Jawa
Topografi Jawa
Geografi
Koordinat 7°30′10″LS,111°15′47″BT
Puncak tertinggi Semeru
Pemerintahan
Negara Indonesia
Provinsi Banten
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Demografi
Jawa (termasuk Cirebon , Osing, Tengger). Suku
Madura (Pendalungan). Suku
Sunda (termasuk Baduy ,Banten). Suku Betawi,
Daftar isi
1Etimologi
2Aksara
3Sejarah
o 3.1Masa kerajaan Hindu-Buddha
o 3.2Masa kerajaan Islam
o 3.3Masa kolonial
o 3.4Masa kemerdekaan
4Geografi dan Geologi
o 4.1Geografi
o 4.2Geologi
5Demografi
o 5.1Pemerintahan
o 5.2Penduduk
o 5.3Etnis dan budaya
o 5.4Bahasa
o 5.5Agama dan kepercayaan
6Ekonomi dan Mata pencaharian
7Lihat pula
8Pranala luar
9Referensi
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Asal mula nama "Jawa" dapat dilacak dari kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya
pulau bernama yavadvip(a) (dvipa berarti "pulau", dan yava berarti "jelai" atau juga "biji-bijian")[1][2].
Apakah biji-bijian ini merupakan jewawut (Setaria italica) atau padi, keduanya telah banyak
ditemukan di pulau ini pada masa sebelum masuknya pengaruh India [3]. Boleh jadi, pulau ini memiliki
banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".
[1]
. Yavadvipa disebut dalam epik asal India, Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera)
dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yavadvip ("Pulau Jawa") untuk mencari Dewi
Shinta.[4] Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut nama
Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau).
Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-
Austronesia, Awa atau Yawa (Mirip dengan kata Awa'i (Awaiki) atau Hawa'i (Hawaiki) yang
digunakan di Polynesia, terutama Hawaii) yang berarti "rumah"[5].
Pulau bernama Iabadiu atau Jabadiu disebutkan dalam karya Ptolemy bernama Geographia yang
dibuat sekitar 150 masehi di Kekaisaran Romawi. Iabadiu dikatakan berarti "pulau jelai", juga kaya
akan emas, dan mempunyai kota perak bernama Argyra di ujung Baratnya. Nama ini
mengindikasikan Jawa,[6] dan kelihatannya berasal dari nama Hindu Java-dvipa (Yawadvipa).
Berita tahunan dari Songshu dan Liangshu menyebut Jawa sebagai She-po (abad ke-5 M), He-ling
(tahun 640-818 M), lalu menyebutnya She-po lagi sampai masa Dinasti Yuan(1271-1368), dimana
mereka mulai menyebut Zhao-Wa.[7] Menurut catatan Ma Huan (yaitu Yingya Shenlan), orang China
menyebut Jawa sebagai Chao-Wa, dan dulunya pulau ini disebut She-pó (She-bó).[8] Saat John dari
Marignolli (1338-1353) pulang dari China ke Avignon, ia singgah di Kerajaan Saba, yang ia bilang
memiliki banyak gajah dan dipimpin oleh ratu; nama Saba ini bisa jadi adalah interpretasinya
untuk She-bó.[9]
Aksara[sunting | sunting sumber]
Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) dan Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀),[1] adalah salah
satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah
bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak [2] Tulisan ini berkerabat
dekat dengan aksara Bali.
Berdasar tradisi lisan, aksara jawa diciptakan oleh Aji Saka, tokoh pendatang dari India, dari suku
Shaka (Scythia). Legenda melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-
Buddha) ke pulau Jawa. Kini kata Saka masih digunakan dalam istilah dalam Bahasa
Jawa, saka atau soko, yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula. Aji Saka bermakna "raja asal-
mula" atau "raja pertama".
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Jawa
Pemandangan Gunung Merbabuyang dikelilingi persawahan. Topografi vulkanik serta tanah pertanian yang
subur merupakan faktor penting dalam sejarah pulau Jawa.
Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada
masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus,
yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan
Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.
[10]
Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah
ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim
disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di
Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan
di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus.[11] Punden berundak ini
dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada
zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban
Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu
kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat.
Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.
Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya
padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin
kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran
pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang
pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif
terpisahkan dari pengaruh luar.[12] Pada masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta
kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama
masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan
Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah
sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta
pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para
penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula
mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada
pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antarpenduduk pulau
Jawa pada masa itu adalah sulit.[13]
Masa kerajaan Hindu-Buddha[sunting | sunting sumber]
Kerajaan Taruma dan Kerajaan Sunda muncul di Jawa Barat, masing-masing pada abad ke-4 dan
ke-7, sedangkan Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa Tengah
pada awal abad ke-8. Kerajaan Medang menganut agama Hindu dan memuja Dewa Siwa, dan
kerajaan ini membangun beberapa candi Hindu yang terawal di Jawa yang terletak di Dataran Tinggi
Dieng. Di Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang Wangsa Sailendra, yang merupakan
pelindung agama Buddha Mahayana. Kerajaan mereka membangun berbagai candi pada abad ke-
9, antara lain Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah.
Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur pulau Jawa. Di wilayah timur
berdirilah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit yang terutama mengandalkan pada
pertanian padi, namun juga mengembangkan perdagangan antar kepulauan Indonesia beserta Cina
dan India.
Raden Wijaya mendirikan Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk (m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh
kepulauan Indonesia, meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali, dan Madura
saja. Gajah Mada adalah mahapatih pada masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak penaklukan
teritorial bagi kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya mendasarkan kekuasaan mereka
pada pertanian, namun Majapahit berhasil menguasai pelabuhan dan jalur pelayaran sehingga
menjadi kerajaan komersial pertama di Jawa. Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan
wafatnya Hayam Wuruk dan mulai masuknya agama Islam ke Indonesia.
Masa kerajaan Islam[sunting | sunting sumber]
Pada akhir abad ke-16, perkembangan islam telah melampaui Hindu dan Budha sebagai agama
dominan di Jawa. Kemunculan kerajaan islam di Jawa juga tidak lepas dari peran walisongo. Pada
awalnya penyebaran agama islam sangat pesat dan diterima oleh kalangan masyarakat biasa,
hingga pada akhirnya dakwah itu masuk dan dijalankan kepada kaum penguasa pulau ini.
Tercatat kerajaan islam pertama di Jawa adalah Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak Bintoro.
Kerajaan Demak ini dipimpin oleh salah satu keturunan Majapahit yang beragama islam yaitu Raden
Patah. Dalam masa ini, kerajaan-kerajaan Islam mulai berkembang
dari Pajang, Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, dan Banten membangun kekuasaannya.
Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian
tengah dan timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil ditundukkan di bawah
kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan Banten lah yang kemudian tersisa ketika
datangnya bangsa Belanda pada abad ke-17.
Beberapa kerajaan warisan islam di jawa masih dapat kita temukan di beberapa kota misalnya
Surakarta terdapat dua kerajaan yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, di Yogyakarta ada dua
kerajaan yaitu Kasultanan dan Pakualaman, dan di Cirebon ada tiga kerajaan yaitu Kasepuhan,
Kacirebonan dan Kasepuhan.
Masa kolonial[sunting | sunting sumber]
Hubungan Jawa dengan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan
diadakannya perjanjian antara Kerajaan Sundadan Portugis di Malaka. Setelah kegagalan perjanjian
tersebut, kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka dan di pulau-pulau sebelah timur
nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat
buah kapal pada tahun 1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia. [14] Pada
akhir abad ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh mereka terhadap kesultanan-
kesultanan di pedalaman pulau Jawa (lihat Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia).
Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani, konflik internal telah menghalangi
mereka membentuk aliansi yang efektif dalam melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan
sebagai Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Para raja Jawa mengklaim berkuasa
atas kehendak Tuhan, dan Belanda mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara
mengukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup administrasi
kolonial.
Di awal masa kolonial, Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil beras. Pulau-
pulau penghasil rempah-rempah, misalnya kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan beras
dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. [15]
Inggris sempat menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari Kerajaan
Britania Raya, dengan Sir Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Pada tahun 1814,
Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagaimana ketentuan pada Traktat Paris.[16]
Penduduk pulau Jawa kemungkinan sudah mencapai 10 juta orang pada tahun 1815. [17] Pada paruh
kedua abad ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di kadipaten-kadipaten sepanjang pantai
utara Jawa bagian tengah, dan dalam abad ke-19 seluruh pulau mengalami pertumbuhan populasi
yang cepat. Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk yang besar antara lain termasuk
peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu dalam menetapkan berakhirnya perang saudara di
Jawa, meningkatkan luas area persawahan, serta mengenalkan tanaman pangan lainnya
seperti singkong dan jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak
mampu membeli beras.[18] Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan
semakin meluasnya perekutan kerja di bawah Sistem Tanam Paksa menyebabkan para pasangan
berusaha memiliki lebih banyak anak dengan harapan dapat meningkatkan jumlah anggota keluarga
yang dapat menolong membayar pajak dan mencari nafkah. [19] Pada tahun 1820, terjadi
wabah kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.[20]
Kehadiran truk dan kereta api sebagai sarana transportasi bagi masyarakat yang sebelumnya hanya
menggunakan kereta dan kerbau, penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih
teratur di bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung terhapusnya kelaparan di
Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan
yang berarti di Jawa semenjak tahun 1840-an hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-
an.[21] Selain itu, menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19, menyebabkan
bertambahnya jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat mengurus anak. [21]
Masa kemerdekaan[sunting | sunting sumber]
Nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 (lihat Kebangkitan Nasional
Indonesia), dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang Dunia II juga
berpusat di Jawa. Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan kekerasan anti-komunis selanjutnya pada
tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau ini. Jawa saat ini mendominasi kehidupan sosial,
politik, dan ekonomi di Indonesia, yang berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun
1998 terjadi kerusuhan besar yang menimpa etnis Tionghoa-Indonesia, yang merupakan salah satu
dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi tidak berapa lama sebelum runtuhnya pemerintahan
Presiden Soeharto yang telah berjalan selama 32 tahun. [22]
Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta.
Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi
bencana semburan lumpur panas Sidoarjo.
Geografi[sunting | sunting sumber]
Jawa bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau
Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi
pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat
Bali dan Selat Madura di timur.
Jawa memiliki luas sekitar 138.793,6 km2.[23] Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu
sepanjang 600 km.[24] Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu.
Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat
kota Surabaya.
Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi.
Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang
kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di
Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan
di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m) serta Gunung Kelud (1.731 m). Gunung-gunung dan
dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa
daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di
Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia. [25] Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di
Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh
para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.
Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembaban rata-rata
75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim
kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara, dan daerah dataran
tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi. Musim hujan berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada
bulan April, di mana hujan biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan
biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-
bulan bulan Januari dan Februari.
Jawa Barat bercurah hujan lebih tinggi daripada Jawa Timur, dan daerah pegunungannya menerima
curah hujan lebih tinggi lagi. Curah hujan di Dataran Tinggi Parahyangan di Jawa Barat mencapai
lebih dari 4.000 mm per tahun, sedangkan di pantai utara Jawa Timur hanya 900 mm per tahun.
Geologi[sunting | sunting sumber]
Pemerian geologi Jawa paling lengkap diungkap dalam van Bemmelen (1949) [26]. Sebagai pulau,
Jawa secara geologi relatif muda. Pembentukan dimulai dari periode Tersier. Sebelumnya, kerak
bumi yang membentuk pulau ini berada di bawah permukaan laut. Aktivitas orogenis yang intensif
sejak kala Oligosendan Miosen mengangkat dasar laut sehingga pada
kala Pliosen dan Pleistosen wujud Pulau Jawa sudah mulai terbentuk. Sisa-sisa dasar laut masih
tampak, membentuk fitur sebagian besar kawasan karst di selatan pulau ini.
Van Bemmelen membagi Pulau Jawa dalam tujuh satuan fisiografi sebagai berikut.
Dengan populasi sebesar 160 juta jiwa[27] Jawa adalah pulau yang menjadi tempat tinggal lebih dari
60% populasi Indonesia.[27] Dengan kepadatan 1.317 jiwa/km²,[27] pulau ini juga menjadi salah satu
pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis
Jawa.[28] Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta)
memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.500 jiwa/km 2.[27]
Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia
melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain
di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun terkadang menghasilkan konflik
antara transmigran pendatang dari Jawa dengan populasi penduduk setempat. Di Jawa Timur
banyak pula terdapat penduduk dari etnis Madura dan Bali, karena kedekatan lokasi dan hubungan
bersejarah antara Jawa dan pulau-pulau tersebut. Jakarta dan wilayah sekelilingnya sebagai daerah
metropolitan yang dominan serta ibukota negara, telah menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku
bangsa di Indonesia.
Saat ini penduduk Jawa tidak lagi identik dengan hanya suku Jawa, Sunda, Madura dan Betawi
saja, namun sudah menjadi pusat dari segala budaya dan suku di Indonesia, didominasi migrasi dari
suku Minang, suku Batak, suku Ambon dan suku Banjar yang terkenal dengan semangat
merantaunya.
Penduduk Pulau Jawa perlahan-lahan semakin berciri urban, dan kota-kota besar serta kawasan
industri menjadi pusat-pusat kepadatan tertinggi. Berikut adalah 10 kota besar di Jawa berdasarkan
jumlah populasi tahun 2005.[29]
Jaringan Transportasi Jawa
Uruta
Kota, Provinsi Populasi
n
5 Tangerang, Banten 2.221.595
Surakarta, Jawa
10 586.397
Tengah
Mitos asal usul pulau Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah kakawin,
bernama Tangtu Panggelaran. Komposisi etnis di pulau Jawa secara relatif dapat dianggap
homogen, meskipun memiliki populasi yang besar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya
di Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis utama asli pulau ini, yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda.
Etnis Madura dapat pula dianggap sebagai kelompok ketiga; mereka berasal dari
pulau Madura yang berada di utara pantai timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran
ke Jawa Timur sejak abad ke-18.[30] Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau
ini, sedangkan orang Sunda mencapai 20% dan orang Madura mencapai 10%. [30]
Empat wilayah budaya utama terdapat di pulau ini: sentral budaya Jawa (kejawen) di bagian tengah,
budaya pesisir Jawa (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (pasundan) di bagian barat, dan
budaya Osing (blambangan) di bagian timur. Budaya Madura terkadang dianggap sebagai yang
kelima, mengingat hubungan eratnya dengan budaya pesisir Jawa.[30] Kejawen dianggap sebagai
budaya Jawa yang paling dominan. Aristokrasi Jawa yang tersisa berlokasi di wilayah ini, yang juga
merupakan etnis dengan populasi dominan di Indonesia. Bahasa, seni, dan tata krama yang berlaku
di wilayah ini dianggap yang paling halus dan merupakan panutan masyarakat Jawa. [30] Tanah
pertanian tersubur dan terpadat penduduknya di Indonesia membentang sejak dari Banyumas di
sebelah barat hingga ke Blitar di sebelah timur.[30]
Jawa merupakan tempat berdirinya banyak kerajaan yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara,
[31]
dan karenanya terdapat berbagai karya sastra dari para pengarang Jawa. Salah satunya ialah
kisah Ken Arok dan Ken Dedes, yang merupakan kisah anak yatim yang berhasil menjadi raja dan
menikahi ratu dari kerajaan Jawa kuno; dan selain itu juga terdapat berbagai terjemahan
dari Ramayana dan Mahabharata. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis kontemporer
ternama Indonesia, yang banyak menulis berdasarkan pengalaman pribadinya ketika tumbuh
dewasa di Jawa, dan ia banyak mengambil unsur-unsur cerita rakyat dan legenda sejarah Jawa ke
dalam karangannya.
Bahasa[sunting | sunting sumber]
Bahasa-bahasa yang dipertuturkan di Jawa (bahasa Jawa warna putih).
Tiga bahasa utama yang dipertuturkan di Jawa adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa
Madura. Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi bahasa Betawi (suatu dialek lokal bahasa
Melayu di wilayah Jakarta), bahasa Osing dan bahasa Tengger (erat hubungannya dengan bahasa
Jawa), bahasa Baduy (erat hubungannya dengan bahasa Sunda), bahasa Kangean (erat
hubungannya dengan bahasa Madura), bahasa Bali, dan bahasa Banyumasan.[32] Sebagian besar
besar penduduk mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan bahasa
kedua mereka.
Agama dan kepercayaan[sunting | sunting sumber]
Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Pengaruh budaya India adalah
yang datang pertama kali dengan agama Hindu-Siwa dan Buddha, yang menembus secara
mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa.
[33]
Para brahmana kerajaan dan pujangga istana mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta
mengaitkan kosmologi Hindu dengan susunan politik mereka. [33] Meskipun kemudian
agama Islam menjadi agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh
pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat pulau Bali, terutama
di sekitar kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddhaumumnya saat ini terdapat di kota-kota
besar, terutama dari kalangan Tionghoa-Indonesia.
Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan dalam bahasa Jawa Kuno dan
bukan bahasa Arab ditemukan dengan penanggalan tahun sejak 1369 di Jawa
Timur. Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan
mungkin para bangsawan.[34] M.C. Ricklefs berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang
berpaham sufi-mistis, yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang
menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama akrab dengan aspek
mistis agama Hindu dan Buddha.[35] Sebuah batu nisan seorang Muslim bernama Maulana Malik
Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah) ditemukan di Gresik, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa
Timur. Tradisi Jawa menyebutnya sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu dari
sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak ada bukti tertulis
yang mendukung tradisi lisan ini.
Masjid di Pati, Jawa Tengah, pada masa kolonial. Masjid ini menggabungkan gaya tradisional Jawa (atap
bertingkat) dengan arsitektur Eropa.
Saat ini hampir 100% suku Sunda, Betawi, Banten dan Cirebon serta sekitar 95 persen suku Jawa
menganut agama Islam. Agama Islam sangat kental memberi pengaruh pada suku Betawi, Banten,
Cirebon dan Sunda. Muslim suku Jawa dapat dibagi menjadi abangan (lebih sinkretis)
dan santri (lebih agamis). Dalam sebuah pondok pesantren di Jawa, para kyai sebagai pemimpin
agama melanjutkan peranan para resi pada masa Hindu. Para santri dan masyarakat di sekitar
pondok umumnya turut membantu menyediakan kebutuhan-kebutuhannya. [33]Tradisi pra-Islam di
Jawa juga telah membuat pemahaman Islam sebagian orang cenderung ke arah mistis. Terdapat
masyarakat Jawa yang berkelompok dengan tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh
keagamaan, yang menggabungkan pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam dengan ajaran Islam.
[33]
Awalnya, perekonomian Jawa sangat tergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, khususnya
dari bercocok tanam di areal persawahan. Kerajaan-kerajaan kuno di Jawa,
seperti Tarumanagara, Mataram, dan Majapahit, sangat bergantung pada panen padi dan pajaknya.
Jawa terkenal sebagai lumbung padi dan menjadi pengekspor beras sejak zaman dahulu. Secara
tidak langsung tanah jawa yang subur menjadi kontribusi terhadap pertumbuhan penduduk pulau ini.
Perdagangan dengan negara-negara di Asia lainnya seperti India dan Cina sudah terjadi pada awal
abad ke-4, terbukti dengan ditemukannya beberapa peninggalan sejarah berupa keramik Cina dari
periode tersebut. Selain itu Jawa juga terlibat aktif dalam perdagangan domestik misalnya
perdagangan rempah-rempah Maluku yang sudah dirintis semenjak era Majapahit hingga
era Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Perusahaan dagang tersebut mendirikan pusat
administrasinya di Batavia pada abad ke-17, yang kemudian terus dikembangkan oleh pemerintah
Hindia Belanda sejak abad ke-18.
Selama masa penjajahan, Belanda memperkenalkan budidaya berbagai tanaman komersial
seperti tebu, kopi, karet, teh, kina, dan lain-lain. Di beberapa wilayah Jawa dibuka lahan perkebunan
dalam skala besar dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Beberapa komoditi berhasil
dikembangkan di Jawa salah satunya adalah Kopi. Kopi Jawa bahkan mendapatkan popularitas
global di awal ke-19 dan abad ke-20, sehingga nama Java telah menjadi sinonim untuk kopi.
Jawa telah menjadi pulau paling berkembang di Indonesia sejak era Hindia Belanda hingga saat ini.
Jaringan transportasi jalan yang telah ada sejak zaman kuno dipertautkan dan disempurnakan
dengan dibangunnya Jalan Raya Pos Jawa oleh Daendels di awal abad ke-19. Kebutuhan
transportasi produk-produk komersial dari perkebunan di pedalaman menuju pelabuhan di pantai,
telah memacu pembangunan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini, industri, bisnis dan perdagangan,
juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang,
dan Bandung, sedangkan kota-kota kesultanan tradisional seperti Yogyakarta, Surakarta,
dan Cirebon menjaga warisan budaya keraton dan menjadi pusat seni, budaya dan pariwisata.
Kawasan industri juga berkembang di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa, terutama di
sekitar Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Gresik, dan Sidoarjo.
Jaringan jalan tol dibangun dan diperluas sejak masa pemerintahan Soeharto hingga sekarang,
yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah sekitarnya, di berbagai kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Selain jalan tol tersebut, di pulau ini
juga terdapat 16 jalan raya nasional.