Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

DERMATITIS INSECT BITE

Pembimbing :

dr. Sri Adila Nurainiwati Sp. DV

Oleh :

Azkia Fachrina Hanifa (201910401011071)

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang membahas mengenai

“Dermatitis Insect Bite”.

Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas stase kulit dan

kelamin di RS Universitas Muhammadiyah Malang serta menambah wawasan

dari penulis maupun pembaca. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini, terutama

kepada dr. Sri Adila Nurainiwati Sp. DV, selaku dokter pembimbing yang

telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan

penyempurnaan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat.

Lamongan, Oktober 2020

Penyusun
3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................... 2

Daftar Isi …………………………..…….……………………………………….. 3

BAB I TINJAUAN PUSTAKA …...……………………………………………...5

1.1 Mikosis…………………………..…….…………….……………………….. 5

1.1.1 Definisi …………………………..…….………………………………….5

1.1.2 Dermatofitosis …………………………..…….….……………………….5

1.1.3 Klasifikasi Dermatomikosis………………………..…..…….……………6

1.2 Tinea Corporis……....………..…….…………………..…………………….. 7

1.2.1 Definisi …………………………..…….………………………………….7

1.2.2 Etiologi…………………………..…….…………………………………..7

1.2.3 Sumber Penularan…………………………..…….……………………….3

1.2.4 Epidemiologi…………………………..…….…………………………….8

1.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Infeksi…………………………..…….…......9

1.2.6 Patofisiologi …………………………..…….…………………………….9

1.2.7 Diagnosis…………………………..…….…………………………….....10

1.2.8 Tatalaksana …………………………..…….…………………………….13

1.2.9 Prognosis …………………………..…….…………………………...….15

BAB II TINJAUAN KASUS……………....…….…………………………..…..16

2.1 Identitas…………….........……………..…….……………………………....16

2.2 Anamnesis ....…………………………..…….……………………..………..16

2.3 Pemeriksaan Fisik…………………………..…….……………………….....17

2.4 Diagnosis………......…………………..…….……………………...………..18
4

2.5 Diagnosis Banding……….......….……..…….……………………..………..18

2.6 Planning Diagnosis…………........……..…….……………………......……..18

2.7 Planning Terapi………………….....…..…….………………..……………..18

2.8 Planning Monitoring…………….....…..…….………………………......…..19

2.9 Planning Edukasi……………………..……....……………………………....19

BAB III PEMBAHASAN……………….....…….………………………..……..20

BAB IV KESIMPULAN ...…………………...………………………………… 23

DAFTAR PUSTAKA …………………………..………………..…………….. 24

BAB I
5

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Mikosis

1.1.1 Definisi

Infeksi jamur atau mikosis dibagi menjadi 3 berdasarkan

kedalaman infeksinya pada jaringan kulit (Goldsmith et al. 2019) :

a. Superfisial : infeksi melibatkan stratum korneum, rambut, dan kuku

b. Subkutan : infeksi melibatkan dermis dan / atau jaringan subkutan

c. Profunda/Sistemik : terjadi penyebaran hematogen pada pejamu yang

immunocompromised

Gambar 1
Lapisan Kulit (Goldsmith et al. 2019)

1.1.2 Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah infeksi kulit superfisial oleh fungi

yg menggunakan keratin sbg nutrien, dapat berkoloni dgn jaringan

yg mengandung keratin: str.korneum epidermis, rambut, kuku.

Penyebab dermatofita dapat dikelompokkan menjadi tiga


6

kelompok: Trichophyton (yang menyebabkan infeksi pada kulit,

rambut, dan kuku), Epidermophyton (yang menyebabkan infeksi

pada kulit dan kuku), dan Microsporum (yang menyebabkan

infeksi pada kulit dan rambut). Dermatofita, jamur penyebab

dermatofitosis, berasal dari (Goldsmith et al. 2019) :

 Famili Arthrodermataceae

 3 genus (Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton)

 40 Spesies

Gambar 2
Lokasi Infefeksi Jamur Superfisial (Goldsmith et al. 2019)

1.1.3 Klasifikasi Dermatomikosis

Diagnosis dermatofitosis diklasifikasikan berdasarkan

predileksi infeksinya (Griffiths et al, 2016) :

 Tinea Capitis

 Tinea Barbae

 Tinea Corporis
7

 Tinea Cruris

 Tinea Manus

 Tinea Pedis

 Tinea Unguium

 Tinea Incognito

1.2 Tinea Corporis

1.2.1 Definisi

Infeksi jamur dermatofita pada kulit kecuali telapak

tangan, telapak kaki, dan selangkangan (badan, wajah, tungkai &

lengan) (Goldsmith et al. 2019).

1.2.2 Etiologi

Jamur kelompok dermatofita, dengan prevalensi tersering

adalah (>> Trichophyton rubrum, T. tonsurans, dan Microsporum

canis ) (Goldsmith et al. 2019).

1.2.3 Sumber Penularan

Dermatofita dapat menginfeksi manusia melalui 3 cara,

yaitu (Griffiths et al, 2016):

1. Antropofilik, yang bersumber dari manusia dan transmisi dari

manusia ke manusia dapat ditularkan oleh muntahan dan dengan

kontak langsung, contohnya T.rubrum

2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia yaitu kucing atau

anjing ditularkan melalui kontak langsung, misalnya M.canis


8

3. Geofilik, transmisi jamur yang berasal dari tanah atau

lingkungan ke manusia, antara lain M.Gypseum

Gambar 2
Transmisi Dermatofita (Goldsmith et al. 2019)

1.2.4 Epidemiologi

Dermatofita adalah infeksi jamur superfisial yang paling

umum di dunia dan tersebar luas di negara berkembang, terutama

negara tropis dan subtropis dengan suhu ligkungan dan kelembapan

yang tinggi. Prevalensi pada pria dan wanita sama dengan paling

tinggi dijampui pada remaja dan dewasa muda. Pada anak-anak

infeksi sering ditransmisikan melalui hewan (kucing, anjing)


9

(Goldsmith et al. 2019).

1.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Infeksi

Diantara faktor yang dapat mempengaruhi tinea corporis

adalah (Griffiths et al, 2016):

 Usia

 Jenis kelamin

 Genetik

 Komorbiditas dari host

 Suhu

 Ventilasi

 Kelembaban

1.2.6 Patofisiologi

Dermatofita secara khusus mendiami lapisan kulit, rambut,

dan kuku yang tidak hidup, untuk mendapatkan kehangatan,

lingkungan lembab yang kondusif untuk proliferasi jamur. Jamur

dapat melepaskan keratinase dan enzim lain untuk menyerang lebih

dalam ke dalam stratum korneum, meskipun biasanya kedalaman

infeksi terbatas pada epidermis dan umumnya tidak menyerang

secara mendalam, karena mekanisme pertahanan host tidak spesifik

yang dapat mencakup aktivasi faktor penghambat serum,

komplemen, dan leukosit polimorfonuklear. Setelah masa inkubasi


10

1-3 minggu, dermatofita menyerang perifer dalam pola sentrifugal.

Respon dari infeksi, terdapat tepi aktif dengan perbatasan memiliki

peningkatan proliferasi sel epidermis dengan terdapat sisik, yang

menciptakan pertahanan parsial dengan cara menginfeksi kulit dan

meninggalkannya ke kulit baru dan sehat yang menjadi pusat lesi

yang semakin parah. Eliminasi dermatofit dicapai dengan imunitas

yang diperantarai sel (Sugganthi et al, 2017)

Gambar 3
Patogenesis Tinea Corporis (Sugganthi et al, 2017)

1.2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umunya

dilakukan secara klinis, dapat diperkuat dengan pemeriksaan

mikroskopi, kultur dan pemeriksaan lampu wood pada spesies

tertentu. Preparat KOH adalah yang sering membantu ketika


11

diagnosis tidak pasti pada keluhan dan inspeksi. Berikut ini adalah

berbagai tes laboratorium yang dapat digunakan untuk memastikan

diagnosis dermatofitosis (Goldsmith et al. 2019).

 Manifestasi Klinis

Lesi berbentuk bulat atau lonjong berbatas tegas dan

terkadang disertai vesikel atau papul ditepinya dengan jenis tepi

yang terlihat lebih aktif dan meninggi disertai skuama, central

healin. Predileksi lesi adalah kulit tubuh yang tidak berambut

(glabrous skin) kecuali pergelangan tangan dan kaki, inguinal

(Widaty et al, 2017)

Gambar 4
Tinea Corporis (Goldsmith et al. 2019)

 Pemeriksaan mikroskopis langsung

Perawatan spesimen kulit dengan 10-20% kalium

hidroksida (KOH) adalah peemeriksaan yang cepat dan murah

untuk memberikan bukti infeksi dermatofitik. Kerokan positif

ditandai dengan adanya filamen hifa yang dapat jelas, panjang,


12

halus, bergelombang, bercabang, dan terpisah dengan atau tanpa

artrokonidiospora. Hasil negatif palsu terlihat pada 15% kasus.

Pewarnaan fluoresen dengan pencerah optik (diaminostilbene)

adalah metode paling sensitif untuk mendeteksi secara mikroskopis

jamur dalam sisik kulit serta spesimen dari kuku dan rambut. Zat

ini mengikat kitin, komponen utama dinding sel jamur (Goldsmith

et al. 2019).

Gambar 5
Pemeriksaan Mikroskopis Dermatofitosis (Goldsmith et al. 2019).

 Kultur dan sensitivitas antijamur

Sabouraud dextrose agar (SDA, 4% pepton, 1% glukosa,

agar, air) adalah media isolasi yang paling umum digunakan untuk

dermatofitosis dan berfungsi sebagai media di mana sebagian besar

deskripsi morfologis didasarkan. Pengembangan koloni

membutuhkan waktu 7-14 hari. Modifikasi SDA, dengan

penambahan gentamisin, kloramfenikol, dan sikloheksimid lebih


13

selektif untuk dermatofita karena kloramfenikol menghambat

pertumbuhan jamur saprofitik. Media uji dermatofit merupakan

alternatif media isolasi yang mengandung indikator pH fenol merah

dan diinkubasi pada suhu kamar selama 5-14 hari. Dermatofita

menggunakan protein yang menghasilkan ion amonium berlebih

dan lingkungan alkali yang mengubah medium dari kuning menjadi

merah cerah (Goldsmith et al. 2019).

A B
Gambar 6
A. Kultur Ticrosporum rubrum dan B. Kultur Microsporum canis
(Griffiths et al, 2016)

1.2.8 Tatalaksana

 Terapi nonfarmakologis

Pasien harus mengenakan pakaian longgar yang terbuat

dari katun atau bahan sintetis yang dirancang untuk menyeka

kelembaban dari permukaan. Kaus kaki harus memiliki sifat yang

serupa. Area yang kemungkinan terinfeksi harus dikeringkan

sepenuhnya sebelum ditutup dengan pakaian. Pasien juga harus


14

disarankan untuk menghindari berjalan tanpa alas kaki dan berbagi

pakaian (Widaty et al, 2017)

 Terapi Farmakologi

Terapi infeksi dermatofit melibatkan penggunaan sediaan

topikal dan oral. Tinea corporis lokal biasanya merespon terapi

topikal yang diterapkan selama dua hingga tiga minggu

a. Obat topikal (Widaty et al, 2017) :

- Klotrimazol: krim 1% /salep/larutan yang dioleskan dua kali

sehari

- Ketokonazol: krim 2% /sampo/gel/busa diterapkan sekali

sehari

- Miconazole: krim 2% /salep/larutan/lotion/bubuk yang

dioleskan dua kali sehari

- Naftifine: krim 1%, diterapkan sekali sehari atau 1% atau 2%

gel diterapkan dua kali sehari

- Terbinafine: krim 1% /gel/sprai sekali atau dua kali sehari

Terapi oral diperlukan pada infeksi yang lebih luas

atau kasus yang gagal dalam pengobatan topikal. Terbinafine oral

dan itrakonazol biasa digunakan seagai lini pertama dan

memberikan perbaikan dalam dua sampai tiga minggu (Widaty et

al, 2017).

b. Obat Oral (Widaty et al, 2017) :

Dewasa:

- Terbinafine 250 mg/hari (dewasa) selama 2-4 minggu.


15

- Itrakonazole 100 mg/hari (dewasa) selama 2 minggu atau

200mg/hari selama satu minggu.

- Flukonazole 150-300 mg/minggu, 4-6 minggu.

- Griseofulvin 500-1000 mg/hari (dewasa) 2-4 minggu

Anak:

- Griseofulvin, 10–20 mg/kg/hari selama 2–4 minggu

Obat fungistatik adalah obat yang dapat mencegah

sintesis asam nuklei, menangkap pembelahan sel pada metafase

dan merusak sintesis dari dinding sel. Contoh obat fungistatik

adalah griseofulvin, flukonazole dan ketokonazole. Sedangkan obat

yang termasuk fungisidal adalah terbinafin jika terdapat akumulasi

dari squalene dan ketokonazol dalam konsentrasi tinggi. Obat yang

memiliki kemampuan keduanya, baik fungisidal dan fungistatik

adalah itrakonazol (Widaty et al, 2017).

1.2.9 Prognosis

Prognosis tinea corporis baik dengan terapi yang tepat dan

kepatuhan pasien. Komplikasi jarang terjadi (Widaty et al, 2017).


16

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

• Nama : Tn. S

• Usia : 40 th

• Alamat : Malang

• Pekerjaan : Pegawai pabrik rokok

• Status pernikahan : Menikah

• Agama : Islam

• Pendidikan terakhir : SMA

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama

Bercak Gatal

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RS UMM dengan

keluhan ada bercak yang terasa gatal secara terus-menerus pada pipi

kiri sejak 2 bulan yang lalu. Bercak timbul tanpa didahului trauma

atau demam. Awalnya bercak kecil lalu makin lama makin meluas.

Bercak terasa makin gatal saat berkeringat. Pasien sudah

memeriksakan kondisinya ke puskesmas seminggu yll dan diberi obat

minum CTM dan salep hidrokortison. Obat sudah diminum teratur.

Pasien mengaku keluhan gatal membaik, namun bercak dikulit makin

meluas. Keluhan lain disangkal.


17

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita hal seperti ini sebelumnya.

Riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus dan asma disangkal.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga yang tinggal satu rumah tidak memiliki keluhan yang

sama.

2.2.7 Riwayat Sosial

Pasien seorang pegawai pabrik rokok yang sering berkeringat

saat beraktivitas sehari”nya. Pasien biasa menggunakan masker yang

menutup sampai seluruh rahangnya. Masker dicuci seminggu sekali.

Pasien menggunakan sabun lifeboy untuk cici muka. Lingkungan

rumah tidak lembab dan ventilasi baik. Pasien tidak memiliki hewan

peliharaan atau riwayat kontak dengan tanah.

2.3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Status Dermatologi

At regio fasialis et retroaurikular sinistra didapatkan plak

eritematosa dengan batas jelas dan tepi tidak teratur, disertai skuama

putih halus dan sebagian tepi lebih aktif dibanding tengahnya (central

healing)
18

2.4 Diagnosis

Susp Tinea Corporis

2.5 Diagnosis Banding

 Tinea Inkognito

 Dermatitis Seboroik

 Psoriasis Vulgaris

2.6 Planning Diagnosis

 Pemeriksaan Mikroskopis KOH 10%

 Kultur

 Histopatologi

2.7 Planning Terapi

 Non Medikamentosa
19

- Ganti masker tiap 4 jam sekali

- Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen

lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh

jamur atau menggunakan disinfektan lain

 Medikamentosa

- Menghentikan penggunaan salep hidrokortison

- Antifungal topical: Ketokonazol 2% cream selama 3-4 minggu,

digunakan 1x sehari

- Antifungal sistemik : Itrakonazol 1x2mg/hari selama 7 hari

- Antihistamin: Cetirizine 1x1 tab, dihentikan bila keluhan gatal

hilang

2.8 Planning Monitoring

 Keluhan pasien

 Perkembangan Lesi (adakah perbaikan dan adakah lesi baru)

2.9 Planning Edukasi

 Mengedukasi bahwa penyakit yang diderita disebabkan jamur

 Mengedukasi faktor resiko disebabkan penggunaan masker yang

lembab dan dicuci seminggu sekali

 Mengeringkan muka sebelum mengenakan masker

 Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat

 Menganjurkan skrining pada keluarga

 Mengedukasi bahwa prognosis dari penyakit pasien baik


20

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien Tn. S berusia 40 tahun datang dengan keluhan bercak gatal di

pipi sejak 2 bulan. Awalnya bercak kecil lalu makin lama makin meluas dan gatal

memberat saat berkeringat. Pasien sudah diterapi dengan hidrokortison sejak 1

minggu yang lalu. Riwayat penggunaan masker yang menutupi daerah lesi, sering

berkeringat dan dicuci 1 minggu sekali. Pemeriksaan efloresensi didapatkan plak

eritematosa dengan batas jelas dengan skuama putih halus dan sebagian tepi lebih

aktif dibanding tengahnya (central healing). Setelahnya gatal membaik namun

ruam tetap meluas. Keluhan yang disebutkan tersebut sesuai dengan manifestasi

tinea corporis.

Terjadinya tinea corporis didukung oleh adanya faktor resiko

penggunaan masker yang menutupi daerah lesi, sering berkeringat dan masker

hanya dicuci 1 minggu sekali. Pada penelitian, didapatkan hubungan yang

signifikan antara personal hygiene dengan angka kejadian tinea. Sedangkan sering

berkeringat dapat meningkatkan kelembaban. Kelembaban meningkatkan

germinasi artroconidia pada keratinosit makin baik (Griffiths et al, 2016).

Keluhan gatal terjadi oleh karena reaksi inflamasi. Jamur yang telah

menempel dan tumbuh pada kulit wajah (faktor resiko +) akan menghancurkan

keratin dengan enzim keratolitiknya. Keratin merupakan makanan yang baik

untuk jamur sehingga jamur tumbuh dan berkembang dengan subur. Dengan

perkembangan jamur yang makin banyak sekresi enzim keratolitik meningkat dan

terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan rasa gatal. Keluhan ruam yang makin
21

meluas terjadi oleh karena perkembangan jamur yang makin banyak didukung

oleh sekresi enzim keratolitik (Sugganthi et al, 2017).

Penggunaan salep hidrokortison dimungkinkan oleh karena mised

diagnosis tinea. Hidrokortison dapat menurunkan reaksi inflamasi sehingga rasa

gatal tertekan. Namun infeksi jamur terus berkembang karena steroid tidak

mampu membunuh jamur. Sehingga meskipun keluhan gatal berkurang lesi kulit

justru semakin meluas (Griffiths et al, 2016).

Tabel Perbandingan Diagnosis Banding

Nama Manifestasi Klinis Predileksi Pemeriksaan


Penyakit Khas Penunjang
Tinea Lesi berbentuk bulat kulit tubuh yang • KOH 10% : hifa
corporis atau lonjong berbatas tidak berambut panjang bersepta
tegas dan terkadang (glabrous skin) dan bercabang
disertai vesikel atau kecuali • Kultur:
papul ditepinya dengan pergelangan ditemukan
jenis tepi yang terlihat tangan dan kaki, dermatofita:
lebih aktif dan inguinal trichphyton,
meninggi disertai microsporum,
skuama, central healing epidermophyton
• Biopsi
Tinea Gambaran khas tinea kulit tubuh yang • KOH 10% : hifa
inkognito menghilang, riwayat tidak berambut panjang bersepta
penggunaan (glabrous skin) dan bercabang
kortikosteroid (topical kecuali • Kultur:
maupun oral) atau pergelangan ditemukan
calcineurin inhibitor, tangan dan kaki, dermatofita:
posiif pada salah 1 inguinal trichphyton,
pemeriksaan penunjang microsporum,
(KOH, kultur, biopsi), epidermophyton
ada perbaikan setelah • Biopsi
terapi dengan antifungal
Dermatitis • Kemerahan, bersisik, kulit >> kelenjar • Tidak ada
Seboroik gatal sebasea, ex: • Pmx penunjang
• Keluhan dapat wajah, kulit dikerjakan untuk
memburuk jika kepala, telinga, menyingkirkan
terdapat tubuh bagian DD
22

stressor/cuaca dingin atas dan fleksura


• Keluhan swasirna (aksila, inguinal
dan kronis dan
• Lesi eksematoid inframammae)
berupa plak
eritematosa
superfisial dengan
skuama
Psoriasis • Bercak merah >> siku, lutut, • Histopatologi
Vulgaris bersisik disertai gatal, kepala, celah (Hiperkeratosis,
bersifat kronik residif intergluteal, parakeratosis,
• Bisa disertai arthritis, palmar dan akantosis,
kelainan kuku atau plantar pemanjangan
mukosa Rete ridges,
• Pencetus : infeksi, permanjangan
obat-obatan, stres, papila dermis,
dan merokok mitosis stratum
• Plak eritematosa basalis , mikro
berbatas tegas dengan abses Munro )
skuama berwarna
keperakan
• Fenomena bercak
lilin, austpitz sign,
fenomena kobner

BAB IV
23

KESIMPULAN

Anamnesis dan pemeriksaan dermatologi pada didapatkan data Tn. S

berusia 40 tahun datang dengan keluhan bercak gatal di pipi sejak 2 bulan.

Awalnya bercak kecil lalu makin lama makin meluas dan gatal memberat saat

berkeringat. Pasien sudah diterapi dengan hidrokortison sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat penggunaan masker yang menutupi daerah lesi, sering berkeringat dan

dicuci 1 minggu sekali. Pemeriksaan efloresensi didapatkan plak eritematosa

dengan batas jelas dengan skuama putih halus dan central healing. Setelahnya

gatal membaik namun ruam tetap meluas. Keluhan yang disebutkan tersebut

sesuai dengan manifestasi tinea corporis.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologi, selain tinea

corporis pasien juga dicurigai mengalami tinea inckognito, dermatitis seboroik

dan psoriasis vulgaris. Dari kecurigaan diagnosis dan diagnosis bandingnya

dilakukan pemeriksaan KOH, kultur dan histopatologi untuk mengerucutkan

diagnosis. Pada tinea corporis KOH 10% akan didapatkan hifa panjang bersepta

dan bercabang dan kultur ditemukan dermatofita (trichphyton, microsporum,

epidermophyton).

Tatalaksana meliputi farmakologi dan non farmakologi. Terapi

farmakologinya: Menghentikan penggunaan salep hidrokortison, Antifungal

(Ketokonazol 2% cream selama 3-4 minggu, digunakan 1x sehari), Antifungal

sistemik (Itrakonazol 1x2mg/hari selama 7 hari) dan Antihistamin (Cetirizine 1x1

tab, dihentikan bila keluhan gatal hilang).

DAFTAR PUSTAKA
24

Leung AKC, Lam JM, Leong KF , et al, 2020, Tinea corporis: an updated

review, Drugs in Context, Pg 1740-4398

Goldsmith et al. 2019. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 9th

Edition. New York: The McGraw-Hill Companies. pp.2925-2949

Griffiths. C.E.M, et al, 2016, Rook’s Textbook of Dermatology 9th Edition,

UK : John Wiley & Sons, pp 3215-3250

Widaty S, Hardyanto S, Hanny N, et al, 2017, Panduan Praktik Klinis bagi

Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia, PERDOSKI : Jakarta

Sahoo AK, and Rahul M, 2016, Management of tinea corporis, tinea

cruris, and tinea pedis: A comprehensive review, Indian Dermatol Online Journal,

Vol 7 (2): 77–86.

Sugganthi. M., et al, 2017, Pathogenesis and clinical significance of

dermatophytes: A comprehensive review, Innovations in Pharmaceuticals and

Pharmacotherapy, Vol 4 (1), pg 62-70

Anda mungkin juga menyukai