Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Analisis kimia dibagi menjadi dua, yaitu kimia analisis kualitatif
dan analisis kimia kuantitatif. Dalam analisis kimia kuantitatif terdapat
analisis volumetrik. Analisa volumetrik adalah salah satu cara
pemeriksaan jumlah zat kimia yang luas penggunaanya. Cara ini sangat
menguntungkan karena pelaksanaannya yang mudah dan cepat. Ketelitian
dan kecepatan cukup tinggi, juga dapat digunakan untuk menentukan
kadar berbagai zat yang mempunyai sifat berbeda-beda.
Kimia analitik pada dasarnya menyangkut penentuan komposisi
kimiawi suatu materi. Dahulu hal tersebut adalah tujuan utama seseorang
ahli kimia analitik. Tetapi dalam kimia analitik modern, aspek-aspeknya
juga meliputi identifikasi suatu zat, elusidusi struktur dan analisa
kuantitatif komposisinya.
Titrasi iodometri dan iodimetri adalah salah satu metode titrasi
yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak
digunakan dalam analisa jika dibandingkan dengan metode lain. Alasan
dipilihnya metode ini karena perbandingan stoikiometri yang sederhana
pelaksanaannya praktis dan tidak banyak masalah dan mudah.
Titrasi iodometri yaitu titrasi yang tidak langsung dimana oksidator
yang dianalisa kemudian direaksikan dengan ion iodide berlebih dalam
keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium dibebaskan secara
kuantitatif dan titrasi dengan larutan standar. Titrasi iodometri ini
termasuk golongan titrasi redoks dimana mengacu pada transfer elektron.
Pemutih pakaian digunakan untuk menghilangkan noda
membandel yang menempel pada pakaian. Pemutih yang beredar
dipasaran, umumnya mengandung senyawa hipoklorit sebagai bahan
aktifnya. Latutan pemutih mengandung senyawa natrium hipoklorit
(NaClO) dengan kadar 5,25 % ; sedangkan serbuk pemutih mengandung
senyawa kalsium hipoklorit, Ca(ClO)2. Pemutih merupakan bahan kimia
yang sangat reaktif. Mencampur bahan pemutih dengan bahan rumah
tangga lainnya dapat sangat berbahaya. Misalnya, jika pemutih dicampur
dengan pembersih kloset yang mengandung asam klorida dapat
menghasilkan gas klorin. Gas klorin dapat merusak saluran pernafasan,
dan jika kadarnya cukup besar dapat mematikan. Mencampur pemutih
dengan ammonia juga menghasilkan gas beracun, yaitu kloramin (NH2Cl)
dan hidrazin (N2H4). Oleh karena itu jangan sekali-kali mencampur
pemutih dengan bahan lain tanpa petunjuk atau pengetahuan yang jelas.
Penggunaan bahan kimia tidak dapat dihindari karena sebagian bahan
kimia sangat menunjang kehidupan kita. Namun, penggunaan bahan kimia
secara tidak tepat bisa berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan
Pada praktikum ini akan dilakukan metode analisis titrasi iodometri
dengan larutan Na2S2O3 sebagai larutan standar, dan larutan KIO 3 sebagai
larutan baku yang kemudian di aplikasikan pada serbuk pemutih
menggunakan standarisasi larutan Na2S2O3 untuk menentukan kadar
klorida didalamnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara membuat dan menentukan standarisasi Na2S2O4?


2. Bagaimana cara menentukan kadar klorida pada serbuk pemutih?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui cara membuat dan menentukan standarisasi


Na2S2O4.
2. Untuk mengetahui cara menentukan kadar klorida pada serbuk
pemutih soklin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis Volumetrik

Volumetri (titrasi) merupakan cara penentuan kadar suatu zat dalam


larutannya yang didasarkan pada pengukuran volume pada larutan baku.
Berdasarkan pada jenis reaksinya, volumetri dibedakan atas :

1. Asidimetri dan Alkalimetri : volumetri ini berdasarkan atas reaksi


asam-basa.

2. Oksidimetri : volumetri ini berdasarkan atas reaksi oksidasi-


reduksi.

3. Argentometri : volumetri ini berdasarkan atas reaksi kresipilasi


(pengendapan dari ion Ag).

2.2 Oksidimetri

Salah satu jenis reaksi kimia yang digunakan analisis volumetrik


adalah reaksi oksidasi reduksi, yang di kenal dengan istilah oksidimetri.
Jenis reaksi ini melibatkan adanya transfer elektron antara oksidator dan
reduktor. Ada dua cara perhitungan reaksi oksidasi reduksi :
1. Berdasarkan atas mol pada persamaan stoikiometri.
2. Berdasarkan cacah elektron yang terlibat dalam senyawa oksidator
yang dikenal dengan berat ekivalen.

Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana


terjadi kenaikan biloks, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap
penurunan biloks. Oksidator adalah senyawa dimana atom yang
terkandung mengalami penurunan bilok. Sebaliknya pada reduktor adalah
senyawa yang atom didalamnya mengalami kenaikan biloks.

2.3 Titrasi
Titrasi adalah cara analisis yang memungkinkan untuk mengukur
jumlah yang pasti dari suatu larutan dengan mereaksikan dengan suatu
larutan lain yang konsentrasinya diketahui. Analisis semacam ini yang
menggunakan pengukuran volume larutan reaktan disebut analisis
volumetri. Pada suatu titrasi, salah satu larutan yang mengandung suatu
reaktan dimasukkan ke dalam buret, sebuah tabung panjang yang salah
satu ujungnya mempunyai kran dan diberi skala dalam mililiter dan
sepersepuluh mililiter.
Larutan dalam buret disebut penitrasi (titran) dan selama titrasi,
larutan ini diteteskan secara perlahan melalui kran ke dalam labu
Erlenmeyer yang mengandung larutan reaktan lain. Larutan penitrasi
ditambahkan sampai seluruh reaksi selesai yang dinyatakan dengan
berubahnya warna indikator, suatu zat yang umumnya ditambahkan ke
dalam larutan dalam bejana penerima dan yang mengalami perubahan
warna ketika reaksi berakhir. Perubahan warna ini menandakan telah
tercapainya titik akhir titrasi, diberi nama demikian karena pada titik ini,
penetesan larutan penitrasi dihentikan dan volumenya dicatat (Brady,
1987).

2.4 Prinsip Iodo-Iodimetri

Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang


dapat bereaksi dengan I- (iodida) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk
secara kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian
diatas maka titrasi iodometri dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali
(Khopkar, 1990).

Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi


jika direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titran,
hal ini disebabkan karena faktor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis
indikator yang dapat dipakai untuk iodida. Oleh sebab itu titrasi kembali
merupakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan
iodida. Senyawa iodida umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada
larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah ekuivalen
dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan
dengan menitrasi I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang
dipakai adalah Na2S2O3) dengan indikator amilum, jadi perubahan
warnanya dari biru tua kompleks amilum-I2 sampai warna ini tepat hilang.
Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah
sebagai berikut (Khopkar, 1990):

IO3-  + 5 I-  + 6H+   3I2  + H2O


I2 + 2 S2O32-  2I- + S4O62-
Jadi, prinsip dasar dari titrasi iodometri adalah zat uji (oksidator)
mula-mula direaksikan dengan ion iodida berlebih, kemudian iodium yang
dihasilkan dititrasi dengan larutan tiosulfat.
Oksidator + KI →  I2 + 2e
I2 + Na2S2O3 → NaI + Na2S4O6
Sedangkan prinsip dasar dari titrasi iodimetri adalah zat uji
(reduktor) langsung dititrasi dengan larutan iodium. dimana I2 sebagai
larutan standardnya. Dalam kebanyakan titrasi langsung dengan iod
(iodimetri), digunakan suatu larutan iod dalam kalium iodida, dan karena
itu spesi reaktifnya adalah ion tri-iodida, I3-. Untuk tepatnya, semua
persamaan yang melibatkan reaksi-reaksi iod seharusnya ditulis dengan
I3- dan bukan dengan I2, misalnya:
I3- + 2S2O32-  3I- + S4O62-
akan lebih akurat daripada:
I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
(Bassett, 1994).
2.5 Titrasi Iodometri
Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk
menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang
lebih besar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang
bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O. Pada iodometri, sampel yang
bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan
menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku
natrium tiosulfat. Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan
sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan setara dengan
banyaknya sampel (Rohman, 2007).
Titrasi Iod harus dilakukan dengan lambat agar I 2sempurna bereaksi
dengan antalgin, jika titrasi tepat maka I2 tidak bereduksi sempurna
dengan  antalgin sehingga titik akhir lebih cepat, tercapai, dan hasilnya
tidak akurat. Deteksi titik akhir ada iodimetri ini dilakukan dengan
menggunakan indikatir kanji oleh amilum yang akan memberikan warna
biru pada saat terjadinya titik akhir titrasinya.  (Sudjadi, 2007)
Dalam proses analitis, iod digunakan sebagai zat pengoksid
(iodimetri), dan ion iodidadigunakan sebagai zat pereduksi (iodometri).
Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksiyang cukup kuat untuk
dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan
iodometrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup
kuat untuk bereaksisempurna dengan ion iodida, dan ada banyak
penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ioniodida ditambahkan
kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan dengan larutan natrium
tiosulfat.Iodometri adalah suatu proses analitis tak langsung yang
melibatkan iod. Ion iodida berlebih ditambahkan pada suatu zat pengoksid
sehingga membebaskan iod, yang kemudian dititrasi dengan natrium
tiosulfat (Underwood : 2002).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi
kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap
penurunan bilangan oksidasi.Berarti proses oksidasi disertai hilangnya
elektron sedangkan  reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah
senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan
oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami
kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung
bersama dan saling menkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator
reduktor mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada atomnya saja
(Khopkar, 2003).
Penggunaan air yang masih mengandung CO2 sebagai pelarut akan
menyebabkan peruraian S2O32- membentuk belerang bebas. Belerang ini
menyebabkan kekeruhan. Terjadinya peruraian itu juga dipicu bakteri
Thiobacillus thioparus. Bakteri yang memakan belerang akhirnya masuk
kelarutan itu, dan proses metaboliknya akan mengakibatkan belerang
koloidal. Belerang ini akan menyebabkan kekeruhan, bila timbul
kekeruhan larutan harus dibuang. Pembuatan natrium thiosulfat dapat
ditempuh dengan cara :
1. Melarutkan garam kristalnya pada aquades yang mendidih
2. Menambahkan 3 tetes kloroform (CHCl3) atau 10 mg merkuri
klorida (HgCl2) dalam 1 liter larutan
3. Larutan yang terjadi disimpan pada tempat yang tidak terkena
cahaya matahari.
Biasanya air yang digunakan untuk menyiapkan larutan tiosulfat
dididihkan agar steril, dan sering ditambahkan boraks atau natrium
karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat oleh udara berlangsung
lambat. Tetapi runutan tembaga yang kadang-kadang terdapat dalam air
suling akan mengkatalis oksidasi oleh udara ini. Tiosulfat diuraikan dalam
larutan asam dengan membentuk belerang sebagai endapan mirip susu
(Underwood : 2002).
S2O32- + 2H+ → H2S2O3 → H2SO3 + S
Tetapi reaksi itu lambat dan tak terjadi bila tiosulfat dititrasikan
kedalam larutan iod yang asam, asal larutan diaduk dengan baik. Reaksi
antara iod dan tiosulfat jauh lebih cepat dari pada reaksi penguraian. Iodin
mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat: (Underwood : 2002)
I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62-
Reaksinya berjalan cepat, sampai selesai, dan tidak ada reaksi
sampingan. Berat ekivalen dari Na2S2O3.5H2O adalah berat molekulnya,
248,17. Tiosulfat teroksidasi secara parsial menjadi sulfat: (Underwood :
2002)
4I2 + S2O32-+ 5H2O → 8I- + 2SO42- + 10H+
Dalam larutan yang netral, atau sedikit alkalin, oksidasi menjadi
sulfat tidak muncul, terutama jika iodin dipergunakan sebagai titran. Ada
dua metode titrasi iodometri, yaitu :
1. Secara langsung (iodimetri) Disebut juga sebagai iodimetri.
Menurut cara ini suatu zat reduksi dititrasi secara langsung oleh
iodium, misal pada titrasi Na2S2O3 oleh I2.
2Na2S2O3 + I2 → 2NaI + Na2S4O6
Indikator yang digunakan pada reaksi ini, yaitu larutan kanji.
Apabila larutan thiosulfat ditambahkan pada larutan iodine,
hasil akhirnya berupa perubahan penampakan dari tak berwarna
menjadi berwarna biru. Tetapi apabila larutan iodine
ditambahkan kedalam larutan thiosulfat maka hasil akhirnya
berupa perubahan penampakan dari berwarna menjadi berwarna
biru. (Underwood : 2002)
2. Secara tak langsung (iodometri) Disebut juga sebagai
iodometri.Dalam hal ini ion iodide sebagai pereduksi diubah
menjadi iodium-iodium yang terbentuk dititrasi, dengan larutan
standar Na2S2O3. Jadi cara iodometri digunakan untuk
menentukan zat pengoksidasi, misal pada penentuan suatu zat
oksidator ini (H2O2). Pada oksidator ini ditambahkan larutan KI
dan asam hingga akan terbentuk iodium yang kemudian dititrasi
dengan larutan (Underwood : 2002).
Na2S2O3. H2O2 + 2HCl → I2 + 2KCl + 2H2O.
Iodium sedikit larut dalam air (0,00134 mol/liter pada 25
Berdasarkan reaksi : I2 + I- → I3- dengan tetapan kesetimbangan
pada 25 ºC. Larutan baku ion dapat langsung dibuat dari unsur
murninya. Cara titrasi oksidasi reduksi yang dikenal ada dua : -
Oksidimetri Yaitu titrasi redoks dengan menggunakan larutan
baku yang bersifat oksidator. Misal: Sulfur dioksida dan
hydrogen sulfide, timah (II) klorida , logam dan amalgam
(Underwood : 2002).
Reduksimetri Yaitu titrasi redoks dengan menggunakan larutan baku
yang bersifat reduktor. Misal : Natrium dan Hidrogen Peroksida, Kalium
dan amonium peroksidisulfat,natrium Bismutat (NaBiO3). Ada dua proses
metode titrasi iodometri, yaitu :
1. Proses-proses iodometrik langsung
Pada Iodometri langsung sering menggunakan zat pereduksi
yang cukup kuat seperti tiosulfat, Arsen (III), Stibium (III),
Antimon (II), Sulfida, sulfite, Timah (II), Ferasianida. Kekuatan
reduksi yang dimiliki oleh beberapa dari substansi ini
tergantung pada konsentrasi ion hidrogen, dan reaksi dengan
iodin baru dapat dianalisis secara kuantitatif hanya bila kita
melakukan penyesuaian pH yang repot. Dalam proses iodometri
langsung ini reaksi antara iodium dan thiosulfat dapat
berlangsung sempurna. Kelebihan ion Iodida yang ditambahkan
pada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan
iodium, kelebihan ini dapat dititrasi dengan Natrium Tiosulfat.
Menurut cara ini suatu zat reduksi dititrasi secara langsung oleh
iodium, misal pada titrasi Na2S2O3 oleh I2 (Underwood : 2002).
2Na2S2O3 + I2 → 2NaI + Na2S4O6
Indikator yang digunakan pada reaksi ini, yaitu larutan kanji.
Apabila larutan thiosulfat ditambahkan pada larutan iodin, hasil
akhirnya berupa perubahan penampakan dari tak berwarna
menjadi berwarna biru. Tetapi apabila larutan iodine
ditambahkan kedalam larutan thiosulfat maka hasil akhirnya
berupa perubahan penampakan menjadi berwarna biru
(Underwood : 2002).
2. Proses-proses Tak Langsung atau Iodometrik Dalam ion iodida
sebagai pereduksi diubah menjadi iodium-iodium yang
terbentuk dititrasi, dengan larutan standar Na2S2O3. Jadi cara
iodometri digunakan untuk menentukan zat pengoksidasi, misal
pada penentuan suatu zat oksidator ini (H 2O2). Pada oksidator
ini ditambahkan larutan KI dan asam hingga akan terbentuk
iodium yang kemudian dititrasi dengan larutan (Underwood :
2002).
Na2S2O3. H2O2 + 2HCl → I2 + 2KCl + 2H2O.
Banyak agen pengoksidasi yang kuat dapat dianalisa dengan
menambahkan kalium iodida berlebih dan menitrasi iodin yang
dibebaskan. Karena banyak agen pengoksidasi membutuhkan suatu larutan
asam untuk bereaksi dengan iodin, natrium tiosulfat biasanya
dipergunakan sebagai titrannya, dalam keadaan pH 3-4. Titrasi dengan
arsenik (III) (di atas) membutuhkan sebuah larutan yang sedikit alkalin
(Underwood : 2002).

2.6 Standarisasi larutan Iodin

Iodin hanya larut sedikit dalam air (0,00134 mol/liter pada 25˚C)
namun larut dalam larutan yang mengandung ion iodida. Iodin membentuk
kompleks triiodida dengan iodida,

I2 + I - I3-
Dengan konstanta kesetimbangan sekitar 710 pada 25˚C. kalium
iodida berlebih ditambahkan untuk meningkatkan kelarutan dan untuk
menurunkan keatsirian iodin (Fajrul ,2015).
Larutan-larutan iodin standar dapat dibuat melalui penimbangan
langsung iodin murni dan pengenceran dalam labu volumetrik. Iodin akan
dimurnikan oleh sublimasi dan ditambahkan ke dalam larutan KI yang
konsentrasinya diketahui yang ditimbang secara akurat sebelum dan
sesudah penambahan iodin. Namun demikian, biasanya larutan tersebut
distandarisasi terhadap larutan standar primer seperti As2O3. Kekuatan
reduksi dari HAsO2 tergantung pada pH, seperti yang ditunjukkan oleh
persamaan di bawah :
HAsO2 + I2 + 2H2O H3AsO4 + 2H+ + 2I-
Nilai konstanta kesetimbangan untuk reaksi ini adalah 0,17; karena
itu reaksi ini tidak berjalan sampai selesai pada titik ekivalen. Namun
demikian, jika konsentrasi ion hidrogen diturunkan, reaksi dipaksa
bergeser ke kanan sehingga bisa digunakan untuk titrasi. Biasanya
larutannya disangga pada pH sedikit diatas 8 menggunakan natrium
bikarbonat (Underwood, 2002).
Kelemahan larutan iod adalah :
1. Larutan iod adalah oksidator lemah, tak stabil karena mudah
menguap.
2. Dapat mengoksidasi karet, gabus dan zat-zat organik lainnya.
3. Dipengaruhi oleh udara dengan reaksi sebgai berikut :
4 I- + O2 + 4H+  2I2 + 2H2O
4. Tidak dapat dilakukan pada suasana basa yakni pada Ph > 9 karena
akan terjadi reaksi :
I2 + OH-  HOI + 2H2O
3HOI + 3OH-  2I- + IO3- + 3H2O
(Underwood, 2002)
2.7 Larutan Standar Natrium Tiosulfat
Larutan standar yang umum digunakan dalam proses iodometri
adalah natrium thiosulfat. Natrium tiosulfat biasanya dibeli sebagai
pentahidrat, Na2S2O3. 5H2O dan larutan-larutannya distandarisasi terhadap
sebuah larutan primer. Larutan-larutan tersebut tidak stabil dalam jangka
waktu lama, sehingga boraks atau natrium karbonat sering ditambahkan
sebagai bahan pengawet.
Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat :
I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
Reaksinya berjalan cepat, sampai selesai dan tidak ada reaksi
sampingan. Berat ekivalen dari Na2S2O3. 5H2O adalah berat molekularnya,
248,17; karena satu elektron per satu molekul hilang. Jika pH dari larutan
diatas 9, tiosulfat teroksidasi secara parsial menjadi sulfat :
4I2 + S2O32- + 5H2O  8I- + 2SO42- + 10H+
Dalam larutan yang netral atau sedikit alkalin, oksidasi menjadi
sulfat tidak muncul, terutama jika iodin digunakan sebagai titran. Banyak
agen pengoksidasi kuat, seperti garam permanganat, garam dikromat, dan
garam serium (IV), mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya
tidak kuantitatif. (Underwood,2002).
2.8 Standarisasi Larutan Tiosulfat
2.8.1 Dengan iodin murni
Iodin murni adalah salah satu standar primer untuk larutan
tiosulfat namun jarang digunakan karena kesulitan dalam
penanganan dan penimbangannya dan yang lebih sering digunakan
adalah standar yang terbuat dari agen pengoksidasi kuat yang akan
membebaskan iodin dari iodida, sebuah proses iodometrik.
(Underwood, 2002)
2.8.2 Dengan Kalium Iodat dan Kalium bromat
Kedua garam ini mengoksidasi iodida secara kuantitatif
menjadi iodin dalam larutan asam :
IO3- + 5I + 6H+  3I2 + 3H2O
BrO3- + 6I- + 6H+  3I2 + Br- + 3H2O
Reaksi iodatnya berjalan cukup cepat, reaksi ini hanya
membutuhkan sedikit kelebihan ion hidrogen untuk menyelesaikan
reaksi. Reaksi bromat berjalan lebih lambat, namun kecepatannya
dapat ditingkatkan dengan menaikkan konsentrasi ion hidrogen.
Biasanya sejumlah kecil ammonium molibdat ditambahkan sebagai
katalis (Bassett, 1994).
Kerugian utama dari kedua garam ini sebagai standar
primer adalah berat ekivalnnya yang kecil. Dalam setiap kasus
berat ekivalen adalah seperenam dari berat molekular, dimana
berat ekivalen KIO3 adalah 35,67 dan KBrO3 adalah 27,84. Untuk
menghindari kesalahan yang besar dalam menimbang, petunjuk-
petunjuk biasa mensyaratkan penimbangan sebuah sampel yang
besar, pengenceran di dalam labu volumetrik dan menarik mundur
alikuot. Garam kalium asam iodat, KIO3.HIO3 dapat digunakan
sebagai standar primer namun berat ekivalnnya juga kecil,
seperduabelas dari berat molekularnya, 32,49. (Underwood, 2002)
Adapun cara standarisasi larutan tiosulfat dengan kalium
iodat dilakukan dengan cara sebagai berikut : Timbang kurang
lebih 150 mg kalium iodat yang sudah dikeringkan pada suhu
120⁰ C secara seksama, larutkan dalam 25 ml air yang telah
dididihkan. Tambahkan 2 gram kalium iodida yang bebas iodat dan
5 ml HCl pekat dalam erlenmeyer bertutup. Iodium yang
dibebaskan dititrasi dengan natrium tiosulfat yang akan dibakukan
sambil terus dikocok. Bila larutan menjadi kuning pucat tambah
100 ml air dan 3 ml larutan kanji. Titrasi dilanjutkan sampai warna
biru tepat hilang (tidak berwarna).
Pada pembakuan di atas reaksi yang terjadi adalah sebagai
berikut :
KIO₃  +  5KI  +  6HCl      →        3I₂       +   6KCl   +  3H₂O
I₂   +  2Na₂S₂O₃               →        2NaI    +   Na₂S₄O₆
Pada reaksi di atas valensinya adalah 6 karena 1 mol
KIO₃ setara dengan 3 mol I₂, sedangkan 1 mol I₂ setara dengan 2e.
Sehingga 1 mol KIO₃ setara dengan 6e akibatnya BE KIO₃ sama
dengan BM/6 (Bassett, 1994).
2.9 Indikator Kanji

Warna dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodin
dapat bertindak sebagai indikator bagi dirinya sendiri. Iodin juga
memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat –zat pelarut
seperti karbon tetraklorida dan kloroform, dan terkadang kondisi ini
dipergunakan dalam mendeteksi titik akhir dari titrasi – titrasi. Namun
demikian, suatu larutan (penyebab kolosal) dari kanji lebih umum
dipergunakan, karena warna biru gelap dari kompleks iodin dari kanji
bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitif untuk iodin. Mekanisme
pembentukan kompleks yang berwrna ini tidak diketahui, namun ada
pemikiran bahwa molekul – molekul iodin tertahan di permukaan β –
amylose, suatu konstituen dari kanji. Larutan – larutan kanji dengan
mudah didekomposisinya oleh bakteri, dan biasanya sebuah substansi,
seperti asam borat, ditambahkan sebagai bahan pengawet.

2.10 Komposisi Serbuk Pemutih

Bubuk pemutih terdiri dari campuran kalsium hipoklorit dan


klorida basa (KIO3), Ca(OH)2.H2O. Kalsium hipoklorit atau yang biasa
disebut kaporit adalah senyawa kimia yang memiliki rumus kimia
Ca(OCl)2.  Kaporit biasanya digunakan untuk menjernihkan air . Kalsium
hipoklorit adalah padatan putih yang siap didekomposisi di dalam air
untuk kemudian melepaskan oksigen dan klorin. Senyawa aktifnya adalah
hipoklorit yang mempunyai daya untuk memutihkan. Kalsium hipoklorit
memiliki aroma klorin yang kuat. Senyawa ini tidak terdapat di
lingkungan secara bebas (Suwito, 2011).

Kalsium hipoklorit utamanya digunakan sebagai agen pemutih atau


disinfektan. Senyawa ini adalah komponen yang digunakan dalam pemutih
komersial, larutan pembersih, dan disinfektan untuk air minum, sistem
pemurnian air, dan kolam renang. Ketika berada di udara, kalsium
hipoklorit akan terdegradasi oleh sinar matahari dan senyawa-senyawa lain
yang terdapat di udara. Di air dan tanah, kalsium hipoklorit berpisah
menjadi ion kalsium (Ca2+) dan hipoklorit (ClO-). Ion ini dapat bereaksi
dengan substansi-substansi lain yang terdapat di air (Suwito, 2011).
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat yang digunakan


1. Neraca analitik 1 buah
2. Kaca arloji 1 buah
3. Labu ukur 100 ml 1 buah
4. Buret 1 buah
5. Pipet gondok 10 ml 1 buah
6. Erlenmeyer 250 ml 3 buah
7. Gelas ukur 25 ml 2 buah
8. Statif 1 buah
9. Klem 1 buah
10. Pipet tetes 5 buah
11. Corong kaca 1 buah
3.2 Bahan yang digunakan
1. Larutan Na2S2O3 secukupnya
2. Larutan Kalium iodidat secukupnya
3. Larutan KI 20% secukupnya
4. Larutan HCl 4N secukupnya
5. Indikator amilum 1% secukupnya
6. Larutan H2SO4 secukupnya
7. Larutan amonium molibdat secukupnya
8. Aquades secukupnya
3.3 Prosedur Kerja
a. Standarisasi larutan Na2S2O3 dengan Kalium Iodidat sebagai baku.
Sebelum menstandarisasi larutan Na2S2O3 perlu dibuat larutan
Kalium iodidat dengan cara yaitu pertama menimbang Kalium
iodidat (KIO3) sebesar  0.357 gram dalam kaca arloji. Kedua
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu dilarutkan dengan air
suling kemudian diencerkan sampai tanda batas lalu dikocok
dengan baik agar tercampur sempurna.
Setelah membuat larutan Kalium iodidat, larutan tersebut dipipet
10 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml. kemudian
ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 1 ml HCl 4N. lalu
Erlenmeyer diletakkan di bawah buret yang telah diisi dengan
larutan Na2S2O3 dan diatas kertas putih untuk mempermudah
melihat hasil proses titrasi. Kemudian proses titrasi dilakukan.
Proses titrasi dihentikan pada saat terjadi perubahan warna menjadi
warna kuning muda. Ditambahkan indikator amilum 1 % sampai
dengan warna biru kehitaman dab dihitung jumlah tetesnya.
Selanjutnya dititrasi lagi sampai warna biru hilang. Dibaca dan
dicatat angka pada buret pada awal dan diakhir titrasi. Lalu dicatat
volume Na2S2O3 yang diperlukan. Dihitung konsentrasi larutan
Na2S2O3. Kemudian ulangi proses titrasi sebanyak tiga kali dengan
volume Na2S2O3 sama. Kemudian hitung konsentrasi rata-rata
larutan Na2S2O3.
b. Penetapan kadar Cl2 dalam serbuk pemutih.
Setelah melakukan standarisasi larutan Na2S2O3, proses selanjutnya
adalah menentukan kadar Cl2 pada serbuk pemutih. Untuk
menentukan kadar klorida dilakukan dengan cara yaitu pertama
diukur berat jenis larutan menggunakan pignometer. Setelah itu
dipipet 2 ml kemudian diencerkan di dalam labu ukur 100 ml.
Diambil 10 ml larutan yang telah diencerkan dan dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 250 ml lalu ditambahkan 2 ml KI, 3 ml H2SO4
1:6, dan tiga tetes larutan amonium molibdat 3 %. setelah itu
dilakukan proses titrasi dengan Na2S2O3 standar. Proses titrasi
dihentikan saat terjadi perubahan warna menjadi kuning muda.
Kemudian ditambahkan larutan kanji sampai warna biru kehitaman
dan dihitung jumlah tetesannya. Setelah itu di lakukan proses titrasi
lagi sampai warna biru itu hilang. Dihitung volume Na2S2O3 yang
diperlukan. Proses titrasi diulangi sampai tiga kali. Kemudian
dihitung kadar klorida dalam sampel.
4.2 Analisis dan Pembahasan

Telah dilakukan praktikum ini dengan tujuan untuk mengetahui cara


pembuatan dan penentuan standarisasi larutan Na2S2O3; untuk mengetahui
kadar Cl2 dalam pemutih.
a. Standarisasi larutan Na2S2O3 dengan KIO3 sebagai baku.
Sebelum menstandarisasi larutan Na2S2O3 perlu dibuat
larutan KIO3 terlebih dahulu dengan cara yaitu pertama
menimbang KIO3 sebesar  0,3572 gram dalam kaca arloji.
Menggunakan KIO3 ini bertujuan untuk menjadi perantara dalam
titrasi iodometri karena dalam titrasi iodometri, reaksi yang terjadi
yaitu reaksi tidak langsung. Maksudnya, untuk membuat produk I2
 I- membutuhkan bantuan dari KIO3, sedangkan titrasi iodimetri
bisa menggunakan I2 langsung karena reaksi yang terjadi adalah
reaksi langsung, maksudnya tidak membutuhkan bantuan dari
perantara.
Setelah itu dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu
dilarutkan dengan air suling kemudian diencerkan sampai tanda
batas. Setelah itu dikocok dengan baik agar tercampur sempurna.
Sehingga terbentuklah larutan baku KIO3 yang berfungsi sebagai
larutan baku yaitu larutan yang konsentrasinya diketahui melalui
suatu penimbangan ataupun perhitungan dan juga memenuhi syarat
sebagai larutan baku itu sendiri yaitu murni, stabil, dan memiliki
nilai berat ekuivalen yang tinggi.
Setelah membuat larutan KIO3, larutan KIO3 tersebut
dipipet 10 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml.
Kemudian ditambahkan 10 ml Larutan KI 20% dan 1 ml HCl 4 N.
Fungsi penambahan larutan KI 20% yaitu untuk membebaskan ion
Iod (I2) yang berlebih dari larutan KIO3 sehingga nantinya produk
yang dihasilkan lebih maksimal. Fungsi penambahan HCl yaitu
untuk memberikan suasana dalam larutan tersebut asam. Karena
dalam reaksi reduksi oksidasi bisa dengan penambahan H+ atau
asam.
Selanjutnya Erlenmeyer tersebut diletakkan di bawah buret
yang telah diisi dengan larutan Na2S2O3 dan diatas kertas putih
untuk mempermudah melihat hasil proses titrasi. Larutan Na2S2O3
0.1 N disini berfungsi sebagai larutan standar dimana larutan
standar adalah larutan yang konsentrasinya sudah diketahui secara
akuran dan pasti. Kemudian proses titrasi dilakukan dengan cara
membuka kran pada buret secara perlahan, biarkan larutan Na2S2O3
ini keluar tetes demi tetes. Pada volume tertentu saat penambahan
Na2S2O3, terjadi perubahan warna dari kuning kecoklatan menjadi
kuning muda, hal ini menandakan bahwa reaksi redoks sudah
terjadi. Setelah berubah warna menjadi kuning muda, maka proses
titrasi ini dihentikan kemudian ditambahkan larutan kanji.
Penambahan larutan kanji/amilum mendekati di titik ekivalen ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya senyawa kompleks iod-
amilum. Jika ditambahakan pada saat awal titrasi, akan
menyebabkan senyawa ini sukar larut dalam air dingin dan akan
membutuhkan titran yang lebih banyak untuk memutuskan ikatan
antar senyawa kompleks tersebut. Setelah ditambahkan larutan
kanji, larutan yang berwarna kuning muda ini berubah menjadi biru
kehitaman, selanjutnya titrasi dilanjutkan kembali sampai warna
biru hilang atau menjadi larutan tidak berwarna. Dilihat dan dicatat
volume Na2S2O3 yang diperlukan untuk titrasi ini yang kemudian
dari data tersebut kita dapat menghitung konsentrasi dari larutan
Na2S2O3.
Titrasi ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali untuk
mendapatkan hasil yang akurat dan mengurangi adanya galat
dalam percobaan. Volume larutan Na2S2O3 yang didapatkan pada
setiap pengulangan yaitu titrasi I 19.8 ml ; titrasi II 19,6 ml ; titrasi
III 19,0 ml. Dari titrasi tersebut dapat diketahui Normalitas larutan
Na2S2O3 dengan menggunakan rumus:
Mol ekivalen KIO3 = Mol ekivalen Na2S2O3
N KIO3 x V KIO3 = N Na2S2O3 x V Na2S2O3
Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh Normalitas
larutan Na2S2O3 pada setiap pengulangan titrasi, dengan normalitas
berturut-turut yaitu 0.050 N ; 0.051 N ; 0.052 N. Berdasarkan data
tersebut diperoleh normalitas rata-rata larutan Na2S2O3 sebesar
0,051 N menggunakan rumus:
N 1+ N 2+ N 3
Normalitas rata-rata Na2S2O3 =
3
M 1+ M 2+ M 3 M 1+ M 2+ M 3
Nilai rata-rata Normalitas
3 3
larutan Na2S2O3 tersebut yang digunakan untuk perhitungan pada
penentuan kadar Cl2 dalam pemutih. Reaksi yang terjadi dalam
titrasi ini yaitu :

KIO3(s) + H2O(l)  KIO3(aq)


2IO3- + 12H+ + 10e-  I2 + 6H2O (x1)
2I-  I2 + 2e (x5)
2IO3 + 12H + 10e  I2 + 6H2O
- + -

10I-  5I2 + 10e

2IO3- + 12H+ + 10I-  I2 + 6H2O + 5I2

b. Penetapan kadar Cl2 dalam pemutih


Setelah melakukan standarisasi larutan Na2S2O3, proses
selanjutnya adalah penetapan kadar Cl2 dalam pemutih dengan cara
yaitu pertama diukur berat jenis cairan dengan piknometer. Jenis
cairan pemutih ini menggunakan pemutih bermerek Soklin.
Kemudin diambil sampel 2 ml dan diencerkan di dalam labu ukur
100 ml. Selanjutnya dipipet 10 ml sampel pemutih. Dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 250 ml. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan KI
20%, 3 ml H2SO4, dan 3 tetes larutan amonium molibdat 3%.
Fungsi penambahan larutan KI 20% yaitu untuk membebaskan ion
Iod (I2) yang berlebih dari larutan pemutih sehingga nantinya
produk yang dihasilkan lebih maksimal. Fungsi penambahan
H2SO4 yaitu untuk memberikan suasana dalam larutan tersebut
asam. Mengapa tidak menggunakan asam yang lain seperti HCl?
Karena dalam hal ini bertujuan untuk menentukan kadar Cl2 dalam
pemutih dan juga akan menganggu dalam hal perhitungan. Dan
fungsi amonium molibdat disini sebagai katalis.
Selanjutnya Erlenmeyer yang telah diisi larutan tersebut
diletakkan di bawah buret yang sebelumnya telah diisi dengan
larutan Na2S2O3 standar yang konsentrasinya sudah diketahui
melalui proses standarisasi sebelumnya. Agar mempermudah
indikasi perubahan warna, dibawah erlenmeyer diberi kertas
berwarna putih.
Setelah itu dilakukan proses titrasi dengan Na2S2O3 standar
sampai terjadi perubahan warna dari kuning kecoklatan menjadi
kuning muda. Setelah berubah menjadi larutan berwarna kuning
muda, larutan tersebut ditambahkan dengan 6 tetes larutan kanji
sehingga berubah warna menjadi biru kehitaman. Setelah itu
dititrasi lagi sampai warna biru hilang. Didapatlah volume
Na2S2O3 yang diperlukan dengan melihat angka awal dan akhir
pada saat melakukan titrasi. Proses titrasi ini diulangi sampai tiga
kali. Dari tiga kali pengulangan ini didapatkan volume rata-rata
Na2S2O3 sebesar 4,8 ml. Sehingga didapatkan kadar Cl2 di dalam
sampe pemutih Soklin sebesar 7,765 %. Nilai kadar Cl 2 dalam
produk kemasan yaitu NaOCl 5,25 %. Berdasarkan teori kadar
NaOCl berkisar dari 5 – 15 %. Sehingga kadar yang didapatkan
dalam praktikum ini sesuai dengan teori karana masih dalam
rentang 5-15 %. Reaksi yang terjadi dalam percobaan ini yaitu :

Cl2 + 2e-  2Cl-

2I-  I2 + 2e-
2I- + Cl2 + 2e-  2Cl- + I2 + 2e-
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang telah lakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Konsentrasi rata-rata larutan Na2S2O3 adalah 0,051 N
2. Kadar Cl2 dalam pemutih Soklin yaitu 7,765 %.

5.2 Saran

Dalam melakukan praktikum, mendapat hasil yang sesuai dengan teori


perlu ketelitian yang tinggi, maka saat melakukan praktikum selanjutnya
lebih memahami teori yang ada dan diharapkan lebih berhati-hati, teliti,
dan cermat dalam melakukan titrasi agar titrasi yang dilaksanakan dapat
berjalan dengan sempurna dan data yang didapat bisa sesuai dengan teori
yang sudah ada. Selain itu juga harus teliti dalam mengecek semua alat
dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum supaya alat dan bahan
bisa digunakan secara optimal
DAFTAR PUSTAKA

Basset, J., dkk. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik
Edisi IV. Jakarta : EGC.
Brady, James E. 1987. Kimia Univeritas Asas dan Struktur. Tangerang : Binarupa

Aksara.

Fajrul,Baso.2015. IodometriIodimetri. https://www.academia.edu/7838841/Iodom
etri-Iodimetri.Diakses pada tanggal 1 Desember 2019

Keenan, Charles. W. 1992. Ilmu kimia untuk Universitas. Cetakan II. Jakarta:
Erlangga.

Khopkar, S. M.. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta. Penerbit


Universitas Indonesia. Hal. 216-217.

Khopkar, S.M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : Universitas


Indonesia Press.
Khopkar, S. M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analisis. Jakarta: UI Press.
Rohman, Abdul. 2007. Kimia Analisis Farmasi. Digi Art Yogya. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Sudjadi. 2007. Kimia Farmasi Analis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suwito, vivien. 2011. Makalah Titrasi Iodometri penentuan kadar Cl2.
http://vivienanjadi.blogspot.com/2012/05/vbehaviorurldefaultvmlo_18.html
”Diakses pada tanggal 1 Desember 2019

Svehla, G. 1979. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semikro.
Edisi 5, bagian 1. PT. Kalman Media Pustaka. Jakarta.

Tim Kimia Analitik. 2019. Penuntun Praktikum Kimia Analitik II. Surabaya:
Unesa University Press.

Underwood,A.L.dan R. A. Day Jr.1998 .Analisa Kimia Kuantiataif.


Jakarta :Erlangga
Underwood,A.L.dan R. A. Day Jr.2002 .Analisa Kimia Kuantiataif. Edisi
Keempat.
Jakarta :Erlangga

Anda mungkin juga menyukai