Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanaman sayur merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia,
karena tanaman sayur banyak mengandung vitamin yang dibutuhkan tubuh
manusia. Oleh karena itu pembudidayaan tanaman sayur harus terus
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sayuran yang banyak
dikonsumsi masyarakat diantaranya dari famili Brassicaceae (Cruciferae).
Jenis-jenis tanaman dari famili Brassicaceae (Cruciferae) yang banyak
digemari masyarakat salah satunya adalah sawi. Di antara bermacam –
macam jenis sayuran, sawi adalah komoditi yang memiliki nilai komersial
dan prospektif secara teknis, ekonomis serta sosial yang mendukung sehingga
memiliki kelayakan untuk diusahakan di Indonesia (Haryanto 2003).
Menurut Zulkarnain (2010), sawi hijau dapat dikategorikan kedalam
sayuran daun berdasarkan bagian yang dikonsumsi. Sawi hijau memiliki nilai
ekonomis tinggi setelah kubis dan brokoli. Selain itu, tanaman ini juga
mengandung mineral, vitamin, protein dan kalori. Oleh karena itu, tanaman
ini menjadi komoditas sayuran yang cukup populer di Indonesia.
Hama-hama serangga yang dapat menyerang tanaman famili Brassicaceae
di Indonesia sebenarnya cukup banyak, diantaranya adalah Agrotis ipsilon,
Spodoptera litura, Aphis sp., Liriomyza brassicae, dan Plutella xylostella L.
Namun, hama Plutella xylostella merupakan hama penting pada tanaman
famili Brassicaceae. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah
dengan merusak daun sehingga tanaman tersebut bisa berakibat gagal panen
(Sembel 2010).
Plutella xylostella dikenal sebagai ulat tritip yang menyerang baik pada
tanaman muda maupun tanaman dewasa. Siklus hidup hama ini tergolong
sempurna yaitu telurlarvapupakupu-kupu. Hama ini tidak hanya
menyerang sawi tetapi juga kubis dan tanaman lainnya. Hama ini merupakan
salah satu hama yang banyak menyerang tanaman dan serangan paling besar

1
yang ditimbulkan oleh hama ini adalah pada fase larva. Fase larva merupakan
fase paling aktif dari serangga karena pada fase tersebut serangga
membutuhkan makanan lebih banyak untuk kelangsungan hidupnya.
Pengendalian ulat pemakan daun seperti Plutella xylostella ini oleh petani
masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang diyakini praktis
dalam aplikasi dan hasil pengendalian jelas terlihat. Namun, petani cenderung
menggunakan pestisida dengan dosis yang berlebihan, sehingga penggunaan
pestisida perlu dikelola dan dikendalikan secara efektif dan aman bagi
lingkungan (Julaily et al. 2013).
Pada umumnya pestisida yang digunakan untuk pengendalian jasad
pengganggu tersebut adalah racun yang berbahaya, tentu saja dapat
mengancam kesehatan manusia. Untuk itu, penggunaan pestisida yang tidak
bijaksana jelas akan menimbulkan efek samping bagi kesehatan manusia,
sumber daya hayati dan lingkungan pada umumnya. Dalam bidang pertanian
pestisida merupakan sarana untuk membunuh hama-hama tanaman. Dalam
konsep Pengendalian Hama Terpadu, pestisida berperan sebagai salah satu
komponen pengendalian. Prinsip penggunaannya antara lain: harus
kompatibel dengan komponen pengendalian lain, efisien untuk
mengendalikan hama tertentu, meninggalkan residu dalam waktu yang tidak
diperlukan, tidak boleh persistent dan harus mudah terurai, sejauh mungkin
harus aman bagi lingkungan fisik dan biota, harga terjangkau bagi petani
(Sudarmo 1991)
Secara umum pestisida dibagi menjadi 2 jenis yaitu: pestisida sintesis
(kimia) dan pestisida nabati (alami). Menurut Soenandar (2010) pestisida
nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tanaman atau
tumbuhan, hewan dan bahan organik lainnya yang berkhasiat mengendalikan
serangan hama pada tanaman. Pestisida organik tidak meninggalkan residu
yang berbahaya pada tanaman maupun lingkungan, serta dapat dibuat dengan
mudah menggunakan bahan yang murah dan peralatan yang sederhana.
Pestisida nabati mempunyai beberapa keunggulan dan kelemahan.
Keunggulan pestisida nabati antara lain: murah dan mudah dibuat, relatif
aman terhadap lingkungan, tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, sulit

2
menimbulkan kekebalan terhadap hama, serta menghasilkan produk pertanian
yang sehat karena bebas residu pestisida kimia. Sementara itu beberapa
kelemahan pestisida nabati ini adalah: daya kerja relatif lambat, tidak
membunuh jasad sasaran secara langsung, tidak tahan terhadap sinar
matahari, kurang praktis, tidak tahan disimpan, dan kadang-kadang harus
disemprot berulang-ulang (Sudarmo 2005)
Pestisida sintesis (kimia) adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya dibuat
dari senyawa kimia sintetik. Pestisida ini dibuat di laboratorium secara
kimiawi dan diproduksi secara massal di pabrik (Djojosumarto 2008).
Beberapa keunggulan pestisida sintesis ini adalah: lebih cepat menurunkan
populasi OPT, lebih mudah dan praktis dipakai, lebih mudah diproduksi
secara besar-besaran, mudah diangkut dan disimpan, harganya relatif murah.
Sementara itu ada beberapa kelemahan dari pestisida sintesis ini, antara lain:
menyebabkan terjadinya pencemaran air dan tanah yang disebabkan karena
residu pestisida sintesis yang sulit terurai di alam, matinya musuh alami dari
OPT yang menyebabkan terjadinya resurgensi hama, memungkinkan
terjadinya serangan hama sekunder, menyebabkan kematian organisme yang
menguntungkan, serta menyebabkan timbulnya kekebalan OPT terhadap
pestisida sintesis (Novizan 2002)
Alam telah menyediakan bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk
menanggulangi serangan hama dan penyakit pada tanaman. Salah satu cara
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah dengan
menggunakan pestisida nabati (Petrus dan Ismaya 2014). Pestisida organik
atau pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya
dari bahan alami atau nabati. Oleh karena itu, jenis pestisida ini bersifat
mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan
dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya mudah
hilang. Penggunaan pestisida organik merupakan suatu cara alternatif dengan
tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada pestisida sintesis
(Kardinan 2002).
Berbeda dengan pestisida sintesis, insektisida organik umumnya memang
tidak dapat langsung mematikan serangga yang disemprot (Novizan 2002).

3
Pada umumnya insektisida organik berfungsi sebagai berikut: Repellent,
yakni penolak kehadiran serangga, terutama disebabkan baunya yang
menyengat; Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah
disemprot, terutama disebabkan rasanya yang pahit; Mencegah serangga
meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan telur; Racun saraf
mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga Atraktan, sebagai
pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga
(Sukorini 2006).
Salah satu bahan tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan pestisida
nabati adalah tanaman brotowali dan tanaman akar tuba. Keberadaannya dari
tanaman akar tuba pada saat sekarang sudah sangat jarang ditemui, oleh sebab
itu tanaman ini dikategorikan sebagai tanaman langka pada saat sekarang.
Pemanfaatan tanaman akar tuba sebagai pestisida nabati ini akan
menghasilkan nilai ekonomi. Karena apabila tanaman ini dibuat menjadi
pestisida nabati maka akan lebih banyak orang mengetahui tanaman ini dan
dapat dijual belikan, hal itu dikarenakan tanaman ini akan lebih banyak dicari
oleh masyarakat khususnya para petani untuk dibudidayakan karena tanaman
ini banyak dibutuhkan sehingga keberadaannya tidak akan lagi sedikit.
Pada zaman dahulu akar tuba ini sering digunakan sebagai racun ikan di
sungai. Bahan aktif ini ditemukan pada akar dengan kadar antara 2,5-3 %,
paling banyak terkandung dalam kulit akar. Rotenon adalah salah satu
anggota dari senyawa isoflavon, sehingga rotenon termasuk senyawa
tergolongan flavonoid. Nama lain rotenon adalah tubotoxin (C23H22O6).
Tubotoxin merupakan insektisida alami yang kuat, titik lelehnya 163⁰C, larut
dalam eter dan aseton, dan etanol. Jika terbuka terhadap cahaya dan udara
akan mengalami perubahan warna kuning terang menjadi kuning pekat,
orange dan terakhir menjadi hijau tua dan akan diperoleh kristal yang
mengandung racun serangga. Rotenon bekerja sebagai racun sel yang sangat
kuat (insektisida) dan sebagai antifeedant yang menyebabkan serangga
berhenti makan. Kematian serangga terjadi beberapa jam sampai beberapa
hari setelah terkena rotenon. Rotenon adalah racun kontak (tidak sistemik)
berspektrum luas dan sebagai racun perut. Senyawa rotenon akan rusak bila

4
terkena sinar matahari, biasanya memiliki masa singkat enam hari
dilingkungan dan dalam air rotenon dapat berlangsung enam bulan.
Disamping rotenon sebagai bahan aktif utama, bahan aktif lain yang terdapat
pada akar tuba adalah deguelin, elliptone dan toxicarol.
Berdasarkan penelitian Sayono et al. (2010), pada konsentrasi ekstrak tuba
2% sudah dapat membunuh larva Aedes aegypti sebesar 100% setelah
pemaparan selama 24 jam. Terjadinya kematian larva Aedes aegypti pada
berbagai konsentrasi disebabkan oleh senyawa aktif rotenon yang kontak
langsung dengan larva Aedes aegypti sebagai racun pernafasan yang masuk
bersama dengan difusi oksigen ke dalam tubuh larva nyamuk melalui saluran
pernafasan (siphon) yang terletak pada segmen ke – 8 abdominal yang akan
diteruskan ke pembuluh darah sampai jaringan tubuh (otot dan saraf).
Kemudian akan menyebar ke seluruh jaringan tubuh larva dan akan
menyerang ganglion pusat saraf. Jika sudah terserang, maka secara otomatis
kerja hormon ekdison terganggu dan akan menghambat proses pergantian
kulit pada larva, dan sel saraf akan mengalami kelumpuhan yang diakhiri
dengan kematian. Menurut penelitian Adharini (2008), Kematian rayap 100%
dengan penyemprotan ekstrak tuba dengan konsentrasi 5% dan 10% kematian
rayap mencapai mortalitas 100%. Berdasarkan penelitian Hutasoit et al.
(2015) menunjukkan bahwa ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 3% efektif
membunuh 100% kematian caplak selama 30 menit perlakuan.
Brotowali (Tinnospora crispe L.) merupakan perdu memanjang yang
terdapat banyak dialam. Tumbuhan ini termasuk dalam 25 tanaman penghasil
pestisida nabati (Utami 2010). Batang brotowali mengandung senyawa
antimikroba, barberin dan kolumbin. Berdasarkan sejumlah literatur secara
umum di dalam tanaman brotowali terkandung berbagai senyawa kimia
antara lain alkaloid, damar lunak, pati, glikosida, pikroretosit, harsa, zat pahit
pikroretin, tinokrisposid, barberin, palmatin, kolumbin, dan kaokulin atau
pikrotoksin (Kresnady 2003). Senyawa yang diduga merupakan pestisida
nabati dalam tanaman ini adalah alkaloid bahwa senyawa alkaloid merupakan
senyawa pestisida nabati yang mengusir (repellent), racun syaraf serta

5
menekan populasi serangga dengan cara menghambat perkembangan
serangga.
Berdasarkan penelitian Eka et al. (2015), ekstrak batang brotowali
(Tinnospora crispa L.) dengan konsentrasi 75% b/v efektif sebagai insektisida
nabati untuk membunuh serangga kepinding tanah (Scotinophara coarctata).
Senyawa yang diduga merupakan pestisida nabati dalam tanaman ini adalah
alkaloid. Senyawa alkaloid merupakan senyawa pestisida nabati yang
mengusir (repellent), racun syaraf serta menekan populasi serangga dengan
cara menghambat perkembangan serangga. Ekstrak batang brotowali
meracuni kepinding tanah melalui proses ingesti dan inhalasi. Dimana ingesti
adalah proses keracunan melalui mulut atau tertelan, biasanya juga disebut
sebagai racun kontak. Sedangkan inhalasi, racun yang berbentuk gas, uap,
debu, asap atau spray dapat terhirup hidung sehingga menganggu fungsi
metabolisme tubuh.
Berdasarkan uraian tersebut di atas peneliti bermaksud melakukan
penelitian tentang pengaruh kombinasi ekstrak brotowali dan akar tuba yang
berpotensi sebagai pestisida nabati dalam pengendalian hama Plutella
xylostella. Kombinasi ektrak akar tuba dan ekstrak brotowali masih jarang
dilakukan, berdasarkan hasil penelitian yang telah disebutkan diatas bahwa
dalam konsentrasi rendah ekstrak akar tuba sudah efektif membunuh 100%
serangga sasaran berbeda dengan ekstrak brotowali pada konsentrasi rendah
belum efektif membunuh tetapi pada konsentrasi tinggi sudah efektif
membunuh serangga sasaran. Dalam penelitian ini, peneliti berharap dengan
mengkombinasikan antara ekstrak akar tuba dan brotowali daya bunuhnya
terhadap larva Plutella xylostella akan lebih efektif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana efektivitas biopestisida batang brotowali dan akar tuba terhadap
hama Plutella xylostella L. pada tanaman sawi hijau?

6
C. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dalam penelitian yaitu:
1. Biopestisida
Biopestisida merupakan semua bahan hayati baik berupa tanaman, hewan,
mikroba, atau protozoa yang dapat digunakan untuk memusnahkan hama
dan penyakit pada tumbuhan (Suwahyono 2013). Pada penelitian ini
menggunakan batang brotowali dan akar tuba yang telah diketahui
mengandung senyawa metabolit sekunder yang dapat membunuh,
menarik, atau menolak serangga. Senyawa metabolit sekunder yang akan
diujikan dalam penelitian ini adalah rotenon yang berasal dari akar tuba
dan alkaloid yang berasal dari batang brotowali.

2. Brotowali
Brotowali (Tinospora crispa L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari
famili Menispermaceae. Brotowali termasuk salah satu tanaman yang
mudah diperoleh juga diduga berpotensi sebagai insektisida nabati.
Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada batang brotowali antara
lain: flavonoid, alkaloid, dan saponin (Kresnady 2003). Menurut Nurrosjid
(2003) pada ekstrak batang brotowali mengandung alkaloid yang bersifat
racun aktif yang tersusun dari karbon, hidrogen dan nitrogen yang dapat
merusak sistem syaraf, mengganggu pernapasan dan merusak kemampuan
reproduksi. Pada penelitian ini menggunakan bagian batang tanaman
brotowali yang diekstrak dengan menggunakan rotary evaporator untuk
menghasilkan ekstrak kental.
3. Akar Tuba
Akar Tuba (Derris elliptica B.) merupakan tumbuhan yang termasuk ke
dalam famili Fabaceaae (Leguminosae). Tuba merupakan penghasil bahan
beracun yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama serangga. Salah
satu kandungan dari ekstrak tanaman tuba adalah rotenon dengan nama
lain tubotoxin (C23H22O6). Bahan aktif ini ditemukan pada akar tuba
dengan kadar antara 2,5 – 3 %, paling banyak terkandung dalam kulit akar.
Rotenon bekerja sebagai racun sel yang sangat kuat (insektisida) dan

7
sebagai antifeedant yang menyebabkan serangga berhenti makan. Rotenon
juga merupakan racun kontak (tidak sistemik) berspektrum luas dan
sebagai racun perut (Novizan 2002). Pada penelitian ini menggunakan
bagian akar tanaman tuba yang diekstrak dengan menggunakan rotary
evaporator untuk menghasilkan ekstrak kental.
4. Plutella xylostella L

Plutella xylostella L. merupakan hama ulat dari ordo Lepidoptera, famili


Plutellidae. Ulat Plutella xylostella mengalami 4 kali perubahan dalam
hidupnya yaitu stadium telur, ulat, kepompong dan ngengat. Di daerah
tropis Plutella xylostella mempunyai 14 – 20 generasi per tahun
dibandingkan dengan 2 – 7 generasi di daerah beriklim sedang. Dengan
demikian, perkembangan populasinya di daerah tropik lebih cepat dan
intensitas serangannya lebih berat dibandingkan di daerah yang beriklim
sedang (Pracaya 2001). Pada penelitian ini ulat Plutella xylostella yang
akan digunakan didapatkan dari lapangan yang kemudian dipelihara dan
diperbanyak sendiri. Ulat Plutella xylostella yang akan digunakan yaitu
pada fase larva.
5. Sawi Hijau
Sawi Hijau (Brassica juncea L.) termasuk jenis tanaman sayuran famili
Brassicaceae. Daun sawi berwarna hijau lonjong, halus, tidak berbulu, dan
tidak berkrop. Sawi mempunyai batang pendek dan lebih langsing.
Rangkaian tandan bunga pendek. Ukuran kuntum bunganya lebih kecil
dengan warna kuning pucat yang spesifik. Ukuran biji kecil dan berwarna
hitam kecoklatan. Bijinya terdapat dalam kedua sisi dinding sekat polong
yang lebih gemuk (Sunarjono 2007). Pada penelitian ini menggunakan
tanaman sawi yang berusia 5 minggu HST atau sawi berusia ±35 hari.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas biopestisida
batang brotowali dan akar tuba terhadap hama Plutella xylostella L. pada
tanaman sawi hijau.

8
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat untuk Petani
Memberikan informasi bagi para petani tanaman holtikultura untuk
memanfaatkan tumbuhan disekitarnya sebagai pestisida nabati untuk
memberantas hama dan tidak lagi menggunakan pestisida kimia yang lebih
bahaya dari pada pestisida nabati.
2. Manfaat untuk Dinas
Menambah informasi mengenai pemanfaatan tanaman sebagai pestisida
nabati khususnya dari batang brotowali dan akar tuba terhadap hama
pengganggu khususnya pada tanaman holtikultura.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pestisida
Menurut The United States federal Environmental Pesticide Control Act,
Pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas
atau mencegah gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan,
gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteria
atau jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya (Sudarmo
1991). Dalam bahasa keseharian, pestisida seringkali disebut sebagai racun.
Sesuai konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida
ditujukan bukan untuk memberantas atau membunuh hama, namun lebih dititik
beratkan untuk mengendalikan hama sedemikian rupa hingga berada dibawah
batas ambang ekonomi atau ambang kendali.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 107/Permentan/SR.
140/9/2014 tentang pengawasan pestisida, yang dimaksud dengan pestisida
adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang
merusak tanaman, bagian tanaman atau hasil pertanian, mematikan rerumputan
dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, memberantas atau
mencegah hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan Penggunaan pada tanaman, tanah dan air, dsb.
Pestisida digolongkan ke dalam senyawa racun yang mempunyai nilai
ekonomis dan didefinisikan sebagai segala jenis senyawa kimia yang dapat
digunakan untuk mengandalikan mencegah, membasmi, dan mengurangi jasad
pengganggu. Termasuk ke dalam golongan pestisida ini ialah senyawa kimia
yang secara harfiah tidak membunuh jasad pengganggu akan tetapi karena
fungsinya yang menyerupai pestisida maka digolongkan ke dalam pestisida.

10
Sebagai contohnya ialah senyawa perangsang atau penghambat pertumbuhan
tanaman atau serangga yang lebih dikenal sebagai zat pengatur tumbuh;
senyawa yang dapat menggugurkan daun, defolian; yang dapat mempercepat
proses pengeringan, desikan; yang dapat mempercepat pembungaan. Istilah
pestisida juga digunakan untuk menarik senyawa-senyawa yang dapat
mengenyahkan, menarik, dan memandulkan serangga (repellent, attractant,
sterilant) (Sastroutomo 1992).
Pestisida nabati tidak meninggalkan residu berbahaya pada tanaman
maupun lingkungan, serta dapat dibuat dengan mudah menggunakan bahan
yang murah dan peralatan yang sederhana (Soenandar 2010). Pestisida nabati
dapat dibuat dengan menggunakan teknologi tinggi dan dikerjakan dalam skala
industri. Namun, dapat pula dibuat dengan menggunakan teknologi sederhana
oleh kelompok tani atau perorangan. Pestisida nabati yang dibuat secara
sederhana dapat berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak, dan rebusan
bagian tanaman atau tumbuhan, yakni berupa akar, umbi, batang, daun, biji,
dan buah. Apabila dibandingkan dengan pestisida kimia, penggunaan pestisida
nabati relatif lebih murah dan aman, serta mudah dibuat sendiri (Sudarmo
2005)
B. Pengertian Biopestisida
Menurut Suwahyono (2013) istilah biopestisida terdiri atas tiga suku kata,
yaitu bio, pest dan sida. Bio artinya hidup. Pest berarti hama atau organisme
pengganggu yang dapat menyebabkan penyakit atau bahkan menyebabkan
kematian. Sida artinya pembunuh. Jadi biopestisida dapat diartikan sebagai
semua bahan hayati, baik berupa tanaman, hewan, mikroba, atau protozoa yang
dapat digunakan untuk memusnahkan hama dan penyebab penyakit pada
tanaman. Biopestisida juga diistilahkan sebagai pestisida biorasional. Artinya,
tidak mengakibatkan pemusnahan total dari populasi hama yang ada dan
organisme lain yang tidak menjadi target perlakuan. Cakupan biopestisida
sangat luas, yaitu mencakup semua organisme hidup yang dapat difungsikan
sebagai agen pengendali hayati hama dan penyakit. Sementara jenis atau
macamnya disesuaikan dengan sasaran target organisme pengganggu.
Misalnya, untuk hama serangga disebut bioinsektisida, untuk jamur atau fungi

11
yang berlaku sebagai hama atau penyebab penyakit pada tanaman disebut
biofungisida, untuk hama siput disebut biomuluskida, untuk hama cacing
disebut bionemasida, dan untuk gulma atau tanaman pengganggu disebut
bioherbisida. Beberapa jenis biopestisida yang sering kita temukan untuk
mengatasi sumber gangguan pada usaha budidaya pertanian antara lain:
Bioinsektisida, fungisida, herbisida dan bakterisida.
Salah satu kesulitan pengendalian serangga adalah sifat serangga yang
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Sebagai contoh,
walaupun tanaman kesukaannya tidak ada, serangga masih tetap bertahan
hidup dengan memakan jenis tanaman apa saja yang ada. Serangga juga tidak
hanya menyerang tanaman di lahan pertanian, tapi ada beberapa jenisnya yang
menjadi hama gudang (Wudianto 2001).
Menurut Djojosumarto (2008), pestisida dapat masuk ke dalam tubuh
serangga antara lain melalui: racun lambung atau racun perut (stomach poison),
racun kontak (contact poison), racun inhalasi atau racun pernapasan (fumigan).
Sedangkan berdasarkan lokasi bekerjanya insektisida dalam tubuh serangga
dalam mematikan atau melumpuhkan serangga dibedakan atas: racun saraf,
racun pencernaan, racun penghambat metamorfosa serangga, racun
metabolisme, dan racun fisik (racun non-spesifik).

C. Kelebihan dan Kekurangan Menggunakan Pestisida Nabati


a. Kelebihan Pestisida Nabati
Pestisida nabati semakin diminati karena memiliki beberapa kelebihan jika
dibandingkan dengan pestisida sintetis atau kimiawi. Menurut Departemen
Pertanian (2004) beberapa keunggulan pestisida nabati diantaranya yaitu:
Murah dan mudah dibuat, relatif aman terhadap lingkungan, kandungan bahan
kimianya tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, tidak mudah
menimbulkan kekebalan hama, menghasilkan produk pertanian yang sehat
bebas residu pestisida kimia.
b. Kelemahan Pestisida Nabati
Di samping itu, pestisida nabati juga memiliki beberapa kelemahan. Menurut
Departemen Pertanian (2004) beberapa kelemahan pestisida nabati antara lain:

12
Daya kerjanya relatif lambat, tidak membunuh langsung hama sasaran, tidak
tahan terhadap sinar matahari dan tidak tahan simpan, kurang praktis, dan perlu
penyemprotan yang berulang-ulang.

D. Prinsip Kerja Pestisida Nabati

Dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman, pestisida nabati


menjalankan prinsip kerja yang unik dan spesifik. Prinsip kerja pestisida nabati
ada tiga yaitu menghambat, merusak dan menolak. Hal ini akan tampak pada
cara kerja pestisida nabati dalam melindungi tanaman dari gangguan hama dan
penyakit. Menurut Sudarmo (2005) pestisida nabati dapat membunuh atau
mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu
dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida
nabati ini sangat spesifik, yaitu:
1. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
2. Menghambat pergantian kulit.
3. Mengganggu komunikasi serangga.
4. Menyebabkan serangga menolak makan.
5. Menghambat reproduksi serangga betina.
6. Mengurangi nafsu makan.
7. Memblokir kemampuan makan serangga.
8. Mengusir serangga
9. Menghambat perkembangan patogen penyakit.

E. Hama Plutella xylostella L. (Ulat Tritip)

1. Pengertian Hama Plutella xylostella L


Hama ulat daun jenis Plutella xylostella L. merupakan hama ulat daun sawi
atau yang sering disebut ulat tritip, atau ngengat punggung berlian ini berasal dari
ordo Lepidoptera; famili Plutellidae. Tersebar di seluruh dunia, di daerah tropis,
sub tropis, dan daerah sedang (temprate). Ulat Plutella xylostella menyerang daun
dengan membuat lubang pada daun (Harjono 2001).

13
Gambar 1. Ulat Plutella xylostella L.(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Daun berlubang kecil dan jika serangan berat tinggal tulang daunnya saja.
Bila ulat Plutella xylostella tersentuh akan menggeliat menjatuhkan diri dengan
alat bantu benang sutera yang dibentuknya. Serangan yang berat dan hebat
biasanya terjadi pada musim kemarau (Rukmana 1994).
2. Biologi Hama Plutella xylostella L.
Menurut Pracaya (2003), ulat tritip mengalami 4 kali perubahan dalam
hidupnya yaitu stadium telur, ulat, kepompong dan ngengat (kupu – kupu).
Ulat tritip di daerah dingin memiliki umur lebih panjang daripada ulat tritip di
daerah panas. Di daerah panas sampai di ketinggian 250 mdpl, stadium
telurnya 2 hari, ulat 9 hari, pupa 4 hari dan ngengat 7 hari. Sedang di dataran
tinggi sampai di ketinggian 1100 – 1200 mdpl, stadium telurnya 3 – 4 hari, ulat
12 hari, pupa 6 – 7 hari dan ngengat 20 hari.
a. Telur
Telur diletakkan terpisah dalam satu kelompok pada daun. Telurnya pipih,
oval, berwarna kuning cerah. Ukuran diameter telur 0,25 mm dengan panjang
1,2 mm. Masa penetasan telur 3-5 hari (Sudarmo 1994). Kupu – kupu
(Ngengat) Plutella xylostella akan menyimpan telurnya dibawah permukaan
daun. Ngengat betina meletakkan telur antara 250-300 butir dengan rata-rata
150 butir (Capinera 2000)
b. Larva
Larva Plutella xylostella memiliki empat instar. Bagian ujung tubuh larva
berbentuk lancip, larva memiliki lima pasang proleg, sepasang proleg
menjorok dari posterior berbentuk huruf V (Capinera 2000). Ukuran larva

14
relatif kecil, sifatnya lincah dan kalau tersentuh akan menjatuhkan diri. Larva
instar satu berukuran panjang 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning
yang berlangsung selama 4 hari. Instar II berupa larva berukuran 2 mm, lebar
0,5 mm, berwarna hijau kekuningan, dan berlangsung selama 2 hari. Instar III
larva berukuran 4-6 mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau, dan berlangsung
selama 3 hari. Instar IV larva berukuran 6-8 mm, lebar 1-1,5 mm, berwarna
hijau, dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana 1994).
Pada stadia larva hama Plutella xylostella memasuki masa yang paling
efektif dalam mencari makan dan berkembang biak karena pada stadia ini larva
Plutella xylostella yang sedang berkembang sangat menyukai tanaman sawi
yang berumur 3 hingga 4 minggu sebagai makanannya. Oleh karena itu
aplikasi pestisida nabati sangat baik dilakukan pada stadia ini karena larva
Plutella xylostella lebih banyak yang hidup untuk memudahkan peneliti dalam
melihat intensitas kerusakan pada daun sawi karena serangan dari larva
tersebut sehingga akan lebih gampang diamati karena banyak daun yang
bolong karena dimakan oleh larva Plutella xylostella tersebut.
c. Pupa
Sarang kepompong dibuat dari jenis benang sutera yang berwarna abu – abu
putih pada bagian bawah permukaan daun. Pembuatan sarang kepompong
diselesaikan dalam waktu 24 jam, setelah itu ulat berubah menjadi pupa
(Pracaya 2001). Pupa pada mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna
kuning pucat, dengan warna kecoklatan pada bagian punggungnya. Panjang
pupa 5-6 mm, dengan diameter 1,2-1,5 mm. Pupa tertututp oleh kokon, dengan
masa pupa 3-6 hari. Total perkembangannya 13-22 hari (Sudarmo 1994).
d. Ngengat/Imago
Ngengat berwarna coklat, dengan panjang tubuh 5-9 mm. Waktu ngengat
sedang istirahat, antena lurus ke depan. Ngengat jantan kelihatan lebih kecil
dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah (Sudarmo 1994).
Ngengat punggung berlian ini hidupnya dari menghisap madu dari bunga yang
termasuk keluarga Cruciferae. Ngengat jantan memiliki warna sayap abu
kecoklatan, sedangkan yang betina berwarna agak pucat. Dalam keadaan
istirahat, keempat sayapnya menutup tubuhnya, dan terlihat gambar seperti

15
jajaran genjang berwarna putih menyerupai berlian, sehingga disebut ngengat
punggung berlian. Oleh karena itu hama ini disebut ngengat punggung berlian
(Pracaya 2003). Ngengat (kupu – kupu) aktif pada malam hari mulai senja hari.
Mereka berterbangan mengelilingi tanaman untuk mencari jodoh atau mencari
tempat bertelur. Bila keadaan baik, setiap tahun dapat mencapai 18 generasi.
Ngengat bertelur antara 180 – 320 butir. Pada umumnya telur diletakkan di
balik daun atau di permukaan daun dalam satu kelompok, dua kelompok atau
tiga kelompok di dekat tulang daun, pada satu daun atau pada daun yang
berlainan dari satu pohon atau pohon lainnya, sehingga satu ngengat dapat
menyebarkan ulat lebih dari satu pohon (Pracaya 2003).
Serangga Plutella xylostella dewasa merupakan ngengat kecil berwarna
coklat kelabu dengan tiga buah titik seperti intan terdapat pada sayap depan
sehingga dikenal sebagai “diamond back moth”.

Gambar 2. Siklus hidup Plutella xylostella


Ulat tritip menyerang daun, tetapi tidak memakan urat daun. Biasanya,
mereka makan daging daun dan kulit arinya tidak dimakan sehingga daun
kelihatan ada bercak putih. Bila serangannya hebat, maka daun yang diserang
tersebut kelihatan putih, sehingga ada yang menyebut hama putih (hama
bodas). Bila kulit ari (epidermis) kering, maka terbentuk lubang. Bila
serangannya hebat, daun yang diserang hanya tinggal tulang daunnya saja
sehingga menyerupai wayang kulit. Oleh karena itu, hama ulat ini sering

16
disebut hama wayang. Ulat juga menyerang kubis yang menyebabkan
kerusakan berat dan menyebabkan busuk lunak (Rukmana 1994).
F. Botani Tanaman
1. Brotowali ( Tinospora crispa, L.)
Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan salah satu tanaman yang
mudah diperoleh juga diduga berpotensi sebagai insektisida nabati. Brotowali
yang dikenal sebagai tanaman obat ini berasal dari Asia Tenggara. Wilayah
penyebarannya di Asia Tenggara cukup luas, meliputi wilayah Indo Cina,
Semenanjung Melayu, Filiphina, dan Indonesia. Di Indonesia, brotowali
banyak ditemukan di Pulau Jawa, Bali dan Ambon. Di Indo Cina brotowali
digunakan sebagai obat demam pengganti kina. Di Indonesia seperti Bali,
batang brotowali banyak di pakai untuk mengobati sakit perut, demam, dan
sakit kuning. Selain itu, pipisan atau tumbukan daunnya banyak digunakan
sebagai obat gosok untuk mengobati sakit punggung dan pinggang (Kresnady
2003). Bagian batang tumbuhan brotowali rasanya pahit, sehingga tidak ada
binatang yang menyentuhnya. Informasi etnobotani ini memberikan dugaan
bahwa didalam batang tumbuhan brotowali mengandung senyawa pestisida
nabati.
a. Taksonomi dan Morfologi Brotowali
Brotowali merupakan tumbuhan yang masuk ke dalam ordo: ranunculales;
famili: menispermaceae. Tanaman ini merambat dengan panjang mencapai 2,5
m atau lebih, biasa tumbuh liar dihutan, ladang atau ditanam dihalaman dekat
pagar dan biasanya ditanam sebagai tumbuhan obat. Batang sebesar jari
kelingking, berbintil rapat, dan rasanya pahit. Daun tunggal, bertangkai dan
berbentuk seperti jantung atau agak membundar, berujung lancip dengan
panjang 7 – 12 cm dan lebar 5 – 10 cm (Kresnady 2003).

17
Gambar 3. Batang Brotowali (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Brotowali memiliki batang yang berbintil rapat dan tidak beraturan, lunak,
berair, serta berasa pahit. Jika disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama,
keadaan batang cenderung tidak berubah. Ukuran batang brotowali sebesar jari
kelingking. Panjangnya bisa mencapai 2,5 m atau lebih. Bentuk daun brotowali
seperti jantung atau bertangkai menjantung, agak membundar, dan berujung
lancip. Daunnya termasuk jenis daun tunggal. Bunga brotowali termasuk jenis
bunga tidak sempurna karena tidak memiliki bagian bunga yang lengkap dan
berukuran kecil. Warna bunga hijau muda atau putih kehijauan dengan 6
mahkota bunga. Tanaman brotowali memiliki buah yang berkumpul dalam
tandan. Warna buahnya merah muda (Kresnady 2003).
b. Manfaat dan Kandungan Kimia Brotowali
Brotowali (Tinospora crispa L.) merupakan tumbuhan obat dari famili
Menispermaceae yang serbaguna karena dapat digunakan untuk obat berbagai
macam penyakit. Banyaknya manfaat tumbuhan ini mungkin berkaitan dengan
banyaknya jenis senyawa kimia yang dikandungnya. Pada brotowali
mengandung senyawa metabolit sekunder, antara lain: alkaloida, damar lunak,
pati, glikosida, zat pahit, pikroretosid, pikroretin, harsa, barberin, palmatin,
kolumbin, dan jatrorhize. Zat pahit pikroretin merangsang kerja urat saraf
sehingga alat pernafasan dapat bekerja dengan baik. Kandungan alkaloid
berberin berguna untuk membunuh bakteri pada luka. Masyarakat sudah biasa
menggunakan tanaman ini untuk pengobatan berbagai macam penyakit.
Batangnya digunakan untuk pengobatan rematik, memar, demam, merangsang
nafsu makan, sakit kuning, cacingan, dan batuk. Air rebusan daun brotowali
dimanfaatkan untuk mencuci luka atau penyakit kulit seperti kudis dan gatal,

18
sedangkan air rebusan daun dan batang untuk penyakit kencing manis. Seluruh
bagian tanaman ini bisa digunakan untuk penyakit kolera. Banyaknya manfaat
tumbuhan ini mungkin berkaitan dengan banyaknya jenis senyawa kimia yang
dikandungnya. Selain itu brotowali juga bermanfaat untuk menambah nafsu
makan dan menurunkan kadar gula (Kresnady 2003).
Bagian batang tanaman brotowali ini rasanya pahit, sehingga tidak ada
binatang yang menyentuhnya. Tumbuhan ini diketahui mengandung senyawa
pikoretin, berberin dan palmatin, yang termasuk senyawa golongan alkaloid
pikroretosid dan tinokrisposid yang merupakan suatu senyawa glikosida serta
senyawa triterpenoid (Kurniawati et al.2013). Pada ekstrak batang brotowali
mengandung alkaloid yang bersifat racun aktif yang tersusun dari karbon,
hidrogen dan nitrogen yang dapat merusak sistem syaraf, mengganggu
pernapasan dan merusak kemampuan reproduksi (Nurrosjid 2003). Senyawa
yang diduga merupakan pestisida nabati dalam tanaman ini adalah senyawa
alkaloid yang merupakan senyawa pestisida nabati yang mengusir (repellent),
racun syaraf serta menekan populasi serangga dengan cara menghambat
perkembangan serangga (Eka et al. 2015). Senyawa alkaloid yang terdapat di
dalam batang brotowali diantaranya: pikoretin, berberin, dan palmatin,
sedangkan pikroretosid dan tinokrisposid yang merupakan suatu senyawa
glikosida serta senyawa triterpenoid (Sukadana et al. 2007)
Alkaloid merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder yang
mempunyai sifat alkali. Sifat alkali ini dimungkinkan karena secara kimia
alkaloid adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen baik satu atau
lebih dalam bentuk amina primer, sekunder maupun tersier. Alkaloid adalah
senyawa yang mengandung substansi dasar nitrogen basa, biasanya dalam
bentuk cincin heterosiklik. Biosintesis alkaloid tidak berasal dari satu jalur
tertentu seperti halnya kelompok metabolit sekunder lain. Biosintesis alkaloid
selalu melibatkan asam amino sebagai prekursor terutama asam amino yang
mempunyai struktur siklik seperti fenilalanin, tirosin, triptofan dan histidin.
Alkaloid tidak ditemukan di semua jenis tanaman. Kebanyakan alkaloid
ditemukan pada tanaman tingkat tinggi angiospermae terutama pada tanaman
dikotil. Bagian atau organ tanaman yang mempunyai kandungan alkaloid tinggi

19
tidak serta merta menunjukkan bahwa alkaloid di biosintesis pada bagian atau
organ tersebut. Transport aktif alkaloid antara organ tanaman seperti dari akar
ke daun sudah banyak dilaporkan terjadi pada berbagai tanaman. Fungsi
alkaloid di tanaman lebih kepada menjalankan fungsi menjaga kelangsungan
hidup tanaman. Kebanyakan alkaloid mempunyai rasa yang sangat pahit yang
membuat tanaman yang mengandung alkaloid aman dari konsumsi oleh
herbivora. Alkaloid juga bersifat melindungi tanaman dari serangan serangga,
mikroorganisme maupun virus. Kebanyakan alkaloid bersifat toksik sehingga
ada dugaan bahwa alkaloid adalah hasil proses detoksifikasi senyawa yang
beracun bagi tanaman. Proses detoksifikasi dilakukan dengan merubah
senyawa menjadi alkaloid yang tidak toksik terhadap tanaman penghasilnya.
Mengingat keberadaannya yang ada pada tanaman tingkat tinggi (umur
evolusinya masih muda) dimungkinkan juga bahwa alkaloid mempunyai
hubungan dengan proses evolusi tanaman itu sendiri (Raharjo 2013)

Gambar 4. Struktur kimia alkaloid


2. Tanaman Tuba (Derris elliptica Benth)
Tumbuhan tuba telah digunakan sebagai racun untuk berburu ikan oleh
masyarakat tradisional semenjak dahulu. Akar tuba diekstrak secara
konvensional yaitu ditumbuk dan dilarutkan dengan air. Pengetahuan
masyarakat tradisional terhadap tumbuhan tuba dikembangkan oleh para ahli
kimia, mereka melakukan rangkaian penelitian untuk melihat senyawa apa saja
yang terkandung di dalam ekstrak akar tuba yang mengandung racun sehingga
diketahui bahwa komposisi senyawa kimia yang terkandung pada ekstrak akar
tuba, yaitu: rotenone, dehydrorotenone, dequelin dan elliptone.

20
a. Taksonomi dan Morfologi Tuba
Tuba (Derris elliptica Benth) termasuk ke dalam ordo Fabales dan famili
Fabaceaae (Leguminosae). Di Kalimantan Barat tanaman ini dikenal dengan
nama yang berbeda di berbagai daerah seperti akar jenu, kayu tuba, tuba
kurung. Di daerah Jawa dikenal dengan nama besto, oyod ketungkul, tuba akar,
tuba jenu dan di daerah Sunda dikenal dengan nama tuwa, tuwa lalear, tuba
leteng.

Gambar 5. Tumbuhan Akar Tuba (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Menurut Adharini (2008), tanaman ini merupakan liana yang membelit
dengan panjang 5 – 10 m. Ranting tua berwarna coklat, dengan lentisel yang
berbentuk jerawat. Daunnya tersebar dengan panjang poros daun 13 – 23 cm,
anak daun berjumlah 7 – 15, bertangkai pendek, memanjang sampai bentuk
lanset atau bulat telur terbalik dengan ukuran panjang kali lebarnya 4 – 24 cm x
2 – 8 cm. Sisi bawah daun berwarna hijau keabuan atau hijau kebiruan, kerap
kali berambut rapat, anak daun yang masih muda berwarna ungu. Tandan
bunga dengan sumbu yang berambut rapat, panjang tangkai dan anak tangkai
bunga 12 – 6 cm, bunga tiga pada ujung samping yang panjangnya 0,5 – 2 cm,
anak tangkai bunga berwana ungu, panjangnya lebih kurang 1 cm. Kelopak
bunga berbentuk cawan, berambut coklat rapat. Buah polong berbentuk oval
sampai memanjang dengan ukuran panjang kali lebarnya 3,5 – 7 cm x ± 2 cm.
Sepanjang tepi bawah bersayap, tidak membuka. Jumlah biji 1 – 2, jarang 3.
Musim berbuah pada bulan April – Desember.
b. Manfaat dan Kandungan Kimia Tuba
Tuba termasuk tanaman langka pada zaman sekarang, tanaman ini memiliki
kandungan zat yang beracun yang terdapat di dalam akar tuba. Zat beracun

21
terpenting yang terkandung pada akar tuba adalah rotenon. Rotenon adalah
senyawa insektisida yang ditemukan ditemukan pada akar tuba (Derris
elliptica) yang tumbuh hampir diseluruh wilayah Nusantara. Rotenon juga
diketahui juga terdapat di dalam biji bengkuang dan tanaman tefrosia.Akar
tuba sebelumnya telah dikenal luas sebagai racun ikan. Rotenon dapat
diekstrak menggunakan eter, aseton atau alkohol. Hasil ekstraksi ini dibuat
menjadi konsentrasi cair atau diolah berbentuk tepung (Novizan 2002).
Rotenon merupakan penghambat respirasi sel, berdampak pada jaringan
saraf dan sel otot yang menyebabkan serangga berhenti makan. Kematian
serangga terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah terkena rotenon.
Rotenon sangat berguna bagi ikan dan sering dipakai sebagai racun ikan.
Rotenon adalah salah satu anggota dari senyawa isoflavon, sehingga rotenon
termasuk senyawa golongan flavonoida. Salah satu kandungan dari ekstrak
tanaman tuba adalah rotenon dengan nama lain tubotoxin (C 23H22O6).
Tubotoxin merupakan insektisida alami yang kuat, titik lelehnya 163°C, larut
dalam alkohol, karbon tetraklorida, kloroform, dan banyak larutan organik
lainnya. Jika terbuka terhadap cahaya dan udara mengalami perubahan warna
kuning terang menjadi kuning pekat, orange dan terakhir menjadi hijau tua dan
akan diperoleh kristal yang mengandung racun serangga. Rotenon merupakan
racun sel yang sangat kuat dan merupakan racun akut. Rotenon murni yang
belum diolah bahkan lebih beracun dari pada pestisida sintetis dari golongan
karbaril atau malathion. Keracunan berat rotenon bisa menyebabkan kerusakan
ginjal dan hati. Walaupun kadar racunnya sangat tinggi, rotenon bisa terurai
dengan cepat karena sinar matahari. Rotenon sangat beracun bagi serangga
namun relatif tidak beracun untuk tanaman dan mamalia. Rotenon dapat
dipakai sebagai racun kontak dan racun perut untuk mengendalikan serangga
(Hendriana 2011).
Rotenon merupakan racun sel yang sangat kuat. Seperti halnya piretrin, bagi
mamalia rotenon lebih beracun jika tercium daripada termakan. Rotenon
merupakan racun akut. Rotenon murni yang belum diolah bahkan lebih
beracun daripada insektisida sintesis dari golongan karbaril atau malathion.
Keracunan berat rotenon bisa menyebabkan kerusakan ginjal dan hati.

22
Walaupun kadar racunnya sangat tinggi, rotenon bisa terurai dengan cepat
karena sinar matahari dan terus melindungi tanaman hingga 1 minggu. Rotenon
merupakan racun berspektrum luas dan sangat beracun untuk binatang
berdarah dingin, seperti serangga, tetapi tidak beracun bagi mamalia dan
manusia. Rotenon dapat dipakai sebagai racun kontak dan racun prut untuk
mengendalikan serangga (Novizan 2002)
Rotenon diketahui aman untuk para petani, karena diketahui hanya beracun
untuk hewan berdarah dingin dan kurang beracun untuk hewan berdarah panas.
Rotenon tidak stabil di udara, cahaya dan kondisi alkali. Rotenon juga cepat
didegradasi oleh tanah dan air. Oleh karena itu, toksisitas rotenon akan hilang
setelah 2-3 hari setelah terkena cahaya matahari dan udara, sehingga baik untuk
lingkungan dan aman untuk pertanian dan penggunaan lainnya. Bahan aktif
rotenon mempunyai beberapa sifat yaitu: sangat beracun terhadap ikan dan
babi, bekerja sebagai racun perut dan kontak yang selektif, residu tidak
persisten. Rumus bangun rotenon diperlihatkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur kimia rotenon.

G. Sawi Hijau
1. Morfologi Sawi Hijau
Sawi hijau merupakan jenis sayuran yang sudah tidak asing lagi dan sering
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Tanaman yang memiliki nama latin
Brassica juncea L. Tanaman ini termasuk dalam ordo Capparales family
Brassicaceae.

23
Gambar 7. Sawi Hijau (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Tanaman sawi memiliki akar serabut yang tumbuh dan berkembang secara
menyebar ke semua arah disekitar permukaan tanah, perakarannya sangat
dangkal pada kedalaman sekitar 5 cm. Perakaran sawi dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik pada tanah yang gembur, subur, tanah mudah
menyerap air, dan kedalaman tanah cukup dalam. Batang tanaman sawi berupa
batang yang pendek dan beruas, sehingga hampir tidak kelihatan. Batang ini
berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun. Sawi berdaun lonjong,
halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Pada umumnya pola pertumbuhan
daunnya berserak (roset) hingga sukar membentuk krop. Sawi umumnya
mudah berbunga secara alami, baik didataran tinggi maupun dataran rendah.
Struktur bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang
tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Bunga sawi berwarna
kuning cerah, tiap kuntumnya terdiri atas empat helai kelopak, empat helai
mahkota bunga yang berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu
buah putik yang berongga dua. Buah tanaman sawi berupa buah dengan tipe
buah polong yang bentuknya memanjang dan berongga. Tiap buah (polong)
berisi 2 – 8 butir biji sawi. Biji tanaman sawi bentuknya bulat kecil berwarna
coklat atau coklat kehitaman (Rukmana 1994).

24
A. Kerangka Teori
Sayur kebutuhan utama Peningkatan Hasil Produksi Panen (+)
masyarakat Kebutuhan sayur di Masyarakat terpenuhi
Dampak

Lingkungan dan Kesehatan (+) Dampak Lingkungan dan Kesehatan (-)


Serangan hama Plutella
xylostella L. pada sawi

Penggunaan Peningkatan Hasil Produksi


pestisida Panen (+)

Toksisitas tinggi
Pestisida nabati Pestisida
kimia
Berasal dari bahan – bahan
kimia.
Akar tuba Brotowali

Pemanfaatan tanaman langka

Memanfaatkan senyawa kimia yang


terkandung di dalam keduanya yang
Mengurangi serangan hama
kemudian dikombinasi sehingga
Plutella xylostella L.
dapat digunakan sebagai
biopestisida.

B. Hipotesis
Campuran ekstrak biopestisida batang brotowali dan akar tuba dapat
digunakan untuk membunuh hama ulat Plutella xylostella pada tanaman sawi
hijau.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas


MIPA, Universitas Negeri Semarang. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Desember 2016 – Januari 2017.
B. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva Plutella xylostella
yang didapatkan dari lapangan yaitu dari perkebunan tanaman sawi hijau.
Sampel pada penelitian ini adalah 150 polybag tanaman sawi hijau, dimana tiap
1 polybag tanaman sawi akan diinfeksi dengan menggunakan 10 ekor larva
Plutella xylostella.
C. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini variabel yang diambil datanya, meliputi:
a. Variabel Bebas : Variasi dosis biopestisida brotowali dan akar tuba yang
akan disemprotkan pada hama Plutella xylostella L.
b. Variabel Terikat : Mortalitas ulat Plutella xylostella L. yang telah disemprot
dengan menggunakan biopestisida
c. Variabel Pendukung : Kerusakan daun sawi yang diakibatkan karena ulat
Plutella xylostella L.
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Pembiakan Hewan Uji
a. Alat dan Bahan
Larva ulat Plutella xylostella L., toples pemeliharaan, kasa, kapas, madu,
akuades, daun sawi.
b. Prosedur Pembiakan:
Larva Plutella xylostella dikumpulkan dari lapangan dan dipelihara di
laboratorium. Makanan yang diberikan untuk pemeliharaan larva ini adalah
daun sawi. Bila larva akan menjadi pupa, larva tersebut dipindahkan ke stoples

26
yang lain yang berisi daun sawi muda dan ditutup dengan kain kasa. Serangga
dewasa (ngengat) yang muncul dipindahkan ke toples lain. Di dalam toples
tersebut dimasukkan daun sawi muda segar. Serangga dewasa ini diberikan
larutan madu 10% dengan cara mencelupkan kapas ke dalam larutan madu dan
menggantungkannya pada seutas benang. Ngengat tersebut dibiarkan
berkopulasi. Telur yang dihasilkan dipindahkan ke dalam stoples yang berisi
daun sawi muda segar dan ditutupi dengan kain kasa. Telur – telur ini dibiarkan
menetas menjadi larva (Bukhari 2010).
Tabel 1 Pembiakan ulat Plutella xylostella L.
Jumlah larva Jumlah larva
No. Tgl. Pengamatan Keterangan
hidup mati

2. Pembuatan Ekstrak Biopestisida


A. Pembuatan Ekstrak Batang Brotowali
a. Alat dan Bahan
4 kg batang brotowali, etanol 70% sebanyak 6 L, toples ukuran 10 L,
timbangan, pisau, alat penggiling, labu erlenmeyer, beker glass, corong, kertas
saring, rotary evaporator.
b. Prosedur pembuatan ekstrak batang brotowali:
Menurut Eka et al (2015), langkah pembuatan ekstrak batang brotowali
dapat dilihat pada diagram alir 1.
B. Pembuatan Ekstrak Akar Tuba
a. Alat dan Bahan
8 kg batang akar tuba, etanol 95% sebanyak 6 L, toples ukuran 10 L,
timbangan, pisau, alat penggiling, labu erlenmeyer, beker glass, corong, kertas
saring, rotary evaporator.
b. Prosedur pembuatan ekstrak akar tuba:
Menurut Eka et al (2015), langkah pembuatan ekstrak akar tuba dapat
dilihat pada diagram alir 2.

27
Diagram 1 Langkah pembuatan ekstrak brotowali

Ekstrak kental batang brotowali

Diagram 2 Langkah pembuatan ekstrak akar tuba

Ekstrak kental akar tuba

3. Rancangan Penelitian
A. Pra Penelitian
Pra penelitian ini dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk menentukan variasi
dosis yang efektif digunakan pada saat penelitian.

28
Tabel 2 Penentuan dosis optimum larutan brotowali

No. Variasi dosis Mortalitas Keterangan

1. 10% 11
2. 20% 16
3. 30% 22
4. 40% 29
5. 50% 35
6. 60% 43
7. 70% 50
8. 80% 50
9. 90% 50
10. 100% 50

Grafik 1 Hasil Perlakuan Ekstrak Brotowali


60
50
40
Mortalitas
30 Variasi dosis

20
10
0
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Tabel 3 Penentuan dosis optimum larutan akar tuba

No. Variasi dosis Mortalitas Keterangan

1. 1% 8
2. 2% 17
3. 3% 23
4. 4% 38
5. 5% 50
6. 6% 50
7. 7% 50
8. 8% 50
9. 9% 50
10. 10% 50

29
Grafik 2 Hasil Perlakuan Ekstrak Akar tuba
60
50
40 Mortalitas
30 Variasi dosis
20
10
0
1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9% 10%

Hasil Pra Penelitian:


I : Ekstrak batang brotowali optimal membunuh pada konsentrasi 70%
II : Ekstrak akar tuba optimal membunuh pada konsentrasi 5%

Larutan I. Ekstrak batang brotowali 70%  100 ml larutan standart

(70 ml ekstrak kental + 30 ml akuades)

Larutan II. Ekstrak akar tuba 5%  100 ml larutan standart

(5 ml ekstrak kental + 95 ml akuades)

Penentuan Konsentrasi  Batang brotowali (100 ml) : Akar tuba (100 ml)

(Larutan I) (Larutan II)

Larutan A : 90 ml : 10 ml

Larutan B : 80 ml : 20 ml

Larutan C : 70 ml : 30 ml

Larutan D : 60 ml : 40 ml

Larutan E : 50 ml : 50 ml

Akar tuba (100 ml) : Batang brotowali (100 ml)

(Larutan II) (Larutan I)

Larutan F : 60 ml : 40 ml

Larutan G : 70 ml : 30 ml

Larutan H : 80 ml : 20 ml

30
Larutan I : 90 ml : 10 ml

Tabel 4 Penentuan konsentrasi optimum kombinasi antara larutan


brotowali dan larutan akar tuba
No. Jenis Larutan Mortalitas Keterangan
1. Larutan A 22
2. Larutan B 29
3. Larutan C 33
4. Larutan D 38
5. Larutan E 42
6. Larutan F 47
7. Larutan G 50
8. Larutan H 50
9. Larutan I 50

Grafik 3. Mortalitas Plutella xylostella


60
50
40
Mortalitas
30
20
10
0 Jenis Larutan
Lar. A Lar. B Lar. C Lar. D Lar. E Lar. F Lar. G Lar. H Lar. I

Berdasarkan hasil pra penelitian yang telah dilakukan kombinasi antara ekstrak
brotowali dan akar tuba keduanya optimal membunuh pada mulai dari kombinasi
larutan E, F, G, H, dan I. Dari kelima konsentrasi larutan tersebut akan diperkecil
lagi dosisnya hingga menjadi 10 konsentrasi larutan sebagai berikut:

Dosis 1 terdiri dari 50 ml brotowali + 50 ml akar tuba


Dosis 2 terdiri dari 55 ml brotowali + 45 ml akar tuba
Dosis 3 terdiri dari 60 ml akar tuba + 40 ml brotowali
Dosis 4 terdiri dari 65 ml akar tuba + 35 ml brotowali
Dosis 5 terdiri dari 70 ml akar tuba + 30 ml brotowali
Dosis 6 terdiri dari 75 ml akar tuba + 25 ml brotowali

31
Dosis 7 terdiri dari 80 ml akar tuba + 20 ml brotowali
Dosis 8 terdiri dari 85 ml akar tuba + 15 ml brotowali
Dosis 9 terdiri dari 90 ml akar tuba + 10 ml brotowali
Dosis 10 terdiri dari 95 ml akar tuba + 5 ml brotowali
Tabel 5 Dosis biopestisida dalam penelitian
No. Dosis Larutan Mortalitas Keterangan
1. Dosis 1 28
2. Dosis 2 31
3. Dosis 3 33
4. Dosis 4 38
5. Dosis 5 42
6. Dosis 6 45
7. Dosis 7 48
8. Dosis 8 50
9. Dosis 9 50
10. Dosis 10 50

Grafik 3. Mortalitas Plutella xylostella


60
50
40
30 Mortalitas
20
10
0
Dosis Dosis Dosis Dosis Dosis Dosis Dosis Dosis Dosis Dosis Jenis Dosis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

B. Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan kombinasi 10 perlakuan dengan 3 kali pengulangan. Setiap
kelompok perlakuan dosis terdiri dari 5 polybag tanaman sawi, setiap
perlakuannya diinjeksi dengan menggunakan 10 larva/polybag tanaman.
Kelompok perlakuan yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 10 dosis,
antara lain:

32
Dosis 1 terdiri dari 50 ml brotowali + 50 ml akar tuba

Dosis 2 terdiri dari 55 ml brotowali + 45 ml akar tuba

Dosis 3 terdiri dari 60 ml akar tuba + 40 ml brotowali

Dosis 4 terdiri dari 65 ml akar tuba + 35 ml brotowali

Dosis 5 terdiri dari 70 ml akar tuba + 30 ml brotowali

Dosis 6 terdiri dari 75 ml akar tuba + 25 ml brotowali

Dosis 7 terdiri dari 80 ml akar tuba + 20 ml brotowali

Dosis 8 terdiri dari 85 ml akar tuba + 15 ml brotowali

Dosis 9 terdiri dari 90 ml akar tuba + 10 ml brotowali

Dosis 10 terdiri dari 95 ml akar tuba + 5 ml brotowali

Tabel 6 Mortalitas ulat Plutella xylostella


Dosis Mortalitas Plutella xylostella
No. Keterangan
Biopestisida Kel. 1 Kel. 2 Kel. 3
1. Dosis 1
2. Dosis 2
... ....
10. Dosis 10

Tabel 7 Kerusakan daun sawi hijau yang terserang hama Plutella xylostella

Dosis Tanaman Sawi Ke


No. Keterangan
Biopestisida 1 2 3 4 5
1. Dosis 1
2. Dosis 2
... ....
10. Dosis 10

4. Persemaian dan Penanaman Media Tanam


a. Alat dan Bahan:
Plastik polybag ukuran 15 x 15 cm, polybag ukuran 40 x 40 cm, bibit sawi
hijau, sekop, tanah, pupuk daun, pasir.
b. Prosedur Kerja:
Persiapan Media Semai

33
Media semai yang digunakan adalah campuran tanah, sekam dan pupuk daun
dengan perbandingan 2:1:1. Campuran ketiganya dimasukkan ke dalam plastik
polybag berukuran 40 x 40 cm diisi penuh, setiap polybag ditabur ±35 biji sawi
secara merata.
Penyemaian Biji Sawi
Biji disemai di atas media yang sudah dipersiapkan sebelumnya, kemudian
disiram dengan air. Selanjutnya persemaian disiram teratur sebanyak 2 kali
setiap hari yaitu pagi pukul 09.00 dan sore pukul 16.00 (Julaily et al. 2013).
Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan berupa tanah, pupuk daun, dan sekam dengan
campuran perbandingan 2:1:1. Campuran media tanam tersebut dimasukkan ke
dalam polybag yang berukuran 15 x 15 cm (Julaily et al. 2013).
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Sawi
Bibit yang telah mempunyai 3 – 4 helai daun dan dipindahkan dalam polybag.
Pemeliharaan meliputi penyiraman yang dilakukan 2 kali sehari pagi pukul
09.00 dan sore pukul 16.00, serta pengendalian gulma dilakukan secara manual
(Julaily et al. 2013). Pada penelitian ini menggunakan tanaman sawi umur 5
minggu atau ±35 HST.
5. Aplikasi Ekstrak dan Pengamatan
A. Aplikasi Ekstrak Biopestisida
a. Alat dan Bahan:
Ekstrak kental brotowali, ekstrak kental akar tuba, akuades, gelas ukur, beker
glass, hand sprayer, tanaman sawi yang digunakan untuk perlakuan, alat tulis,
kamera digital.
b. Prosedur Kerja:
Aplikasi ekstrak dilakukan dengan cara menyemprot cairan ekstrak pada
masing-masing tanaman sesuai dengan konsentrasi yang diuji. Cairan ekstrak
disemprot secara merata dengan menggunakan hand sprayer. Penyemprotan
suspensi ekstrak dilakukan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan agar pestisida
yang disemprotkan tidak menguap dan tidak terjadi penguraian dan juga tidak
akan rusak karena terkena panas sinar matahari. Karena pada saat sore hari

34
tanaman punya kesempatan yang lebih lama untuk menyerap larutan tersebut
(Hasnah dan Nasril 2009).
Tabel 8 Kegiatan selama pelaksanaan penelitian
Waktu Faktor
Kegiatan Keterangan
Pengamatan Lingkungan

Menggunakan polybag ukuran


40x40 cm, dimana 1 polybag diisi
Penyemaian Suhu dan
Minggu ke 1 ±35 benih sawi, dengan media
sawi Kelembaban
semai campuran tanah, sekam dan
pupuk daun.

Pemeliharaan Menyiram bibit sawi hijau setiap


Suhu dan
Minggu ke 2 bibit sawi pagi pukul 06.00 dan sore pukul
Kelembaban
hijau 16.00.

Menggunakan polybag ukuran


15x15 cm, dimana 1 polybag diisi
Penanaman Suhu dan
Minggu ke 3 1 bibit sawi hijau, dengan media
sawi Kelembaban
campuran tanah, sekam dan pupuk
daun dengan perbandingan 2:1:1.

Pemeliharaan Menyiram tanaman sawi hijau


Suhu dan
Minggu ke 4 tanaman sawi setiap pagi pukul 06.00 dan sore
Kelembaban
hijau pukul 16.00.

Penginjeksian Suhu dan Setiap 1 polybag tanaman sawi


Minggu ke 5
hama Kelembaban diinjeksi 10 ekor larva.

Menggunakan 10 macam dosis,


dimana setiap 1 dosisnya
Aplikasi Suhu dan
Minggu ke 5 disemprotkan pada 5 polybag
ekstrak Kelembaban
tanaman sawi hijau yang telah
diinjeksi larva Plutella xylostella.

Mengamati jumlah mortalitas


Waktu Suhu dan
Minggu ke 5 larva Plutella xylostella dan
pengamatan Kelembaban
kerusakan daun sawi hijau.

35
Grafik 5 Perlakuan Penelitian
6
5
4
3
2
Minggu ke-

1
0
wi bi
t wi wi m
a
tra
k an
sa bi sa sa ha s at
n an an an ek ga
m
aia ra m ra ian si n
em ha na
ih a eks ika Pe
ny eli na el in
j
Ap
l
Pe m Pe m ng
Pe Pe Pe

Perlakuan Penelitian

Keterangan:
Minggu 1: Penyemaian biji tanaman sawi pada polybag ukuran 40 x 40 cm.
Dimana media yang digunakan untuk menyemai adalah campuran tanah, pupuk
daun dan sekam dengan perbandingan 2:1:1.
Minggu 2: Perawatan dan pemeliharaan bibit tanaman sawi hijau.
Minggu 3: Penanaman bibit tanaman sawi dari semaian. Penanaman dilakukan
pada polybag ukuran 15 x 15 cm. Media yang digunakan untuk menanam
adalah campuran tanah, pupuk daun dan sekam dengan perbandingan 2:1:1.
Bibit tanaman sawi yang siap ditanaman adalah bibit yang sudah berumur ±3
minggudari awal masa semai.
Minggu 4: Perawatan dan pemeliharaan tanaman sawi hijau.
Minggu 5: Melakukan penginjeksian hama Plutella xylostella pada tanaman
sawi yang sudah berusia ±5 minggu. Hama Plutella xylostella yang diletakkan
yaitu pada stadia larva, hal ini disebabkan karena pada masa ini merupakan
masa yang tepat karena pada stadia larva Plutella xylostella sedang
berkembang dan sangat menyukai tanaman sawi yang berumur 4 hingga 6
minggu sebagai makanannya. Setiap 1 tanaman sawi diinjeksi menggunakan 10
ekor larva Plutella xylostella. Larva dibiarkan selama 1 x 24 jam pada tanaman
sawi, hal ini dilakukan agar larva tersebut hidup pada daun sawi dan memakan
daunnya untuk memudahkan peneliti melihat kerusakan pada daun sawi karena
serangan dari larva tersebut sehingga akan lebih gampang diamati karena
banyak daun yang bolong karena dimakan oleh larva Plutella xylostella
tersebut. Aplikasi ekstrak akar tuba dan batang brotowali akan dilakukan
setelah 1 x 24 jam dari waktu penginjeksian larva. Seluruh tanaman sawi yang
sudah diinjeksi larva disemprot dengan masing-masing kelompok dosis yang
telah ditentukan. Sedangkan untuk waktu pengamatan dilakukan setelah 1 x 24
jam dari waktu aplikasi ekstrak biopestisida tersebut. Hal ini bertujuan untuk
melihat banyaknya larva yang mati karena pengaruh dari ekstrak yang
disemprotkan.

36
B. Parameter Pengamatan
a. Kerusakan Daun/ Intensitas Serangan
Tingkat kerusakan daun akibat serangan hama Plutella xylostella ditentukan
dengan rumus:
Σ(n x v)
P= x 100 %
ZN
(Natawigena, 1993)
Keterangan :
P : Intensitas serangan (%)
n : banyaknya tanaman atau bagian tanaman (seperti bagian daun, bagian
buah, bagian bunga) yang diamati dari setiap kategori serangan
v : nilai skala dari setiap kategori serangan
Z : nilai skala dari setiap kategori serangan yang tertinggi
N : banyaknya tanaman atau bagian tanaman (bagian daun, bagian buah,
bagian bunga) yang diamati
Salah satu contoh mengenai nilai skala dari setiap kategori serangan:
0 = tidak ada serangan terhadap tanaman atau bagian tanaman yang diamati
1 = terdapat serangan dengan luas ≤ 25% terhadap tanaman yang diamati
2 = terdapat serangan dengan luas > 25% - 50% terhadap tanaman atau bagian
tanaman yang diamati
3 = terdapat serangan dengan luas > 50% - 75% terhadap tanaman atau bagian
tanaman yang diamati
4 = terdapat serangan dengan luas > 75% terhadap tanaman atau bagian tanaman
yang diamati
Penentuan tingkat kerusakan tanaman famili brassicaceae menurut Departemen
Pertanian (2000) adalah mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Sangat berat, kerusakan >50%
2. Berat, kerusakan 30 – 50 %
3. Cukup berat, kerusakan 15 – 29 %
4. Ringan, kerusakan 1 – 14 %
5. Tidak ada serangan, kerusakan 0%
b. Persentase Mortalitas Plutella xylostella
Mortalitas larva Plutella xylostella diamati sejak satu hari setelah aplikasi
sampai semua larva uji membentuk pupa atau salah satu perlakuan telah
menunjukkan kematian 100%. Mortalitas larva uji dihitung dengan
menggunakan rumus:

37
a
Po= x 100 %
b
Keterangan :
Po = Mortalitas larva
a = Jumlah larva yang mati
b = Jumlah larva awal

E. Analisis Data
Data yang diperoleh adalah persentase mortalitas hasil pengamatan pada setiap
pengambilan data untuk setiap perlakuan. Data yang diperoleh akan dilakukan
perhitungan untuk mendapatkan persentase mortalitas total pada akhir
pengamatan. Kemudian data diuji menggunakan uji normalitas dan uji
homogenitas. Setelah itu data dianalisis menggunakan uji Anova one factors dan
dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan program SPSS 17.0 for windows
untuk mengetahui kombinasi konsentrasi biopestisida akar tuba dan brotowali
yang efektif dalam menghasilkan mortalitas ulat kubis (Prima 2016).
Tabel 9 Total dan rata-rata mortalitas Plutella xylostella
Ulangan (Y)
No. Dosis (X) Total Rataan
1 2 3

1. X1

2. X2

.... ....

10. X10

Tahapan Uji Statistik


1. Uji Normalitas dengan menggunakan Chi Kuadrat (X2)
Pengujian normalitas data, langkah-langkah yang diperlukan adalah:
a. Menentukan jumlah kelas interval, untuk pengujian data menggunakan Chi
Kuadrat ini, jumlah kelas interval yang ditetapkan adalah 6. Hal tersebut
sesuai dengan bidang yang ada pada kurva normal baku.

38
b. Menentukan panjang kelas interval.
Data terbesar−Data terkecil
Panjang kelas=
6( jumlah kelas interval)

c. Menyusun dalam tabel distribusi frekuensi, sekaligus tabel penolong untuk


menghitung harga Chi Kuadrat hitung

Tabel 10 Distribusi Frekuensi


Variasi f0 fh f0 - f h (f0 - fh)2 ¿¿¿
dosis

X1
X2
....
X10

Jumlah

Keterangan

Keterangan:
f0 = Frekuensi atau jumlah data mortalitas Plutella xylostella yang teramati
pada setiap dosis perlakuan
fh = Jumlah atau frekuensi yang diharapkan (presentase kematian semua larva
Plutella xylostella pada setiap dosis = 50 larva, setiap dosis terdiri dari 2
tanaman yang masing-masing diinjeksi 10 larva Plutella xylostella)
f0 - fh = Selisih data mortalitas larva yang teramati dengan mortalitas larva
yang diharapkan
d. Menghitung fh (mortalitas larva yang diharapkan), cara menghitung fh
didasarkan pada persentase kematian semua larva Plutella xylostella tiap
dosis dikalikan jumlah data observasi (jumlah seluruhnya sampel tanaman
sawi sebanyak 150 tanaman)
e. Memasukkan harga fh ke dalam tabel kolom. Harga ¿ ¿ ¿ merupakan harga
Chi Kuadrat (X2)
f. Membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel. Bila
harga Chi Kuadrat hitung lebih kecil dari Chi Kuadrat tabel, maka distribusi
data dinyatakan normal, dan bila lebih besar maka dinyatakan tidak normal.
2. Uji Homogenitas

39
Pengujian homogenitas data, langkah-langkah yang diperlukan adalah:
a. Mencari varians atau standar deviasi variabel X dan Y dengan rumus:

n Σ x 2−(Σ x)2 n Σ y 2−( Σ y )2


Sx =2
√ n (n−1)
Sy = 2
√ n(n−1)
Keterangan:
X = Perlakuan dalam 10 variasi dosis
y = Mortalitas Plutella xylostella pada setiap variasi dosis
n = jumlah tanaman sawi pada tiap dosis

b. Mencari F hitung dari varians X dan Y, dengan rumus:


SX 2
F=
Sy 2
c. Hipotesis pengujian
Ho:σ 12 = σ 22 (data homogen)
Ha:σ 12 ≠ σ 22 (data tidak homogen)
d. Membandingkan F hitung dengan F tabel pada tabel distribusi F.
Data yang homogen dan terdistribusi normal dapat dianalisis dengan
menggunakan analisis varians (ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95%.
3. Uji Anova Satu Arah
Pengujian ONE WAY ANOVA, langkah-langkahnya adalah:
a. Mengelompokkan data sesuai perlakuan dan ulangan, 10 perlakuan pada 50
sampel dengan 3 kali pengulangan.
Ulangan Jumlah (Σ)
Yang dicari
1 2 3

nk .... .... .... N

ΣXk .... .... .... ΣXT

ΣX2k .... .... .... ΣX2T


ΣX k ΣX k ΣX k
Mean ....
N N N

Keterangan:
K = Banyaknya pengulangan
N = Jumlah mortalitas seluruhnya
nk = Jumlah variasi dosis

40
ΣXk = Jumlah semua mortalitas seluruh variasi dosis pada tiap
pengulangan
ΣX2k = Jumlah kuadrat semua mortalitas seluruh variasi dosis pada tiap
pengulangan
ΣXtot = Jumlah semua mortalitas seluruh variasi dosis pada semua
pengulangan
ΣX2tot = Jumlah kuadrat semua mortalitas seluruh variasi dosis pada
semua pengulangan
Dengan menggunakan rumus yang ada dapat dicari:
b. Jumlah Kuadrat Total (JKtot) dengan rumus:

2 ( Σ xT ) ²
JK t ot =ΣX tot−
N
c. Menghitung Jumlah Kuadrat antar kelompok variasi dosis (JK ant) dengan
rumus:

J K ant =Σ ¿ ¿

d. Menghitung Jumlah Kuadrat dalam kelompok variasi dosis (JKdal) dengan


rumus:

JKdal = JKtot - JKant


e. Menghitung Jumlah Derajat bebas total (dbT) dengan rumus:
dbT = N - 1
f. Menghitung Jumlah Derajat bebas antar kelompok variasi dosis (db ant)
dengan rumus:
dbant = K – 1
g. Menghitung Derajat bebas dalam kelompok variasi dosis (dbdal) dengan
rumus:
dbdal = N – K
h. Menghitung Mean Kuadrat antar kelompok variasi dosis (MKant) dengan

JK ant
rumus: M K ant =
dbant
i. Menghitung Mean Kuadrat dalam kelompok (MKdal) dengan rumus:
JK dal
MK dal=
dbdal

41
j. Menghitung F hitung (Fhit) dengan rumus:
MK ant
F hit =
MK dal
k. Membandingkan harga Fhitung dengan Ftabel dengan dk pembilang (m – 1)
dan dk penyebut (N – 1). Harga F hasil perhitungan tersebut selanjutnya
disebut F hitung (Fh), yang berdistribusi dengan dk pembilang (m – 1)
dengan dk penyebut (N – 1) tertentu. Ketentuan pengujian hipotesis: Bila
harga Fh ≤ Ft maka Ho diterima dan Ha ditolak, sebaliknya jika Fh > Ft
maka Ha diterima dan Ho ditolak. Membuat kesimpulan pengujian
hipotesis: Ho diterima atau Ho ditolak.
Proses memasukkan data dalam rangka pengujian hipotesis dengan Analisis
Varians, maka harga-harga yang telah diperoleh dari perhitungan di atas perlu
disusun ke dalam ringkasan tabel ANOVA, seperti berikut:
ANOVA

dk JK MK Fh Ft Kep

Total 2 ( Σ xT ) ²
N–1 ΣX tot−
N

Antar
¿ Σ ¿¿ JK ant MK ant
Kelompok K–1 Tab F Fh > Ft
db ant MK dal

Dalam Ha
JK dal
Kelompok N–K JKtot - JKant Diterima
dbdal

Keterangan:
Tab F = Tabel F untuk 5% atau 1%
dk = Derajat kebebasan
JK = Jumlah Kuadrat semua mortalitas seluruh variasi dosis pada tiap
pengulangan

42
MK = Mean Kuadrat (Rataan kuadrat)
Ant = Antar kelompok perlakuan (jumlah semua ulangan variasi dosis dalam satu
blok)
Dal = Dalam kelompok perlakuan (jumlah ulangan per variasi dosis, 5 sampel
dikalikan 3 kali pengulangan)
N = Jumlah mortalitas total seluruh variasi dosis pada semua pengulangan
K = Banyaknya pengulangan pada penelitian
Setelah uji ANAVA pada taraf kepercayaan 95%, jika hasilnya berpengaruh
signifikan maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan.

4. Uji Duncan
Uji Duncan atau juga dikenal dengan istilah Duncan Multile Range Test
(DMRT) memiliki nilai kritis yang tidak tunggal tetapi mengikuti urutan rata-
rata yang dibandingkan. Nilai kritis uji Duncan dinyatakan dalam nilai least
significant range (wilayah nyata terkecil).
Langkah perhitungan metode Duncan:
1. Urutkan nilai tengah perlakuan (biasanya urutan menaik)
2. Hitung wilayah nyata terpendek untuk wilayah dari berbagai nilai tengah
dengan menggunakan rumus berikut:

Rp = rα,p,v SY
KTG
Rp = rα,p,v √ r

Keterangan:
KTG = Kuadrat Tengah Galat
R = ulangan
rα,p,v= Nilai wilayah nyata Duncan
α = taraf nyata
p = jarak relatif antara perlakuan tertentu dengan peringkat berikutnya
v = derajat bebas galat

3. Kriteria pengujian:
Membandingkan nilai mutlak selisih kedua rata-rata yang akan kita lihat
perbedaannya dengan nilai wilayah nyata terpendek (Rp) dengan kriteria
pengujian sebagai berikut:
Jika μ1 -μ1  > Rp Tolak Ho (Berbeda nyata)

43
≤ Rp Terima Ho (tidak berbeda nyata)

DAFTAR PUSTAKA

Adharini, G. 2008. Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth)
Untuk pengendalian Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren).
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor
Asrini, F.D. 2013. Pemanfaatan Kulit Batang Tuba (Derris elliptica) Dan Daun
Mimba (Azadirachta indica) Sebagai Pestisida Organik Pembasmi Molusca
Sawah (Pila ampullacea). [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Keguruan Ilmu
Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Bukhari, M.P. 2010. Efektifitas Ekstra Daun Mimba Terhadap Pengendalian
Hama Plutella Xylostella L. Pada Tanaman Kedele. Jurnal Sains Riset 1 (1).
Capinera J.L. 2000. Diamondback Moth, Plutella xylostella (Linnaeus)(Insecta:
Lepidoptera: Plutellidae). US: Department of Agriculture, UF/IFAS
Extension Service, University of Florida.
Departemen Pertanian. 2000. Teknologi Produksi Kubis Bebas Residu (Bahan
Kimia). Diaksesdari http://www.deptan.go.id/kubis-3.htm
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Eka P. Y. G. H., Hamsidar H., Mohammad A.M. 2015. Uji Efektifiitas Ekstrak
Batang Brotowali (Tinospora Crispa L.) Sebagai Insektisida Nabati
Terhadap Serangga Kepinding Tanah (Scotinophara Coartata). Jurnal
Farmasi Universitas Negeri Gorontalo
Hanafiah K.A. 2010. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali
Press. 190-222.
Haryanto, E. 2003. Sawi dan Selada. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hasnah dan Nasril. 2009. Efektivitas Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia
L.) Terhadap Mortalitas Plutella Xylostella L. Pada Tanaman Sawi. Jurnal
Floratek 4(4):29-40.

44
Hendriana, B. 2011.Isolasi Dan Identifikasi Rotenon DariAkar Tuba (Derris
Elliptica). [Skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Negeri Semarang.
Hutasoitet I.H., Siswanto., I Made Merdana. 2015. Uji Efektivitas Ekstrak Akar
Tuba (Derris Elliptica) Terhadap Caplak Anjing Secara In Vitro. Jurnal
Indonesia Medicus Veterinus 4(2): 122-128.
Julaily, N., Mukarlina., Setyawati T.R. 2013. Pengendalian Hama pada Tanaman
Sawi (Brassica juncea L.) menggunakan Ekstrak Daun Pepaya (Carica
papaya L). Jurnal Protobiont 2(3):171-175.
Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Kresnady, B. 2003. Khasiat dan Manfaat Brotowali Si Pahit Yang
Menyembuhkan. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
Kurniawati D, Rusli Rustam, J. Hennie L. 2015. Pemberian Beberapa Konsentrasi
Ekstrak Brotowali (Tinospora Crispa L.) Untuk Mengendalikan Keong Mas
(Pomacea Sp.) Pada Tanaman Padi (Oryza Sativa L.). JOM Faperta.
Lestari, F dan Darwiati, W. 2014. Uji Efikasi Ekstrak Daun Dan Biji Dari
Tanaman Suren,Mimba Dan Sirsak Terhadap Mortalitas Hama Ulat Gaharu.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 11(3): 165-171.
Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
Jakarta: Agromedia Pustaka
Nurrosjid B. 2003. Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Petrus dan Ismaya N.R.P. 2014. Efektivitas Ekstrak Daun Kembang Bulan
(Tithonia Diversifolia) Terhadap Pengendalian Hama Ulat Plutella
Xylostella Pada Tanaman Sawi. Jurnal Agrisistem 10(2):162-169.
Pracaya. 2001. Hama dan penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya
Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman Edisi Revisi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Pracaya. 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman secara Organik.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Pribadi A. 2010. Serangan Hama Dan Tingkat Kerusakan Daun Akibat Hama
Defoliator Pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8(4):451-458
Prima D.A.D. 2016. Pemanfaatan Air Rendaman Batang Tembakau (Nicotiana
tabacum L.) Sebagai Alternatif Bioinsektisida Ulat Kubis (Plutella
xylostella). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pengetahuan. Universitas Sanata Dharma

45
Purba S. 2007. Uji Eefektivitas Ekstrak Daun Mengkudu (Morinda citrifolia)
terhadap Plutella xylostella L. (Lepidoptera : Plutellidae) Di Laboratorium.
[Skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara
Raharjo T.J. 2013. Kimia Hasil Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rismunandar. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Petsai dan Sawi. Yogyakarta: Kanisus.
Sastroutomo, S.S. 1992. Dasar – dasar Pestisida dan Dampak Penggunaannya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sayono, Nurullita, U dan Suryani, M. 2010. Pengaruh Konsentrasi Flavonoid
Dalam Ekstrak Akar Tuba (Derris Eliptica) Terhadap KematianLarva Aedes
Aegypti. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 6(1):38-47.
Sembel, D.T. 2010. Pengendalian Hayati Hama-hama Serangga Tropis dan
Gulma. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Shelton, A.M., Turner, A., Giga, D., Wilkinson, P., Zifzanza, E., and Utete, D.
1995. Diamond back Moth. Zimbabwe Holticulture Crop and Pest
Management. New York
Soenandar dan Meidiantie. 2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida Organik.
Jakarta: PT. Agro Media Pustaka.
Solichah, C., Witjaksono dan Edhi, M. 2004. Ketertarikan Plutella xylostella L
Terhadap Beberapa Ekstrak Daun Cruciferae. Jurnal Agrosains 6(2):80-84.
Sudarmo, S, 1991. Pestisida. Yoyakarta: Kanisus.
Sudarmo, S, 1994. Pengendalian Serangga Hama Sayuran dan Palawija.
Yoyakarta: Kanisus.
Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati Pembuatan Dan Pemanfaataannya.
Yogyakarta: Kanisus.
Suhartini,T. 2009. Bertanam Sawi dan Selada. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sukadana I.M., Rita, W.S., Frida R.K. 2007. Isolasi Dan Identifikasi Senyawa
Antimakan Dari Batang Tumbuhan Brotowali (Tinospora Tuberculata
Beumee.). Jurnal Kimia 1(1):55-61.
Sukorini, H. 2006. Pengaruh Pestisida Organik Dan Interval Penyemprotan
Terhadap Hama Plutella xylostella PadaBudidaya Tanaman Kubis Organik.
Jurnal Agrobisnis 2(1):11-16.
Sunarjono, H. 2007. Bertanaman 30 Jenis Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya
Suwahyono, U. 2013. Membuat Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadaya

46
Utami, S dan Haneda, N.F. 2010. Pemanfaatan Etnobotani dari Hutan Tropis
Bengkulu sebagai Pestisida Nabati. Jurnal Manajemen Hutan Tropika
16(3):143-147.
Wudianto, R. 2001. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta: Penebar Swadaya
Zulkarnain. 2010. Dasar-Dasar Hortikultura. Jakarta: Bumi Aksara.

47

Anda mungkin juga menyukai