Anda di halaman 1dari 15

REFERAT ILMU KESEHATAN JIWA

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang

Disusun oleh :

Ahmad Setyo Abdi


30101507355

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa


Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang
Fakultas Kedokteran Unissula Semarang
2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... 1
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR....................................................................................................... .2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................4
BAB II. PEMBAHASAN.........................................................................................6
II.1. Definisi........................................................................................................6
II.2. Etiologi........................................................................................................7
II.3. Faktor Resiko............................................................................................. .7
II.4. Patofisiologi................................................................................................8
II.5. Gambaran Klinis.........................................................................................8
II.6. Pemeriksaan Lab.........................................................................................8
II.7. Diagnosis.....................................................................................................9
II.8. Diagnosa Banding.......................................................................................11
II.9. Penatalaksanaan..........................................................................................12
II.10. Komplikasi..................................................................................................13
II.11. Prognosis.....................................................................................................13
II.12. Pencegahan.................................................................................................13
BAB III. KESIMPULAN...........................................................................................14
BAB IV. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of
reality  ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan
pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku
penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat
dimengerti oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderita sebagai orang
gila. Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat penggunaan
oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa :
sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun), gangguan otonomik (hipotensi,
antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi, gangguan irama jantung),
gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor,
bradikinesia, rigiditas), gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik
(jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang, syndrome
neuroleptik maligna.13

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan
mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.1

Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik,


khususnya neuroleptik. Di Cina didapatkan insidensi SNM mencapai 0,12 % pada pasien
dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India menunjukkan insidensi
0,14%.1 Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada 0,2% - 1,9% pasien.2

Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan SNM,


semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini. Obat-
obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine (Phenergan),
clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat non neuroleptik yang

3
dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut adalah
metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium 4. Deteksi awal dan
penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena komplikasi dari keadaan ini
adalah kematian.5 Kematian yang disebabkan oleh SNM mencapai 21%.3

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan
mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.1

DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) mendefiniskan


sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang
terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari
konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil,
peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan pengobatan
neuroleptik.6

Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan afek
mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena dimensia,
nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini mengakibatkan disfungsi
sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab
untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan
darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh.7

2.2. ETIOLOGI (1)

1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik potensi
rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering pada
pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine.

2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),


antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik injeksi
long acting.

5
3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang tidak
konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan juga
terapi kejang.

2.3. FAKTOR RESIKO 1


Faktor resiko dari SNM antara lain :

1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM adalah
kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi.
2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM dapat
terjadi pada kembar identik.

3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko
rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan
penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu
episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya
30%.

4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,


riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan neuroleptik tidak teratur.

5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik


di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.

2.4. PATOFISIOLOGI

Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan


pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat
hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang
menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus, sistem
nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis SNM.3

Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan


pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan ketidak stabilan
saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko

6
limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan status mental disebabkan
karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal.7

2.5. GAMBARAN KLINIS

Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak


tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis
tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya
berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan neuroleptik.
SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik
atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan dosis). (6) Sindroma neuroleptik maligna
dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari ringan sampai dengan berat.7

Gejalanya yaitu:1

a) Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan


tekanan darah meningkat atau labil.
b) Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia
dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan
agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium
mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran.

2.6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan nekrosis.
Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan3 :

1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L.


Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom Neuroleptik
Maligna.
2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine
aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).

7
3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/
mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat.
Konsentrasi serum besi dapat menurun.

2.7. DIAGNOSIS7

Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan rigiditas
otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan otonom, perubahan
sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.

Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding


pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM ditegakkan,
semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan demam harus
disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan
ketidakstabilan otonom.

Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders) :

Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2.

Kriteria A

1. Rigiditas otot
2. Demam

Kriteria B

1. Diaphoresis
2. Disfagia

3. Tremor

8
4. Inkontinensia

5. Perubahan kesadaran

6. Mutisme

7. Takikardi

8. Tekanan darah meningkat atau labil

9. Leukositosis

10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot

Kriteria C

Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus

Kriteria D

Tidak ada gangguan mental

Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari
demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk membedakan
SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi.10 SNM harus
dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin
dan hipertermi maligna.

2.8. DIAGNOSIS BANDING1

1. Heat Stroke

Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan hipotensi.

2. Letal Kataton

Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik dapat
memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal kataton sulit,
meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak meminum

9
neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodomal sedangkan SNM
dimulai dengan rigiditas.

3. Sindrom Serotonin

Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali


riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya rigiditas
berat.

2.9. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Suportif1

Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan
terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu. Sindrom
Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long action dapat
bertahan selama sebulan.

Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara
fungsi organ yaitu:

1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.


2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.

3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.

4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan
serebrospinal, kultur urin dan darah.

2. Terapi Farmakologi3

10
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik
Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi
rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Peneliti lain melaporkan tidak ada
manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala
karena pemakaian obat-obat tersebut.

Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus.


Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan Sindrom
Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari.

2.10. KOMPLIKASI

Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang paling


umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya
terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo,
edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation,
seizure, infark miocardial.9

Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang


tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena menderita
gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di
hentikan.1

2.11. PROGNOSIS1

Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot
yang menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom Neuroleptik Maligna dapat
terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda waktu antara Sindrom
Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali pengobatan antipsikotik.

2.12. PENCEGAHAN6

Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom ini.


Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek samping ekstra
piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstra
piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma

11
Neuroleptik Maligna dan komplikasinya.

12
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik seperti
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor resiko dari SNM
antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien dengan riwayat episode
NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak organik, gangguan mental non
skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur,
penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan
dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom
mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau
labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia
dan diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti
psikotik dan terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin
seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom
Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi yang paling
umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya
terjadi kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan
nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.

13
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome,


http://www.emedicine.com (diakses pada 18.30, 17 September 2013)
2. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant
Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55
3. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 19.00, 18 September 2013)
4. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:
Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment,
Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-45
5. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com (diakses pada 19.30, 18 September 2013)
6. Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics
August 2004 Volume 59, Number 8. Page 38-40
7. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 20.30, 18 September 2013)
8. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com (diakses pada 16.00, 19 September 2013)
9. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:
Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment,
Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-45
10. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.
11. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant
Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55
12. Khan, N.A., 2011, Atypical neuroleptic malignant syndrome: reversible
encephalopathy. http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-10.
(diakses pada 15.30, 19 September 2013)
13. Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga University.
Page 180

14
14. Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik . Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC. Pp:5-9

15

Anda mungkin juga menyukai