Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Aqidah Islam berpangkal pada keyakinan “Tauhid” yaitu keyakinan tentang
wujud Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, baik dalam zat,
sifat-sifat maupun perbuatannya. Akhlak mulia berawal dari aqidah, jika aqidahnya
sudah baik maka dengan sendirinya akhlak mulia akan terbentuk. Iman yang teguh
pasti tidak ada keraguan dalam hatinya dan tidak tercampuri oleh kebimbangan.
Beriman kepada Allah pasti akan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi
larangannya. Beriman kepada Allah juga harus beriman kepada Malaikat, Nabi,
kitab, hari akhir, qada dan qadar Allah. Aqidah memiliki peranan penting dalam
mendidik siswa, ruang lingkup aqidah yang dapat membentuk akhlak mulia akan
mengantarkan manusia Indonesia sebagai manusia yang mumpuni dalam segala
aspek kehidupan. Ruang lingkup dari aqidah yaitu: Ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan
sam’iyyat1 . Dari ruang lingkup aqidah yang dijadikan rujukankan terbentuknya
manusia berakhlakul karimah, berarti manusia dapat menghindari akhlak tercela
sebagai manifestasi dari ajaran-ajaran aqidah Islam. 1 Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah
(Yogyakarta: LPPI, 2000), hlm. 6. 1 2
Pendidikan aqidah akhlak mempunyai arti dan peranan penting dalam
membentuk tingkah laku siswa seutuhnya. Sebab dengan pendidikan aqidah akhlak
ini siswa tidak diarahkan kepada pencapaian kebahagiaan hidup di dunia saja, tetapi
juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat. Dengan pendidikan aqidah akhlak siswa
diarahkan mencapai keseimbangan antara kemajuan lahiriah dan batiniah,
keselarasan hubungan antara manusia dalam lingkup sosial masyarakat dan
lingkungannya juga hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan dengan pendidikan
aqidah akhlak pula siswa akan memiliki derajat yang tinggi yang melebihi makhluk
lainnya. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pendidikan aqidah akhlak
dapat dipandang sebagai suatu wadah untuk membina dan membentuk tingkah laku
siswa dalam mengembangkan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) serta
pembiasaan (psikomotorik).

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan aqidah ?
2. Bagaimana Kedudukan Akidah dalam Islam?
3. Apa saja ruang lingkup aqidah?
4. Apa Macam-macam Tauhid?
5. Apa sumber dan fungsi aqidah?
6. Bagaimana metode memahami akidah?

C. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan pengertian aqidah.
2. Menjelaskan Kedudukan Akidah dalam Islam.
3. Menerangkan tentang ruang lingkup aqidah.
4. Menjelaskan Macam-macam Tauhid.
5. Menjelasakn sumber dan fungsi aqidah.
6. Menjelaskan metode memahami akidah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aqidah

Aqidah menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari `aqada-ya`qidu-‘uqdatan


wa `aqi-datan artinya ikatan atau perjanjian. Kata al-‘aqdu yang berarti ikatan, at-
tautsi>qu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihka>mu yang
artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabtu bi quwwah yang berarti mengikat
dengan kuat.1 Secara istilah adalah keyakinan hati atas sesuatu. Aqidah artinya
ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang
pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan
bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul.
Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id.
Secara terminologi, ‘aqa’id ialah jamak dari aqidah, artinya kepercayaan. Yaitu
sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang
tentram kepadanya, dan yang menjadi kepercayaan/keyakinan yang bersih dari
bimbang dan ragu.2 Menurut Hasan al-Banna ‘aqa ’id adalah:

“Beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hatimu,


mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan”

Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy mengatakan akidah adalah:

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor: Pustaka
1

Imam Asy-Syafi‟i, 2006). Hlm. 27.


2
Suyatno Prodjodikoro, Aqidah Islamiyyah dan Perkembangannya, (Yogyakarta:
Sumbangsih Offset, 1991), hlm. 29

3
Yaitu sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati
dan diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti, dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.3

Sedangkan ulama‟ fiqh mendefinisikan akidah sebagai berikut: Akidah ialah


sesuatu yang diyakini dan dipegang teguh, sukar sekali untuk diubah. Ia beriman
berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan kenyataan, seperti beriman kepada Allah
Swt. para Malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, dan Rasul-rasul Allah, adanya kadar
baik dan buruk, dan adanya hari akhir.4 Aqidah islam itu sendiri bersumber dari Al-
Qur’an dan As Sunah, bukan dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran itu hanya
digunakan untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah
tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan. Dalam ajaran agama Islam,
aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang
terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman.
Menurut hemat penulis yang dimaksud dengan akidah Islam adalah keyakinan
yang terhujam kuat didalam hati mengenai katauhidan Allah SWT serta ajaran Islam
yang termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah yang di barengi dengan penggunaan
akal pikiran sebagai alat untuk mengamalkan ajaran Islam sesuai syariat.

B. Kedudukan Aqidah dalam Islam


Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat
suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti
ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun
tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi
atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja,
bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan. Maka, aqidah yang benar
merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah
subahanahu wata`ala berfirman,

3
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1993), hlm. 1-2

4
.‫ك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه أَ َحدًا‬ َ ً‫فَ َم ْن َكانَ يَرْ جُوا لِقَآ َء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َمال‬
ُ ‫صالِحًا َوالَيُ ْش ِر‬
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di
akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun
dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)

Allah subahanahu wata`ala juga berfirman,

. َ‫ك َولَتَ ُكون ََّن ِّمنَ ْالخَ ا ِس ِرين‬


َ ُ‫ك لَئِ ْن أَ ْش َر ْكتَ لَيَحْ بَطَ َّن َع َمل‬ َ ‫َولَقَ ْد أُو ِح َى إِلَ ْي‬
َ ِ‫ك َوإِلَى الَّ ِذينَ ِمن قَ ْبل‬
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi
sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh
amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang
merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)

Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul
mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang
lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi wasalam berdakwah dan mengajarkan Islam
pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan,
dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas
tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di
Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian
terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau
landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan
pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam
rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini
menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah
atau keimanan dalam ajaran Islam.

C. Ruang Lingkup Aqidah


Hasan al-Banna mengatakan bahwa ruang lingkup aqidah islam meliputi
ilahiyah, nubuwwah, ruhuniyah, dan sam’iyah.

5
1. Ilahiyah
Ilahiyah yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
Allah, seperti wujud, nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah swt.
a) Wujud Allah SWT
Bagaimana kita mengetahui wujud Allah? Jawabannya, ketika kita
melihat matahari, bulan, bintang dan planet bergerak teratur, malam dan siang
berganti dengan keteraturan yang amat detil. Mungkinkah mereka bergerak
sendiri? Tidak diragukan lagi bahwa semuanya telah diciptakan dan diatur
oleh Allah swt. Jika Allah tidak ada, kita memohon ampunan kepada-Nya
mustahil matahari, bulan, bintang-bintang, planet, siang, dan malam menjadi
ada dan bertahan dengan pergerakannya yang amat teratur. Dengan demikian
pula tidak akan ada makhluk yang sangat tergantung dengan mereka semua.

Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’ dan indera.
1) Dalil Fitrah
Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang
Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir
atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang
yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.
Rasulullah bersabda:
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu
bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Kristen, atau Majusi. ” (HR.
Al Bukhari)

Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda


bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan ada
semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada
dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di
mana, kita melihat ada orang yang berdo’a, menyeru Allah dan meminta
sesuatu, lalu Allah mengabulkan do’anya.
Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di
dalam Al-Qur’an:

6
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka
menjawab: ‘ (Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami
lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan
sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang
datang setelah mereka.’” (QS. Al A’raf: 172-173).

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang
mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan
fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa
syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh
makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha
Bijaksana.
Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan pertama, adanya dalil
fitrah, bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan tanpa harus
didahului dengan berfikir dan mempelajari sebelumnya. Fitrah ini tidak akan
berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya.5

2) Dalil Al Hissyi (Dalil Indrawi)


Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang
berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang
mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud
Allah.
b. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mu’jizat, yang dapat disaksikan atau
didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang keberadaan
Yang Mengutus para Nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada

5
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok, terj. Zainal
Abidin Syamsuddin, (Jakarta: Yayasan al-Shofwa, 2000), hlm. 139.

7
di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan
penolong bagi para Rasul.

3) Dalil ‘Aqli (dalil akal pikiran)


Bukti akal tentang adanya Allah adalah proses terjadinya semua makhluk,
bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada
yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan
tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada
dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya
sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Agama mengajari kita identitas Pencipta kita yang keberadaannya kita
temukan melalui akal kita. Melalui agama yang diungkapkan kepada kita, kita
tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan Maha Pemurah, Yang
menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.

4) Dalil Naqli (Dalil Syara’)


Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara
tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang
dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari
Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya.
Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan
kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti
bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan
apa yang diberitakan itu.
Demikian juga adanya para Rasul dan agama yang bersesuaian dengan
kemaslahatan umat manusia menunjukkan adanya Allah, karena tidak mungkin
ada agama dan Rasul kecuali ada yang mengutusnya. Akan tetapi agama-
agama yang ada selain Islam telah mengalami penyimpangan dan perubahan
sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus. Setelah kita mengenal
dan mengimani keberadaan Allah sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka
perlu kita kenali Allah sebagai Rabb yang telah menciptakan, memiliki dan
mengatur semua makhluknya, Dialah satu-satunya pencipta yang mengadakan
sesuatu dari ketiadaan.

8
Adanya dalil syar‟i yang menunjukkan adanya Allah adalah seluruh
kitab-kitab samawi membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula
hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi
kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa.6
Dari semua dalil-dalil yang dapat dilihat di atas itu adalah berfungsi
menguatkan pandangan kita betapa keagungan Allah swt begitu luar biasa dan
menundukkan kita sendiri di hadapan keagungan ini. Langsung mencetuskan
Tauhidullah yang luar biasa.

b) Mengenal sifat-sifat Allah swt


Bagaimana kita mengenal sifat Allah? Kita dapat mengenal sifat Allah swt
melalui:
ِ‫ت هللا‬ ِ ‫ التَّ ْف ِك ْي ُر فِي َم ْخلُوقَا‬Tafakkur (memikirkan) ciptaan Allah.
‫ التَّ َعلُّ ُم ِم ْن ُر ُسلِ ِه‬Belajar dari ajaran yang dibawa para rasul.

2. Nubuwwah
Nubuwwah yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
nabi dan rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, dan
keramat.
a. Nabi dan Rasul Allah
Nabi adalah manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan membawa
syariat untuk diamalkan dan tidak diperintahkan untuk menyampaikannya.
Sedangkan rasul adalah manusia yang diberikan wahyu kepadanya untuk
diamalkan dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Setiap rasul adalah
nabi akan tetapi tidak setiap nabi adalah rasul.

b. Kitab-kitab Allah
Kitab-Kitab Samawi Yang Disebutkan Di dalam Al Quran: Shuhuf
Ibrahim, Shuhuf Musa, Taurat, Zabur, Injil, dan Al Quran.Nama-Nama Lain Al
Quran: Al Furqan, At Tanzil, Adz Dzikru, Al Kitab, dan Al Quran. Sifat – sifat

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok, terj. Zainal
6

Abidin Syamsuddin, hlm. 140-141.

9
Al-Qur’an: Nuur, Mubin, Huda, Syiifa, Rahmah, Mau’idzah, Basyir, Nazir, dan
Mubarak.

c. Mukjizat dan Karomah


Mukjizat membawa maksud suatu keadaan yang luar biasa berlaku atas
kehendak dan kekuasaan Allah sebagai membuktikan kerasulan rasul-rasul yang
telah dilantik.Sedangkan karamah adalah tergolong dalam hal-hal yang luar
biasa yang terdapat pada diri seorang Wali Allah. Akan tetepi cara ianya tidak
disertai dengan dakwah kenabian.

d. Jenis-Jenis Mukjizat
Mukjizat boleh dibagikan kepada dua jenis, yaitu:
1) Mukjizat Hissy
Mukjizat hissy ialah mukjizat yang dapat dicapai dan dirasai oleh
pancaindera. Mukjizat jenis ini lebih mempengaruhi jiwa umum dan ianya
mudah dimengerti oleh semua golongan manusia. Kebanyakan mukjizat
yang Allah beri kepada para nabi dan rasul dari kalangan bani Israel ialah
berupa mukjizat hissy.
Ini kerana umat manusia pada masa itu kecerdasan mereka terlalu
rendah. Sebagai contohnya, mukjizat nabi Musa a.s adalah terletak pada
tongkatnya yang boleh bertukar menjadi ular. Manakala Nabi Isa a.s pula
boleh menyembuhkan penyakit sopak, menghidupkan orang yang sudah
mati dan sebagainya.

2) Mukjizat Aqli
Mukjizat Aqli ialah mukjizat yang hanya dapat difahami oleh
manusia dengan akal serta mata hati sahaja. Mukjizat jenis ini hanya
dikurniakan kepada Nabi Muhammad sahaja iaitu Al Quran. Di samping
itu Nabi Muhammad saw juga mempunyai mukjizat hissy, ini kerana umat
yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw adalah bersifat yang kian hari
kian maju fikirannya. Dengan lain perkataan mukjizat Al Quran itu boleh
difahami dengan menggunakan akal fikiran yang murni dan mata hati

10
memandangkan kandungannya adalah sesuai dengan ilmu pengetahun dan
akal manusia serta terang terbukit kebenarannya.

3. Ruhaniyah
Ruhaniyah yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, dan roh.

4. Sam’iyah
Sam’iyah yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa
diketahui lewat sama’i. Maksudnya, melalui dalil naqli berupa Al-Qur’an dan
As-sunah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga,
neraka, dan lainnya.7

D. Macam-macam Tauhid
Berkenan dengan macam-macam tauhid, maka saya sampaikan bahwa tauhid
ada tiga macam.

a. TauhidRububiyah.
Artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal perbuatanNya.
Seperti mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan,
mendatangkan bahaya, memberi manfaat, dan lain-lain yang merupakan
perbuatan-perbuatan khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang muslim
haruslah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki sekutu
dalam RububiyahNya.

b. TauhidUluhiyah
Artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam jenis-jenis
peribadatan yang telah disyariatkan. Seperti ; shalat, puasa, zakat, haji, do’a,
nadzar, sembelihan, berharap, cemas, takut, dan sebagainya yang tergolong jenis
ibadah. Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal-hal tersebut
dinamakan Tauhid Uluhiyah ; dan tauhid jenis inilah yang dituntut oleh Allah
Subhanhu wa Ta’ala dari hamba-hambaNya. Karena tauhid jenis pertama, yaitu

7
Hasan al-Banna, Aqidah Islam, terj. M. Hasan Baidaei, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1980), hlm. 14

11
Tauhid Rububiyah, setiap orang (termasuk jin) mengakuinya, sekalipun orang-
orang musyrik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Rasulullah kepada mereka.
Mereka mayakini Tauhid Rububiyah ini, sebagaiman tersebut dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
َ‫فَأَنَّ ٰى يُؤْ فَ ُكون‬  ُۖ ‫سأ َ ْلتَ ُه ْم َمنْ َخلَقَ ُه ْم لَيَقُولُنَّ هَّللا‬
َ ْ‫َولَئِن‬
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan
mereka ? niscaya mereka menjawab Allah. Maka bagaimana mereka dapat
dipalingkan (dari menyembah Allah)”. [Al-Zukhruf/43 : 87]

Masih banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik


meyakini Tauhid Rububiyah. Akan tetapi, sebenarnya yang dituntut dari mereka
adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Jika mereka mengikrarkan Tauhid
Rububiyah, maka hendaknya juga mengakui Tauhid Uluhiyah (ibadah).
Sungguh, Rasulullah (diutus untuk)menyeru mereka agar meyakini Tauhid
Uluhiyah.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa dikatakan
beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada zaman Rasulullah juga
mengimani tauhid rububiyah saja tanpa mengimani tauhid uluhiyah, mereka
mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan mengatur segala urusan, tetapi
mereka juga menyembah sesembahan selain Allah. 8

c. Tauhid Asma was Sifat


Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-saifat untuk Allah Subhanahu wa
Ta’ala sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diriNya maupun
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; serta
meniadakan kekurangan-kekurangan dan aib-aib yang ditiadakan oleh Allah
terhadap diriNya, dan apa yang ditiadakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

8
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok, terj. Zainal
Abidin Syamsuddin, hlm. 143-146.

12
E. Sumber Dan Fungsi Aqidah
a. Sumber Aqidah
Aqidah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak
diragukan lagi. Ada beberapa Dalil aqidah dalam Al-Qur’an (Qs. Al-Kahfi (110),
Qs. An-Nahl (36),
1.      Dalam Qs. Al-Kahfi (110)

“katakanlah, “sesungguhnya aku ini hanya manusia seperti kamu, yang


diwahyukan kepadaku,’bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
Yang Maha Esa’. Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan
TuhanNya maka hendak ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam ibadah kepada TuhanNya”. (Qs. Al-
Kahfi :110)

2.   Dalam Qs. An-Nahl (36)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut1 itu’,…” (QS.
An Nahl: 36)

13
3.   Dalam Qs. Al-A’raf (59)

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:


"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-
Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu
akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)”. (Qs. Al-A’raf:59)

b. Fungsi Aqidah
1.   Aqidah dapat menimbulkan optimisme dalam kehidupan
2.   Aqidah dapat menumbuhkan kedisiplinan
3.   Aqidah berpengaruh dalam peningkatana etos  kerja
4.   Membebaskan kita dari ubudiyah/penghambaan kepada selain Allah, baik
bentuknya menghamba kepada kekuasaan, harta, pimpinan maupun yang
lainnya.
5.   Membentuk pribadi yang seimbang, yaitu selalu taat kepada Allah, baik
dalam keadaan suka maupun duka.
6.   Kita akan merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas, takut
kepada kurang rezeki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia,
termasuk takut kepada kematian. Sehingga dia penuh tawakal kepada Allah.
7.   Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa, sekokoh gunung. Aqidah hanya
berharap kepada Allah dari ridha terhadap segala ketentuan Allah.
8.   Aqidah Islamiyah berdasarkan kepada asasukhuwah (persaudaraan) dan
persamaan, tidak membedakan antara miskin dan kaya, antara pejabat dan
rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam, dan antara orang Arab dan bukan
Arab, kecuali kadar ketakwaan kita di sisi Allah SWT.

14
F.  Prinsip – Prinsip Aqidah
1. Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah adalah meyakini dengan penuh kesadaran bahwa Allah-
lah dzat yang paling berhak disembah, karena Dia menciptakan, membina,
mendidik dan menyediakan segala kebutuhan manusia
2. Iman kepada malaikat
Beriman kepada malaikat adalah meyakini dengan penuh kesadaran bahwa Allah
menciptakan makhluk dari cahaya. Sifat-sifat malaikat di antaranya :
a. Selalu patuh dan taat
b. Sebagai penyampai wahyu
c. Diciptakan dari cahaya
d. Mempunyai kemampuan yang luar biasa
3. Iman kepada kitab suci (Al-Qur’an)
Kitab-kitab yang berasal dari firman Allah seluruhnya ada empat :
1.    Taurat diturunkan kepada Nabi Musa As
2.    Zabur diturunkan kepada Nabi Daud As
3.    Injil diturunkan kepada Nabi Isa As
4.    Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4. Iman kepada Nabi dan Rasul
Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membawa kabar gembira kepada
umat manusia, memberi teladan akhlak mulia dan berpegang teguh terhadap
ajaran Allah. Sifat-sifat yang ada pada diri Nabi dan Rasul Allah adalah :
a. Shiddiq artinya benar. Apa yang disabdakan Nabi adalah benar karena
Nabi tidak berkata-kata kecuali apa yang diwahyukan Allah SWT.
b. Amanah artinya dapat dipercaya. Segala urusan akan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya
c. Fathanah artinya bijaksana dan cerdas. Nabi mampu memahami
perintah-perintah Allah dan menghadapi penentangnya dengan bijaksana.
d. Tabligh artinya menyampaikan. Nabi menyampaikan kepada umatnya
apa yang diwahyukan Allah kepadanya
5. Iman kepada hari akhir

15
Beriman kepada hari akhir adalah meyakinibahwa manusia akan mengalami
kesudahan dan meminta pertanggung jawaban di kemudian hari.Al-Qu’ran selalu
menggugah hati dan pikiran manusia dengan menggambarkan peristiwa-peristiwa
hari kiamat, dengan nama-nama yang unik, misalnya al-zalzalah, al-qari’ah, an-
naba’ dan al-qiyamah. Istilah-istilah tersebut mencerminkan peristiwa dan
keadaan yang bakal dihadapi manusia pada saat itu.

6. Iman kepada qada’ dan qadar


Menurut bahasa, qada memiliki beberapa pengertian yaitu : hukum,
ketetapan, pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah
adalah ketetapan Allah sejak zaman azali sesuai dengan iradah-Nya tantang segala
sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan qadar adalah kejadian suatu
ciptaanyang sesuai dengan penetapan. Iman kepada qada dan qadar artinya
percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah telah menentukan tentang
segala sesuatu bagi makhluknya.
Para ulama kalam membagi takdir menjadi dua macam, yakni :
a. takdir muallaq adalah takdir yang berkaitan dengan ikhtiar (usaha) manusia
misalnya : orang miskin berubah menjadi kaya atas kerja kerasnya
b. takdir mubram adalah takdir yang terjadi pada pada diri manusia dan tidak
dapat diubah-ubah misalnya : kematian, kelahiran dan jenis kelamin

G. Metode Mengajarkan Akidah


Akidah Islam memang diakui mulanya bersumber dari wahyu yang diturunkan
Allah swt. kepada Nabi Muhammad SAW., yang kemudian menyampaikannya
kepada umat dengan berupa ayat-ayat al-Qur’an dan sabda-sabda beliau (hadits).
Dalam sejarah pemikiran teologi Islam, para ulama‟ telah mempergunakan beberapa
metode pemikiran, baik dalam rangka memformulasikan pokok-pokok akidah dari
sumbernya, maupun untuk menjadikannya sebagai keyakinan dalam diri ummat yang
membutuhkannya. Adapun metode yang digunakan adalah:
1. Metode Rasional (al-manhaj al-‘aqli)
Yaitu metode yang menganggap rasio sebagai alat yang dominan, sehingga teks-
teks wahyu harus diterima secara rasional, dan keyakinan orang terhadap
kebenaran materi akidah harus didasarkan atas pengetahuan rasional. Untuk itu,

16
semua hasil pemikiran rasional umat manusia bisa dipergunakan bila
berdayaguna untuk memperkuat kebenaran dan menambah keyakinan. 9 Menurut
metode ini, di mana alam semesta kerumitan hukum-hukumnya adalah berupa
dalil akal. Menurut akal, kebenaran sesuatu dapat diamati, diteliti, dan dicapai
oleh akal. Bahwa segala yang wujud pasti ada yang mewujudkan. Yang
mewujudkan pasti yang wajibul wujud, Maha Ada dan Maha Kekal. Sebaliknya
akal membantah keras bila ada sesuatu dengan sendirinya. Hal yang dianggap
mustahil aqli (mustahil bagi akal).10

2. Metode Tekstual (al-manhaj an-naqli)


Yaitu metode berpikir yang berpegang teguh kepada teks-teks wahyu secara
harfiah, tanpa memberikan peranan kepada akal dan hasil pemikiran untuk
menjamah masalahmasalah akidah, kecuali untuk sekadar sistematisasi
pokokpokok akidah tersebut. Dasar penggunaan metode ini ialah anggapan
bahwa teks-teks wahyu sudah komplit menampung segala masalah akidah yang
diperlukan dan mengikuti tradisi para sahabat Nabi Muhammad dan para
pengikutnya.11
Dengan kata lain, akal untuk membuktikan atau sebagai dalil, hal-hal yang
bersifat materi. Sedang untuk mencapai non materi datangnya dari Tuhan yang
wujudnya wahyu (naqli). Kebenaran yang dikandungnya pasti dan mutlak. Al-
Qur’an dan hadits Rasulullah saw. dijadikan dasar dalam metode ini, dan harus
diterima dengan yakin dalam hati apa yang telah dinashkan di dalamnya, maka
dalil itupun merupakan dalil yang paten dan pasti yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Untuk menerima al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dan dasar akidah,
memang harus menggunakan akal. Orang dalam menggunakan akal kadang-
kadang tersesat juga. Ada orang yang fanatik percaya dan fanatik tidak percaya.
Banyak orang yang fanatik percaya (berta’asub), yang begitu saja percaya
sebelum menggunakan akal dan pikirannya. Ada juga orang yang fanatik tidak
percaya begitu saja sebelum memikirkan alasan-alasan dan dalil-dalilnya serta
bukti-buktinya. Kedua sifat tersebut tercela, khususnya soal keyakinan

9
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 52-53.
10
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm. 6
11
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, hlm. 53

17
(kepercayaan), karena yang demikian itu akan mematikan otak, dan tidak
membawa manusia ke arah kemajuan. Orang yang tidak percaya meskipun ada
bukti-bukti yang terang, padahal kalau mau memikirkannya mesti akan masuk di
dalam akalnya, namun ia tetap tidak percaya. Bahkan bukti-bukti itu masih
diselidiki lagi, dengan maksud mencari apa yang tersembunyi dibalik bukti yang
sudah terang itu untuk mengingkari. 12 Islam mencela kedua-duanya, Islam
melarang untuk menerima dan menolak begitu saja sebelum diselidiki dan
dipikirkan terlebih dahulu.

12
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm. 4

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi.


Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan
beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka
materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt.
melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia
untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil
perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat
dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah
menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat
dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara
ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari
oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang
terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka
syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1997

Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail. Muassasah ar-Risalah Beirut: tanpa tahun.

Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir. Aqidah al-Mukmin. Cairo. Maktabah al-Kulliyat al-


Azhariyah. 1978.

Al-Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj Ibnu Muslim alQusyairi an-Naisaburi,
al-Jami’ ash-Shahih, vol-VIII, hlm. 226.

Edi Suresman. A.Md. Aqidah Islam. Malang. IKIP. 1993.

Hasan al-Banna, Aqidah Islam, terj. M. Hasan Baidaei, (Bandung: Al-Ma‟arif,


1980),

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok, terj.
Zainal Abidin Syamsuddin,

Suyatno Prodjodikoro, Aqidah Islamiyyah dan Perkembangannya, (Yogyakarta:


Sumbangsih Offset, 1991),

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor:
Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2006).

Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan


Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1993),

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996),

Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2009),

20
21

Anda mungkin juga menyukai