Anda di halaman 1dari 9

REVIEW

MANAJEMEN BENCANA

JUDUL :

MANAJEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN DALAM BENCANA

YUFEN LORENS ATI

1807010431

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020
PEMBAHASAN
MANAJEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN

1. Area Prioritas Intervensi


Area Prioritas adalah suatu area atau tempat (Unit) yang akan
diutamakan atau didahulukan untuk meningkatkan mutu dan keselamatan
korban bencana yang sangat membutuhkan suatu intervensi penanganan.
Tujuan dari penetapan area prioritas ini adalah untuk menjadikan fokus
area yang akan dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga diharapkan
mampu memberikan upaya perbaikan terdadap kerusakan.
Setelah terjadinya serangan bencana alam perlu adanya intervensi
kepada kelangsungan dan rehabilitasi yang segera dari layanan kesehatan
lingkungan yang efektif merupakan prioritas utama dalam manajemen
kesehatan darurat. Intervensi penentuan area prioritas ini perlu
memperhatikan pertimbangan berikut: pertimbangan pertama harus
diberikan ke wilayah yang risiko kesehatannya meningkat, wilayah
semacam ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan pelayanan
terhadap bencana alam yang mengalami kerusakan parah. Area prioritas
kedua adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi sementara
tingkat kerusakannya menengah, atau wilayah dengan kepadatan
menengah dan tingkat kerusakan parah. Prioritas ketiga harus diberikan
pada daerah yang kepadatan penduduknya rendah dan tingkat kerusakan
layanannya rendah.
Daerah dengan kepadatan penduduk tinggi misalnya adalah
wilayah kota dan pinggiran kota, camp untuk pengungsi dan penduduk
yang pindah, dan penampungan sementara. Rumah sakit dan klinik
kesehatan termasuk di antara fasilitas yang membutuhkan prioritas layanan
kesehatan lingkungan.
Layanan Kesehatan Lingkungan Prioritas
Dalam memberikan pelayanan kesehatan lingkungan juga perlu
diperhatikan pertimbangan-pertimbanagan misalnya pertimbangan
pertama harus diberikan kepada layanan esensial untuk melindungi dan
menjamin kesejahteraan penduduk di daerah yang berisiko tinggi, dengan
penekanan pada upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular.
Upaya kesehatan lingkungan pascabencana dapat dibagi dalam dua
prioritas, yaitu:
1. Memastikan bahwa lingkungan yang mengalami bencana alam tersebut
terdapat kecukupan jumlah air minum yang aman; memiliki kecukupan
fasilitas sanitasi dasar; pembuangan sementara, limbah cair, dan
limbah padat dan penampungan yang cukup.
2. Melaksanakan upaya perlindungan makanan, membentuk atau
melanjutkan upaya pengendalian vektor dan mempromosikan personal
hygiene kepada masyarakat yang terdampak bencana.
Berikut tindakan yang direkomendasikan untuk mempercepat
pembangunan kembali layanan dan kondisi kesehatan lingkungan:
1. Peroleh informasi tentang pergerakan penduduk di dalam atau di dekat
daerah serangan dan buat lokasi camp untuk pengungsi dan orang
berpindah, daerah yang sebagian dan/atau seluruhnya dievakuasi,
penampungan tenaga bantuan, dan RS serta fasilitas medis lain.
Informasi ini akan membantu penentuan lokasi yang membutuhkan
perhatian utama.
2. Lakukan pengkajian cepat untuk menentukan tingkat kerusakan sistem
persediaan air masyarakat dan SPAL serta produksi, tempat
penyimpanan, dan jaringan distribusi makanan.
3. Penentuan kapasitas operasional yang tersisa untuk melaksanakan
layanan dasar kesehatan lingkungan ini
4. melakukan inventarisasi sumber daya yang masih tersedia, termasuk
persediaan makanan yang tidak rusak, SDM, serta peralatan, materi,
dan persediaan siap pakai.
5. Menentukan seberapa besar kebutuhan penduduk akan air, sanitasi
dasar, perumahan dan makanan.
6. Penuhi kebutuhan fasilitas esensial secepat mungkin setelah kebutuhan
konsumsi dasar manusia terpenuhi. RS dan fasilitas kesehatan lain
mungkin membutuhkan peningkatan pasokan air jika jumlah korban
bencana sangat banyak.
7. Memastikan bahwa pengungsi dan orang berpindah telah mendapat
penampungan yang tepat dan bahwa penampungan sementara itu dan
daerah berisiko tinggi lainnya memiliki layanan kesehatan lingkungan
dasar.
2. Persediaan Air
Pada persediaan air perlu dilaksanalan survei terhadap semua
persediaan air masyarakat dimana pelaksanaan ini dimulai pada sistem
distribusi dan berlanjut pada sumber air. Pada persediaan air sangat
penting untuk menentukan keutuhan fisik komponen sistem, kapasitas
yang tersisa, mutu bakteriologi serta kimia dari air yang disediakan.
Mutu air dapat dilihat dari aspek keamanan umum yang utama
yaitu apakah air tersebut mengalami/ terkontaminasi bakeri. Jika air
tersebut melewati nilai ambang batas maka memiliki mutuh tidak layak
konsumsi oleh masyarakat. Prioritas pertama untuk memastikan mutu air
dalam situasi darurat adalah dengan metode klorinasi. Rekomendasi yang
diberikan dalam aktivitas pemulihan adalah peningkatan kadar residu
klorin dan peningkatan tekanan. Tekanan air yang rendah akan
memperbesar kemungkinan masuknya polutan dalam pipa air. Pipa,
reservoir, dan unit lainnya yang telah diperbaiki memerlukan pembersihan
dan desinfeksi. Kadar minimum yang direkomendasikan dalam situasi
darurat untuk kadar residu klorin bebas adalah 0,7 mg/l. Kontaminasi
kimia dan toksisitas merupakan prioritas kedua dalam mutu air dan
kontaminan kimia potensial harus diidentifikasi dan dianalisis.
Sumber air alternative
Berdasarkan urutan pilihan yang umum, pertimbangan harus
diberikan pada sumber air alternatif berikut
1)    air tanah dalam
2)    air tanah dangkal/mata air
3)    air hujan
4)    air permukaan
Sumber air yang ada dan yang baru memerlukan langkah-langkah
perlindungan berikut:
1. Batasi akses untuk manusia dan hewan.
2. Pastikan sumber pencemaran Jaraknya cukup aman dari sumber air
3. Tetapkan larangan mandi, mencuci, dll di daerah hulu sebelum lokasi
pengambilan sediaan air baik di sungai maupun anak sungai.
4. Perbaiki konstruksi sumur untuk memastikan keterlindungannya dari
kontaminasi.
5. Estimasi volume maksimum air sumur.
Dalam situasi darurat, air diangkut dengan truk ke daerah atau kamp
yang terkena bencana. Semua truk harus menjalani inspeksi untuk
memastikan kekuatannya dan harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum
digunakan untuk mengangkut air.
3. Keamanan Makanan
Agar makanan dapat berfungsi dengan baik, maka diperlukan
berbagai syarat agar memenuhi kriteria seperti yang diharapkan. Selain
makanan harus mangandung zat gizi (lemak, protein, karbohidrat, mineral
dan vitamin), makanan harus baik dan tidak kalah pentingnya yang untuk
diperhatikan adalah bahwa makan harus aman untuk dikonsumsi. Setelah
ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka baru dapat disebut dengan makanan
“Sehat”. Higiene  yang buruk merupakan penyebab utama foodborne
diseases dalam situasi bencana. Jika program pemberian makanan
memang berlangsung di lokasi atau kamp penampungan, sanitasi dapur
menjadi prioritas yang paling penting. Peralatan makan harus dicuci dalam
air mendidih atau air bersih, higiene personal harus dipantau terutama
terhadap mereka yang terlibat dalam penyiapan makanan. Penyimpanan
makanan harus dapat mencegah kontaminasi.
Keamanan pangan merupakan hal yang penting dari ilmu sanitasi.
Banyaknya lingkungan kita yang secara langsung maupun tidak tidak
langsung berhubungan dengan suplay makanan manusia. Hal ini disadari
sejak awal sejarah kahidupan manusia dimana usaha pengawetan makanan
telah dilakukan, sepeti: penggaraman, pengawetan dengan penambahan
gula, pengasapan dan sebagainya. Berdasarkan laporan WHO (1991),
sekitar 70 % kasus diare yang terjadi di negara-negara berkembang
diakibatkan oleh makanan yang merupakan ancaman serius terhadap anak-
anak balita juga terhadap orang dewasa. Penyakit bawaan makanan atau
keracunann makanan yang ditimbulkan akibat adanya kontaminasi
makanan dan minuman oleh mikroba perlu mendapat perhatian secara
seksama, karena penderita kasus ini dapat mengalami gangguan
pencernaan dan gangguan penyarapan zat-zat gizi, dan yang lebih
memprihatinkan lagi kadang-kadang berakhir dengan kematian.
4. Sanitasi Dasar dan hygenie Perorangan
Banyak penyakit menular menyebar melalui air minum dan
makanan yang terkontaminasi feses. Dengan demikian, harus dilakukan
upaya untuk memastikan pembuangan ekskreta yang saniter. Jamban
darurat harus disediakan bagi mereka yang dipindahkan, pengungsi, tenaga
relawan, dan penduduk sekitar yang fasilitas toiletnya hancur. Hygiene
personal cenderung menurun setelah bencana alam, khususnya di daerah
yang penduduknya padat dan tempat-tempat yang kekurangan air. Upaya-
upaya berikut direkomendasikan:
1. Menyediakan fasilitas dasar cuci tangan
2. Menyediakan fasilitas MCK
3. Memastikan ketersediaan air yang memadai
4. Menghindari overcrowding di area tidur
5. Menyelenggarakan promosi kesehatan
Jamban sehat:
Pembuatan jamban dalam situasi darurat umumnya menggunakan
terpal plastik. Dalam situasi keadaan darurat yang ekstrem, bisa jadi lokasi
untuk buang air besar berupa lapangan. Dalam situasi-situasi yang lebih
mapan, mestinya bisa dibangun jamban untuk keluarga. Ingat perempuan,
anak-anak, penyandang cacat dan orang sakit memiliki kebutuhan yang
berbeda dari laki-laki. Mungkin diperlukan jamban dengan desain khusus
untuk mereka.
Pengelolaan Limbah Padat
Pengelolaan limbah padat kerap menimbulkan satu masalah khusus
dalam situasi darurat. Selama periode pascabencana masalah yang sering
muncul adalah puing-puing bangunan, pohon, bangkai dan sampah
lainnya. Pembersihan awal reruntuhan secara cepat sangat penting untuk
upaya rehabilitasi. Pembuangan barang bekas dll yang saniter merupakan
cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit bawaan vector.
Pengumpulan sampah harus sesegera mungkin dilaksanakan kembali di
daerah yang terserang bencana. Hindari pembuangan sampah di tempat
terbuka. Cermati pembuangan limbah B3.
5. Pengendalian Vektor
Program pengendalian untuk penyakit bawaan vektor harus
digencarkan selama periode darurat dan rehabilitasi, khususnya di wilayah
yang endemic. Prioritas dilakukan untuk daerah endemik leptospirosis,
DBD, malaria, tifus, dan pes. Berikut ini adalah langkah-langkah darurat
penting untuk pengendalian vektor:
1. Pulihkan aktivitas pengumpulan dan pembuangan sampah yang saniter
sesegera mungkin.
2. Selenggarakan promosi kesehatan untuk memusnahkan tempat
perkembangbiakan vektor dan tentang upaya untuk mencegah infeksi,
termasuk hygiene personal.
3. Lakukan survei pada kamp dan wilayah berpenduduk padat untuk
mengidentifikasi lokasi perkembangbiakan potensial nyamuk, hewan
pengerat, dan vektor lainnya.
4. Musnahkan tempat perkembangbiakan vektor dengan mengeringkan
dan/atau menimbun kolam, empang, dan rawa-rawa, melakukan
gerakan 3M, dll.
5. Lakukan pengendalian kimia jika perlu.
6. Simpan makanan dalam tempat tertutup dan terlindung.
6. Pemakaman Jenasah
Korban yang telah teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan
jenazah yang meliptui:
1) Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
2) Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
3) Perawatan sesuai agama korban
4) Memasukkan dalam peti jenazah
Setelah itu jenazah diserahkan kepada keluarga oleh petugas khusus
dari Komisi Identifikasi. Surat-surat yang diperlukan pencatatan yang
penting pada proses serah terima jenazah, antara lain:
1) Tanggal dan jamnya
2) Nomor registrasi jenazah
3) Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan
keluarga dengan korban.
4) Dibawa kemana atau dimakamkan dimana
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur
Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman
yang dibantu oleh keluarga korban. Sangat penting untuk tetap
memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk
dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik
juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat,
mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini
dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
Identifikasi pada korban bencana massal adalah suatu hal yang sangat
sulit mengingat berapa hal di bawah ini:
a) Jumlah korban banyak dan kondisi buruk
b) Lokasi kejadian sulit dicapai.
c) Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar.
d) Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik.
Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah
koordinasi yang baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi
dan transportasi. Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal
tetap berada di bawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana.
Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi
(Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan penyidikan sebab
dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban
banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain
tentunya pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.
Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan,
kelalaian ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih diperdebatkan
mengenai jumlah korban untuk dimasukkan dalam kriteria korban massal.

Anda mungkin juga menyukai