PERCOBAAN IV
KECEPATAN DISOLUSI
DISUSUN OLEH :
GOLONGAN I
KELOMPOK IV
1
yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon
terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini
mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti
garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pentingnya disolusi dalam pembuatan
sediaan.
II. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana jumlah parasetamol yang terdisolusi dalam media
persatuan waktu?
III. TUJUAN
Untuk mengetahui jumlah parasetamol yang terdisolusi dalam media
persatuan waktu.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Disolusi
Disolusi merupakan proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat
kedalam larutan dalam suatu medium (Syukri, 2002). Pelarut suatu zat aktif
sangat penting, artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke
dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya (Ansel, 1985). Uji
disolusi memiliki kecepatan dalam melarutkan sediaan. Kecepatan disolusi adalah
suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu
setiap satuan waktu. Persamaan kecepatan menurut Noyes dan Whitney sebagai
berikut (Ansel, 1993).
2
4.2 Alat Uji Disolusi
Terdapat beberapa tipe alat yang dapat digunakan untuk menguji disolusi
suatu sediaan obat, diantaranya :
4.2.1 Tipe Keranjang
Metode keranjang terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari
kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang
di gerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup
sebagian dalam suatu tangas air sehingga suhu dapat dipertahankan 37° ± 0,5° C
selama pengujian berlangsung. Pada bagian atas wadah dapat digunakan suatu
tutup yang pas untuk mencegah penguapan. Batang logam berada pada posisi
sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu
vertikal wadah, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Batas
kecepatan yang memungkinkan untuk memilih kecepatan dan mempertahankan
kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih
kurang 4% (Depkes RI,1995). Dibawah ini terdapat gambar dari metode
keranjang :
3
4.2.2 Tipe Dayung
4
Gambar 3. Pengaduk Reciprocating Cylinder (Agilent Technology, 2013).
4.2.4 Flow Through Cell
Perakitan aparatus ini terdiri atas reservoir dan pompa untuk media
disolusi, flow through cell dan penangas air yang digunakan untuk
mempertahankan media disolusi pada 37o ± 0,5oC. Metode ini menggunakan
ukuran sel yang telah ditentukan yang disesuaikan dengan monografi (USP,
2007). Pompa akan memompa atau mendorong medium disolusi melalui
flowthrough cell. Pompa ini memiliki daya pengantaran diantara 240 dan 960
ml/jam dengan kekuatan standar pengaliran mencapai 4,8 dan 16 mL per menit.
Aliran ini harus bersifat konstan (± 5% dari laju aliran nominal). Laju aliran
memiliki arus sinusoidal atau bergelombang dengan penghantaran gelombang
mencapai 120 ± 10 gelombang per menit (USP, 2007).
5
Gambar 5. Pengaduk Flow Trough Cell(Agilent Technology, 2013
Medium ini terbuat dari bahan transparan dan inert terhadap zat yang diuji
dan dipasang tegak lurus dengan sistem pengisi (yang telah ditentukan dengan
monografi) untuk mencegah keluarnya partikel yang tak terlarut dari puncak flow
through cell. Medium ini mengunakan diameter dengan ukuran 12 dan 22,8
mm.Pada bagian dasar diisi dengan butiran kaca kecil dengan ukuran diameter 1
mm dengan satu butir kaca kecil yang ditempatkan 5 mm dari puncak untuk
melindungi tabung tempat masuknya cairan dan pemegang tablet tersedia untuk
penggunaan disolusi dengan dosis spesial contohnya salut tablet atau lapisan
tablet. Medium dalam keadaan terendam pada water bath dan suhu dikondisikan
agar tetap terjaga pada suhu 37 ± 0,5oC(USP, 2007).
4.2.5 Dayung di Atas Cakram
Tipe ini menggunakan dayung dan labu dengan kecepatan 75 rpm selama
30 menit disertai dengan penambahan suatu cakram baja tahan karat yang
dirancang untuk menahan sediaan transdermal pada dasar labu. Cakram yang
digunakan untuk menahan sediaan trandermal dirancang sehingga antara dasar
labu dengan cakram minimal tidak terukur volumenya (Depkes RI, 2014).
6
Gambar 4. Pengaduk Dayung di Atas Cakram (Agilent Technology, 2013)
Uji disolusi dilakukan dengan menambahkan media disolusi ke dalam labu.
Suhu yang digunakan 32 ± 0,5 serta alat tanpa cakram dipasang. Sediaan uji
diletakkan pada cakram serta pastikan agar permukaan pelepasan sediaan rata.
Untuk melekatkan sediaan pada cakram dapat digunakan perekat yang sesuai.
Keringkan selama satu menit kemudian tekan sediaan dengan posisi permukaan
perlepasan menghadap ke atas sisi cakram yang dilapisi perekat. Apabila
menggunakan membran yang digunakan sebagai penyangga sediaan diusahakan
agar tidak terdapat gelembung antara membran dan permukaan perlepasan.
Cakram yang digunakan diletakkan mendatar pada dasar labu dengan permukaan
perlepasan menghadap ke atas dan sejajar dengan ujung bilah dayung serta
permukaan media disolusi, jarak antara ujung dayung bagian bawah dan
permukaan cakram adalah 25 ± 2 mm. Alat dijalannya dengan kecepatan yang
tertera seperti pada monografi sampel. Cuplikan diambil dengan interval waktu
tertentu yang mana cuplikan diambil dari bagian tengah antara permukaan media
disolusi dan bagian atas bilah dayung tidak kurang dari 1 cm dari permukaan
dinding labu. Kadar sampel ditetapkan sesuai dengan monografinya (Depkes RI,
2014).
4.2.6 Rotating Cylinder
Aparatus ini merupakan jenis aparatus untuk menguji suatu disolusi yang
spesifik atau khas dengan susunan konfigurasi bejana tanpa menggunakan
7
pengaduk silinder yang biasa digunakan pada aparatus dayung dan basket. Pada
aparatus ini menggunakan batang pengaduk yang terbuat atas stainless steel
dengan tambahan suatu alat yang dapat dilepas, alat ini digunakan untuk lapisan
transdermal yang lebih besar (Palmieri III, 2007). Tempat pengukuran atau
takaran bahan ditempatkan pada silider pada awal setiap pengujian. Jarak antara
bagian dalam bejana dengan silinder dipertahankan pada posisi sejauh 25 ± mm
selama pengujian (Palmieri III, 2007).
8
Gambar 7. Pengaduk Reciprocating Disk(Agilent Technology, 2013)
Parameter fisik dan toleransi:
Temperatur : 32 +- 0,5 derajat Celcius
Dip rate : 30 DPM
Stroke Distances :2 cm
Holder : menurut ketentuan USP
Timepoints : 2% dari waktu yang ditentukan
(Palmieri III, 2007)
4.3 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Disolusi Obat
Beberapa faktor yang mempengaruhi disolusi obat diantaranya adalah :
a. Suhu
Meningkatnya suhu umumnya dapat memperbesar kelarutan (Cs) suatu
zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi
zat.
b. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu
zat. Meningkatnya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar
kecepatan disolusi.
c. pH pelarut Kelarutan zat aktif yang
bersifat asam lemah dan basa lemah dipengaruhi oleh pH pelarut. Suatu
senyawa asam lemah akan memiliki kelarutan yang lebih besar pada
pelarut dengan pH tinggi. Demikian dengan senyawa basa lemah akan
memiliki kelarutan yang lebih besar dalam pelarut dengan pH rendah.
9
d. Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan mempengaruhi kecepatan disolusi beberapa jenis
zat. Pada zat yang mudah menggumpal setelah menjadi partikel, maka
kecepatan pengadukan yang tinggi akan mencegah terjadinya agregat
sehingga pengukuran konsentrasi terdisolusi akan lebih baik.
Pengadukan yangcepat menyebabkantipisnya lapisan difusi sehingga
kecepatan disolusi akan meningkat.
e. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel zat maka luas permukaan efektif semakin
besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.
f. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang
berbeda juga.
g. Sifat Permukaan Zat
Adanya surfaktan di dalam pelarut menyebabkan tegangan permukaan
antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah
terbasahi. Akibatnya, kecepatan disolusinya bertambah.
(Dressman and Kramer, 2005).
4.4 Bahan-bahan
4.4.1 Parasetamol
Pemerian Parasetamol adalah bentuk hablur atau serbuk hablur putih, tidak
berbau, rasa pahit. Kelarutan dari Parasetamol adalah larut dalam 27 bagian air,
dalam 7 bagian etanol (95%)P, dalam 13bagian aseton P, dan dalam 40 bagian
gliserol. Berikut adalah struktur kimia dari Parasetamol, yaitu:
10
Parasetamol memiliki berat molekul 151,16 g/mol dengan rumus molekul
C8H9NO2.. Parasetamol disimpan dalam wadah tertutup baik. Parasetamol
berperan sebagai analgetikum, antipiretikum (Depkes RI, 1979).
Uji disolusi untuk tablet parasetamol dilakukan pada media disolusi yaitu
900 mLlarutan dapar fosfat pH 5,8 dan menggunakan alat tipe 2: 50 rpm selama
30 menit. Prosedurnya yaitu dilakukan penetapan jumlah C₈H₉NO₂ yang terlarut
dengan mengukur serapan alikuot, jika perlu diencerkan dengan media disolusi
dan serapan larutan baku Parasetamol BPFI dalam media yang sama pada panjang
gelombang serapan maksimum lebih kurang 243 nm. Toleransi dalam waktu 30
menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q)parasetamol, C₈H₉NO₂dari jumlah
yang tertera pada etiket (Depkes RI, 2014).
4.4.2 Kalium Dihidrogen Fosfat (KH2PO4)
Kalium Dihidrogen Fosfat (KH2PO4)atau biasa disebut dengan Kalium
Bifosfat mengandung tidak kurang dari 99,5% KH2PO4. Pemerian dari Kalium
Dihidrogen Fosfat adalah serbuk hablur putih atau putih, mudah larut dalam air
(Depkes RI, 1979).
4.4.3 Natrium Hidroksida ( NaOH )
Natrium Hidroksida berbentuk pelet, serpihan atau batang atau bentuk lain,
berwarna putih atau praktis putih, massa melebur, keras, rapuh, dan menunjukkan
pecahan hablur. Natrium Hidroksida mengandung tidak kurang dari 95,0% dan
tidak lebih dari 100,5% alkali jumlah dihitung sebagai NaOH, mengandung
Na2CO3 tidak lebih dari 3,0%. Bila dibiarkan di udara akan cepat menyerap
karbon dioksida dan lembab, mudah larut dalam air dan dalam etanol netral serta
disimpan dalam wadah tertutup rapat (Depkes RI, 1995).
V. PROSEDUR PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
1. Timbangan analitik
2. Alat-alat gelas (gelas beaker, labu ukur, vial)
3. Stopwatch
4. Alat uji disolusi apparatus 2
11
5. Spektrofotometer UV
b. Bahan
1. Tablet parasetamol
2. Akuades
3. NaOH
4. KH2PO4
B. Prosedur Kerja
a. Pembuatan Medium Disolusi (Buffer Fosfat pH 5,8 Volume 1,5 L)
Ditimbang NaOH sebanyak 0,216 gram, dilarutkan dalam
beaker glass dengan aquadest secukupnya.
12
Dimasukkan 1 tablet parasetamol ke dalam alat disolusi dengan
sisi yang terbuka mengarah ke atas.
13
Ditambahkan buffer fosfat hingga tanda batas labu ukur 10 mL
dan digojog agar larutan homogen.
14
Ditentukan panjang gelombang maksimumnya, kemudian larutan
seri dan larutan sampel diukur absorbansinya pada panjang
gelombang maksimum yang telah ditentukan sebelumnya.
g. Evaluasi Data
Dibuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi sebagai
fungsi waktu setelah dikoreksi karena adanya pengurangan kadar
larutan oleh sampel yang diambil.
C. ANALISIS DATA
a. Tabel Hasil Pengamatan
Tabel Absorbansi Larutan Seri Parasetamol pada Rentang Panjang
Gelombang 200-300 nm
λ (nm) Absorbansi (A) λ (nm) Absorbansi (A)
200 0,588 275 0,116
203 0,641 278 0,106
206 0,606 281 0,097
209 0,425 284 0,085
212 0,305 287 0,071
215 0,276 290 0,056
218 0,290 293 0,044
221 0,312 296 0,034
224 0,346 299 0,028
227 0,375
15
230 0,404
233 0,442
236 0,485
239 0,511
242 0,514
245 0,506
248 0,494
251 0,467
254 0,420
257 0,337
260 0,272
263 0,210
266 0,168
269 0,142
272 0,127
Tabel Absorbansi Larutan Seri pada λmaks (242 nm)
I 2 0,148
II 4 0,334
III 6 0,499
IV 8 0,621
V 10 0,807
16
5.2 Perhitungan
Penentuan Persamaan Regresi Linear Larutan Seri Parasetamol
Kelima data absorbansi larutan seri parasetamol yang didapat digunakan
untuk menentukan persamaan regresi linier.
17
y = 0,08025x + 0,0003
0,234 = 0,08025x + 0,0003
0,2337 = 0,08025x
x = 2,912 μg/ml = 2,912 × 10-3 mg/ml
Jumlah zat yang terlarut;
= x . volume medium . faktor pengenceran
= 2,912 × 10-3 mg/ml . 900 ml . 100
= 262, 08 mg
Menit ke-10
y = 0,08025x + 0,0003
0,298 = 0,08025x + 0,0003
0,2977 = 0,08025x
x = 3,709 μg/ml = 3,709 × 10-3 mg/ml
Jumlah zat yang terlarut;
= x . volume medium . faktor pengenceran
= 3,709 × 10-3 mg/ml . 900 ml . 100
= 333,81 mg
Menit ke-20
y = 0,08025x + 0,0003
0,459 = 0,08025x + 0,0003
0,4587 = 0,08025x
x = 5,715 μg/ml = 5,715 × 10-3 mg/ml
Jumlah zat yang terlarut;
= x . volume medium . faktor pengenceran
= 5,715 × 10-3 mg/ml . 900 ml . 100
= 514,35 mg
Menit ke-30
y = 0,08025x + 0,0003
0,327 = 0,08025x + 0,0003
0,3267 = 0,08025x
x = 4,071 μg/ml = 4,071 × 10-3 mg/ml
18
Jumlah zat yang terlarut;
= x . volume medium . faktor pengenceran
= 4,071 × 10-3 mg/ml . 900 ml . 100
= 366, 39 mg
Menit ke-45
y = 0,08025x + 0,0003
0,299 = 0,08025x + 0,0003
0,2977 = 0,08025x
x = 3,722 μg/ml = 3,722 × 10-3 mg/ml
Jumlah zat yang terlarut;
= x . volume medium . faktor pengenceran
= 3,722 × 10-3 mg/ml . 900 ml . 100
= 334,98 mg
Menit ke-60
y = 0,08025x + 0,0003
0,329 = 0,08025x + 0,0003
0,3287 = 0,08025x
x = 4,095 μg/ml = 4,095 × 10-3 mg/ml
Jumlah zat yang terlarut;
= x . volume medium . faktor pengenceran
= 4,095 × 10-3 mg/ml . 900 ml . 100
= 368,55 mg
Jumlah sampel ( :
19
Menit ke-20 = 514,35 mg
Menit ke-30 = 366,39 mg
Menit ke-45 = 334,98 mg
Menit ke-60 = 368,55 mg
Ditanya : Kadar terkoreksi tiap sampel = …?
Jawab : Rumus
volume tiap pengambilan
Kadar (Ct) + [ × Kadar (Ct) menit sebelumnya]
volume awal
Menit ke-5
Kadar terkoreksi =
Kadar terkoreksi =
Kadar terkoreksi =
20
Kadar terkoreksi
Ct 5 menit =
Ct 10 menit =
Ct 20 menit =
Ct 30 menit =
Ct 45 menit =
Ct 60 menit =
C tablet = 500 mg
Ditanya : Persentase obat terlarut setiap pengambilan sampel = …?
Jawab :
Rumus
21
Menit ke-5
Menit ke-10
Menit ke-20
Menit ke-30
Menit ke-45
Menit ke-60
22
Kadar pada 10 menit = mg
0,7 cm
Luas Permukaan :
Luas persegi panjang + luas l bingkaran
(1,2 cm×0,7 cm)+(π.(0,35 cm)2)=1,2248 cm2
Rumus menghitung kecepatan disolusi intrinsik (KDI) :
Menit ke-5
Menit Ke-10
Menit ke-20
23
Menit ke-30
Menit ke-45
Menit ke-60
y1 =
y2=
y3=
y4=
y5
y6=
24
AUC masing-masing waktu :
Penentuan :
= 4.197,487208
25
Penentuan :
Penentuan
= 4.418,14095
Penentuan Efisiensi Disolusi :
4.197,487208
= 4.418,14095 100%
= 95,00573331%
b. Perhitungan
a. Pembuatan Larutan Buffer Fosfat pH 5,8
Komposisi buffer fosfat pH 5,8 terdiri dari 50 mL kalium bifosfat 0,2 M
ditambahkan dengan 3,6 mL natrium hidroksida 0,2 M. Kemudian diencerkan
dengan air hingga 200 mL.
Ditanyakan : Bobot Kalium difosfat ... ?
Bobot Natrium Hidroksida ... ?
Penyelesaian :
Bobot KH2PO4 0,2 M
26
Bobot NaOH 0,2 M
27
Penyelesaian :
28
Pembuatan larutan seri V parasetamol
VI. PEMBAHASAN
Praktikum kecepatan disolusi kali ini berdasarkan atas pengaruh waktu
terhadap kecepatan disolusi suatu zat. Tujuan utama dilakukan uji disolusi adalah
merupakan quality control untuk membuat dugaan karakter suatu obat di dalam
saluran pencernaan, apakah obat tersebut mudah larut atau tidak setelah lepas dari
bentuk sediaannya. Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh
kelarutan obat itu sendiri (Rosmaladewi dan Filosane, 2005).
Faktor yang mempengaruhi laju disolusi sediaan obat antara lain ukuran
partikel, pH, suhu, kecepatan pengadukan, viskositas, polimorfisme, dan sifat
permukaan zat (Dressman dan Kramer, 2005). Sediaan tablet dalam faktor
formulasinya, pengisi, penghancur, pelincir dan efek kekuatan pengempaan
berpengaruh terhadap laju disolusi (Hutagaol dan Irwan, 2010). Uji disolusi pada
praktikum ini digunakan metode dayung. Metode ini pada dasarnya terdiri atas
batang, dan daun pengaduk yang merupakan dayung berputar dengan dimensi
tertentu sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan dasar bundar. Metode
dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi
memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan dimana dayung diikat
secara vertikal pada motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang telah
diatur. Ketentuan dalam uji disolusi tablet parasetamol adalah menggunakan
apparatus 2 (metode paddle) dalam medium disolusi dapar fosfat pH 5,8 sebanyak
900 mL dengan suhu 37ºC ± 0,5ºC dengan kecepatan pengadukan sebesar 50 rpm
(Depkes RI, 2014). Ketentuan tersebut dibuat sedemikian rupa untuk
menyesuaikan kondisi fisiologis dalam tubuh manusia. Dapar fosfat dengan
volume dan pH sedemikian rupa mewakili suasana dan volume cairan dalam
29
tubuh manusia, apparatus II dan kecepatan pengadukan yang digunakan
menyesuaikan dengan gerak–gerak yang terjadi dalam sistem pencernaan
manusia, dan suhu 37ºC ± 0,5ºC adalah suhu tubuh manusia normal yang sehat
(Ozkan et al., 2000).
Sampel yang digunakan pada praktikum kali ini adalah tablet parasetamol.
Parasetamol mudah larut etanol, larut dalam air mendidih, dan dalam NaOH 1 N
(Depkes RI, 2014). Parasetamol memiliki absorbansi maksimum pada panjang
gelombang 245 (pada suasana asam) dan 257 (pada suasana basa). Parasetamol
memiliki pKa sebesar 9,5 (Moffat et al., 2005).
Apparatus II dengan Metode paddle menggunakan suatu dayung atau
spindle yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada
posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari
sumbu vertikal wadah dan berputar agar dapat mengaduk medium disolusi.
Medium disolusi berada dalam wadah beralas bundar berfungsi untuk
memperkecil turbulensi dari media pelarutan.. Alat ditempatkan dalam suatu
wadah air yang bersuhu konstan, Suhu pada wadah dipertahankan suhu pada 37 oC
± 0,5oC, hal ini bertujuan untuk membuat kondisi yang mirip dengan suhu tubuh
manusia. Hal ini juga dimaksudkan bila terjadi kenaikan suhu selain dapat
meningkatkan gradien konsentrasi (Cs) juga meningkatkan energi kinetika
molekul obat yang besar kaitannya dengan tetapan difusi (D), sehingga
berpengaruh pada peningkatan kecepatan peralatan obat. Selain itu juga intensitas
pengadukan harus dijaga supaya tetap, karena perubahan kecepatan pengadukan
akan berpengaruh pada nilai h yaitu tebalnya lapisan difusi atau stagnant layer
juga akan mempengaruhi penyebaran partikel. Pengadukan yang semakin cepat
akan mempertipis stagnant layers yang terbentuk serta akan memperluas
permukaan partikel yang kontak dengan pelarut sehingga berdampak pada
peningkatan kecepatan pelarutan obat (Sulistyaningrum dkk., 2012). Metode
dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Kesejajaran dayung yang tidak
tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi
pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji
dilaksanakan (Shargel et al., 2012).
30
Penetapan kadar larutan hasil disolusi dilakukan dengan pengukuran
absorbansi menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Namun sebelum dilakukan uji
sampel hasil disolusi, dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum
parasetamol dengan menggunakan kurva baku parasetamol. Penentuan panjang
gelombang maksimum dikarenakan pada panjang gelombang maksimum
memiliki kepekaan maksimal, bentuk kurva absorbansi di sekitar panjang
gelombang maksimal datar dan pada kondisi tersebut hukum lambert beer
terpenuhi, dan kesalahan yang kecil (Gandjar dan Rohman, 2007). Kurva baku
dibuat dengan mengukur absorbansi larutan parasetamol yang sudah dibuat
dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 µg/mL. Hal ini dikarenakan pada rentang
konsentrasi tersebut memberikan absorbansi maksimum pada pengukuran larutan
dengan konsentrasi 6 µg/mL antara 0,2 hingga 0,8 dimana untuk penggunaan
spektrofotometer UV-Vis absorbansi yang terbaca adalah pada rentang 0,2 hingga
0,8. Setelah dilakukan pengukuran pada panjang gelombang 200-300 nm,
diperoleh absorbansi terbesar pada panjang gelombang 242 nm yaitu 0,514 A.
242 nm. Didapatkan absorbansi dari masing-masing seri yaitu 0,148 A, 0,334 A,
0,499 A, 0,621 A, dan 0,807 A maka data absorbansi yang diperoleh dapat
digunakan untuk membuat persamaan regresi linear dan diperoleh persamaan
regresi linear yaitu y= 0,08025 x + 0,0003 dengan nilai r = 0,9978. Berikut ini
adalah kurva baku larutan seri yang menunjukkan hubungan konsentrasi larutan
seri parasetamol dengan absorbansi.
31
Kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 50 rpm dan suhu yang
digunakan lebih dari ±37ºC. Larutan buffer fosfat yang telah dibuat sebelumnya
diukur dengan pHmeter untuk mengetaui pH larutan. Tingkat keasaman larutan
buffer yang dibuat adalah 6,0 dan nilai ini mendekati dengan nilai ketentuan yaitu
pH 5,8. Kemudian buffer fosfat tersebut dimasukkan ke dalam labu disolusi pada
alat disolusi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sebuah tablet parasetamol 500
mg dimasukkan dalam larutan buffer fosfat, kemudian diatur besar kecepatan
pengadukan, yaitu 50 rpm. Dilakukan pengujian kecepatan disolusi selama 60
menit. dilakukan pengambilan larutan analit sebanyak 5 mL dengan spuit tiap
interval waktu 5, 10, 20, 30, 45, dan 60 menit. Setiap pengambilan larutan analit
sebanyak 5 mL, dilakukan juga penambahan buffer fosfat 5 ml pada labu disolusi.
Pengambilan larutan analit dilakukan untuk mengetahui kadar parasetamol yang
terdisolusi dalam interval yang ditentukan. Penambahan buffer fosfat sebanyak 5
ml setelah diambil sebanyak 5 ml didasarkan pada homeostasis tubuh manusia
yang mana akan bereaksi jika tubuh kehilangan cairan. Tiap sampel yang telah
didapatkan kemudian dilakukan pengenceran sebesar 100x dan diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrometer UV-Vis sehingga didapatkan
hasil absorbansi yaitu 0,234 A untuk 5 menit; 0,298 A untuk 10 menit; 0,459 A
untuk 20 menit; 0,327 untuk 30 menit; 0,299 A untuk 45 menit dan 0,329 untuk
60 menit. Selanjutnya dilakukan perhitungan dan didapatkan kadar terkoreksi tiap
32
sampel adalah 262,08 mg; 335,25144 mg; 517,627395 mg; 372,49632 mg;
334,101465 mg; 378,513855 mg beturut-turut dari sampel pada menit ke-5 sampai
menit ke-60. Berdasarkan data yang didapat maka diperoleh grafik kadar obat
yang terdisolusi terhadap waktu disolusi yaitu :
33
dimana apabila dilakukan pelarutan dalam media berair, obat akan terlarut lebih
cepat apabila berada dalam bentuk terionkan karena bentuk terion memiliki
kelarutan yang besar di dalam air.
VII. KESIMPULAN
Kecepatan disolusi intrinsik parasetamol pada medium buffer fosfat dengan
pH 5,8 pada menit ke-5 yaitu (42,795 mg/menit), menit ke-10 (54,743 mg/menit),
menit ke-20 (84,524 mg/menit), menit ke-30 (60,825 mg/menit), menit ke-45
(56,025 mg/menit), dan menit ke-60 (61,808 mg/menit) dengan efisiensi disolusi
sebesar 95,00573331%. Berdasarkan hasil perhitungan persen terdisolusi dari
parasetamol pada menit ke-5 yaitu 52,461%; menit ke-10 67,050288 %; menit ke-
20 103,525479%; menit ke-30 74,499264%; menit ke-45 68,620293%; dan menit
ke-60 75,702771%. Dapat dikatakan uji disolusi yang dilakukan telah memenuhi
syarat uji disolusi, yang mana pada literatur tablet parasetamol dinyatakan lolos uji
disolusi jika dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80%.
34
dengan Nama Dagang. Media Litbang Kesehatan Volume XIII Nomor
2. Jakarta: Puslitbang Farmasi.
Martin, A., J., Swarbrick dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-Dasar
Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik, Edisi Ketiga Buku 2. Jakarta: UI-
Press.
Moffat, A. C., M. D. Osselton, B. Widdop and L. Y. Galichet. 2005. Clarke's
Analysis of Drugs and Poisons, 3rd Edition. London: Pharmaceutical
Press.
Ozkan, Y., Y. Ozalp., A. Savaser, S.A. Ozkan. 2000. Comparative Dissolution
Testing Of Paracetamol Commercial Tablet Dosage Forms. Acta
Poloniac Pharmaceutica – Drug Research 57(1):33-41.
Rosmaladewi, S. dan F.H. Filosane. 2005. Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap
Laju Disolusi Furosemid Dalam Sistem Dispersi Padat. Majalah Ilmu
Kefarmasian 2(1):30-42.
Shargel, L., Wu-Pong, S., and Yu, A.B.C.. 2005. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics. 5th Edition. London: Mc-Graw-Hill.
Shargel, L. et al., 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi
Kelima. Surabaya: Airlangga University Press.
Sulistyaningrum, I.H.M. Djatmiko, Sugiyono.2012. Uji Sifat Fisik dan Disolusi
Tablet Isosorbid Dinitrat 5 Mg Sediaan Generik dan Sediaan dengan
Nama Dagang yang Beredar di Pasaran. Majalah Farmasi dan
Farmakologi 16(1):21–30.
Syukri. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press
U.S. Pharmacopoeia. 2006. U. S. Pharmacopoeia-National Formulary [USP 30 NF
34]. Rockville, Md: United States Pharmacopeial Convention, Inc.
United States Pharmacopeial Convention. 2009. United StatesPharmacopeia and
the National Formulary (USP 32 - NF 27). Rockville (MD): The
United States Pharmacopeial Convention
United States Pharmacopeial Convention. 2017. United States Pharmacopeial
and the National Formulary (USP 40- NF 35). Rockville (MD): The
United States Pharmacopeial Convention.
35
LAMPIRAN (Halaman Baru)
NOTE :
- Font TNS 12
- Paragraf before after 0 pt
- Line spacing 1.5
- Margin 4433
36