Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga
menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan
mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma dapat
menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imunologi,
dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat dapat mengalami kegagalan fungsi
membran sel, gangguan integritas endotel, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular
menyeluruh (Wim de Jong, Sjamsuhidajat, 2005).

Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan (Salomone, 2010).

Berdasarkan pengertian diatas maka trauma tumpul hepar adalah cedera atau perlukaan organ
hepar pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh
pukulan, benturan, ledakan, deselarasi (perlambatan), atau kompresi.

2. Epidemiologi

Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi
dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar, patah tulang iga, cedera
perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya
viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ dibawahnya. Mekanisme
terjadinya trauma pada trauma tumpul hepar disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya
organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti hati. Trauma

1
tumpul abdomen lebih sering terjadi pada kasus gawat darurat akibat kecelakaan lalulintas, jatuh
olahraga, kecelakaan kerja atau perkelahian. Dari kejadian trauma tumpul abdomen, 20%
memerlukan laparotomi. Kejadian trauma tumpul abdomen dengan velositas tinggi sering
menimbulkan kerusakan organ multiple, seperti organ padat hepar, lien, ginjal dibandingkan
dengan organ berongga (Wim de jong, Sjamsuhidajat R: 2005).

Organ yang paling sering terkena adalah limpa yaitu sekitar 40-55% kasus karena limpa
merupakan organ yang paling rapuh. Hati 35-45% dan usus halus 5-10% menduduki peringkat
selanjutnya akibat trauma. Kejadian trauma tumpul pada ginjal sekitar 80-90% biasanya disertai
trauma berat dengan cedera organ lain (Charlotte: 2007, George and Clive, 2008).

Hepar sebagai organ solid atau padat dengan kejadian cedera tertinggi pada kasus trauma
abdomen. Setidaknya 15-20% trauma abdomen termasuk cedera pada 9 hati. 80-90% cedera
hepar merupakan trauma tumpul. Pada 2013, sebuah penelitian dengan menggunakan
ultrasonografi untuk mengevaluasi trauma intraperitoneal memperlihatkan bahwa hepar paling
sering cedera dan usia muda lebih rentan mengalami cedera hepar dan pankreas.

3. Etiologi

Cedera deselerasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan badan
masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian tubuh yang relatif tidak
terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan pada organ tersebut (Wim de Jong,
Sjamsuhidajat, 2005).

Menurut Udeani, 2005 mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient)
organ seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal. Kerusakan intra abdominal sekunder untuk
kekuatan tumpul pada abdomen secara umum dapat dijelaskan dengan 3 mekanisme, yaitu:

1. Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur. Akibatnya,


terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat, organ viseral
dan pembuluh darah, khususnya pada ujung organ yang terkena. Contoh pada aorta distal
yang mengenai tulang torakal dan mengurangi yang lebih cepat dari pada pergerakan arkus

2
aorta. Akibatnya, gaya potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat
terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.

2. Isi intra-abdominal hancur di antara dinding abdomen anterior dan columna vertebra atau
tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan remuk, biasanya organ padat (spleen, hati,
ginjal) terancam.

3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang tiba-tiba
dan mencapai puncaknya pada ruptur organ berongga.

4. Anatomi Hepar

Pengetahuan komprehensif mengenai anatomi hepar sangat penting dalam manajemen


trauma pada hepar, pemahaman tentang perlekatan ligament, parenkim, vaskular intraparenkim
dan ekstraparenkim hepar merupakan kunci efektivitas untuk kontrol dan repair cedera hepar.
Anatomi fungsional dari hepar terbagi menjadi segmen untuk kepentingan reseksi. Tahun 1953,
Couinaud membagi segmen hepar berdasarkan distribusi vena hepatika dan pedikel glisoni.
Dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Sebagian besar trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini
dipercaya merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa, tulang belakang atau dinding
posterior abdomen. Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau di
daerah kanan bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada
permukaan superior dari lobus kanan.

3
LOKASI

Hepar merupakan kelenjar terbesar didalam tubuh, yang terletak di bagian teratas dalam
rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma. Hepar menempati hampir seluruh regio
hypochondrica dextra, sebagian besar epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio
hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria. Bentuknya seperti suatu pyramid bersisi tiga
dengan basis menunjuk ke kanan sedangkan apeks (puncak) nya ke kiri. Pada laki – laki dewasa
beratnya 1400 – 1600 gram, perempuan 1200 – 1400 gram.ukuran melintang (transversal) 20 –
22,5 cm, vertikal 15 – 17,5 cm sedangkan ukuran dorsoventral yang paling besar adalah 10 - 12,5
cm.

Berat rata- rata hepar sekitar 1.500 gr atau 2% berat badan orang dewasa normal. Hepar
merupakan organ lunak yang lentur dan tercetak oleh struktur sekitarnya, hepar memiliki
permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian
kubah kiri, bagian bawah hepar berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan,
lambung, pankreas dan usus.

Setiap lobus hepar terbagi menjadi struktur –struktur yang disebut lobulus yang merupakan
unit mikroskopis dan fungsional organ. Sikap lobulus merupakan bagan heksagonal yang terdiri
atas lempeng – lempeng sel hepar berbentuk kubus tersusun radial mengelilingi vena sentralis
yang mengalirkan darah dari lobulus.

Hepar manusia memiliki maksimal 100.000 lobulus. Diantara lempengan sel hepar terdapat
kapiler – kapiler yang disebut sebagai sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria
hepatika. Sejumlah 50% dari semua makrofag dalam hepar adalah sel Kupffer, sehingga hepar
merupakan salah satu organ penting dalam pertahanan melawan infasi bakteri dan agen toksit.
Hepar mempunyai dua lobus utama yaitu lobus kanan yang dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fisura segmentalis kanan dan lobus kiri yang dibagi menjadi segmen medial dan
lateral oleh ligamentum falsiformis.

SIRKULASI

Hepar memiliki dua sumber suplai darah, saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah
arteri dan dua pertiganya adalah vena dari vena porta. Volume total darah yang melewati hepar

4
setiap menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena hepatika kanan dan kiri, yang
selanjutnya bermuara pada vena kava inferior. Vena porta bersifat unik karena terletak di antara
dua daerah kapiler yang satu terletak dalam hepar dan lainnya dalam saluran cerna. Cabang-
cabang terhalus arteria hepatica juga mengalirkan darahnya kedalam sinusoid, sehingga terjadi
campuran darah arteri dari arteria hepatika dan darah vena dari vena porta.

5. Klasifikasi Trauma Tumpul Abdomen

Trauma tumpul abdomen dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis organ yang cedera dapat
dibagi dua, yaitu :

1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan.

2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah peritonitis.

Derajat cedera pada hepar dapat dinilai dengan criteria dari AAST (American Association
for the Surgery of Trauma) yaitu menggunakan OIS (Organ Injury Scale). Dengan adanya
kriteria tersebut dapat membantu dalam mengambil keputusan untuk penatalaksanaan trauma
hepar. Secara garis besar manajemennya didasarkan atas status kardiovaskular pasien tersebut
apakah memerlukan manajemen operatif atau non operatif. Gambaran CT scan dan jumlah darah
yang terdapat dalam rongga abdomen dapat dijadikan acuan menentukan derajat keparahan dari
trauma hepar.

5
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi trauma hepar menjadi
6, yaitu :

The World Society of Emergency Surgery (WSES) mengklasifikasikan pendekatan trauma


hepar melalui klasifikasi AAST sebagai berikut :

 Grade I (minor hepatic injury): AAST grade I-II hemodynamically stable either blunt or
penetrating lesions.
 Grade II (moderate hepatic injury): AAST grade III hemodynamically stable either blunt
or penetrating lesions.
 Grade III (severe hepatic injury): AAST grade IV-VI hemodynamically stable either
blunt or penetrating lesions.
 Grade IV (severe hepatic injury): AAST grade I-VI hemodynamically unstable either
blunt or penetrating lesions.

6. Gejala Klinis

Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera organ
intra abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk
mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan

6
kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya
perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya (wim de jong, Sjamsuhidajat: 2005).

Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan
urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus
direkam dengan teliti dalam catatan medis. Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan
pemeriksaan fisik biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan
kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak
pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang
terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal.

1. Inspeksi

Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga bagian
bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang
tertancap serta status hamil. Penderita dapat diposisikan dengan hati–hati untuk mempermudah
pemeriksaan lengkap.

2. Auskultasi

Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang
bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat menyebabkan ileus, mengakibatkan
hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang,
panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga
tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.

3. Perkusi

Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya peritonitis
yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung
akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum.

4. Palpasi

Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitkan


pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang
handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan

7
tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika
tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba–tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang
timbul akibat adanya darah atau isi usus.

7. Diagnosis

Diagnosa trauma tumpul hepar didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Meskipun dapat diduga sebelum operasi, trauma hepar lebih sering baru diketahui
sewaktu laparotomi eksplorasi. Dapat juga diketahui melalui pemeriksaan CT scan. Kecurigaan
dibuat berdasarkan lokasi trauma dan terdapatnya fraktur iga kanan bawah, pneumotoraks,
kontusio paru, syok haemoragik, serta ditemukannya darah dan empedu padalavase peritoneal
positif untuk darah dan empedu.

Cara diagnostik terbaik adalah berdasarkan penilaian klinis yang ditunjang dengan
pemeriksaan berulang. Laparotomi dapat menemukan perdarahan yang tidak diketahui
sebelumnya. Apabila terjadi hemobilia, terdapat trias, yaitu tanda perdarahan saluran cerna
bagian atas, ikterus, dan nyeri perut kanan atas, yang ditemukan setelah riwayat trauma
abdomen, setelah operasi, atau tindakan manipulasi saluran empedu beberapa jam sampai
beberapa minggu sebelumnya. Tanda perdarahan berupa hematemesis atau melena sering
didahului nyeri. Perdarahan ke dalam saluran empedu nyerinya berlainan dengan perdarahan di
saluran cerna.

1. Laboratorium

Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur
hepar akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah juga dapat
menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hepar, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu
perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hepar lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang
dilihat sebagai indikator, biasanya peningkatannya dapat ditemukan pada hari ke-3 sampai hari
ke-4 setelah trauma.

2. Foto Polos Abdomen

8
Pada penderita dengan hemodinamik normal maka pemeriksaan foto polos abdomen dalam
keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk
mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang
keduanya memerlukan laparotomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga
menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontraindikasikan karena nyeri
atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus)
untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal (Rose, 2004).

3. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi (USG) merupakan pencitraan pilihan, utamanya untuk mendeteksi cedera


pada organ dan cairan bebas di rongga abdomen (Kozar, 2009). Cairan pada abdomen tampak
sebagai sinyal anechoic. USG dapat menunjukkan gambaran hematom, kontusio, biloma dan
hemoperitoneum.

Indikasi dan peranan FAST pada trauma tumpul abdomen adalah pasien stabil dengan
kecurigaan klinis tinggi terhadap cedera torakoabdominal.

1. Mekanisme cedera yang signifikan, nyeri abdomen, jejas pada abdomen, hematuria
makroskopis, hipotensi transien yang tidak dapat dijelaskan, temuan klinis yang rancu akibat
intoksikasi atau cedera lain

9
2. Jika FAST positif seringkali pemeriksaan lain tidak diperlukan dan intervensi segera dapat
dikerjakan.

USG memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih rendah untuk mendeteksi cedera parenkim
dibandingkan untuk mendeteksi carian bebas. Cedera organ solid tanpa hemoperitoneum lebih
sukar untuk dideteksi (Rose, 2004).

10
4. CT-Scan Abdomen

CT scan memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk mendeteksi cedera hepar.
Penampakan pada CT terhadap trauma tumpul hepar antara lain laserasi, hematoma subkapsular
dan intraparenkim, perdarahan aktif dan cedera vaskuler.

11
Hematoma intraparenkim dapat dengan mudah dibedakan pada CT Scan dengan kontras.
Cairan intraperitoneal bebas umum ditemukan pada CT Scan pasien dengan trauma tumpul
abdomen. Sejumlah kecil hemoperitoneum awalnya berkumpul pada kompartemen dekat dengan
lokasi perdarahan dan semakin besar mengalir ke kantong Morison hingga cavum Douglas.
Deteksi perdarahan aktif pada CT lebih penting sebagai prediktor kuat kegagalan terapi non
operatif (Wong, 2005). CT scan merupakan pencitraan yang akurat untuk menilai lokasi trauma
pada hepar. CT scan dapat berguna untuk monitor penyembuhan, trauma hepar yang
menyebabkan hematom intrahepar, kontusio, kerusakan  pembuluh darah dan bilier. Kriteria CT
scan pada trauma hepar  berdasarkan grade American Association for the Surgery adalah :

 Grade 1

 Grade 2

12
 Grade 3

 Grade 4

13
 Grade 5

 Grade 6

14
15
5. DPL (Diagnostik Peritoneal Lavage)

Diagnostik peritoneal lavage merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk
mengidentifikasi cedera intra-abdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi atau tidak
responsif tanpa indikasi yang jelas untuk eksplorasi abdomen. Kerugiannya adalah bersifat
invasif, risiko komplikasi dibandingkan tindakan diagnostik non-invasif, tidak dapat mendeteksi
cedera yang signifikan (ruptur diafragma, hematom retroperitoneal, pankreas, renal, duodenal,
dan vesica urinaria), angka laparotomi non-terapetik yang tinggi, dan spesifitas yang rendah.
Dapat juga didapatkan positif palsu bila sumber perdarahan adalah imbibisi dari hematom
retroperitoneal atau dinding abdomen.

Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita dengan
hemodinamik abnormal dan menderita multitrauma, terutama jika terdapat situasi sebagai berikut
:

 Perubahan sensorium – cedera kepala, intoksikasi alkohol, penggunaan obat terlarang.

 Perubahan perasaan – cedera jaringan saraf tulang belakang.

 Cedera pada struktur berdekatan – tulang iga bawah, panggul, tulang belakang dari pinggang
bawah (lumbar spine).

 Pemeriksaan fisik yang meragukan.

 Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan pasien

16
DPL VS ULTRASOUND VS CT SCAN PADA TRAUMA TUMPUL

17
8. Penatalaksanaan Trauma Tumpul Hepar

Diagnosis dan penanganan yang tepat dari trauma tumpul hepar merupakan unsur
terpenting dalam mengurangi kematian akibat trauma abdomen. Pada pasien trauma penilaian
abdomen merupakan salah satu bagian yang menarik. Penilaian sirkulasi saat survei awal harus
mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi di dalam
abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada diantara puting dan
perineum harus dianggap potensial menyebabkan cedera intra-abdominal. Pada penilaian
abdomen, prioritas maupun metode yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat
dan lokasi trauma maupun status hemodinamik penderita (Peitzman et al., 2008; Salomone,
2010; Umboh et al., 2016).

Untuk dua mekanisme yang berbeda yaitu trauma tajam (penetrans) dan trauma tumpul
(non penetrans) terdapat pendekatan diagnostik yang berbeda. Adanya luka penetrasi saja sudah
menarik perhatian akan besarnya kemungkinan terjadi trauma pada organ intra abdominal,
sedangkan pada trauma tumpul biasanya terjadi multisistem trauma yang menyebabkan diagnosis
lebih sulit ditegakkan. Agar hasil pemeriksaan baik, selain pemeriksaan fisik diperlukan alat
bantu diagnostik. Alat bantu utama yang ada saat ini ialah Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL),
Computed Tomography (CT), Ultrasonography (USG), atau Diagnostic Laparoscopy (DL).
Secara garis besar manajemennya didasarkan atas status kardoivaskular pasien tersebut apakah
memerlukan manajemen operatif atau non operatif. Gambaran CT scan dan jumlah darah yang
terdapat dalam rongga abdomen dapat dijadikan acuan menentukan derajat keparahan dari
trauma hepar. (Williams NS, 2008 ; Isenhour, 2007).

Penatalaksanaan Non-Operatif

Pasien dengan trauma tumpul hepar yang stabil secara hemodinamik tanpa adanya
indikasi lain untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif (80% pada dewasa, 97% pada
anak-anak). Beberapa kriteria klasik untuk penatalaksan non operatif adalah: Hemodinamik
stabil setelah resusitasi, Status mental normal dan tidak ada indikasi lain untuk laparotomi.
Pasien yang ditangani secara non operatif harus dipantau secara cermat di lingkungan gawat
darurat. Monitoring klinis untuk vital sign dan abdomen, pemeriksaan hematokrit serial dan

18
pemeriksaan CT/USG akan menentukan penatalaksanaan. Setelah 48 jam, dapat dipindahkan ke
ruang intermediate care unit dan dapat mulai diet oral tetapi masih harus istrahat ditempat tidur
sampai 5 hari.

Embolisasi angiografi juga dimasukkan ke dalam protokol penanganan non operatif


trauma hepar, pada beberapa situasi dalam upaya menurunkan kebutuhan transfusi darah dan
jumlah operasi. Jika pemeriksaan hematokrit serial (setelah resusitasi) normal pasien dapat
dipulangkan dengan pembatasan aktifitas. Aktifitas fisik ditingkatkan secara perlahan sampai 6-
8 minggu. Waktu untuk penyembuhan perlukaan hepar berdasarkan bukti CT-Scan antara 18-88
hari dengan rata-rata 57 hari. (Williams NS, 2008).

Tatalaksananya meliputi tiga upaya dasar, yaitu mengatasi perdarahan, mencegah infeksi
dengan debrideman jaringan hati yang avaskuler dan penyaluran, serta rekonstruksi saluran
empedu. Penghentian untuk sementara waktu dilakukan dengan cara penekanan manual langsung
daerah yang berdarah dengan tampon, atau dengan klem vaskuler atraumatik di daerah foramen
winslow. Penutupan ligamentum hepatoduodenale di dinding foramen winslow dengan jari atau
klem vaskuler, yang disebut perasat Pringle menyebabkan a. hepatika dan v. porta tertutup sama
sekali. Jaringan hati dapat menahan keadaan iskemia sampai 60 menit apabila dilakukan oklusi
itu. Waktu tersebut umumnya cukup untuk melakukan resusitasi dan menghentikan perdarahan
secara definitif.

19
Upaya kedua adalah mencegah atau mengatasi infeksi dengan memasang penyalur
ektern karena penyebab infeksi adalah kebocoran empedu dan jaringan nekrotik. Kadang di
pasang penyalur T ke dalam duktus koledokus dengan tujuan dekompresi dan mencegah
pembuntuan akibat edema.
Upaya ketiga adalah
rekonstruksi saluran
empedu. Karena
kerusakan empedu yang
besar tidak mungkin
sembuh spontan maka
tempat kebocoran
harus dicari dan dilakukan
rekonstruksi.

Operatif

20
Prinsip fundamental
yang diperlukan di dalam
penatalaksanaan operatif pada trauma hati
adalah: 1. Kontrol perdarahan yang
adekuat 2. Pembersihan seluruh jaringan
hati yang mati (devitalized liver)
3. Drainase yang adekuat dari
lapangan operasi Tehnik Untuk Kontrol
Perdarahan
Temporer/Sementara Dilakukan untuk dua alasan :

1. Memberikan waktu kepada ahli anestesi untuk mengembalikan volume sirkulasi sebelum
kehilangan darah lebih lanjut terjadi.
2. Memberikan waktu kepada ahli bedah untuk memperbaiki trauma lain terlebih dahulu
apabila trauma tersebut lebih membutuhkan tindakan segera dibandingkan dengan trauma
hati tersebut. Tehnik yang paling berguna dalam mengontrol perdarahan sementara adalah
kompresi Manual, pembalutan perihepatik (perihepatic packing), dan parasat pringle.

Gambar Kompresi manual pada cedera hepar

Kompresi manual secara periodik dengan tambahan bantalan laparotomi (Laparatomy


pads) berguna dalam penatalaksanaan trauma hati kompleks dalam menyediakan waktu untuk
resusitasi. Bantalan tambahan (Packing) dapat ditempatkan diantara hati dan diafragma dan

21
diantara hati dengan dinding dada sampai perdarahan telah terkontrol. 10 hingga 15 bantalan
dibutuhkan untuk mengontrol perdarahan yang berasal dari lobus kanan. Pembalutan tidaklah
berguna pada trauma lobus kiri, karena ketika abdomen dibuka, dinding dada dan abdomen
depan tidaklah cukup menutup lobus kiri hati untuk menciptakan tekanan yang adekuat.
Perdarahan dari lobus kiri hati ini dapat dikontrol dengan memisahkan ligamentum triangular kiri
dan ligamentum coronarius kemudian menekan lobus tersebut diantara kedua tangan. Parasat
Pringle ( Pringle Manuver) sering kali digunakan untuk membantu pembalutan /packing dalam
mengontrol perdarahan sementara. Prasat Pringle adalah suatu tehnik untuk menciptakan oklusi
sementara vena porta dan arteri hepatika yang dilakukan dengan menekan ligamentum
gastrohepatik (portal triad). Penekanan ini dapat dilakukan dengan jari atau dengan
menggunakan klem vaskuler atraumatik. Tehnik ini merupakan tehnik yang sangat membantu
dalam mengevaluasi trauma hati grade IV dan V. Portal triad diklem dan direalese setiap 15-20
menit selama 5 menit untuk memberikan perfusi hepatik secara intermitten. Bukti terbaru,
dengan memberikan oklusi total sekitar satu jam tidak memberikan kerusakan iskemik pada
hepar. Abdomen kemudian ditutup, dan pasien dipindahkan ke ICU untuk resusitasi dan koreksi
kekacauan metabolik. Dalam 24 jam, pasien kemudian dikembalikan ke ruang operasi untuk
pengangkatan packing hepar. Tindakan ini diindikasikan untuk trauma grade IV- V dan pasien
dengan trauma yang tidak terlalu parah tetapi menderita koagulopati yang disebabkan oleh
trauma yang menyertai.

Tehnik yang dapat digunakan sebagai terapi definitif pada trauma hati berkisar dari
kompresi manual hingga transplantasi hati. Laserasi parenkim hati grade 1 atau 2 dapat secara
umum diatasi dengan kompresi manual. Apabila dengan tehnik ini tidak berhasil, seringkali
trauma seperti ini diatasi dengan tindakan hemostatik topikal. Tindakan yang paling sederhana
adalah dengan elektrokauterisasi, yang seringkali dapat mengatasi perdarahan dari pembuluh
darah kecil yang dekat dengan permukaan hati. Untuk laserasi grade II dan IV yang memerlukan
tindakan repair dilakukan dengan cara menjahit parenkim hati hal ini ditujukan untuk mengatasi
perdarahan persisten akibat laserasi dengan kedalaman kurang dari 3 cm. Bersama dengan
hepatotomi dan ligasi selektif, tindakan ini juga merupakan alternatif yang cocok pada laserasi
yang lebih dalam jika pasien tidak dapat mentoleransi perdarahan lebih lanjut. Material yang

22
diperlukan adalah catgut chromic atau vicryl 0 atau 2.0 dan jarum kurva ujung tumpul. Untuk
laserasi yang dangkal jahitan terus menerus sederhana (simple continuous suture) dapat
digunakan untuk mendekatkan tepi luka. Untuk laserasi yang dalam , jahitan matras horizontal
terputus (interrupted horizontal

mattres suture) dapat ditempatkan


secara pararel pada tepi luka. Ketika mengikat jahitan, satu yang harus dipastikan bahwa
ketegangan yang adekuat telah tercapai apabila perdarahan telah berhenti. Tindakan tambahan
dalam penjahitan parenkimal atau hepatotomi adalah penggunaan omentum untuk mengisi defek
luas pada hati sekaligus sebagai penopang jahitan. Alasan penggunaan omentum ini adalah
bahwa omentum menyediakan sumber makrofag yang unggul dan mengisi ruang mati potensial
dengan jaringan hidup, mengurangi terbentuknya absces, dan sebagai tampon bagi perdarahan.

23
Ligasi arteri hepatik mungkin cocok untuk pasien dengan perdarahan arteri dari dalam
organ hati. Meskipun demikian tindakan ini hanya sedikit berperan pada keseluruhan
penatalaksanaan trauma hati. Hal ini disebabkan karena tindakan ini tidak menghentikan
perdarahan yang berasal dari sistem vena potra dan vena hepatika. Peranan primer tindakan ini
adalah dalam penatalaksanaan trauma lobus yang dalam ketika penggunaan parasat pringle
berhasil dalam menghentikan perdarahan arteri.

Debridemen reseksi diindikasikan pada parenkim hati bagian perifer yang mati
(nonviable). Jumlah dari jaringan yang dibuang tidaklah melebihi 25% keseluruhan organ hati.
Alternatif akhir untuk pasien dengan trauma unilobar yang luas adalah reseksi hepar anatomis.
Dalam keadaan elektif, lobektomi anatomis dapat dilakukan dengan hasil yang sangat
memuaskan. Reseksi
anatomik pada trauma
dibatasi pada lobektomi
kanan, lobektomi kiri, dan
segmentektomi lateral kiri.
Jenis dan luasnya reseksi
biasanya ditentukan dari sifat
trauma. Untuk melakukan

24
reseksi hepar, hepar harus dimobilisasi terlebih dahulu dengan memotong perlekatan
ligamentumnya. Jika kerusakan parenkim yang masif terjadi akibat trauma hepar atau pada
mereka yang memerlukan reseksi hepar total, maka transplantasi hati dapat mejadi pilihan
penatalaksanaan selanjutnya.

9. Komplikasi

Komplikasi Non-Operatif

Komplikasi penanganan non operatif dari trauma hepar dapat berupa komplikasi perdarahan
hepar, masalah bilier, abdominal kompartmen syndrome dan infeksi. Beberapa komplikasi pada
trauma hepar adalah :

a. Kebocoran bilier

Biloma atau kebocoran bilier terjadi 3-20% kasus pada trauma hepar dengan manajemen
non operatif. Biloma dilokalisir menggunakan Hepatobiliary hydroxy iminodiacetic acid (HIDA)
scan dan MRCP.

b. Abses

Abses perihepatik dapat membuat pasien mengalami tanda tanda sepsis, abnormal fungsi
hati atau intoleransi makanan. Abses dikarenakan pengumpulan dari bilier dapat ditatalaksanai
dengan drainase dengan guiding CT scan.

c. Perdarahan

Dalam review nya tahun 1994 Gates menyebutkan pada pasien trauma hepar yang
ditatalaksanai dengan non operatif manajemen 0-14% mengalami perdarahan yang tertunda.

d. Devaskularisasi

Hambatan aliran vaskular terhadap segmen hepar setelah mengalami trauma atau post
angioembolisasi dapat terjadi nekrosis pada segmen hepar. Konsekuensinya dapat terjadi
peningkatan serum liver transaminase, koagulopati, kebocoran bilier, nyeri perut, intoleransi
makanan, respiratori compromise, gagal ginjal dan sepsis. Banyak studi menyebutkan bahwa

25
jaringan hepar yang nekrosis harus direseksi sebelum komplikasi muncul. Devaskularisasi dapat
dilihat dengan CT scan.

e. Hemobilia

Dapat muncul setelah trauma hepar, ditandai dengan trias nyeri pada kuadran kanan atas,
jaundice dan perdarahan saluran cerna atas.

f. SIRS

Penanganan nonoperatif pasien dengan inadekuat drainase bilier dan darah dapat memicu
terjadinya respon inflamasi sistemik. Artikel terbaru dari Franklin et al menyebutkan evakuasi
bilier dan darah yang ada diperitoneum setelah 3-5 hari post trauma dapat mengurangi risiko
respon inflamasi sitemik.

g. Komplikasi yang tidak biasa

Hematom subkapsular yang besar dapat meningkatkan tekanan intraparenkim sehingga


mampu menyebabkan hipertensi portal segmental dan hepatofugal flow.

Komplikasi Operatif

a. Perdarahan

Perdarahan postoperative sering terjadi, dapat dinilai dengan penurunan nilai hematokrit
secara serial, peningkatan distensi abdomen dan peningkatan episode hipotensi serta takikardi.

b. Abdominal Compartment Syndrome (ACS)

Pada pasien yang menggunakan packing hepar dan pemberian cairan resusitasi yang terus
menerus dapat terjadi ACS. Packing hepar juga dapat menyebabkan emboli paru akibat stasis
vena dari penekanan infrahepatik vena cava.

26
c. Hemobilia

Insiden hemobilia pasca operatif manajemen adalah 0,3-1,2%.

d. Bilhemia

Terjadi ketika cairan empedu larut dalam aliran darah dibawa langsung ke jantung kanan.
Manajemen kasus ini adalah dengan melakukan hemihepatektomi kiri.

e. Fistula Bilier

Akibat penanganan operatif duktus bilier dapat cedera.

f. Nekrosis hepatik

10. Prognosis

Prognosis trauma hepar bergantung pada seberapa besar grade pada pasien. Pasien dengan
trauma hepar grade 3 keatas dapat dikatakan sebagai trauma hepar serius, dimana angka
mortalitasnya sebesar 10%, dan jika pasien memiliki cedera multiple, angka mortalitas dapat
meningkat menjadi 25%. Trauma hepar serius yang bersamaan dengan cedera pada vena cava
parahepatic dengan angka mortalitas diatas 50%. Diagnosis dini, penilaian tepat, penanganan
syok yang cepat, rencana penatalaksanaan yang optimal serta fungsi organ yang masih baik
merupakan factor yang berpengaruh terhadap penurunan angka mortalitas dan perbaikan dalam
penatalaksanaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Piper GL, Peitzman AB. 2010. Current management of hepatic trauma. The Surgical
Clinics of North America.

27
2. Cothren, C. C.; Moore, E. E. 2008. Hepatic Trauma. European Journal of Trauma and
Emergency Surgery.

3. Ali N. 2017. Liver trauma imaging.

https://emedicine.medscape.com/article/370508-overview.

4. Ward J, Alarcon L, Peitzman AB. 2015. Management of blunt liver injury: what is new?
European Journal Trauma Emergency Surgery.

5. Sabiston, David C et al. 2012. Sabiston Textbook of Surgery: the Biological Basis of
Modern Surgical Practice. Canada: Elsevier.

6. Timofte D, Hutanu I, Livadariu RM, Soroceanu RP, Munteanu I, Diaconu C, et al. 2015.
Management of Traumatic Liver Lesions. Diakses pada 28 November 2017

7. Legome, Eric L et al. 2016. Blunt Abdominal Trauma.

http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview

8. Van, Philbert Yuan. 2016. Hepatic Injury.

9. Coccolini F, Catena F, etc. 2016. WSES Classification and Guidelines for livertrauma.
World Journal Emergency Surgery.

https://emedicine.medscape.com/article/370508-overview

10. Miklosh B, Samir AG, etc. 2012. Complications of High Liver Injuries: Management and
outcome with focus on bile leaks. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine.

28

Anda mungkin juga menyukai