indahnya hidup yang
sederhana dalam lingkungan yang alami. Buku ini
menyentuhnya untuk mencari kebahagiaan yang lebih
tinggi untuk hidup di alam bebas.

Satu lagi buku Henry yang memengaruhinya: Civil


Disobedience. Buku ini bercerita pentingnya individu
untuk berani memberontak, membentuk hidupnya
sendiri melawan lingkungan yang tak adil.

Kuat sudah kehendak Christ. Ia bertekad meninggalkan


lingkungan yang tak membawanya bahagia. Ia tak
hanya meninggalkan adik, ayah, dan ibunya. Iapun ingin
meninggalkan peradaban untuk hidup di alam bebas.

Ia membawa bekal seadanya. Tujuan utamanya Alaska.


Christpun menghilang dan berganti nama menjadi
Alexander Supertramp. Keluarga yang ditinggal kaget
alang kepalang. Mereka bahkan menyewa detektif
swasta untuk mencari di mana Christ berada. Berbulan-
bulan tanpa kabar. Polisi dan detektif swasta tak
kunjung bisa melacaknya.

Malam itu ibunya terbangun dari tidur. Ia seolah


mendengar suara Christ minta pertolongan di suatu
tempat. “Christ masih hidup,” ujar ibu setelah setahun
lebih tak mendengar kabar apapun soal Christ.
Tak ada yang tahu apa yang dilakukan Christ dan ia
berada di mana. Sampai suatu ketika lebih dari setahun
kemudian, ditemukan sebuah jasad yang mati di sebuah
bus jauh di dalam hutan. Dari catatan harian yang ada,
diketahui itu Christ. Dari catatan harian itu, diketahui
pula kisah perjalanannya.

Tergambar perjalanan fisik sekaligus penemuan jati diri


seorang anak muda. Sebelum Christ sampai ke bus
tengah hutan itu, sudah banyak perjalanan yang dicatat.

Ia tinggalkan orang-orang yang mencintainya karena


meyakini sumber kebahagiaan tidak di sana.
Kebahagiaan itu hadir justru pada semangat
berpetualang dan hubungan intim dengan alam yang
liar. Ujar Christ, kebahagiaan itu tidak bersumber pada
hubungan antar manusia.

Tapi selama perjalanannya, ia berjumpa dan hidup


bersama dengan tiga pribadi dalam kesempatan yang
berbeda. Pelan-pelan contoh hidup tiga pribadi itu
memberikannya persepsi yang lain lagi. Ia justru melihat
pribadi itu bahagia karena kasih sayang yang saling
berbagi dengan sesama, dengan orang yang mereka
cintai.

Lama ia terdiam terutama ketika ia merasakan cinta


seorang kakek. Lelaki berumur itu awalnya mencegah
Christ untuk ke Alaska. Ia menawarkan diri untuk
mengadopsi Christ dan Christ boleh tinggal
bersamanya.

Tapi gelora Christ untuk berpetualang dan hidup di alam


raya lebih kuat. Iapun nekat pergi ke Alaska. Alam yang
buas dirasakan Christ sebagai pusat kebahagiaan.
Rintangan salju dinikmatinya. Kendala sungai ia
taklukkan dengan suka cita.

Setelah empat hari masuk ke hutan liar, ia terkaget


menemukan sebuah bus di dalam hutan itu. Bus itu
sudah lama ditinggalkan. Dengan kegembiraan, ia ubah
bus itu sebagai rumahnya.

Hari-hari awal ia jalani dengan suka cita. Setiap hari ia


membuat catatan mengenai kegiatan yang berkesan. Ia
juga membuat foto diri dari kameranya. Namun semakin
lama, alam buas tak seperti yang semula ia bayangkan.

Ia mulai merasa kesepian. Ia mulai kelaparan dan sulit


mencari makanan. Badannya semakin lama semakin
kurus. Ia pernah berhasil berburu sejenis sapi besar.
Tapi ia gagal mengawetkan daging sapi sehingga
daging itu busuk dan tak bisa dimakan.

Badannya semakin lemah. Ia pernah mencoba untuk


kembali ke peradaban. Namun ia gagal melintasi sungai
yang dulu ia mampu. Di musim yang berbeda, sungai itu
jauh lebih deras dan dalam.

Lebih dari 100 hari Christ di sana. Akhirnya sekelompok


pemburu hewan menemukan jasadnya mati di dalam
bus. Christ sudah mati berhari-hari sebelum jasadnya
ditemukan.

Setelah kisah Christ dibukukan oleh Jon Krakauer, bus


di tengah hutan Alaska menjadi sangat terkenal. Mereka
menamakannya Magic Bus.
Para petualang yang ke Alaska menjadikan bus itu
sebagai ikon untuk dikunjungi. Seorang pelancong biasa
akan sulit mencapai bus itu. Dibutuhkan stamina dan
keahlian seorang hiker terlatih untuk sampai kepada bus
itu. Dari jalan raya, butuh waktu tempuh minimal 3 hari.

Penyebab kematian Christ juga menjadi perdebatan.


Sebagian meyakini Christ salah makan tumbuhan yang
ternyata racun. Sebagian lagi meyakini Christ kelaparan
dan gagal mencari makanan di lingkungannya.

Bahkan citra seorang Christ juga menimbulkan pro dan


kontra. Sebagian menjadikan Christ idola. Ia contoh
anak muda yang berani hidup berbeda. Ia anak alam
sejati.

Sebagian justru negatif kepada Christ. Ia dianggap


sangat bodoh memilih hidup di hutan tanpa
perlengkapan dan keahlian yang memadai. Itu sama
dengan tindakan bunuh diri.

Yang menyentuh memang tulisan yang Christ tinggalkan


di catatan hariannya ataupun di buku bacaan yang ia
coret-coret.

Tulis Christ: “Kebahagiaan itu hanya real jika dibagi


kepada orang lain.”

Pandangan hidup Christ berubah total. Justru dalam


suasana sendirian berbulan-bulan di hutan buas, ia
menyadari. Hubungan antar pribadi, hubungan dengan
keluarga, hubungan dengan orang yang dicintai itu yang
paling memberikan makna hidup. Dulu ia menafikan
pentingnya hubungan antar pribadi sebagai sumber
kebahagiaan.

Sampai pula Christ kepada pencerahan itu. Sayangnya


kesadaran baru itu ia yakini ketika ajalnya menjemput.

-
“Kamu Jenius, Tapi Pribadimu Rusak”

Review Film Steve Jobs (2015)

Steve Jobs terdiam. Ia merenungkan pernyataan Co-


Founder Apple Steve Wozniak yang mengumpat keras:
“Kamu berbakat, tapi pribadimu rusak.”

Dua jam saya tercekam menonton film terbaru yang


memotret legenda dunia komputer berjudul Steve Jobs
(2015). Film ini dibintangi oleh Michael Fassbender dan
Kate Winslet. Keduanya baru saja diumumkan masuk
nominasi pemeran aktor terbaik dan pembantu peran
aktris terbaik Oscar 2016.

Film ini menampilkan sisi pribadi Steve Jobs yang belum


banyak digali. Dunia mengenalnya sebagai inovator
teknologi kelas wahid. Namun di balik imajinasi dan
kecerdasannya yang tinggi, tersimpan sisi pribadi yang
kelam.

Ia pernah tak mau mengakui bahwa Lisa itu anaknya.


Bahkan ketika tes DNA membuktikan dengan margin of
error, ia memberikan wawancara di TIME Magazine
bahwa secara statistik masih ada kemungkinan ayah
dari Lisa adalah 28 persen dari populasi lelaki dewasa di
Amerika.

Ketika asetnya di atas 5 Trilyun, ia tega dan


membiarkan putrinya yang masih kecil hidup bersama
mantan kekasihnya dengan tunjangan negara, melalui
program welfare.
Ketika putrinya sekolah di Harvard, ia tak
membiayainya, sehingga diam-diam rekan sekerjanya
yang mengirimkan cek untuk putrinya.

Begitu tinggi obsesinya pada inovasi teknologi yang


ideal, beberapa kali ia terlibat pertengkaran dengan
teman sekerjanya. Ia pernah mengancam akan
mempermalukan teknisinya di publik jika tak kunjung
bisa membuat Macintosh mengeluarkan suara “Halo,”
setengah jam sebelum launching.

Namun tak ada yang tak mengakui sumbangannya


kepada peradaban melalui aneka inovasi komputer yang
dibuatnya. Walau Wozniak berkali-kali minta Steve Jobs
menyatakan ke publik bahwa ibarat The Beatles, adalah
Wozniak yang menjadi John Lennonnya, bukan Steve
Jobs.

Akibat tekanan sekretaris yang mencintainya, agar ia


juga menyadari punya tanggung jawab sebagai ayah,
akhirnya Steve Jobs tersentuh. Dengan segala cara, Ia
mencari cara agar dekat dengan Lisa anaknya. Di depan
anaknya yang dewasa, ia mengaku terbuat dari bahan
yang buruk.

Film ini menambah pengetahuan kita betapa dalam satu


pribadi kadang tersimpan kecerdasan yang tinggi,
namun dalam bungkus kepribadian yang ringkih, dan
acapkali kesepian.

-
Suara Anaknya yang Mati Dibunuh Terus
Memanggil
Review Film The Revenant (2015)

Dari pandangan umum, ia tinggal menghitung jam dan


mati. Badannya sudah terkoyak dicakar beruang. Ia
berada di hutan ketika badai salju ganas. Ia diawasi oleh
sesama pemburu yang mengharapkannya mati. Namun
suara anaknya yang dibunuh terus datang membuatnya
bertahan hidup.

Lama saya tercekam menonton film Leonardo Dicaprio:


The Revenant. Film ini baru saja diumumkan menang
12 nominasi Oscar, setelah sebelumnya menang di
Golden Globe Award. Belum main di bioskop Indonesia,
saya menontonnya melalui “jalur khusus.”

Diangkat dari novel, yang diinspirasi true story hampir


200 tahun lalu, drama ini sering membuat kita menarik
nafas panjang.

Leonardo berperan sebagai Hugh Glass, seorang


pemburu kulit hewan yang sangat berpengalaman.
Keahliannya dibutuhkan grup di bawah kendali kapten
Henry.

Kecelakaan terjadi. Glass diserang beruang besar.


Mereka bertarung hidup dan mati. Walau berhasil
membunuh beruang, Glass nyaris dijemput maut. Ia luka
parah, tak bisa bicara, hanya terbaring. Sementara
selaku kelompok pemburu, mereka juga terancam
karena diburu suku Indian yang ingin membalas
dendam.
Kondisi Glass membuatnya menjadi beban bagi grup.
Naik turun gunung menjadi sulit dengan membawa
dirinya ditandu.

Dramapun dimulai. Fitzgerald yg dimainkan dengan apik


oleh Tom Hardy mengusulkan Glass sebaiknya dibunuh
saja untuk menyelamatkan seluruh grup. Jika tidak,
semua akan mati terbunuh oleh suku Indian, yang
sudah menyerang di awal.

Kapten Henry awalnya menyetujui. Ia sendiri yang


sudah mengarahkan pistol untuk menembak mati.
Namun ia tak tega. Apalagi jeritan anak Glass yang ikut
dalam grup menyentuhnya.

Solusinya dibuat. Glass ditinggal saja hingga ajal.


Karena jasanya, Glass berhak mendapatkan
penguburan yang layak jika kelak mati. Tak ada yang
memperkirakan Glass bisa hidup lebih lama karena
begitu luka parah.

Kapten Henry menugaskan Fitzgerald dan anak muda


menjaga Glass yang selalu ditemani anaknya. Sebagai
imbalan untuk menemani Glass menjemput ajal dengan
terhormat, kapten berkomitmen memberikan mereka
bonus upah ekstra.

Beberapa kali Fitzgerald ingin mempercepat kematian


Glass. Namun ia selalu terhalang oleh perlawanan anak
Glass. Pada momen tak terduga, akhirnya Fitzgerald
membunuh anak Glass. Dengan luka parah dan tak
berdaya, Glass hanya bisa menyaksikan sang anak mati
dibunuh.
Glass mencoba berteriak sekencang-kencangnya,
mencegah agar jangan membunuh anaknya. Namun
badannya terkapar dan suaranya tak bisa keluar. Ia
hanya menangis dengan luka batin menganga.

Bahkan tubuh Glass sudah pula dicemplungkan


Fitzgerald ke liang kubur yang dangkal. Fritz dan anak
muda itu lalu pulang dan bersengkongkol menceritakan
bahwa Glass sudah mati, dan anaknya menghilang.

Inilah awal dari pesan utama film. Suara anaknya yang


mati dibunuh, membuat Glass harus hidup. Iapun
berjuang menyembuhkan diri, menghindari suku Indian
yang juga memburu kelompoknya. Dalam kesunyian
yang mencekam dan dingin badai salju, beberapa kali
bayangan anaknya datang, membuatnya ingin terus
hidup.

Ia harus melewati begitu banyak rintangan alam,


termasuk badai salju untuk bisa kembali, membuat
perhitungan akhir dengan Fitzgerald.

Film ini bercerita tentang bangkitnya kekuatan ekstra


setelah pengalaman ekstrem. Dengan alur yang masuk
akal, Glass terus bertahan dan bisa kembali pulang,
menuntaskan kematian anaknya.

Selesai menonton, saya termenung. Betapa hebatnya


daya survival individu karena kisah ini adalah true story.
Seorang individu yang luka batin mendalam bisa
menjelma menjadi begitu tangguh. Lama saya terdiam.

-
Mungkinkah Pastor Menikah Suatu Ketika?

Review Film Spotlight (2015)

Mungkinkah para pastor pada waktunya dibolehkan


menikah seperti pendeta atau ulama?

Saya baru saja selesai menonton film yg dipilih TIME


sebagai terbaik rangking pertama 2015: Spotlight.

Berbeda dengan umumnya kerja jurnalisme yang


banyak gosip seperti kasus teror Jakarta, film ini kisah
true story tim jurnalis Boston Globe yang melakukan
kerja investigasi.

Mereka berhasil mengungkap 87 pastor di Boston yang


melakukan pedofilia, pelecehan seksual kepada begitu
banyak anak-anak, di tahun 2002.

Sebagai jurnalis, mereka bekerja kadang seperti


detektif, peneliti, pendengar, kadang seperti politisi yang
melobi. Atas kerja keras dan cerdas, mereka
mendapatkan Pulitzer untuk Public Service 2002.
Kardinal yang bertanggung jawab atas wilayah Boston
mengundurkan diri.

Namun film ini meninggalkan gagasan yang lebih besar.


Kekerasan seks pada anak-anak itu masih banyak
tersembunyi di tempat lain.

Apakah ini akibat pemaksaan celibacy (tak boleh


menikah) kepada para pastur? Tak semua pastur secara
biologis memang siap dengan hidup celibacy itu.
Akibatnya, terjadi eskapisme seksual. Hasrat terpendam
itu dialihkan banyak pastur kepada mereka yang lemah
dan di bawah tanggung jawab mereka: anak-anak.

Mungkinkah dalam waktu tak lama, celibacy dijadikan


pilihan saja, tapi tak wajib bagi para pastur? Toh
pendeta dari Kristen juga boleh menikah, sebagai
sesama penganut ajaran Jesus kristus?
-
Mimpi tentang Tuhan dan Karl Marx
Selalu Menghantuinya
Review Film Persepolis (2007)

Apa yang harus ia lakukan menghadapi Revolusi Islam


Iran 1979? Sebagai seorang wanita remaja yang punya
semangat menentang dan berpikir kritis tiba-tiba
dikekang oleh rezim baru yang ingin mendisiplinkan
publik berdasarkan Al-Quran.

Semalam saya menonton film lama, Persepolis, yang


menjadi co-winner festival film Cannes 2007. Ini film
diangkat dari otobiografi Marjane Satrapi, berkisah
tentang perjalanan batin dirinya berjumpa dengan aneka
life style dan ideologi besar dunia, termasuk Islam Syiah
di Iran.

Sejak kecil, ia dididik di sekolah di Iran untuk memuja-


muji Shah Iran. Lalu ketika Shah ditumbangkan dan
Khomeini memimpin Iran, kini ia diajarkan di sekolah
untuk membenci Shah Iran dan memuji negara Islam
Iran.

Pamannya baru saja selesai masa penahanan karena


menganut paham komunisme yang terlarang. Iapun
akhirnya dekat dengan pamannya secara personal. Dari
pamannya ia tumbuh mengenal dan mencintai Karl
Marx.

Namun konflik batin akibat begitu banyaknya gagasan


yang dijejalkan padanya saling berebut pengaruh.
Kadang ia bertanya, mana yang harus ia jadikan
pegangam hidup? Beberapa kali gantian Karl Marx dan
Tuhan datang dalam mimpinya mengajarkan yang mana
jalan yang harus ditempuhnya.
Karena sifat dirinya yang rebelious, justru dalam
ketatnya negara Islam Iran, ia mulai menyukai musik
Barat seperti punk dan Michael Jackson. Karena
khawatir ditangkap pemerintah Iran, ayah dan ibunya
akhirnya mengirimkannya sekolah ke Perancis.

Di Perancis, semakin terbuka matanya mengenal begitu


banyak life style yang berbeda. Ia sempat tinggal
bersama para sister Katolik, jatuh cinta pada lelaki yang
homoseksual, mendalami musik heavy metal,
merasakan kehidupan asmara yang berapi-api lalu
dikhianati, hidup dan tidur di jalanan berhari-hari.

Kekerasan hidup dan pertarungan aneka gagasan,


membuatnya semakin rindu cinta sejati yang
dirasakannya dari nenek. Kasih sayang nenek itulah
yang kini selalu dirindukan dan dibawanya serta.

Film ini membuat kita merenung. Di balik kecanggihan


dan keragaman aneka filsafat dan life style yang saling
berebut pengaruh, kehangatan cinta yang dialami
secara personal itulah yang paling bertahan dan
dibutuhkan seorang pemberontak sekalipun.

The power of love.


2
KISAH FIKSI
Ketika Keluarga Superkaya Berurusan
dengan Cinta
Review Film Crazy Rich Asian, 2018

Di meja itu berhadapan dua wanita yang kuat. Nada


bicara keduanya tenang. Namun mata mereka menyala,
saling ingin mengalahkan. Mereka memainkan Mahjong,
sejenis game tradisional Cina, untuk adu strategi, adu
kecerdasan, adu emosi, menentukan siapa yang
akhirnya menang. Siapa yang akhirnya dikalahkan.

Mereka mencintai dan berebut lelaki yang sama.


Eleanor jelas mencintai Nick Young. Lelaki itu anak
kesayangannya. Sang putra adalah pangeran yang akan
mewarisi kekayaan keluarga yang luar biasa.

Tapi Rachel juga mencintai Nick Young. Lelaki itu


adalah kekasihnya. Ia mengenalnya sejak sekolah
bersama di Amerika Serikat. Ia tak tahu menahu jika
Nick Young begitu kaya. Ketika sekolah bersama, Nick
Young berpenampilan sederhana. Bukan kekayaan Nick
Young yang menyentuh hati.

Sang ibu, Eleanor, dan Sang Kekasih, Rachel,


keduanya sama sama gadis Tionghoa. Bedanya,
Eleanor adalah Tionghoa tradisional yang begitu
mementingkan keluarga, tradisi, tugas budaya di atas
kebebasan individu.

Sementara Rachel adalah Tionghoa perantauan yang


tumbuh dewasa di Amerika Serikat. Ia akademisi, yang
mementingkan kebebasan individu. Ia datang pula dari
keluarga yang hancur. Bahkan ia ternyata tak tahu siapa
Ayahnya yang sebenarnya.

Hebat dan kuatnya Eleanor sudah diceritakan di awal


film. Ketika Nick masih kecil, basah kuyup oleh hujan,
dan sepatu penuh lumpur, bersama Eleanor mereka
masuk ke hotel mewah.

Tapi petugas hotel menolak mereka dengan alasan tak


ada kamar tersedia. Datang manajer lebih tinggi
melakukan penolakan yang sama. Mereka disarankan
tinggal di daerah “China Town” saja yang lebih murah.

Eleanor meminjam telepon untuk mengontak suami.


Pimpinan hotel yang terkesan rasis bahkan tak
memberinya. Eleanor akibatnya harus menelepon dari
telepon umum dengan basah kuyup karena hujan deras.

Namun di situlah kehebatan Eleanor plus kekuatannya.


Dalam bilangan menit, pemilik Hotel datang menemui
dan menghormati Eleanor. Kepada pimpinan hotel,
Eleanor diperkenalkan sebagai pemilik baru hotel yang
membeli hotel itu.

Pimpinan hotel diam terpaku serba salah. Wanita yang


diusirnya itu seketika menjadi pemilik hotel.

Hebatnya Rachel juga diceritakan tak lama setelah


adegan pembuka. Ia profesor ekonomi dari universitas
terkemuka.

Ia ajarkan pula game theory: cara mencari solusi


dengan perhitungan rasional dan mempelajari sisi
psikologis stake holders.
Apa daya, kedua wanita itu kini harus berhadapan.
Namun bukan samurai di tangan mereka yang
menentukan siapa yang akhirnya terbunuh. Tapi yang
menentukan adalah apa yang akan mereka putuskan
tentang lelaki yang mereka perebutkan: Nick Young.

Eleanor baru saja berhasil meyakinkan keluarga besar.


Ia menyewa detektif swasta. Ternyata Ayah Rachel
tidaklah mati. Ternyata Rachel anak haram, hasil
selingkuh. Ternyata asal usul Rachel tak seperti yang ia
ceritakan. Keluarga besar menolak Rachel.

Namun Nick memilih Rachel dan rela meninggalkan


keluarga besar beserta seluruh warisan. Nick mengenal
dan meyakini hati Rachel. Kini semua tinggal menunggu
keputusan Rachel.

Setelah Rachel mampu mengalahkan Eleanor dalam


permainan Mahyong, kini ia ingin mengalahkan Eleanor
dalam kehidupan nyata.

Ujar Rachel, mudah saja aku mengalahkanmu. Kuterima


saja lamaran Nick Young. Ia akan meninggalkan semua
warisannya. Juga meninggalkanmu selamanya. Berdua
kami hidup nyaman di New York.

Tapi aku mencintai Nick. Aku tahu, ia tak akan bahagia


jika dirimu menderita. Dirimu juga akan menderita jika
ditinggal Nick. Ini keputusanku, ujar Rachel. Aku tolak
lamaran Nick. Namun kau harus ingat. Nick akan
kembali padamu tapi akan membencimu selamanya.

Nick akan tahu, aku meninggalkannya bukan karena aku


tidak mencintainya, tapi karena aku tak ingin ibunya
menderita.
Jika nanti dirimu menemukan jodoh yang baik untuk
Nick, sesuai kelasmu, ingatlah. Itu karena aku yang
mengalah. Ingatlah, itu karena semua harta keluargamu
tak ada artinya bagiku.

Rachel pun pergi dari Singapore, berniat kembali ke


Amerika Serikat.

Itulah adegan puncak dari aneka konflik yang muncul di


film Crazy Rich Asian. Kekayaan budaya Asia cukup
tergambar di film ini. Tak hanya wisata kuliner, kesenian,
tapi juga aneka filsafat hidup Asia.

Sentuhan Hollywood sangat terasa. Sudah pasti film ini


sangat bisa dinikmati penonton dari dunia Barat karena
eksotisme budaya Timur cukup kental. Juga film ini
diminati generasi milenial karena banyak lagu pop Barat
populer dinyanyikan dengan bahasa Inggris ataupun
bahasa China.

Sayapun di beberapa adegan sempat meneteskan air


mata. Sisi drama cukup kuat. Bahkan Rachel sendiri tak
tahu masa silamnya. Ibu kandungnya menutup rapat,
membawanya kabur ke Amerika Serikat. Ia baru tahu
setelah temuan detektif swasta yang disewa Ibu Nick
Young, ibu kekasihnya.

Alur perjalanan cinta, pengorbanan, kesalahpahaman,


pengkhianatan, berhasil menyentuh emosi.

Sungguhpun ini kisah cinta, namun terasa pula clash of


civilization. Bukan antara peradaban Barat vs Islam
seperti narasi Samuel Hungtington. Tapi antara
Tionghoa peranakan versus Tionghoa perantauan yang
sudah menyatu dengan kultur liberal.

Di Amerika Serikat dua anak muda jatuh cinta. Masalah


dimulai ketika sang pria mengajak kekasihnya
mengunjungi Singapura. Di sana mereka menghadiri
pernikahan saudara sekaligus sahabat Nick Young,
sahabat masa remaja.

Datang ke Singapura bagi sang gadis, Rachel, ternyata


masuk ke dalam clash of civilization. Tak ia duga Nick
Young sekaya itu. Tak ia duga budaya Tionghoa dan
Asia serumit itu.

Akhirnya, bukan semata karena kecerdasannya, Rachel


berhasil survive. Tapi karena karakternya, Rachel dan
Nick Young akhirnya happy ending.

Sang Ibu dan keluarga besar teryakinkan. Bahwa ada


yang lebih meaningful daripada setumpuk harta dan
kilauan emas. Ada yang lebih membuat bahagia di atas
deretan angka rekening bank dan warisan.

Film ini kuat menggambarkan. Ada yang bernama cinta


sejati. Ialah sebuah kasih yang semakin jarang tumbuh
bersemi di dunia nyata, di masa kini.

September 2018
Trauma yang Meretakkan Asmara

Review Film Salesman (2016)

“Kami memboikot tak datang menerima piala Oscar. Ini


solidaritas kami menentang kebijakan Donald Trump
yang rasis.” Pernyataan itu dilontarkan film maker Iran
Asghar Farhadi dan aktris utama film terbarunya,
Taraneh Alidoosti.

Untuk kedua kalinya, Asghar mendapatkan


penghargaan Oscar selaku film asing terbaik: Salesman
(2016). Sebelumnya ia mendapatkan Oscar untuk
filmnya yang lain dengan kategori sama: Separation
(2012).

Asghar semakin mengokohkan diri dalam jajaran film


maker elite dunia. Namun kali ini hadiah Oscar datang
ketika negaranya, Iran, termasuk yang yang terkena
pembatasan Donald Trump masuk ke Amerika. Ia ingin
bersikap di bidang yang ia bisa: menolak datang
menerima piala Oscar, piala yang merupakan impian
pembuat film di seluruh dunia.

Film Salesman dibuka dengan retaknya bangunan


apartemen. Emad dan Rana, pasangan muda suami-istri
kaget luar biasa. Bangunan apartemen itu sedang
dievakuasi. Mereka bergegas keluar, dan akhirnya harus
mencari apartemen baru.

Retaknya bangunan apartemen itu ternyata tak


seberapa dibandingkan retaknya hubungan asmara
mereka akibat kejadian dalam apartemen yang baru. Di
sini terasa skill dan kehalusan Asghar selaku sutradara
dan penulis mengolah dilema moral seorang suami, dan
lelaki dalam masyarakat patriarkal Iran.

Tak ada peristiwa besar dalam film itu yang menjadi


setting-nya seperti revolusi atau perang. Sebagaimana
dalam filmnya yang lain: Separation, About Elly,
Salesman juga bertutur seputar masalah biasa yang
ditemukan dalam kehidupan yang normal. Namun di
dalam peristiwa biasa itu tetap tersimpan aneka dilema
moral yang besar bagi hidup seorang individu.

Baik Emad dan Rana, keduanya pemain teater. Mereka


sedang mementaskan naskah teater terkenal: The
Death of Salesman, karya Arthur Miller. Dalam naskah
itu, Emad sang suami sedang menghayati perannya
sebagai Willy Loman, pribadi yang rapuh yang banyak
hidup dalam imajinasinya sendiri. Kadang ia hidup
dalam ilusi.

Peran itu sangat dihayati Emad. Murid-muridnya


terkesan dengan penampilan Emad dan memanggilnya
Salesman. Tak sadar, pribadi Salesman yang kadang
berilusi mempengaruhi pula kehidupan rumah
tangganya.

Melalui koleganya di teater, Emad dan Rana


mendapatkan apartemen yang baru. Tak diinfokan oleh
pemilik apartemen, dulu yang tinggal di sana sebelum
mereka adalah seorang pelacur. Tetangga secara diam-
diam sering membicarakan. Tapi tak pernah ada kasus
yang membuat pelacur itu dihakimi secara terbuka
misalnya.
Drama dimulai ketika Emad pulang ke apartemen yang
baru. Ia tak melihat istrinya ada di sana. Sedangkan di
kamar mandi terlihat banyak bercak darah. Di tangga ke
luar apartemen juga terlihat bercak darah.

Emad terkejut. Secepat kilat Emad mencari tahu di


mana istrinya. Ia ke rumah sakit dan terlihat istrinya
sedang tergolek dengan luka di beberapa bagian wajah.
Tetangga bercerita ia menemukan istrinya pingsan.
Menurut sebagian tetangga, itu semata mungkin istrinya
tergelincir di kamar mandi.

Problem muncul karena sang istri mengalami trauma


akibat kecelakaan di kamar mandi. Ia hanya bercerita
sedikit-sedikit. Bahkan kadang kisahnya berbeda. Yang
mana yang benar menjadi kabur di mata suaminya.

Pengakuan pertama istri sudah membuat Emad kaget.


Ia tidak terjatuh di kamar mandi. Namun ada lelaki yang
masuk ke kamar mandi dan menyerangnya.

Mengapa lelaki bisa masuk ke kamar mandi? Apakah ia


mengenali wajah lelaki itu? Apa saja yang dilakukan
lelaki itu di kamar mandi? Keterangan Rana tak pernah
tuntas. Awalnya Emad berupaya empati. Namun
akhirnya ia marah karena tak pernah jelas apa yang
sebenarnya terjadi. Egonya sebagi lelaki dan suami
sangat berguncang.

Ini semua akhirnya menjadi sumber pertengkaran.


Namun mereka berdua sepakat untuk tidak melaporkan
kisah ini ke polisi. Di tangan polisi Iran kala itu, mereka
khawatir akan berkembang gosip dan isu baru yang
justru membuat buruk situasi.
Problem berikutnya datang ketika diketahui lelaki yang
masuk itu meninggalkan uang. Rana mengira itu uang
dari suaminya, Emad. Uang itu sudah dipakai Rana
berbelanja.

Tapi Emad tak pernah meletakkan uang di sana. Emad


pun berspekulasi ini uang lelaki yang masuk ke kamar
mandi, yang seolah membayar kepuasan atau rasa
bersalah. Konflik Emad dan Rana semakin menjadi.

Selanjutnya film menjadi kisah detektif mencari siapa


lelaki yang masuk itu. Ada dua jejaknya. Pertama, pelat
mobil yang diparkir di dekat rumah walau kemudian
mobil itu menghilang. Kedua, jejak darah di tangga yang
mungkin berasal dari kaki lelaki yang terluka ketika
peristiwa di kamar mandi. Emad mencari jejak itu
dengan bantuan pihak lain yang bukan polisi resmi.

Ujung dari pencarian itu adalah sebuah kejutan dan


kembali memunculkan dilema moral. Lelaki yang masuk
ke kamar mandi itu ternyata lelaki tua berpenyakitan.
Lelaki itu sangat disayang keluarganya, tempat
keluarganya bergantung. Dan lelaki tersebut ternyata
pelanggan dari pelacur yang tinggal di apartemen itu
sebelumnya.

Emad dan Rana bertengkar hebat soal apakah lelaki tua


itu perlu dipermalukan di depan keluarganya sendiri.
Lelaki itu mengaku mengira Rana yang di kamar mandi
adalah pelacur langganannya. Ia tak tahu jika pelacur itu
sudah pindah. Ia memohon agar kisahnya jangan
diungkap di depan keluarganya. Penyakit jantungnya
pun kambuh.
Ujar Emad, keluarganya perlu tahu siapa ia sebenarnya.
Ia bejat dan tak layak mendapatkan respek keluarganya
sebesar itu. Ujar Rana, “motifmu bukan lagi
melindungiku tapi semata balas dendam dan ego kelaki-
lakianmu terganggu. Ia tak sejahat yang kau duga.”

Dalam film kita menyaksikan bercampurnya peran Emad


dalam teater dan dalam kehidupan nyata. Kadang kisah
dalam kehidupan nyata, oleh Emad dimasukkan ke
dalam teater sehingga ucapannya berbeda dengan
skenario asli. Kadang perannya di teater selaku lelaki
yang penuh ilusi memengaruhi pula lakonnya dalam
kehidupan nyata selaku suami.

Namun Emad menghadapi hidup yang tak lagi mudah.


Selaku kepala rumah tangga ia tak bisa terlalu dominan
lagi. Ia hidup di masyarakat Iran yang juga mulai
berubah, di mana peran istri juga semakin menentukan.

Retak trust suami istri di apartemen yang baru itu


memang lebih sulit diatasi ketimbang retaknya dinding
apartemen mereka yang lama.

-
Cinta yang Tumbuh di Lumpur
Review Film Moonlight (2016)

Film terbaik Oscar 2017 akhirnya dimenangkan oleh


Moonlight. Ini film LGBT pertama yang menang Oscar.
Mahershala Ali yang bermain di film itu juga menjadi
aktor muslim pertama yang memenangi Oscar.

Lama saya terdiam setelah menonton film Moonlight.


Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang sulit.
Ibunya seorang pelacur pengidap narkoba. Ia tak tahu
siapa ayahnya.

Ia tumbuh dalam lingkungan miskin. Tak berdaya ia


acapkali menjadi obyek kekerasan teman sekolah,
teman mainnya, bahkan oleh ibunya sendiri.

Namun yang lama mengendap dalam hatinya, yang


kemudian mengubah hidupnya, ketika iapun dijadikan
objek kekerasan oleh sahabat sesama jenis yang diam-
diam dicintainya.

Tak diduga, dalam tubuhnya yang ringkih, yang acapkali


luka, yang kesepian, yang acapkali takut, ia menyimpan
cinta yang terus dirawatnya, dan disembunyikannya.
Cinta itu yang membuatnya terus survive dan bertahan.

Dari delapan film nominasi Oscar 2017, saya sudah


menonton tujuh film. Hanya The Fences yang belum
sempat saya tonton.

Film Moonlight memang yang paling kelam dan dalam


menampilkan perjalanan batin pribadi yang selalu
disingkirkan lingkungannya.
Toh, dalam lumpurpun tetap bisa tumbuh bunga yang
bersih. Dalam lingkungan yang kelampun, tetap bisa
hadir pribadi yang menyimpan cinta rahasia yang suci.

-
Harus Tetap Ada Cahaya
Review Film The Fences (2016)

Viola Davis akhirnya mendapatkan Oscar sebagai Best


Supporting Actres 2017 atas perannya yang menggugah
sebagai ibu dan istri dalam film yang kelam dan dalam:
The Fences.

Lama saya merenung setelah menonton film ini.


Seberapa banyak wanita yang bisa tetap menghadirkan
cahaya dalam kehidupan keluarga yang sedemikian
rumit dan sulit.

Suaminya lelaki bertanggung jawab. Namun masa


kecilnya yang sulit, dan lama dipenjara, membuat
perilaku suami begitu keras.

Hampir setiap sore suaminya bertahap membuat pagar


melindungi rumah. Kadang ia bicara ke langit, memberi
pesan kepada kematian dan penderitaan, untuk berbagi
wilayah dengannya. “Kematian dan penderitaan jangan
pernah masuk ke pekarangan rumahku,” ujarnya. Pagar
itu batasnya.

Anaknya yang lelaki berontak terhadap Ayah. Mereka


pernah berkelahi. Sang Ayah mengusirnya. Namun
sebagai istri dan ibu, ia berjuang membuat sang anak
tetap hormat pada ayahnya.

Skenario film ini sangat kuat. Ia diadopsi dari naskah


teater yang memenangkan Pulitzer tahun 1983. Denzel
Washington bermain prima sebagai ayah dan suami.
Rotten Tomatoes memberikan score sangat tinggi, 93
persen untuk film ini. Kritikus Rogert Ebert juga
menganugerahkan nilai 4 dari point 4 (tertinggi).

Troy berkulit hitam (suami dan ayah) bekerja sebagai


tukang sampah di Pittsbugh sekitar tahun 1950an. Ia
pernah berjaya sebagai pemain baseball. Namun
karirnya tak tumbuh karena ia menduga soal rasisme.

Ia diusir ayahnya ketika berusia 14 tahun. Luntang


lantung di jalan, dan memendam kemarahan pada
ayahnya. Karena kesulitan ekonomi, ia merampok dan
masuk penjara.

Latar belakang ini membuat pribadinya rusak. Walau ia


mencoba berubah, menjadi suami dan ayah yang
bertanggung jawab, luka masa silamnya tetap
menghantui. Ia begitu khawatir jika hubungan dengan
anaknya menyerupai hubungan dengan ayahnya.
Namun kekhawatiran itu ia ekspresikan dengan sangat
keras dan penuh konflik.

Kini ia harus menghidupi dan menjadi pemimpin sebuah


keluarga. Hidupnya rutin saja. Gajinya pas-pasan.

Satu-satunya harta yang beharga adalah istri dan ibu


anak-anaknya. Selama 18 tahun lebih sang istri
merawatnya, membesarkan anak-anak, rutin,
membosankan. Kekuatan cinta yang membuat sang istri
dan ibu bertahan.

Istri dan ibu diperankan apik sekali oleh Viola Davis


sehingga ia mendapatkan Oscar 2017. Cinta pada
suami dan anak tak ditunjukkan lewat kata. Namun
perilakunya sehari-hari, melayani suami, menjadi
pendengar anaknya, ataupun menjadi pengasuh adik
suaminya yang mengalami cacat mental, ia jalani
dengan suka. Cinta kekuatannya.

Namun puncak ujian cinta datang. Sebagai istri, ia harus


mendengar kabar itu. Suami yang dilayaninya dengan
setia selama 18 tahun ternyata mengaku akan punya
anak lagi dari perempuan lain.

Cinta suami yang awalnya menjadi satu-satunya


penyangga kekuatan batinnya sebagai istri dan ibu
patah seketika.

Lama ia menakar antara luka hatinya dan cintanya


sebagai istri. Kadang ia berontak. Dengan berat hati
akhirnya ia kalahkan perasaannya pribadi. Cahaya
dalam keluarga harus tetap ia jaga. Bahkan anak dari
perempuan lain itu akhirnya ia rawat menjadi anaknya
sendiri.

Puncak ujiannya sebagai ibu datang ketika anak


kandung bungsunya mengunjunginya. Anaknya datang
setelah lama diusir. Ia datang tepat di hari kematian
suaminya, kematian ayah anak itu.

Namun sang anak mengatakan tak akan menghadiri


upacara pemakaman Ayah. Si anak masih marah atas
perlakuan ayah terhadap dirinya dan ibunya. “Ibu harus
menerima sikap saya,” ujar si anak. Saya sudah besar
dan bisa memutuskan sendiri.

Sekali lagi sang ibu yang sangat dibela anak bungsu itu
bersikap tegas. Dengan segala daya yang ia punya, ia
bangunkan hati anaknya untuk tetap hormat pada ayah.
“Apapun, itu ayahmu,” ujarnya keras.
Dengan tertatih dan luka, tetap ia jaga marwah keluarga
seperti apa yang seharusnya.

Dari delapan film nominasi Oscar 2017, saya sudah


menonton semuanya. Kini sulit saya memilih apakah film
Moonlight yang layak menang? Ataukah Fences yang
juga sangat menyentuh?

Fences bukan saja apik karena kuatnya seni peran,


kuatnya skenario. Pesan film itu sangat menyentuh dan
penting pula: seorang istri sekaligus seorang ibu yang
tetap menjaga agar cahaya, kebaikan, keagungan hadir
di rumah tangga, seburuk apapun luka yang ada.

-
Menegakkan Keadilan 150 Tahun Lalu

Review Film The Hateful Eight (2015)

Apa yang bisa dilakukan jika 8 orang asing bertemu dan


harus bermalam di sebuah kedai kopi akibat badai
salju? Mereka tak saling kenal, namun saling
mencurigai. Mereka tak bisa saling mengecek apakah
yang bermalam di sana sesuai dengan klaim masing-
masing. Dan satu persatu di antara mereka lalu mati?

Hampir 3 jam saya terpana di layar bioskop, menonton


film terbaru Quentin Tarantino: The Hateful Eight.
Dibintangi antara lain oleh Samuel L Jackson dan Kurt
Russel, film ini menggabungkan misteri kisah detektif
dengan latar belakang perang sipil Amerika era
Abraham Lincoln.

Saat itu belum ada telepon, apalagi internet. Kendaraan


umum hanya kereta kuda. Komunikasi jarak jauh
membutuhkan waktu lama. Delapan orang yang saling
tak kenal, saling khawatir pula siapa akan membunuh
siapa?

Di antara mereka ada yang mengaku pemburu kriminal


beserta wanita buruannya. Ada yang mengaku calon
sheriff yang segera diangkat. Ada yang mengaku algojo
yang akan menggantung kriminal. Ada jenderal kulit
putih yang sangat anti kulit hitam. Dan ada petinggi kulit
hitam yang mengklaim kenal dengan Abraham Lincoln,
dan dendam pada jenderal kulit putih itu.
Banyak yang membawa pistol di antara 8 orang asing
yang terkesan saling membenci.

Ketegangan memuncak ketika dua orang mati muntah


darah akibat keracunan minuman. Di antara mereka,
siapa yang sudah memasukkan racun di tempat kopi
untuk diminum bersama?

Demikianlah film bertutur mengalir, dengan flash back,


membuka tabir satu persatu dari yang hadir di sana.
Dalam suasana yang serba tak pasti, harus ada yang
mengambil leadership. Keadilan harus tetap ditegakkan.

Samuel Jackson berperan sebagi Warren, kulit hitam


yang menentang perbudakan, dan kini mencari nafkah
dengan memburu kriminal dengan bayaran. Ia pernah
membakar pos yang menyebabkan lebih dari 30 tentara
kulit putih mati terpanggang agar ia bisa selamat.

Kini sekali lagi ia harus bermanuver di kedai kopi itu.


Film ini memberikan kepada kita begitu banyak
surprising, dan mengakhirinya dengan pesan keadilan
walau harus ditegakkan dengan begitu berdarah-darah.

-
Seberapa Lama Memori pada Mantan
Kekasih Bertahan?
Review Film 45 Years (2015)

Seberapa lama kenanganmu atas mantan kekasih


masih membara?

Saya semalam menonton film berjudul 45 Years, yang


diangkat dari cerita pendek Another Country karya David
Constantine.

Suami-istri, Geoff dan Kate, yang hubungannya nampak


normal saja sedang merencanakan ulang tahun
perkawinan ke 45. Mereka sudah menua di usia 70an.

Suasana berubah hari itu ketika datang surat dari


pemerintah negara lain, Swiss. Mayat seorang gadis
yang hilang 50 tahun lalu ditemukan. Jasadnya masih
utuh, karena sang gadis hilang di pengunungan Alpen
yang bersalju, terjerembab dalam lubang. Dalam surat
itu dinyatakan Geoff adalah pewaris dari gadis yang
wafat itu.

Sang istri bertanya, mengapa suaminya bisa menjadi


pewaris dari seorang gadis yang meninggal di usia
muda 50 tahun lalu? Geoff menjelaskan dengan terbata
dan rasa bersalah.

Kisah cinta Geoff dengan sang gadis yang wafatpun


terungkap kembali. Geoff sudah bercerita soal gadis
mantan kekasihnya itu, namun ternyata Geoff belum
bercerita semua kisah yang sebenarnya.
Saat itu Geoff dan gadis itu adalah sepasang kekasih.
Berdua mereka mendaki gunung Alpen bersalju
ditemani seorang pemandu. Mereka tinggal di rumah
penduduk, yang mengira mereka berdua adalah suami
istri. Di pegunungan itu sang gadis hilang, yang
mayatnya ditemukan 50 tahun kemudian, terjepit di
retakan salju, dalam kondisi jasad yang masih utuh
sempurna.

Kate sang istri mulai mencium apa yang ia istilahkan


“bau parfum sang mantan kekasih suaminya mulai
memenuhi ruangan.”

Sejak berita penemuan mayat itu, perilaku Geoff


berubah dan banyak melamun. Pernah diam-diam
tengah malam, Geoff terbangun. Ia naik tangga ke
loteng, yang menjadi gudang. Kate memergoki Geoff,
namun ia bertoleransi.

Ketika Geoff tak di rumah, Kate mencari tahu ada apa di


loteng gudang itu. Ternyata di sana masih tersimpan
koleksi foto sang gadis mantan kekasih suami. Foto itu
dirawat, dibuatkan slide. Bahkan mesin pemutar slide
juga masih berfungsi.

Kate pun menonton semua slide foto sambil menahan


cemburu.

Yang membuat Kate terhenyak lama, ada foto sang


gadis itu dalam kondisi hamil. Lama Kate merenung.
Ternyata cinta suaminya pada mantan kekasih masih
membara, dan disimpam rapi tersembunyi.
Pernah pula Geoff izin ke kota sendirian naik bus kota.
Geoff dalam usia tua biasanya berpergian selalu
didampingi Kate, yang menyetir mobil.

Kate mencari tahu apa yang dikerjakan Geoff di kota.


Ternyata Geoff banyak mencari info untuk pergi ke
gunung Alpen, Swiss. Geoff hanya mencari info saja
karena dalam usia lanjut mustahil ia bisa naik gunung.

Kate mulai terganggu. Namun banyak hal yang Kate


pendam sendiri. Ia ingin bertoleransi memahami suami.
Walau kadang Kate perlu menyendiri mendamaikan
rasa cemburunya yang mulai bergolak.

Pesta 45 tahun pernikahan tetap berjalan. Geoff


menunjukkan ke tamu betapa sayangnya ia kepada
Kate sang istri. Tapi Kate hari itu bukan Kate
sebelumnya. Kate merasa bahwa walau ia istri yang sah
dari Geoff, tapi true story suaminya agaknya lebih
kepada mantan kekasih.

Kate terdiam. Ia bingung antara pengertiannya yang


mendalam kepada suami yang dicintainya, dan rasa
cemburu bahwa cinta suami kepada mantan kekasih
sepertinya lebih sejati dan mendalam.

Film ini meninggalkan banyak renungan kepada


penonton mengenai daya tahan memori seseorang
kepada mantan kekasihnya.

-
-
3
SERIAL TV
Ekplorasi Jiwa Manusia melalui Drama
Kekuasaan
Review 65 Serial House of Cards (1)

Suatu kali Richard Nixon berkata: jika anda ingin


memahami politik, jangan membaca buku ilmu politik.
Tapi bacalah agama, filsafat, dan sastra. Baik agama,
filsafat, dan sastra lebih bisa menggali dan menampilkan
kompleksitas jiwa manusia.

Kutipan Nixon itu kini bisa dipertajam. Di era buku


sastra, filsafat dan agama semakin jarang dibaca. Jika
anda ingin memahami jiwa manusia, lihatlah drama
kekuasaan dalam 65 serial film House of Cards (5
seasons: 65 serial, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017).

Sepuluh hari ini saya tenggelam intens dalam 65 serial


House of Cards. Menyelami serial mini seri itu masing-
masing 50 menit, saya melihat perjuangan, pengabdian,
pengkhianatan, warna-warni cinta dan perselingkuhan,
strategi menggapai kekuasaan, kearifan yang tak biasa,
ketakutan, juga persahabatan. Saya melihat manusia
yang tampil telanjang dalam drama kekuasaan. Total
waktu yang saya habiskan; 65 film dengan durasi
masing-masing 50 menit, sama dengan sekitar 60 jam.
Jika saja menonton serial film itu tak putus dan tak henti
sedetikpun, itu butuh 3 hari dan 2 malam. Namun saya
menontonnya terputus-putus, mengawali dan
mengakhiri hari dengan film itu, diselingi kegiatan lain.
Total 10 hari saya menghilang masuk ke dalam 65 serial
film itu.
Film ini sudah terbaca fenomenal cukup dengan melihat
pencapaian dan penghargaannya. Ia memperoleh total
nominasi 33 Prime Time Emmy Award selaku
outstanding drama seri, aktor dan aktris juga skenario
terbaik. Ia juga memperoleh 8 nominasi Global Golden
Award.

Ia pun tercatat sebagai drama seri pertama dari web TV


online yang bisa memenangkan Emmy Award. Jejak
mini seri ini cukup panjang. Ia diadopsi dari novel trilogi
dengan judul sama oleh Michael Dobbs, seorang penulis
Inggris namun juga politisi dengan haluan konservatif.
Dengan backgroundnya selaku politisi praktis, ia
memahami detail dan teknikalitis bekerjanya demokrasi
modern.

Namun jejak novel itu jauh lebih panjang. Terasa


pengaruh Shakespeare dalam drama Macbeth pada
novel itu. Aktor utama drama: Francis Underwood
dianggap reinkarnasi dari tokoh ciptaan Shakespeare:
Richard III: seorang yang cerdas, machiavelian, dengan
karakter yang kadang brutal, kejam, dan kadang penuh
kasih dan kearifan yang mencengangkan.

Dalam rencana, serial film ini akan diteruskan ke season


6 tahun 2018 dan season ke 7 tahun 2019. Namun aktor
utama mini seri ini: Kevin Spacey terkena tuduhan soal
pelecehan seksual kepada sesama lelaki, yang berusia
di bawah umur pula.

Season 6 terpaksa dihentikan dalam waktu yang belum


ditentukan. Melanjutkan serial ini tanpa Kevin Spacey
sama dengan menikmati gurihnya sambal tanpa rasa
pedas. Kevin Spacey menjadi jiwa film ini. Aktingnya
menggambarkan keunikan cinta, cerdasnya strategi
politik, dan jiwa yang warna warni menjadi identitas
serial ini.

Namun melanjutkan serial ini dalam situasi aktor


utamanya; Kevin Spacey, sedang menjadi sorotan
kekerasan seksual, itu akan buruk pula untuk bisnis dan
citra serial tersebut.

Drama kriminal dan kekerasan di dalam mini seri ini tak


menghentikan kekuasaan Francis Underwood yg
diperankan Kevin Spacey. Tapi di dunia nyata, tidak di
dalam drama, hanya tuduhan seksual terhadap Kevin
Spacey bisa menghentikan keseluruhan produksi
drama. Drama dalam novel dan film memang lebih kaya,
liar dan imajinatif dibanding drama dalam dunia nyata.

Saya akan menulis 5 season dengan masing-masing 13


episode House of Cards dalam lima seri tulisan
berikutnya. Sungguh saya melihat kompleksitas jiwa
manusia dalam drama kekuasaan. Saya pun
membenarkan kutipan Richard Nixon dengan modifikasi:

Jika anda ingin memahami kompleksitas jiwa manusia,


tontonlah drama film berkualitas, dan menyelamlah di
dalam film itu.

November 2017

-
Semakin Kau Efektif Sebagai Pemimpin,
Semakin Kau Kurang Manusiawi
Review 65 Serial House of Cards (2)

Ada dua jenis derita, ujar Francis Underwood mengawali


serial film ini. Ada derita yang membuat dirimu
bertambah kuat. Ada derita yang sia-sia belaka.

Frank (panggilan Francis) menyatakan itu di hadapan


seekor anjing yang tertabrak dan merintih kesakitan. Ia
melihat tak ada harapan lagi bagi anjing itu hidup sehat.
Sebelum pemiliknya turun; segera ia patahkan leher
anjing itu agar mati.

Ia lakukan itu karena kasihnya pada anjing. Tapi


sekaligus ia tega dan dingin saja membunuhnya. Melalui
adegan awal, sudah kita duga karakter Frank dalam 65
serial ini. Ia penuh perhitungan, goal oriented, efektif,
namun juga kadang kejam dan tega. Ini karakter yang
disebut a brutal pragmatic. Frank memulai paginya
dengan harapan segera dilantik menjadi Menteri Luar
Negeri (Secretary of State). Ia membantu Walker,
presiden terpilih. Sudah disepakati, kursi Menteri Luar
Negeri dipersiapkan untuknya. Frank pun bersiap
merayakan posisi baru dengan istri tercinta.

Namun presiden mengkhianati janjinya. Melalui orang


lain, presiden sampaikan pesan agar Frank tetap berada
di Kongres membantu presiden dari sana. Frank sangat
kecewa. Kepala staf mendesaknya, “anda ikut bersama
kita menerima tugas di Kongres atau menolak dan
menjadi lawan kita?”
Frank terdiam. Ia menerima tugas di Kongres tapi bukan
karena loyal pada presiden terpilih yang
mengkhianatinya. Tugas itu membuatnya bisa lebih
dekat dengan presiden itu. Ia bisa segera membalas
dendam yang ujungnya menjatuhkan presiden.

Strategi, jaringan, action plan, ia siapkan dan jalankan


dengan wajah yang riang dan penuh senyum.

Season pertama House of Cards terdiri dari 13 episode


masing-masing 50-55 menit. Butuh waktu sekitar 12-13
jam untuk intens menyelami penjelajahan kompleksitas
jiwa manusia melalui drama kekuasaan.

Tergambarlah warna-warni itu. Di satu sisi, nampak


Frank seorang politisi yang membantu politisi lain untuk
bangkit dan segera menjadi kaki tangannya. Namun di
sisi lain, ia tega pula bahkan membunuh “serdadunya”
yang tak bisa ia kontrol lagi, yang tahu terlalu banyak
rahasia.

Di satu sisi, Frank terasa begitu mencintai istrinya, dan


ikhlas melihat istrinya selingkuh dengan seniman
fotografi. Ujar Frank, “kita harus menyadari kadang kita
tak bisa memberi semua yang dibutuhkan pasangan
hidup. Satu orang tak cukup untuk satu orang. Berikan
pasangan kita ruang sejauh keluarga tetap bisa
dipertahankan.”

Tapi di sisi lain, Frank juga ringan saja membina


seorang reporter wanita dan mengikatnya dengan kasih
asmara.
Dengan hubungan khusus itu, wanita jurnalis muda
segera menjadi tim kerja Frank yang maksimal
membentuk opini.

Dalam 13 episode itu tergambar strategi; problem,


rintangan yang menjadi tangga Frank ke puncak
kekuasaan. Jalannya peristiwa terkesan wajar, walau
banyak kejutan. Frank terus menanjak, menyingkirkan
sekretaris kabinet, hingga akhirnya berhasil menjadi
wakil presiden dengan menyisihkan wakil presiden
sebelumnya secara cerdas.

Kitapun teringat Peter The Great. Ia seorang pemimpin


yang termasuk paling berjasa dalam kemajuan Rusia.
Kepada temannya, Peter the Great berseru sambil
mengisahkan pengalamannya. Ujar Peter the Great:
“Inilah kenyataan. Semakin efektif aku sebagai
pemimpin, semakin aku merasa kurang manusiawi. Aku
harus tega, kadang berkotor tangan. Jika halaman
rumah terlalu banyak lumpur, kita tak bisa menghalau
lumpur tanpa tangan ikut terkotori.”

Begitulah pemimpin, politisi, dan manusia pada


umumnya. Hitam dan putih hanya ada dalam kisah
anak-anak. Dalam dunia nyata, yang memantul hanya
spektrum warna-warni. Di mana-mana, baik dan buruk
menyelinap di hati setiap pribadi.

November 2017
Cinta yang Terselip di Pinggir Kekuasaan
Review 65 Serial House of Cards (3)

“Jika kebahagiaan yang kau cari, katakan saja tidak


padaku. Tak bisa kuberikan itu. Yang bisa kujanjikan
hanyalah hidup yang tak membosankan.”

Itulah yang diucapkan Francis Underwood ketika


sebagai pemuda kere melamar Claire yang datang dari
keluarga kaya. Kini Frank (panggilan Francis) sudah
menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat.

Janji itu Frank tepat, bahkan diberikannya lebih. Frank


bukan saja memberikan Clair dinamika hidup yang tak
membosankan. Namun juga petualangan yang banyak
bahaya.

Apa daya yang Frank bawa dalam petualangannya


menuju kekuasaan: menjadi Presiden Amerika Serikat?
Jalan itu terjal, kadang harus berkhianat, berbohong,
bahkan menyingkirkan sekutu, dan astaga: membunuh.

Season ke-2 House of Cards, berisi 13 episode masing-


masing berdurasi 50-55 menit. Saya habiskan waktu 12-
13 jam untuk timbul dan tenggelam bersama para tokoh
dalam drama kekuasaan.

Season ke-2 dimulai dengan posisi Frank sebagai wakil


presiden. Season ini berakhir dengan Frank menjadi
presiden AS, dengan memaksa sang Presiden
mengundurkan diri.

Sebelum Frank menyingkirkan sang Presiden, ia


singkirkan dulu pengusaha besar sekutu Presiden. Ia
bongkar pula dana kampanye ilegal yang datang dari
sang sekutu.
Ketika dilantik Frank berkata: awalnya saya hanya
merindukan dilantik sebagai Menteri Luar Negeri.
Presiden mengkhianati saya. Kini ia mendapatkan
balasan setimpal.

Namun Frank ada di pusat kekuasaan. Di pinggir


kekuasaan, operator politiknya yang sangat loyal, Doug
Stamper harus merapikan dan membereskan aneka
korban yang disingkirkan.

Seorang pelacur, Rachael, sempat disewa untuk


menjebak calon gubernur yang harus dilenyapkan oleh
Frank. Ketika calon gubernur itu mati, Rachael dicari
oleh aparat dan wartawan. Doug yang mengambil peran
itu. Ia sembunyikan, ia biayai Rachael yang pada
waktunya harus pula ia lenyapkan.

Semakin Rachael dikenalnya, semakin nampak Rachael


yang sebenarnya. Ia berhati lembut. Kadang ia
bersenandung membuat Doug rileks, lepas dari hiruk
pikuk politik.

Cinta bergetar di hati Doug. Tak berdaya ia jika harus


juga melenyapkan sang pelacur. Berhari-hari ia intai
Rachael dari jauh. Ia simpan cintanya diam-diam
bahkan tak diketahui oleh Rachael. Begitu unik cinta
Doug ini hingga hampir merenggut nyawanya sendiri.

Dalam acara Ellen deGeneres, Obama sempat pula


berkomentar mengenai serial House of Cards ini.
Ujarnya, “kehidupan di White House yang sebenarnya
lebih membosankan dibandingkan drama dalam serial
House of Cards.”
Dalam drama 13 episode season 2 ini, memang
tergambar hidup Frank Underwood yang sangat tidak
membosankan. Ia mengubah musuh menjadi teman.
Atau sekutu berbalik menjadi musuh.

Di balik adu strategi dan perebutan pengaruh, cinta


bersemi di sana sini. Ternyata cinta itu yang membuat
hidup tak membosankan. Itulah cinta unik yang tumbuh
di hati Frank terhadap istrinya. Ujar Frank tentang
istrinya: “I love her more than shark to blood.” Aku
mencintainya lebih daripada ikan hiu mencintai darah. Ia
niatkan pada waktunya sang istri yang harus
menggantinya menjadi presiden.

Juga cinta yang tak biasa dari Claire kepada Frank


suaminya. Ia ikhlaskan aneka selingkuh kecil sang
suami sebagai bunga-bunga merilekskan kehidupan
politik yang keras.

Ataupun cinta yang terselip dalam hidup korban


politiknya.

November 2017
Selalu Ada Kejutan dalam Kekuasaan,
Juga dalam Cinta
Review 65 Seri House of Cards (4)

“Kadang aku tak tahu pasti apakah tindakanku benar


atau salah. Tak setiap saat aku mudah
membedakannya. Tapi sebagai pemimpin aku harus
mengambil keputusan. Tak boleh aku ragu dan lambat
(indecisive).”

Demikian Frank di tengah malam itu sebagai presiden


curhat kepada istri. Dilihatnya ke belakang, begitu
banyak kejutan yang terjadi, dalam kekuasan, juga
dalam cinta.

Secerdas apapun ia, sehebat apapun jaringan


dibuatnya, realitas jauh lebih kompleks. Selalu ada
surprising, yang membuatnya tak hanya gagal tapi
kadang dalam posisi bahaya.

Yang paling tak Frank duga, rumah tangganya sendiri


retak. Istri yang ia kira sudah sepenuhnya satu rasa satu
persepsi, berbalik akan meninggalkannya. Season ke-3
House of Cards ini kembali tersusun dalam 13 episode
masing-masing berdurasi 50-55 menit. Diperlukan waktu
12-13 jam untuk hidup bersama tokoh dalam drama itu,
membuka mata dan hati, mendengar detak jantung
setiap peristiwa.

Semakin tinggi burung terbang, semakin ia masuk


wilayah yang lebih sepi. Juga Frank yang kini menjadi
presiden. Yang ia temui selalu penasehat ahli, sekutu
atau lawan politik. Bukan sahabat. Kadang ia rindu
untuk bercanda dan tampil apa adanya selaku pribadi.

Tercecer di belakangnya, aneka peristiwa yang


membawa sukses ataupun kegagalan, pujian ataupun
permusuhan. Sesiap apapun Frank, tetap saja ia tak
berhenti terkejut dengan situasi yang tak ia duga.

Kekasih selingkuhannya, yang juga seorang jurnalis,


tadinya banyak membantu. Claire istrinya mengetahui
perselingkuhannya dan membiarkannya selama tak
mengganggu rumah tangga. Hal yang sama, Frank juga
membiarkan istrinya berselingkuh selama hanya untuk
selingan, dan tak mengganggu target politik.

Namun bagi Frank, sang kekasih tahu terlalu banyak


rahasia. Tak sepenuhnya pula bisa ia kontrol, dan kini
cenderung berambisi membongkar kematian seorang
gubernur yang diduga melibatkan Frank. Sang kekasih
berubah menjadi ancaman utama.

Doug Stamper operator kepercayaannya ditemukan


hampir mati luka parah di sebuah tempat sepi. Setelah
recovery, tapi belum sepenuhnya sehat, Doug ingin
kembali bekerja. Tapi Frank meminta Doug istirahat saja
di rumah sampai sepenuhnya sehat.

Ketika ia merasa sehat, peran yang diberikan Frank


hanya remeh temeh belaka. Bagi Doug, Frank mulai
meremehkan kemampuannya. Ia merasa ditinggal oleh
Frank.

Doug pun menyusun rencana. Kini Frank mendengar


Doug yang tahu banyak rahasia, berbalik membantu
lawan politiknya.
Puncak keterkejutan Frank adalah memburuknya
hubungan dengan istri. Claire ingin peran yang lebih
besar di ruang publik, sejak Frank menjadi presiden.
Hanya dengan pengalaman pernah memimpin LSM
yang kecil soal lingkungan, Claire dikuatirkan Frank
menjadi titik lemah pemerintahannya.

Namun Frank mengikuti kehendak Claire menjadi duta


besar PBB. Mulailah Claire bertugas antara lain
melakukan negosiasi dengan pemimpin Rusia yang
cerdas, manipulatif dan berpengalaman.

Banyak kesalahan yang dibuat Claire. Tapi Claire selalu


mengikuti suara nuraninya ketimbang garis kebijakan
Frank selaku presiden. Frank mulai terganggu.
Keluarlah ucapan itu, keras dari Frank kepada Claire:
“Sungguh aku menyesal mendukungmu menjadi Dubes
PBB.” Clairepun membalas lebih ketus: “Sungguh aku
menyesal memilihmu sebagai suami.” Clairepun bersiap
pergi meninggalkan istana.

Frank terkejut.

Beda seorang juara dan amatiran adalah sikap mereka


merespons surprising event itu: paska terkejut.

Frank selaku juara, sebagaimana banyak para juara


lain, bertindak seperti bermain catur. Seperti catur,
kadang buah harus melangkah mundur agar langkah
berikutnya lebih mematikan.

Realitas memang penuh kejutan. Namun Frank,


sebagaimana para juara lain, tak berhenti
meresponsnya juga dengan mengejutkan lawan, bahkan
mengejutkan istrinya sendiri.

Nov 2017

-
Berbagi Kekuasaan, dan Juga Berbagi Cinta

Review 65 Serial House of Cards (5)

Tak terhindari aku menciptakan musuh. Agar aku tak


dikalahkan, aku harus mengalahkan. Kadang mungkin
aku kejam. Kadang mungkin aku salah. Tapi inilah jalan
menuju kekuasaan. Apakah aku orang baik atau jahat?
Itu tergantung perspektif, tergantung bagaimana kau
melihatnya.

Kalimat itu diucapkan Frank, yang saat itu menjadi


Presiden Amerika Serikat, untuk meyakinkan sang istri.
Tak Frank duga, justru dalam posisi setinggi ini,
hubungan dengan istrinya berada dalam krisis. Claire
sang istri yang banyak bermain hati, mulai gerah.
Banyak langkah Frank yang dinilainya tak bisa lagi ia
terima. Itu tindakan yang terlalu tega.

Sementara pemilu presiden segera berlangsung. Dalam


aneka survei, Frank jauh tertinggal dari saingannya
Conway asal Partai Republik. Conway sangat dikenal
sebagai family man. Hubungan Conway, suami-istri dan
anak dikenal hangat. Itu sangat berbeda dengan
hubungan suami-istri Frank dan Claire. Ancaman cerai
dari Claire membuat Frank akan semakin jauh tertinggal.
Bahkan mungkin akan kalah dalam pemilu presiden.

Pada titik ini, Frank melakukan langkah tak biasa. Ia tak


hanya bersedia membagi kekuasaan dengan istrinya.
Bahkan ia harus pula bersedia membagi cinta. Ia
biarkan sang istri memiliki kekasih, sejauh sang istri
tetap tinggal di White House dan menyandang sebutan
istri: first lady.
Season ke-4 House of Cards ini tergolong yang paling
dinamik, sama seperti season sebelumnya. Ia terdiri dari
13 episode masing-masing berdurasi 50-55 menit. Total
12-13 jam waktu saya habiskan, ikut berdebar, tegang
bersama aneka kejutan dalam drama kekuasaan dan
cinta.

Dalam season ini, politik Amerika Serikat heboh. Frank


tertembak. Ajudannya yang sangat setia pasang badan
dan mati. Frank luka parah. Kemungkinan hidupnya juga
tak pasti karena peluru merusak organ penting.

Penembaknya, Carlos, baru saja keluar penjara. Ia


kekasih jurnalis yang juga menjadi kekasih Frank.
Carlos punya firasat, walau tak bisa ia buktikan, Frank
yang membunuh kekasihnya. Dan Frank pula yang
menjebaknya masuk penjara. Sebelum menembak
Frank, Carlos meninggalkan pesan. Ia menembak Frank
karena Frank membunuh kekasihnya, dan juga calon
gubernur.

Seketika berita itu meluas dibahas di aneka TV. Wakil


presiden sementara menjalankan fungsi presiden (acting
president). Selama ini wapres memang diberlakukan
Frank semata sebagai ban serep. Ia tak siap.

Tanpa lewat prosedur formal, acting president ini banyak


meminta bantuan Claire. Praktis selama Frank di Rumah
Sakit, Claire tumbuh menjadi pemimpin: menganalisa,
melobi, merumuskan keputusan.

Pemimpin Rusia juga kaget dengan kemajuan Claire.


Dulu Claire dianggapnya amatiran. Kini pemimpin Rusia
itu terkesan karena bisa diyakinkan dan dipaksa Claire
bernegosiasi.
Kesepakatan berhasil dibuat. Publik mengetahui itu
sebagai prestasi menteri luar negeri (Secretary of State).
Namun lingkaran dalam istana, mencatat itu sebagai
prestasi pribadi Claire.

Ketika Frank pulih dan kembali bertugas sebagai


presiden, Claire sudah punya reputasi. Ini memudahkan
Frank untuk membagi kekuasaan dengan istrinya.
Berdua merancang jalan: Claire menjadi calon wakil
presiden. Untuk pertama kali dalam sejarah Amerika
Serikat, pasangan capres dan cawapres suami istri.
Untuk banyak kasus, bahkan memang Claire kini lebih
populer dibanding Frank.

Yang lebih luar biasa adalah sikap Frank ketika ia tahu


istrinya jatuh cinta pada pria lain. Kebetulan pria itu
seorang novelis yang juga penulis pidato presiden.

Suatu malam Frank malah membujuk istrinya. “Tak apa


sang novelis itu tinggal dan menginap di istana,” ujar
Frank lembut kepada istrinya. “Mungkin aku tak bisa
memberi yang sekarang kau perlu. Biarlah itu diberikan
oleh yang lain.”

Claire terpana. Frank pun berucap: “Ingatlah, sepanjang


hidupmu tak akan pernah lagi kau jumpai lelaki yang
begitu mencintaimu, seperti aku mencintaimu.”

Frank tidur di kamar terpisah. Sang istri, the First Lady


bersama kekasihnya tidur di kamar lainnya.

Aneka manuver yang dibuat Frank berbuah hasil. Ia


terpilih kembali. Tak sia-sia ia membagi kekuasaan,
bahkan membagi cinta dengan pria lain.

-
Selesai menonton season 4 ini, lama saya merenung.
Pribadi macam apa yang mampu tak hanya membagi
kekuasaan, tapi membagi cinta? Namun hasilnya
memang efektif.

Penjelasannya diberikan sendiri oleh Frank. Mindset dan


habit pribadi itu haruslah apa yang ia lukiskan dengan:
Attached to nothing! Buatlah dirimu lepas dari semua
ikatan.

Para sufi dan spiritualis melepaskan semua ikatan agar


semakin hanya tersambung dengan yang Maha: Tuhan
alam semesta. Dalam kasus Frank, yang menjadi
Tuhannya adalah Road to Power.

November 2017
Wanita di Balik Lelaki yang Berbahaya

Review 65 Serial House of Cards (6)

Di balik setiap lelaki yang sukses, berdiri wanita


pendamping yang berani mendukungnya ketika ia benar
dan menegurnya ketika ia salah. Di balik lelaki yang
berkuasa dan berbahaya tapi sukses, berdiri wanita
yang berdarah dingin, yang pada waktunya ingin pula
berkuasa.

Ini yang mungkin paling tepat menggambarkan Claire


Underwood, the first lady, yang kemudian menjadi wakil
presiden dari suaminya sendiri sang presiden.
Kemudian, ia meningkat lagi menjadi presiden wanita
pertama Amerika Serikat.

Bahkan suaminya yang lihai tak menyangka


perkembangan Claire. Frank selaku presiden membuat
rencana yang masuk akal untuk mengundurkan diri
sebagai presiden. Istrinya yang saat itu sebagai wakil
presiden, berdasarkan konstitusi Amerika Serikat
otomatis menjadi presiden.

Frank merasa akan tetap berkuasa karena selama ini ia


yang menyetir istrinya. Justru dengan menjadi rakyat
biasa, kekuasan Frank lebih leluasa. Ia tak dikontrol oleh
kekuatan lain karena tak ada jabatan resmi yang
disandang. Tapi Frank akan tetap berkuasa karena
mengendalikan presiden, istrinya sendiri, anak didiknya,
yang selama ini berada di bawah bayang-bayangnya.
Itu maunya Frank. Tapi ketika sang Istri, Claire, menjadi
presiden, tak ia duga, Frank justru dicampakkan. Ia
diminta tidak tinggal di White House. Kesepakatan agar
ia dimaafkan secara resmi oleh presiden karena skandal
yang melibatkannya, tak dilakukan oleh Claire. Bahkan
telepon dari Frank pertama kali tak diangkat oleh Claire.

Kini Claire bukan lagi wakil presiden atau first lady. Ia


berada di puncak kekuasaan selaku presiden. Sambil
mematikan telepon yang berdering dari suaminya, dingin
saja Claire berkata: “It is my turn!!!” Kini saya yang
pegang kendali.

Inilah season kelima House of Cards, season terakhir


yang sudah ditayangkan. Season selanjutnya tertunda
akibat tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh
Kevin Spacey yang berperan sebagai Frank (Francis
Underwood).

Season ini juga terdiri dari 13 episode yang ditayangkan


Neflix tahun 2017. Satu episode masing-masing 50-55
menit. Sekitar 12-13 jam waktu saya habiskan
tenggelam di dalam drama kekuasaan season 5 ini.
Begitu intens saya menontonnya sehingga lupa waktu.
Ketika selesai episode 13 saya saksikan, tak terasa hari
sudah subuh.

Di akhir episode, Frank terpana. Tak ia duga istri yang


selalu dipromosikannya tega mengkhianatinya. Sebagai
orang yang sangat berkuasa, ia dilemparkan ke luar
Gedung Putih. Bahkan dalam siaran televisi, enteng saja
Claire mengucapkan ini pemerintahan yang baru.
Pemerintahan ini terlepas sama sekali dari skandal
pemerintahan sebelumnya: pemerintahan Francis
Underwood.
Betapa Claire sudah berubah. Claire yang dikenal
Frank, yang ia lamar sebagai istri, adalah “anak papa.”
Ia gadis anak orang kaya yang senang seni, dan hati
yang halus. Tergambar pula dalam 65 episode serial ini,
lelaki yang bisa menyentuh Claire umumnya juga lelaki
berdarah seni tinggi: ahli fotografi atau novelis.

Ketika Claire memilih menjadi aktivis, ia juga


berkecimpung dengan kegiatan yang tinggi nilai
moralnya: aktivis lingkungan hidup.

Namun melalui waktu ia belajar tentang kerasnya politik.


Dalam politik praktis, mudah saja kawan menjadi lawan
atau lawan menjadi kawan.

Awalnya Claire sangat risih hidup dalam suasana itu.


Politik praktis seolah permainan video games yang
harus dimainkan dengan kalkulasi rasional yang dingin,
tanpa hati.

Satu peristiwa sangat memukulnya ketika ia menjadi


Duta Besar Amerika untuk PBB. Saat itu ia ditugaskan
Presiden untuk melobi pemimpin Rusia, membebaskan
warga Amerika yang dipenjara karena aktivitasnya
selaku seorang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender). Itu kegiatan yang dilarang di Rusia dan
masuk kategori kriminal.

Aktivis itu segera dibebaskan sejauh ia membuat


pernyataan yang mengecam ideologi LGBT. Claire
membujuk agar si terpidana itu melakukan saja apa
yang diminta dan itu lebih untuk publik Rusia. Sang
aktivis menolak karena baginya ini panggilan hidup.
Untuk life calling, ia rela menukar dengan nyawa.
Ketika aktivis itu meminta Claire pulang saja, Claire
menolak untuk keluar dari penjara tanpa membawa
pulang sang aktivis. Karena kondisi tubuh yang masih
lemah dan lelah, Claire diminta aktivis itu untuk
berbaring saja. Ia minta Claire istirahat sejenak
membiarkannya berpikir.

Claire bebaring dalam posisi tiduran di ruang penjara itu.


Tak terasa, Claire benar-benar tertidur. Ketika pintu
penjara diketuk, Claire terbangun. Kaget ia luar biasa.
Sang aktivis sudah menggantung diri dengan syal milik
Claire. Ia merasa bersalah karena Syal miliknya
memudahkan sang aktivis gantung diri.

Ketika acara konferensi pers, Claire diminta suaminya


yang juga presiden dan Presiden Rusia membacakan
pernyataan netral. Namun panggilan hatinya
berkecamuk. Ia secara terbuka membela hak aktivis itu
untuk menjadi LGBT. Bahkan secara terus terang ia
menyerang hukum Rusia yang bertentangan dengan
prinsip Hak Asasi Manusia.

Suaminya marah. Presiden Rusia marah. Ujung dari


kasus ini, Claire pun diminta mundur dari Duta Besar
PBB. Melalui waktu, Claire memenuhi permintaan itu.
Iapun mundur.

Lama Claire merenung atas sikap dan kebijakan


Presiden Amerika yang juga suaminya. Sementara
Frank terus saja menceramahi Claire bagaimana kerja
politik yang harus dipisahkan dari sentimen pribadi.

Yang Frank tak sadari, “anak papa” ini belajar dengan


cepat dan menyusun rencananya sendiri.
Kemarahannya yang sudah berakumulasi terhadap
Frank disimpannya rapih. Ia buat Frank nyaman
mempromosikan dirinya menuju puncak kekuasaan.

Ketika tiba di puncak, Claire menampilkan diri yang


sebenarnya. Frank, suami, mentor, mantan atasannya,
mudah saja Claire tinggalkan dan khianati. Dengan
ekspresi yang singkat dan dingin, Claire berkata kepada
audience, penonton: It is my turn!!

Lama saya merenung sehabis menonton serial ini.


Praktis saat itu saya belum tidur karena hari sudah
subuh. Selama 13 jam terserap pikiran dan diri saya
tenggelam dalam serial drama suami istri ini.

Kekuasaan telah mengubah karakter Claire. Kini ia


bukan lagi hanya anak papa yang mendampingi lelaki
sangat berkuasa yang berbahaya. Ia tumbuh pula
menjadi wanita sangat berkuasa.

Bahkan mungkin Claire lebih berbahaya. Claire bisa


mempraktikkan kekerasan dengan bahasa yang lebih
sopan dan manis.

Suatu ketika Abraham Lincoln berkata: “Jika anda ingin


melihat karakter manusia yang sebenarnya, berikan ia
kekuasaan.” Kita tahu, ketika Claire berkuasa, ia bukan
“gadis anak papa,” tapi wanita berdarah dingin. Mungkin
juga ia lebih berbahaya dibanding suaminya sendiri.

November 2017
4
FILM INDONESIA
Pemimpin yang Membangun Peradaban
Review Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta
(Hanung Bramantyo-Moeryati Soedibyo Cinema, 148
menit)

Pemimpin politik yang menjadi legenda tak hanya


memperkokoh kekuasaan politik. Ia juga harus punya
passion dan ikhtiar membangun budaya, merakit
peradaban.

Itulah renungan penting sehabis menonton film Sultan


Agung, garapan Hanung Bramantyo. Lebih dari dua jam,
film ini mampu membuat saya menghela nafas, terdiam,
kadang menitikkan air mata.

Sebagai penggemar berat film sejarah dan biografi,


saya sudah sampai pada kearifan sebagai penonton.
Sepenuhnya saya bertoleransi kepada sineas yang tidak
terlalu berambisi menampilkan akurasi detail sejarah,
sejauh ia berhasil membangun drama.

Sejak adegan pertama, saya sudah menduga dan


menerima pilihan “filosofi pembuatan film sejarah ini”:
akan banyak fiksi.

Fiksi itu sudah ditampilkan dan berhasil mengguncang


emosi ketika Raden Mas Rangsang berdua saja dengan
guru yang sangat dihormatinya: Ki Jejer. Raden Mas di
ambang jalan. Ia harus ambil keputusan. Ia harus
memilih. Ini masa depannya. Ini soal jalan hidup. Juga
soal cinta.

Ujar Raden Mas Rangsang: “saya hanya ingin menjadi


ulama. Saya nyaman tinggal di padepokan itu.” Apalagi
hatinya sudah tertambat pada seorang wanita yang
unik, agak urakan, misterius, berhati lembut. Wanita itu
sepenuhnya tokoh fiksi, bernama Lembayung.

Dengan arif dan tenang, Sang Guru, Ki Jejer,


menceritakan sebuah nubuat. Disebutlah salah satu
Wali Songo, Sunan Kalijaga. Sang maha guru itu sudah
menuliskan. Akan datang Raja yang menyatukan tanah
Jawa. Raja yang tak hanya kuat, punya kemampuan.
Tapi ia juga dapat menyebarkan ajaran agama.

Ujar Ki Jejer, sejak ayahmu menitipkan dirimu ke sini,


dan meminta saya merahasiakan asal usulmu, saya
sudah merasa. Raja yang dikisahkan oleh Sunan
Kalijaga itu adalah dirimu.

Terjadi perang di batin Raden Mas Rangsang. Haruskah


ia menjadi raja, bukan ulama? Haruskah ia menikah
dengan wanita pilihan Ayah sebagai konsekuensi
menjadi Raja, dan meninggalkan cintanya yang
mendalam pada Lembayung, putri rakyat biasa?

Lalu bergulirlah film yang memaparkan sejarah. Tapi


drama membutuhkan kisah cinta, intrik kekuasaan dan
inspirasi perjuangan. Jika dokumen sejarah tak
memadai untuk membangun itu, seorang pembuat film
yang terampil harus mengisinya dengan imajinasi.
Bahkan dengan fiksi.

Yang menarik dari kisah perjuangan, pengkhianatan,


dan intrik kekuasaan di seputar istana tidak
digambarkan hitam putih. Ini tidak hanya konflik antara
antara orang baik versus orang jahat.

Intrik dan konflik terjadi acapkali karena perbedaan


persepsi tentang apa yang baik untuk rakyat Mataram.
Jika ada kepentingan pribadi yang melandasi
pengkhianatan, ada riwayat yang bisa diterima. Acapkali
konflik terjadi karena dilema, antara baik versus baik.
Antara buruk versus buruk.

Di bawah kekuasaan Sultan Agung, kerajaan Mataram


pun berkembang. Aneka penaklukan dilakukan.
Surabaya, Malang dikuasai. Kerajaan Mataram meluas
ke wilayah Jawa Timur, dan Tengah.

Ekspansi kekuasaan Sultan Agung akan meluas lagi ke


Banten dan Batavia. Kesulitanpun muncul. Batavia
dikuasai VOC. Berbeda dengan kerajaan lain yang bisa
ditaklukkan Sultan Agung, VOC punya teknologi senjata
yang jauh lebih canggih. Mereka juga punya dana besar
dan pengalaman perang.

Kekalahan Sultan Agung yang gagal menaklukkan


Batavia harus dibayar mahal. Pasukan dan basisnya
tercerai berai. Ketidakpuasan para elite istana menjadi
awal terjadinya pemberontakan kepada Sultan Agung
sendiri.

Dalam kesendiriannya merenungkan kegagalan, tampil


pula sosok Sultan Agung yang kadang putus asa. Di
hadapan ibu, ia tampil telanjang. Sang ibu menguatkan
dan kembali mengingatkan tentang ajaran yang dibawa
maha guru Sunan Kalijaga. Ajaran tentang aneka
petatah petitih hidup. Ajaran tentang pentingnya agama,
budaya.

Sultan Agung pun mulai mengalihkan perhatiannya dari


perang dan penaklukan, dengan menghidupkan budaya.
Ia sendiri mengajarkan anak-anak menari. Ia
perkenalkan wayang.

Spirit perjuangan menyusup di sana dan di sini. Ketika


Lembayung, kekasih hati masa remaja, meminta Sultan
Agung menghentikan perang, untuk pertama kali ia
bicara dengan membentak di hadapan sang kekasih.

Sultan menyatakan visinya. Mengapa ia mengirim


pasukan ke Batavia melawan penjajah walau kalah. Ujar
sang Raja: “ini bukan hanya untuk hari ini. Aku ingin
ratusan tahun dari sekarang, rakyat banyak tahu bahwa
kita punya keberanian untuk melawan. Kita menolak
bekerja sama jika akhirnya kita dijajah.”

Kita boleh kalah. Tapi kita tak boleh menyerah!

Tentu tak semua isu penting di seputar Sultan Agung


dapat ditampilkan dalam film 148 menit. Namun sosok
pemimpin yang punya passion dan ingin membangun
peradaban cukup tergambarkan. Dan itu hal yang
sangat penting.

Dalam sejarah, kita tahu legacy Sultan Agung dikenang


sebagai raja Jawa terbesar bukan hanya karena
ekspansi kekuasaannya. Sebelum kematiannya, ia
memang berhasil menyatukan hampir seluruh tanah
jawa, kecuali Batavia dan Banten. Ia juga meluaskan
pengaruhnya ke Sumatera bahkan Sulawesi.

Namun Sultan Agung juga dikenang karena “karya


pemerintahannya.” Ia membangun sistem pemerintahan
dengan membentuk aneka kadipaten. Setiap kadipaten,
ia angkat adipati sebagai penguasa lokal. Dengan cara
itu, ia mendelegasikan kekuasaan sekaligus
mengontrolnya dengan cara lebih efisien.

Kini, kadipaten berkembang menjadi kabupaten. Adipati


pun berkembang menjadi bupati. Sistem administrasi
kerajaan Sultan Agung ikut meletakkan satu batu bata
bagi dinding pemerintahan modern.
Yang tak kalah penting adalah ia meneruskan ajaran
Sunan Kalijaga. Agama Islam ia bumikan dengan
mengakomodasi peradaban terbaik di era itu. Wayang,
gamelan, ritus budaya Jawa bersinergi dengan ajaran
Islam. Kelak upaya ini dikenang sebagi sinkretisme
Islam dan budaya Jawa.

Dua hal menjadi renungan moral paling penting bagi


penonton seperti saya yang peduli dengan ruang publik.
Pertama, sangat ideal jika pemimpin politik juga punya
passion membangun peradaban. Pemimpin harus
membawa gagasan yang inspiring.

Kedua, perlunya Islam sebagai agama dominan


disegarkan atau diinterpretasi dengan menyerapkan
gagasan sosial terbaik zamannya. Jika dulu di era
Sultan Agung dan Sunan Kalijaga, itu adalah peradaban
Jawa. Masa kini Islam perlu diinterpretasikan dengan
peradaban modern yang terbukti mengangkat harkat
manusia.

Selesai menonton film, saya dan teman-teman di


Ciputat School menyantap hidangan malam. Tak lupa,
bersama hidangan malam itu disajikan pula diskusi
tentang film. Gurihnya diskusi itu menambah lezat rasa
ayam goreng, dan es jeruk kelapa. Tentu tak lupa foto
selfie.-

September 2018

(* Aneka kutipan dialog saya ambil dari memori. Asli


dialog film tak persis seperti yang dituliskan di atas.
Saya mencoba mencari kutipan asli film di google, tapi
belum tersedia).
Jika Pemerintah Membuat Film Baru Soal
G 30 S/PKI
Filsuf Nietzche suatu ketika berkata: “Segala hal adalah
objek dari interpretasi. Setiap interpretasi bukanlah
representasi dari kebenaran, tapi ekspresi sebuah
kekuasaan.”

Sejarah masa silam, apalagi jika ia menjadi bagian dari


paham agama atau paham ideologi, akan selalu multi
interpretasi karena setiap komunitas akan memahami
sesuai dengan kepentingannya.

Kita mengapresiasi niat baik Presiden Jokowi untuk


membuat film baru sejarah Gerakan 30 September/PKI
untuk generasi milenial. Namun segera pula kita tahu
kesulitan Jokowi, atau siapapun yang akan membantu
membuatnya. Kesulitan bermuara pada pertanyaan:
versi mana yang akan difilmkan?

Bahkan para akademisi internasional, mereka yang


meneliti peristiwa G 30 S/PKI, ditambah kesaksian
pelaku, berakhir setidaknya pada enam versi. Keenam
versi itu berbeda soal dalang utama di balik gerakan 30
September: 1) dalangnya PKI atau 2) awalnya konflik
internal angkatan darat.

Atau 3) ternyata ada peran utama Soekarno sendiri,


atau

4) Dalangnya yang paling untung secara politik:


Soeharto, atau 5) Dalangnya tersembunyi di belakang
meja: CIA/kekuatan internasional, atau 6) itu lebih
kompleks karena rencana satu dalang yang kemudian
disabotase oleh dalang lainnya.
Upaya Jokowi dan pemerintah di era reformasi membuat
film sejarah segera berubah menjadi pihak tertuduh.
Jokowi segera digugat bukan meluruskan sejarah tapi
berpolitik menggunakan kasus sejarah yang masih
membara.

Sebaiknya, pemerintah Jokowi membiarkan masyarakat


saja yang membuat film itu. Pemerintah berupaya yang
lebih penting: mencari formula “elite settlement,” islah
atau rekonsiliasi berbagai pihak agar kisah G30S/PKI
tak lagi membara membelah kita.

Bahkan kisah agama yang suci yang diyakini bagian dari


wahyu Tuhan bisa saling berbeda. Contoh saja:
benarkah nabi Isa, atau Jesus Kristus, mati disalib?

Agama Kristen/Katolik meyakini Jesus Kristus, atau Nabi


Isa menurut versi Islam, mati disalib, lalu bangkit
kembali. Keyakinan itu bagian sentral doktrin agama.
Sementara agama Islam meyakini yang lain, bahwa
yang disalib itu bukan Nabi Isa, tapi manusia lain yang
disamarkan seolah Nabi Isa (Jesus Kristus).

Dua interpretasi sejarah yang berbeda ini, masing-


masing diyakini oleh para pemeluk agama yang
berbeda, lebih dari satu milyar manusia. Masing-masing
keyakinan yang berbeda itu sudah bertahan pula
panjang lebih dari seribu tahun.

Datang kemudian ilmu pengetahuan melalui


Biblical Anthropology. Ini riset berdasarkan metode ilmu
mencoba menggali apa yang sebenarnya terjadi dalam
aneka Bible, termasuk penyaliban Jesus Kristus (Nabi
Isa). Apapun bunyi hasil riset ini, tak akan pernah
menunggalkan keyakinan agama.

Kini agama Islam dan agama Kristen bisa berdampingan


dengan damai, walau masing-masing tetap meyakini
berbeda atas peristiwa yang sama.

Untuk kasus G 30 S/PKI tentu saja data atau fakta bisa


diverifikasi, atau difalsifikasi, seperti apakah Aidit itu
merokok atau tidak, atau ada di mana Aidit ketika tujuh
jenderal dibunuh. Tapi soal dalang atau master mind
sebuah peristiwa itu bukan data, tapi konstruksi data,
sebuah mindset.

Selamanya konstruksi data tak bisa diverifikasi atau tak


bisa difalsifikasi oleh data baru, karena ada
metaphysical assumption yang bersifat politik atau
ideologis di balik konstruksi itu.

Dalam filsafat ilmu, perdebatan Karl Popper versus


Thomas Kuhn dapat memperkaya kita memahami arti
sebuah perspektif/paradigma dalam memahami sebuah
peristiwa.

Akira Kurosawa sangatlah apik menggambarkan


bagaimana satu peristiwa yang sama bisa menghasilkan
aneka cerita yang berbeda. Pelaku yang sama bisa
menceritakan narasi yang sangat berbeda. Itu salah
satu film paling apik dan filosofis yang pernah dibuat:
Rashomon (1950).

Dalam film itu, di sebuah hutan: seorang wanita


diperkosa dan suaminya mati terbunuh. Apa yang
sebenarnya terjadi? Baik wanita, pelaku pembunuhan,
saksi mata, dan yang terbunuh melalui pemanggilan
arwah menceritakan narasi yang sama sekali berbeda.
Setiap narasi dipenuhi kepentingan si pencerita.

Yang kita butuhkan sekarang bukan film baru peristiwa


G 30S/PKI, apalagi jika pemerintah yang membuatnya.
Pemerintah justru akan membuat luka semakin
membara, dan Jokowi akan menjadi tertuduh pihak yang
berbeda tafsir.

Yang kita butuhkan bukan pula meluruskan sejarah.


Peristiwa agama atau ideologis, selalu hidup dengan
lebih dari satu interpretasi. Semua sudah merasa lurus
dengan interpretasinya masing-masing. Data baru tak
bisa meruntuhkan perspektif.

Yang kita butuhkan adalah “elite settlement.”


Pemerintah bisa berperan besar membuat islah atau
rekonsiliasi. Satu yang paling penting, biarlah masing-
masing hidup dengan interpretasi sejarahnya sendiri,
saling menghormati. Berdamailah dengan perbedaan
interpretasi itu.

Ini era ketika walau ilmu pengetahuan tiba; manusia


dibolehkan percaya bumi ini bulat atau datar. Manusia
boleh berilusi dan bermimpi. Yang tak boleh hanyalah
memaksakan ilusinya, apalagi dengan kekerasan.

September 2017
Janji Cinta Seorang Aktivis

Review film Surat dari Praha (2016)

Seberapa lama aktivis politik yang hengkang ke luar


negeri bisa memegang janji cintanya pada seorang
gadis di Indonesia? Untuk kasus Jaya, hingga menua, ia
puluhan tahun memilih tetap tak menikah di perantauan:
tetap memelihara kemarahannya kepada Suharto/Orde
Baru, dan memelihara cinta sejati pada kekasih yang
lama tak ia pernah dengar lagi beritanya?

Cukup lama saya terdiam setelah menonton film Surat


dari Praha, garapan Angga Dwimas Sasangko, serta
peran yang apik dari Julie Estelle dan Tio Pakusadewo.

Film dibuka dengan sebuah misteri. Ibu yang wafat


mensyaratkan satu hal kepada putri tunggalnya: hanya
akan memberikan warisan setelah putrinya Larasati
menyampaikan sebuah kotak ke seseorang di Praha
bernama Jaya. Lalu sebagai bukti, penerima kotak harus
menandatangani surat tanda terima. Sang putri tak
mengerti apa arti kotak itu. Yang ia tahu, ibunya tak
mencintai ayahnya sehingga ayah cukup menderita.
Dan ia tumbuh dengan kemarahan terpendam kepada
ibunya.

Kotak itu akhirnya membuka kisah lama: kumpulan surat


mengenai cinta mendalam yang terputus karena
pergolakan politik. Jaya seorang aktivis saat itu bersikap
menolak Suharto/Orde Baru. Akibat pilihannya, ia harus
hengkang dari Indonesia.
Kepada kekasih, ia sampaikan dua janji cinta. Pertama,
ia akan kembali dan menikahinya. Kedua, ia akan
mencintai sang kekasih sampai ajalnya. Ia menyesali,
situasi politik akhirnya hanya membuatnya bisa
memenuhi janji kedua. Ia memilih tak pulang dan
menetap di Praha.

Bertahun-tahun sang kekasih menunggu. Namun Jaya


tiada kabar berita sedikitpun. Sang kekasih akhirnya
menikah. Tapi tak bisa dipungkiri, cinta sejati hanya
untuk Jaya.

Film menjadi menarik karena menggambarkan secara


wajar perubahan hubungan antara Jaya dan Larasati,
putri kekasihnya itu. Hubungan dimulai dengan
konfliktual, terkesan saling tak menyukai antara
keduanya. Perlahan hubungan mereka berubah menjadi
persahabatan.

Saya cukup terharu dengan selipan adegan di film itu.


Para aktivis politik kiri yang sudah menua di Praha,
puluhan tahun tak pulang ke Indonesia, punya waktu
kumpul bersama, lalu bernyanyi: Indonesia tanah air
beta/pusaka abadi nan jaya.

Juga adegan pertengkaran Larasati dengan Jaya. Saya


kutip dari ingatan, tanya Larasati: “mengapa anda
pengecut menghilang tanpa kabar apapun kepada ibu
saya yang sampai akhir hayatnya mencintai Anda? Dan
mengapa pula setelah puluhan tahun menghilang, dan
ibu saya sudah menikah, anda malah mengganggu
dengan mengirim surat terus menerus? Karena surat
anda yang banyak itu, ibu saya sering menyendiri, dan
membuat ayah saya sampai sakit.”
Jaya selalu enggan menjawab pertanyaan soal
hubungannya dengan ibu Laras. Namun akhirnya ia
bercerita. Ia tak mau mencelakakan kekasihnya karena
nanti sang kekasih terkena cap “tak bersih lingkungan.”

Kisah cinta dengan setting peristiwa sejarah selalu


memilki nilai lebih, jika digarap dengan baik. Perubahan
kekuasaan di era 60an, bukan saja mengubah peta
politik dalam tataran nasional. Namun juga memberikan
efek sangat personal termasuk soal kisah cinta para
aktivis kiri.

Bisakah kita mencintai seperti Jaya dan ibunya Laras?

-
Bunga Penutup Abad

Review Teater

(Dengan tulisannya, Sang Pemula, ikut mengawali


kebangkitan Indonesia)

Semalam saya berjumpa kembali dengan Pramoedya


Ananta Toer lewat lakon teater Bunga Penutup Abad
persembahan Yayasan Titian Penerus Bangsa.

Kembali saya berjumpa dengan tokoh Minke, Nyai


Ontosoroh, Annelies, tokoh dalam 4 novel utama Pram:
Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca,
Jejak Langkah.

Saya teringat masa mahasiswa, tiga puluhan tahun lalu.


Dulu di ujung tahun 80-an, membaca novel itu harus
diam-diam, rahasia. Tidak lewat buku aslinya, tapi lewat
foto kopi yang beredar di kalangan aktivis mahasiswa.
Maklum saat itu, Orde Baru sedang di puncak
cengkraman. Novel Pram menjadi buah terlarang.

Yang membuat karya Pram bernilai tinggi karena ia tidak


hanya bercerita tentang drama, tapi sejarah awal
kebangkitan bangsa Indonesia. Minke dalam novelnya
itu adalah fiksi dari Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemula.

Jauh sebelum Soekarno-Hatta, dan sebelum HOS


Tjokroaminoto, Minke (Tirto) medirikan organisasi
pertama: Serikat Priyayi. Ia juga mendirikan pers pribumi

yang pertama: Medan Priyayi.


Karena perlawanannya yang keras terhadap kolonial
Belanda, juga idealismenya membongkar bobroknya
bupati pribumi, ia disingkirkan. Ia berselisih dengan
suami RA Kartini dan keluarganya, Bupati Rembang
Djojoadiningrat. Ia dibuang ke Ambon, usaha medianya
bangkrut, dan namanya dihapuskan dari memori publik.

Pramoedya mengangkat kembali tokoh ini lewat fiksi


Minke. Pelan-pelan Tirto Adhi Soerjo dihargai kembali,
kini diakui sebagai pahlawan nasional. Ia pun
ditasbihkan sebagai bapak pers nasional.

Tentu saja kisah sejarah ini tak muncul dalam drama


teater semalam. Lakon Bunga Penutup Bangsa hanya
mencuplik satu babak dari kisah Minke-Annelies-Nyai
Ontosoroh.

Cukup tergambar di sana gagasan besar novel Pram:


betapa sehebat-hebatnya wanita pribumi (Nyai
Ontosoroh) ia tak berdaya menghadapi hukum kolonial
yang diskriminatif kepada wanita lokal. Betapa hanya
dengan belajar dan menulis, kaum pribumi dapat
meningkatkan status sosialnya.

Juga perubahan orientasi politik Minke. Awalnya Minke


hanya ingin menulis baik saja. Disentak oleh sahabatnya
yang pelukis, Minke mulai berpikir membangkitkan
kesadaran kaum pribumi untuk melawan situasi. Menulis
baginya berubah menjadi alat perjuangan.

Seandainya ada yang perlu dikritik dari lakon ini: ia


belum berhasil menggugah emosi penonton lebih dalam.
Dramatisasinya kurang berhasil untuk novel sebesar
novel Pram. Juga peran sosial Minke yang besar
kepada lingkungannya kurang diberi porsi cukup.

Namun secara keseluruhan, ia tetap menjadi pentas


yang enak ditonton. Walau bagi penonton yang belum
membaca novel Pram, terlalu lama meraba-raba untuk
akhirnya “tune-in” dengan lakon.

Sebelum pertunjukan, di meja resepsionis, digelar aneka


buku Pramoedya. Saya membeli semua buku yang ada.
Teringat masa mahasiswa, begitu susah buku ini
ditemukan. Kini buku itu tersaji bebas saja.

Tapi sayapun tersenyum. Seandainya dulu buku ini bisa


mudah dicari, mungkin saya juga memilih meminjam
dari teman saja. Maklum sebagai aktivis kere saat itu,
membayar uang kuliah saja harus menabung dulu dari
honor tulisan di koran.

Dari Pramoedya, kutipan itu yang selalu saya ingat:


Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Kutipan Pram itu membuat saya selalu mencari waktu


untuk terus saja menulis, seperti burung yang berkicau.

Pulang dari menonton lakon Pram: Bunga Penutup


Abad, duduk di mobil, banyak memori masa aktivis
mahasiswa, muncul kembali.

Agustus 2016
Ketika Terorisme Mencari Target yang Mudah

Review Film “22 Menit,” (2018)

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengendarai motor di


jalan raya tanpa helm. Iapun distop polisi. Brigjend Pol
Krishna Murti jualan sate di pinggir jalan. Dua petinggi
polisi ini menjadi cameo dalam film berjudul 22 menit.

Cameo itu peran kecil dalam film tapi dimainkan oleh


tokoh masyarakat. Nelson Mandela pernah pula menjadi
cameo sebagai guru dalam film Malcom X. Alfred
Hitcock yang paling sering muncul sebagai cameo
dalam filmnya sendiri. Kehadiran tokoh sebagai cameo
dalam film menambah daya tarik film di kalangan
komunitas tokoh itu.

Hari itu, saya bersama keluarga besar LSI Denny JA


menonton film yang diinspirasi oleh kisah nyata bom
Thamrin, tahun 2016. Judulnya 22 menit.

Sebulan ini, tim LSI memang sedang intens menyelami


riset soal terorisme. Sambil berkelakar, seorang peneliti
menyatakan kantor LSI pindah hari itu ke bioskop. Kita
perlu studi banding menonton film soal terorisme untuk
memperkaya riset soal terorisme.

Selesai menonton film 22 menit, saya justru teringat film


Darkest Hours, yang mengkisahkan Winston Churchill di
era kekuasaan Hitler.

Churchill sedang tertekan secara politik. Sejawat dan


senior yang berpengaruh di partainya, Partai
Konservatif, meminta Churchill berkompromi dengan
Hitler. Sikap Raja Inggris saat itu juga serupa. Parlemen
berulang menyatakan Inggris tak memiliki kekuatan
militer yang setara dengan Jerman untuk berperang.

Namun selaku perdana menteri, Churchill tak ingin


tunduk pada kehendak Hitler. Iapun pergi menuju kereta
api bawah tanah. Di situ ia berjumpa rakyat kecil.

Di dalam kereta Churchill bertanya bagaimana jika


Inggris berunding dengan Hitler? Di luar dugaan, rakyat
jelata itu menentang keras. Bersahut-sahutan mereka
menjawab. Ujar yang satu, jangan pernah kita tunduk
pada yang zalim. Ujar yang lain, kita lawan Hitler
dengan apapun yang kita punya.

Di antara hikuk pikuk suara rakyat yang gemuruh,


Churchill mendapatkan inspirasi. Ujarnya, Inggris punya
yang lebih hebat dari sekadar kekuatan militer. Inggris
punya kehendak rakyat yang tak sudi untuk tunduk.

Churchill pun bergegas menuju parlemen. Ia membuat


pidato yang kemudian historik. Inggris menolak
berunding dengan Hitler. Inggris melawan.

Dalam film, percakapan Churchill dengan rakyat jelata di


kereta bawah tanah sangatlah sentral. Percakapan itu
sungguh menambah bobot film.

Tapi ternyata percakapan Churchill di kereta bawah


tanah itu tak pernah ada dalam sejarah. Adegan Itu
sepenuhnya fiksi. Dan ini fiksi yang sangat diperlukan
untuk membuat film dramatik.
Aha! Ujar saya setelah menonton film “22 menit.” Film ini
kurang bersedia memasukkan fiksi yang lebih dramatik
ke dalam film. Penulis skenario dan sutradaranya tak
mau mengambil teknik seperti film Darkest Hours.

Padahal dengan tambahan fiksi paling lama 15 menit


lagi, film 22 menit akan lebih menyentuh. Ia akan lebih
bisa misalnya membuat penonton meneteskan air mata,
atau marah yang tak alang kepalang.

Kekurangan film ini kurang mengeksplorasi sisi drama,


yang bisa dimainkan dengan memasukkan fiksi!

Secara menyeluruh film 22 menit ini tetap enak ditonton.


Kita tahu lebih detail sisi manusiawi dari para insan yang
terlibat dalam peristiwa.

Film berjalan maju dan mundur bolak-balik. Aneka


peristiwa sebelum bom meledak digali.

Mulai dari kisah keluarga korban terorisme. Ini pemuda


dari golongan rakyat kebanyakan yang menjadi tulang
punggung keluaga. Ia tak mengerti politik. Ia hanya
bekerja. Namun naas menimpa. Ia ditembak di bagian
kepala oleh teroris.

Ada kisah pribadi polisi yang sedang bertugas. Polisi ini


sedang bermasalah dengan kekasih. Keterlibatannya
dalam menanggulangi bom Thamrin mulai menyentuh
hati kekasih.

Adegan tembah menembak di jalan Thamrin cukup seru.


Helikopter yang ikut menyerbu ke lokasi cukup
memperkaya suasana. Berkompi polisi yang terlatih
menyerbu serentak. Hanya dalam tempo 22 menit,
gerombolan terorisme di Thamrin dilumpuhkan.

Polisi bergerak cepat pula memberangus jaringan ini di


aneka kota. Melalui berita kita tahu, yang mengerakkan
bom di Thamrin juga berhubungan dengan aksi
terorisme di tempat lain.

Sebanyak 8 orang meninggal, 24 korban luka.

Namun kita melihat pola yang semakin jelas. Banyak


aksi terorisme di Indonesia, juga internasional, semakin
menyasar target yang mudah: Kafe Starbucks, gereja,
halte bus.

Semakin mereka tak peduli siapa yang mati. Yang


penting pesan mereka sampai ke publik. Mereka ingin
menteror semata.

Tapi publik menjawabnya dengan tagar:


#KamiTakTakut.

Bravo untuk mereka yang ikut menumpas terorisme


dengan peran sekecil apapun. Menangkal terorisme
hingga ke akar dapat menjadi pintu masuk untuk
meneguhkan kembali rumah bersama bernama
Indonesia. -

Juli 2018
TENTANG PENULIS

Denny JA, lahir di Palembang 4 Januari 1963, adalah


entrepreneur intelektual atau intelektual entrepreneur. Ia
banyak membuat terobosan di dunia akademik, politik,
media sosial, sastra, dan budaya di Indonesia.

Pada tahun 2015, Denny JA dinobatkan TIME Magazine


sebagai salah satu dari 30 orang paling berpengaruh di
Internet. Ia bersanding dengan Presiden Amerika
Serikat Barack Obama, Perdana Menteri India Na-
rendra Modi, dan sejumlah selebriti dunia seperti
Shakira, Justin Bieber, dan Kim Kardashian. Dalam
pemilihan yang dibuat TIME Magazine, Denny JA
berada di posisi nomor satu.

Pada tahun 2014 Denny JA memperoleh penghargaan


dari Twitter Inc. Tweet-nya tentang Pilpres 2014
dinobatkan sebagai Golden Tweet 2014 peringkat kedua
di dunia. Ia hanya dikalahkan oleh foto selfie Ellen
DeGeneres bersama para artis Hollywood dan premier
Oscar. Karena perannya turut memenangkan Jokowi
dalam Pilpres 2014, di tahun yang sama, ia juga
dianugerahi rekor MURI sebagai konsultan politik
pertama di dunia yang ikut memenangkan tiga kali
Pemilu presiden berturut-turut dalam pilpres 2004, 2009,
dan 2014.

Di tahun 2014 pula Denny JA ikut dipilih sebagai satu


dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia
oleh Tim 8. Ia dipilih bersama dengan Chairil Anwar,
Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, dan
Rendra. Pemilihan itu dituliskan dalam buku terbitan
Gramedia setebal 777 halaman untuk PDS HB Jassin.
Pada bulan Juli 2015, bukunya dalam bahasa Inggris
dan Jerman, terjemahan “Sapu Tangan Fang Yin”,
tercatat sebagai buku terlaris di toko online terbesar
dunia: amazon.com untuk kategori buku puisi.

Ia kini aktif mengampanyekan Gerakan Indonesia Tanpa


Diskriminasi melalui aneka media budaya: puisi, foto,
lukisan, lagu, hingga film layar lebar. Ia membiayai
sendiri semua kegiatan sosialnya setelah ia sukses
sebagai pengusaha.

Pada bulan Maret 2017, Denny JA dianugerahi Lifetime


Achievement Award untuk Survei dan Konsultan Politik
oleh Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia (LEPRID).
Penghargaan ini diberikan untuk dedikasi Denny JA
selaku pendiri profesi konsultan politik di Indonesia serta
delapan pencapaian fenomenal lainnya untuk survei,
quick count dan konsultan politik.

Pada bulan April 2017, Badan Bahasa dan Sastra


Sabah Malaysia menyelenggarakan Temu Sastrawan
Asia Tenggara Soal Isu Sosial dalam 24 Buku Puisi
Denny JA. Makalahnya juga sudah dibukukan dalam
buku berjudul Isu Sosial Dalam Puisi, bersanding tulisan
dari sastrawan dan ahli sastra mancanegara.

Dianggap turut membantu memenangkan juara Pilkada


DKI, serta mewarnai dinamika politik tanah air
sepanjang 2017, Denny JA dan Lingkaran Survei
Indonesia diganjar 5 (lima) penghargaan sekaligus oleh
Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI).

Sejak tahun 2000, Denny JA mendalami aneka riset di


bidang psikologi, neuro science, dan ilmu humaniora lain
soal hidup bahagia. Denny meyakini pencapaian apapun
tak akan lengkap tanpa hadirnya kebahagiaan. Kini tips
kebahagiaan itu bisa dirumuskan berdasarkan riset
ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai