Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

memproduksi batubara paling besar. Produksi pada tahun 2017 yaitu sebanyak

86.101.658,68 ton/tahun (Dinas ESDM, 2018). Batubara lignit adalah jenis yang

paling banyak diproduksi yaitu sebesar 50% padahal memiliki kalor yang rendah.

Batubara subbituminous dan bituminous diproduksi sebesar 36,6% sedangkan

antrasit 11,6% (Badan Geologi, 2016).

Batubara lignit biasanya lunak dan mempunyai warna kecoklatan yang

seringkali mengandung bagian-bagian tanaman yang mudah dikenali dari struktur

selnya. Batubara jenis lignit kurang memiliki nilai ekonomis dan jarang

digunakan. Batubara lignit jarang digunakan karena nilai kalor yang rendah

sehingga efisensi pembakaran yang dihasilkan rendah disebabkan kandungan air

di dalam batubara lignit yang tinggi. Batubara lignit kurang memiliki nilai

ekonomis karena biaya pengangkutan dan penyimpanan yang mahal.

Batubara lignit memiliki komposisi nilai kalori kurang dari 7500 Btu/lb

(5.250 kkal/kg), kandungan air 25-45%, kandungan zat terbang 24-32%,

kandungan karbon padat 25-30% dan kandungan abu 3-15% (Putranto, 2012

dalam Heriyanto dkk., 2014). Dengan cara Upgrading Brown Coal (UBC) kita

mampu meningkatkan nilai kalori batubara lignit menjadi batubara yang

memiliiki nilai kalor 6663 kkal/kg.


2

Batubara lignit yang telah melalui proses Upgrading Brown Coal (UBC)

dapat memiliki nilai kalor batubara sebesar 6663 kkal/kg. Batubara bernilai kalor

6663 kkal/kg dapat digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap

(PLTU) karena memiliki nilai kalor yang sesuai dengan standar bahan bakar

pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). (Cahyadi, 2015).

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian mengenai proses Upgrading Brown Coal (UBC) telah banyak

dilakukan salah satunya oleh Heriyanto dkk., (2014). Bahan baku yang digunakan

yaitu batubara yang dicampur dengan minyak jelantah. Penelitian dilakukan

dengan tekanan 1 atm, waktu proses 1,5 jam, komposisi batubara dengan minyak

jelantah yaitu 1:1 (rasio berat) dan memvariasikan suhu. Hasil terbaik yang

diperoleh nilai kalor 4315 cal/g dengan temperatur 150 0C dan. Kenaikan nilai

kalor yang didapatkan sebesar 29,35%. Masih bisa dinaikkan dengan mengganti

zat aditif yang digunakan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahim dan Wanna, (2012) “Proses

Peningkatan Nilai Kalor Batubara Lignit Samarinda Melalui Penambahan Aditif

Low Wax Sulfur Residu dan Perlakuan Temperatur Pada Tekanan Atmosfer”.

Digunakan Low Sulfur Wax Residu (LSWR) dan kerosene sebagai zat aditif dalam

proses upgrading. Penelitian dilakukan dengan tekanan 1 atm, waktu proses

1 jam, komposisi batubara dengan bahan aditif yaitu 1 gram : 0,5 ml dan

memvariasikan suhu. Hasil terbaik diperoleh nilai kalor 5482 cal/g dengan

temperatur 1750C. Kenaikan nilai kalor yang didapatkan sebesar 52,4%. Nilai
3

kalor yang didapatkan belum mencapai standar bahan bakar yang digunakan

PLTU yaitu sebesar 6663 kkal/kg.

Pada penelitian Mutasim Billah (2010) yang berjudul “Peningkatan Nilai

Kalor Batubara Peringkat Rendah Dengan Menggunakan Minyak Tanah dan

Minyak Residu”. Penelitian ini memvariasikan waktu dan temperatur proses.

Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengeringan

dapat menurunkan kadar air dan meningkatkan fixed carbon sehingga

mempengaruhi nilai kalor. Sehingga penelitian ini melakukan upgrading batubara

lignit menggunakan kerosene dan Low Sulfur Wax Residue (LSWR) dengan

memvariasikan waktu pengeringan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh waktu pengeringan pada proses Upgreading

Brown Coal yang dilakukan pada tekanan atmosferik dengan menggunakan

larutan kerosin dan Low Sulfur Wax Residue (LSWR), sehingga dapat

meningkatkan nilai kalor batubara lignit menjadi bahan bakar Pembangkit Listrik

Tenaga Uap (PLTU) yang memiliki nilai kalor sedang serta menurunkan kadar

air.

Adapun manfaat dari penilitan yang dilakukan untuk meninggkatkan nilai

kalor batubara lignit menjadi batubara yang memiliki nilai kalor 6663 kcal/kg

sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap

(PLTU) dan meningkatkan nilai jual batubara tersebut.


4
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara

2.1.1 Pengertian Batubara

Batubara adalah bahan bakar fosil yang dapat terbakar dan terbentuk dari

banyak komponen yang mempunyai sifat saling berbeda. Batubara dapat

didefinisikan sebagai suatu batuan sedimen organik yang berasal dari penguraian

sisa berbagai tumbuhan yang merupakan campuran yang heterogen antara

senyawa organik dan zat anorganik yang menyatu di bawah beban strata yang

menghimpitnya (Muhjidin, 2006). Batubara terbentuk selama 200 hingga 300 juta

tahun yang tertekan ke bawah oleh pertumbuhan lapisan–lapisan baru dan tanah

yang terbentuk di atasnya (Arnold, 1987).

2.1.2 Klasifikasi Batubara

Batubara memiliki tingkat hasil metamorfosis dan kualitas yang berbeda,

masing-masing kualitas batubara diklasifikasikan menjadi empat jenis utama yang

bergantung pada jumlah karbon, oksigen dan hidrogen antara lain:

A. Lignit (brown coal)

Lignit merupakan jenis batubara peringkat rendah dimana kedudukan

lignit dalam tingkat klasifikasi batubara berada pada daerah transisi dari jenis
6

gambut ke batubara. Lignit bersifat rapuh, mengandung kadar air tinggi dan

memiliki nilai kalor <5.100 kal/g.

B. Sub-bituminus

Batubara jenis ini merupakan peralihan antara jenis lignit dan bituminus.

Batubara jenis ini memiliki warna hitam yang mempunyai kandungan air yang

rendah, bersifat lebih keras dari batubara lignit dan memiliki nilai kalori 5.100-

6.100 kal/g.

C. Bituminus

Batubara jenis ini merupakan batubara yang berwarna hitam mengkilat

dan tampak halus. Batubara ini memiliki kandungan air yang rendah dengan

sedikit kandungan abu dan sulfur serta memiliki nilai kalori 6.100-7.100 kal/g.

D. Antrasit

Antrasit merupakan jenis batubara kelas tertinggi. Batubara jenis ini

memiliki tekstur yang padat, berwarna hitam mengkilat dan memiliki sedikit

kandungan pengotor dengan nilai kalori > 7.100 kal/g (Sukandarrumidi, 2006).

2.1.3 Komposisi dan Kualitas Batubara

Menurut Muchjidin (2006), komponen batubara secara garis besar terdiri

dari:

A. Air yang terikat sedara fisika, dapat dihilangkan pada suhu sampai 105 C,
0

disebut moisture.

B. Senyawa batubara atau coal substance atau coal matter, yaitu senyawa

organik yang terutama terdiri atas atom karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dan
7

nitrogen.

C. Zat mineral atau mineral matter, yaitu suatu senyawa anorganik.

Berikut adalah spesifikasi dari batubara berdasarkan ASTM:

Tabel 2.1 Classification of coal by rank (ASTM D388-12)

Fix Volatile
Gross Calorific
Carbon Conten
Value Limits
Coal Rank Limits t
% % cal/g
Dmmf Dmmf Moisture mmf

Meta-Anthracite ≥ 98 <2  
Antracite
Anthracite 92-98 2–8  
Class
Semi-Anthracite
86 – 92 8 – 14  
(Lean Coal)
Low Volatile
78 – 86 14 – 22  
Bituminous
Medium Volatile
69-78 22-31  
Bituminous
Bituminous High Volatile A
<69 >31 ≥ 7,783
  Bituminous
  High Volatile B
<69 >31 7,227 - 7,783
  Bituminous
High Volatile C
<69 >31 6,393 - 7,227
Bituminous
High Volatile C
>31 5,837 - 6,393
Bituminous  
Subbituminous A
5,837 - 6,393
Subbituminou coal    
s Subbituminous B
5,281 - 5,837
  coal    
  Subbituminous C
4,614 – 5,281
coal    
Lignite Lignite A     3,502 - 4,614
  Lignite B     <3,502
Sumber: Arno, 2014
8

2.1.4 Kegunaan dan Pemakaian Batubara

Berbagai macam kegunaan dan pemakaian batubara adalah sebagai

berikut:

A. Batubara sebagai energi alternatif yang dapat menggantikan sebagian besar

peranan yang diambil oleh minyak. Batubara merupakan bahan bakar murah

bahkan kemungkinan besar yang termurah dihitung persatuan energi. Batubara ini

memiliki nilai yang strategis dan potensial untuk memenuhi sebagian besar energy

dalam negeri. Batubara sebagai bahan bakar digunakan pada industri kereta api,

kapal laut, pembangkit tenaga listrik dan industri semen (Sukandarrumidi, 1995

dalam Billah, 2010).

Tabel 2.2 Standar bahan bakar PLTU

Results
As Air
Parameter Units Dry Ass Free
Received Dried Dry Basis
Basis
Basis Basis
Total Moisture % wt 34,83 - - -
Inherent Moisture % wt - 14,18 - -
Ash Content % wt 3,12 4,11 4,79 -
Volatile Matter % wt 32,46 42,77 49,84 62,34
Fixed Carbon % wt 29,57 38,94 45,37 47,66
Total Sulfur % wt 0,12 0,16 0,19 0,20
Nilai Kalor Kcal/kg 4134 5444 6344 6663
Sumber:Manan, Abdul. (2015, April 12)

B. Penggunaan batubara dalam bentuk briket digunakan untuk keperluan rumah

tangga dan industri kecil. Batubara dalam bentuk briket ini merupakan bahan yang

sangat potensial untuk menggantikan minyak tanah maupun kayu bakar yang

masih banyak digunakan di daerah pedesaan. Dengan beralihnya kebiasaan


9

membakar kayu bakar ke briket batubara masalah ekologi air tanah akan

mendapat bantuan yang tak terhingga (muchjidin, 2006).

2.2 Upgrading Brown Coal (UBC)

Upgrading brown coal (UBC) adalah teknik memanaskan dan membuang

air (dewatering)pada batubara di dalam media minyak ringan (light oil), dan

bersamaan dengan itu mengabsorpsikan minyak berat (heavy oil) seperti aspal

secara selektif ke dalam pori-pori batubara sehingga dapat menutupi permukaan

batubara. Minyak berat tadi sebelumnya ditambahkan dalam jumlah sedikit ke

dalam media minyak ringan, kurang lebih 0,5%. Minyak berat berfungsi sebagai

zat aditif sehingga melalui pemrosesan di dalam media minyak ini tidak hanya

kalorinya yang naik, tapi muncul pula sifat anti air (water-repellent

characteristic) pada produk yang dihasilkannya (Budiharjo,2009).

2.3 Pengeringan

Pengeringan merupakan proses pertama yang harus dilakukan dalam

pembakaran batubara. Pengeringan pada material padat melalui tiga fase yaitu,

fase cair, uap dan pengeroposan padatan. Air mulai menguap pada suhu di atas

100ºC, pada saat ini batubara mengalami penurunan kandungan air. Air di dalam

pori-pori batubara terlepas dan berubah fasenya menjadi uap. Selain itu terjadi

pula pengeroposan padatan sehingga gas-gas seperti metana, karbon dioksida, dan

nitrogen ikut terlepas ke udara. Pengeringan dilakukan sampai kandungan air

dalam batubara turun mencapai 10-15% dari kondisi awal bubuk dengan cara
10

meniupkan udara panas berkisar 70-150⁰C di atasnya. Waktu yang digunakan

untuk melakukan pengeringan disesuaikan dengan tipe batubara. Semakin banyak

kandungan air yang terkandung dalam batubara, maka proses pengeringannya pun

semakin lama. (Cahyadi, 2015)

2.4 Kerosin

Minyak tanah adalah cairan hidrokarbon yang tidak berwarna dan mudah

terbakar. Dia diperoleh dengan cara distilasi fraksional dari petroleum pada 150oC

dan 275oC. Pada suatu waktu dia banyak digunakan dalam lampu minyak tanah

tetapi sekarang utamanya digunakan sebagai bahan bakar mesin jet (Avtur).

Sebuah bentuk dari minyak tanah dikenal sebagai RP-1 dibakar dengan oksigen

cair sebagai bahan bakar roket. Nama kerosene diturunkan dari bahasa Yunani.

Biasanya minyak tanah didistilasi langsung dari minyak mentah

membutuhkan perawatan khusus, dalam sebuah unit Merox atau hidrotreater,

untuk mengurangi kadar belerang dan pengaratannya. Minyak tanah dapat juga

diproduksi oleh hidrocracker, yang digunakan untuk memperbaiki kualitas bagian

dari minyak mentah yang akan bagus untuk bahan bakar minyak (Thomas, 2013)

2.5 Low Sulfur Wax Residue (LSWR)

Low Sulfur Wax Residue (LSWR) merupakan campuran long residue

(residue crude distilling unit), gas oil (HGO/HVGO) dan short residue (residue

high vacuum unit), yang diperoleh dari bagian bottom kolom fraksinasi
11

hydrocracker. LSWR mengandung bitumen yang meliputi cakupan produk

yang dihasilkan dari crude oil dan terdiri atas molekul bertipe hidrokarbon dan

bersifat lebih termoplastik. Bitumen dapat didefinisikan liquid yang viskos atau

sebuah fase solid yang kandungan utamanya adalah hidrokarbon dan

turunannya, yang dapat larut dalam karbon disulfida. Pada dasarnya unsur

bitumen bersifat nonvolatile dan melembut secara bertahap saat dipanaskan.

Bitumen berwarna hitam atau hitam kecokelatan dan memiliki sifat tahan air

dan lengket seperti lem (adhesive). Bitumen diperoleh dari penyulingan crude

oil dan zat ini juga ditemukan sebagai deposit alami atau sebagai komponen

alami yang terdapat di dalam aspal, dimana bitumen ini terasosiasi dengan

mineral matter.

Bitumen adalah campuran kompleks yang terdiri atas sejumlah besar

campuran bahan kimia yang relatif memiliki berat molekular tinggi. Secara

rata-rata, bitumen mengandung 82-85% karbon gabungan, 12-15% hidrogen

dan sulfur dengan oksigen yang jumlahnya sedikit. Panas spesifik bitumen

bervariasi dari 1,7 sampai 2,5 kJ/(kg.K) untuk range temperatur 0 sampai

300°C dan konduktivitas thermal adalah 0,16 W/(m.K) pada temperatur kerja

o
normal (0-250°C). LSWR memiliki titik didih diatas 370 C. Berikut adalah

spesifikasi LSWR Pertamina yang dipasarkan:


12

Tabel 2.3 Spesifikasi LSWR

Limit
No Analisa
Min Max
1 Ash Content (%weight) - 0,1
2 Conradson Carbon Residue (%) - 10
3 Flash point (0F) 160 -
4 Pour point (0F) - 130
5 Spesific gravity at 60/600F - 0,95
6 Sulphur content (%) - 0,35
7 Viscosity kinematic at 1400F (mm2/sec) - 321
8 Viscosity redwood at 1400F (sec) - 1300
9 Water content (%vol) - 0,5
Sumber: Argus, 2015

Sifat kedap air yang sangat baik dari bitumen dan sifatnya yang lengket

(adhesive) mengakibatkan bitumen banyak digunakan dalam konstruksi jalan,

bangunan dan industri. Aplikasi utama ditemukan pada pelapisan jalan dan

lapangan terbang, serta pencegahan korosi pada logam (Wana, 2011 dalam

kuracman, 2015).

2.6 Analisa Batubara

Untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisis kimia pada

batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis

proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang

(volatile matter), karbon padat (fixed carbon) dan kadar abu (ash), sedangkan

analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada

batubara seperti: karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan unsur lainnya

(PT. Carsurin Samarinda, 2006).


13

2.6.1 Analisa Proksimat

Analisa proksimat adalah merupakan analisis yang dilakukan untuk

mengetahui kandungan relatif zat terbang (volatile matter), kandungan air

(moisture content), komponen anorganik berupa kandungan abu (ash content),

serta kandungan karbon (fixed carbon) (PT. Carsurin Samarinda, 2006). Berikut

merupakan parameter dasar yang tercakup dalam analisis proksimat:

2.6.1.1 Penentuan Inherent Moisture (IM)

Yang dimaksud dengan sampel yang dianalisis ialah sampel batubara yang

telah dipreparasi, dikering-udarakan, dibagi-bagi dan digerus sampai ukurannya

0,2 mm atau 200 μm. Cara penentuan inherent moisture dalan sampel yang

dianalisis termasuk dalam analisis proksimat. Dalam standar ASTM, penentuan

moisture dalam sampel yang dianalisis dilakukan dengan memanaskan sampel

dalam oven dengan temperatur 1040C-1100C selama 2 jam.

2.6.1.2 Penentuan Kadar Abu (Ash Content)

Ash didefinisikan sebagai zat anorganik yang tertinggal setelah sampel

batubara dibakar dalam kondisi standar sampai diperoleh berat yang tetap. Selama

pembakaran batubara, zat mineral mengalami perubahan, karena itu banyaknya

ash umumnya lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya zat mineral yang

semula ada di dalam batubara. Hal ini disebakan antara lain karena menguapnya

air konstitusi (hidratasi) dari lempung, karbon dioksida dari karbonat,

teroksidasinya pirit menjadi besi oksida, serta terjadinya fiksasi belerang oksida.
14

Ash batubara, di samping ditentukan kandungannya (ash content), ditentukan pula

susunan (komposisi) kimianya dalam analisis ash dan suhu lelehnya dalam

penentuan suhu leleh ash.

2.6.1.3 Penentuan Zat Terbang (Volatile Matter)

Volatile matter (VM) ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel

batubara dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi

oleh kadar moisture). Suhunya adalah range antara 900 C – 950 C, dengan waktu
0 0

pemanasan tujuh menit tepat. Volatile yang menguap terdiri atas sebagian besar

gas-gas yang mudah terbakar, seperti hidrogen, karbon monoksida dan metan,

serta sebagian kecil uap yang dapat mengembun seperti tar, hasil pemecahan

termis seperti karbon dioksida dari karbonat, sulfur dari pirit dan air dari lempung.

Moisture berpengaruh pada hasil penentuan volatile matter sehingga sampel yang

dikeringkan dengan oven akan memberikan hasil yang berbeda dengan sampel

yang dikering-udarakan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil penentuan

volatile matter ini ialah suhu, waktu, kecepatan pemanasan, penyebaran butir dan

ukuran partikel.

2.6.1.4 Penentuan Fixed Carbon

Fixed carbon (FC) menyatakan banyaknya karbon yang terdapat dalam

material sisa setelah volatile matter dihilangkan. Fixed carbon ini mewakili sisa

penguraian dari komponen organik batubara ditambah sedikit senyawa nitrogen,

belerang, hidrogen dan mungkin oksigen yang terserap atau bersatu secara
15

kimiawi. Kandungan fixed carbon digunakan sebagai indeks hasil kokas dari

batubara pada waktu dikarbonisasikan atau sebagai suatu ukuran material padat

yang dapat dibakar didalam peralatan pembakaran batubara setelah fraksi zat

terbang (VM) dihilangkan.

2.6.2 Calorific Value (Nilai Kalor)

Calorific value (CV) merupakan pengujian batubara untuk mengetahui

nilai kalor yang dapat dihasilkan oleh suatu batubara dan dipengaruhi oleh

kandungan sulfur dalam batubara yang dianalisa. Pembakaran dilakukan pada

kondisi standar, yaitu pada volume tetap dan dalam ruangan yang berisi gas

oksigen (O2) dengan tekanan 25 atm. Selama proses pembakaran yang sebenarnya

pada ketel, nilai gross calorific value ini tidak dapat tercapai karena beberapa

komponen batubara, terutama air, menguap dan menghilang bersama-sama

dengan panas penguapannya. Maksimum kalori yang dapat dicapai selama proses

ini adalah net calorific value.

Kalorimeter bom terdiri dari 2 unit yang digabungkan menjadi satu alat.

Unit pertama ialah unit pembakaran di mana batubara dimasukkan ke dalam

bejana dan dibakar dengan pasokan udara/oksigen pembakar. Unit kedua ialah

unit pendingin (kondensor).

Calorific value dikenal juga dengan istilah specific energy gross dan net

calorific value dikenal juga dengan istilah higher dan lower heating value. Satuan

untuk calorific value adalah cal/g, MJ/kg dan Btu/lb.


16

Masalah yang sering tejadi pada caloric value adalah tidak terbakarnya

kawat dengan sempurna karena tersentuh dinding bomb calorimeter, karena

tekanan gasnya belum stabil.


17

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Februari 2018 sampai dengan

bulan Juli 2018. Sampel batubara lignit diambil dari PT. Tribhakti Inspektama.

Proses upgrading batubara dan analisa kandungan abu, fixed carbon dilakukan di

Laboratorium Kimia Dasar, Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda. Untuk

analisa nilai kalor, inherent moisture serta volatile matter dilakukan di

PT. Carsurin Laboratorium Samarinda.

3.2 Rancangan Penelitian

3.2.1 Varibel Berubah

Penelitian dilakukan dengan memvariasikan waktu proses pengeringan

pada 30 menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit dan 90 menit.

3.2.2 Variabel Tetap

1. Ukuran partikel -8 mesh +10 mesh

2. Perbandingan larutan kerosin dengan LSWR adalah 1 : 0,005

3. Perbandingan batubara dengan campuran aditif adalah 12 g : 6 ml

4. Temperatur pemanasan 175 oC

5. Tekanan yang digunakan tekanan atmosfer


18

3.2.3 Variabel Respon

1. Volatile matter (ASTM D-3175 )

2. Fixed carbon ( dihitung)

3. Nilai kalor (ASTM D-5865)

4. Kadar abu (ASTM D-3174)

5. Inherent moisture (ASTM D-3173)

3.3 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

3.1.1 Alat Penelitian

1. Ayakan ukuran 8 mesh

2. Ayakan ukuran 10 mesh

3. Penggerus

4. Neraca analitik digital merk Ohaus ± 0,0001 g

5. Oven tipe Menumert UNB 200

6. Furnace Wisethern tipe FH-03

7. Desikator

8. Cawan petridish dan crucible

9. Tang penjepit

10. Gelas ukur 500 ml

11. Gelas ukur 10 ml


19

12. Pipet ukur 10 ml

13. Kaca arloji

14. Spatula

15. Bulp

16. Botol aqudes

17. Crusher

3.1.2 Bahan Penelitian

1. Low Sulfur Wax Residue (LSWR) (zat aditif)

2. Larutan kerosine (zat aditif)

3. Batubara lignit
20

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Diagram Alir Penelitian

Batubara

Penggerusan
LSWR dilarutkan dalam
Pengayakan Ukuran -8 mesh +10 mesh kerosene dengan perbandingan
1 : 0,005

Analisa Bahan baku, nilai Pencampuran Batubara Lignit -8 mesh


kalor (ASTM D-5865), +10 mesh dengan pelarut campuran
Inherent Moisture (ASTM kerosene dan LSWR dengan
D-3173), Kandungan Abu perbandingan 12 g : 6 ml
(ASTM D-3174), Fixed
Carbon dan Volatile Matter
(ASTM D-3175). Pemanasan dalam oven dengan
temperature pada suhu 175oC selama
30,45,60,75 dan 90 menit.

Pendinginan

Menganalisa Produk : nilai kalor


(ASTM D-5865), Inherent Moisture
(ASTM D-3173), Kandungan Abu
(ASTM D-3174), Fixed Carbon dan
Volatile Matter (ASTM D-3175).

Gambar 3.1 Diagram alir proses upgrading batubara lignit dengan larutan

kerosene dan LSWR


21

3.4.2 Prosedur Upgrading Batubara Lignit

3.4.2.1 Prosedur preparasi bahan baku

1. Membersihkan batubara lignit, kemudian dikeringkan di udara terbuka.

2. Menggerus batubara lignit yang sudah bersih dan kering dengan

menggunakan crusher.

3. Menghaluskan batubara dengan menggunakan penggerus dan

menganyak hingga didapatkan batubara dengan ukuran -8 mesh

+10 mesh.

4. Melakukan analisa inherent moisture, kadar abu, volatile matter, fixed

carbon, dan nilai kalor batubara lignit.

3.4.2.2 Prosedur pembuatan larutan zat aditif

1. Menyiapkan larutan kerosine.

2. Menyiapkan larutan law sulfur wax residue (LSWR).

3. Memipet larutan kerosine dan LSWR dengan perbandingan 1: 0,005

pada gelas ukur 500 ml.

4. Mencampurkan kedua larutan tersebut.

3.4.2.3 Prosedur Upgreading Brown Coal

1. Mencampurkan batubara lignit dengan ukuran -8 mesh + 10 mesh dan

campuran zat aditif dengan perbandingan 12 gram batubara : 6 ml

campuran zat aditif.


22

2. Memanaskan batubara lignit dalam oven pada temperatur 175oC selama

30 menit.

3. Mendinginkan batubara dalam desikator.

4. Melakukan analisa inherent moisture, kadar abu, volatile matter, fixed

carbon, dan nilai kalor batubara lignit hasil upgrading.

5. Mengulangi langkah 1-4 dengan variasi waktu pemanasan 45 menit,

60 menit, 75 menit dan 90 menit.

3.4.3 Prosedur Analisa

3.4.3.1 Prosedur Analisa Inherent Moisture (ASTM D-3173)

1) Menaikkan suhu oven hingga 105oC -110oC.

2) Menimbang petridish kosong + tutupnya, mencatat data.

3) Menimbang sampel ± 1 gram kedalam cawan petridish, meletakkan di

atas tray.

4) Memasukkan tray beserta sampel tersebut kedalam oven, dan

meletakkan tutup cawan petridish di luar.

5) Memanaskan selama 2 jam.

6) Mengeluarkan tray beserta sampel dari oven, dan menutup kembali

dengan penutup cawan petridish yang sesuai.

7) Mendinginkan tray beserta sampel di dalam desikator selama ± 5

menit.

8) Menimbang kembali cawan petridish beserta sampel yang telah

didinginkan.
23

9) Mencatat data analisa pada lembar kerja proximate analysis.

10) Melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan:

m2−m3
% Moisture= 100 % .........................................................(3.1)
m 2−m1

Keterangan :

m1 = massa cawan petridish kosong (gram)

m2 = massa cawan petridish + sampel sebelum pemanasan (gram)

m3 = massa cawan petridish + sampel setelah pemanasan (gram)

3.4.3.2 Prosedur Analisa Kadar Abu (ASTM D-3174)

1) Mencatat nomor sampel, nomor pekerjaan dan nomor crucible pada

lembar kerja proximate analysis.

2) Menimbang crucible kosong, mencatat data.

3) Menimbang sampel ± 1 gram ke dalam crucible, meratakannya lalu

meletakkan di atas tray.

4) Memijarkan crucible yang telah berisi sampel di dalam furnace pada

suhu 400oC-450oC selama 1 jam, kemudian dilanjutkan pada suhu

750oC selama 3 jam. Mengeluarkan crucible dari furnace dan

mendinginkan di dalam desikator selama 5-10 menit.

5) Menimbang crucible yang berisi residu.

6) Membersihkan residu di dalam crucible dengan menggunakan kuas

kering.

7) Menimbang crucible kosong setelah pemanasan.


24

8) Mencatat data analisa pada lembar kerja proximate analysis.

9) Melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan:

m3−m 4
% Ash Content = 100 % ..................................................(3.2)
m 2−m1

Keterangan :

m1 = massa cawan kosong sebelum pemanasan (gram)

m2 = massa cawan + sampel sebelum pemanasan (gram)

m3 = massa cawan + sampel setelah pemanasan (gram)

m4 = massa cawan setelah pemanasan (gram)

3.4.3.3 Prosedur Analisa Volatile Matter (ASTM D-3175)

1) Menaikkan suhu furnace VM hingga 950oC.

2) Mencatat nomor sampel, nomor pekerjaan dan nomor cawan crucible

pada lembar kerja proximate analysis.

3) Menimbang cawan crucible kosong beserta tutup kemudian

mencatatnya pada lembar kerja proximate analysis.

4) Menimbang secara merata sampel ± 1 gram didalam cawan crucible,

lalu menutupnya kembali dan mencatat hasil timbangan.

5) Memasukkan cawan crucible yang telah berisi sampel ke dalam

furnace beserta tutupnya dan memijarkannya selama 7 menit.

6) Mengeluarkan cawan crucible dari furnace dan mendinginkannya

pada desikator selama 7 menit.


25

7) Menimbang cawan yang berisi residu yang telah didinginkan tersebut

beserta tutupnya dan mencatatnya pada lembar kerja proximate

analysis.

8) Melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan:

m2−m3
% Volatile matter= 100 % ............................................(3.3)
m 2−m1

Keterangan :

m1 = massa cawan crucible kosong (gram)

m2 = massa cawan crucible + sampel sebelum pemanasan (gram)

m3 = massa cawan crucible + sampel setelah pemanasan (gram)

3.4.3.4 Mengitung Kadar Fixed Carbon dengan Menggunakan Persamaan:

% ¿ carbon=100−(%IM +%Ash+%VM ) ........................ (3.4)

Keterangan :

IM = Inherent Moisture (%)

Ash = Ash Content (%)

VM = Volatile Matter (%)

Fixed carbon tidak ada prosedur karena menunggu hasil analisa dari

IM,Ash dan VM.

3.4.3.5 Prosedur Analisa Nilai Kalor ( ASTM D-5865)

1) Menimbang ± 1 gram sampel dengan teliti dan dimasukkan ke dalam

cawan crucible.
26

2) Memotong 10 cm fuse yang berupa benang, mengikatnya pada

electrode dari bomb dan dililitkan pada loop.

3) Menyimpan cawan berisi sampel pada ring support dari kepala bomb

dan menggunakan kawat sampai menyentuh sampel. Kawat dijaga

jangan sampai menyentuh cawan.

4) Memasang cawan pada bomb dan menutup bomb dengan memutar

sampai ketat.

5) Menyambungkan bomb dengan selang oksigen dan mengisi secara

otomatis dengan cara menekan tombol O2fill pada instrument.

6) Mengisi bucket dengan 2000 ml air menggunakan water handling

system.

7) Menghidupkan Parr 6200 Calorimeter dan menunggu sampai stand

by.

8) Menyimpan bucket dalam calorimeter dan menyambung lead wirw ke

dalam terminal pada kepala bomb.

9) Menutup calorimeter.

10) Menekan tombol start untuk memulai analisa.

11) Memasukkan nomor identitas bomb dan bucket yang dipakai dalam

analisa. Kemudian calorimeter akan memberikan prompt untuk

sample Identification Number atau Sampel Id yang tidak perlu diisi.

Terakhir calorimeter akan meminta untuk memasukkan berat sampel

dengan menyalakan penunjuk Sample Weight.


27

12) Begitu bomb terbakar akan terdengar bunyi alarm yang

memerintahkan agar operator menjauhi calorimeter.

13) Setelah analisa selesai, menekan tombol done untuk menyimpan hasil

dalam memori.

14) Membuka tutup calorimeter dan mengangkat bucket dari calorimeter.

15) Mencuci semua permukaan bagian dari bomb dengan aquadest dan

mengumpulkan air cucian dalam satu gelas kimia.

16) Menitrasi air cucian bomb dengan larutan sandar Natrium Karbonat

menggunakan indikator metil jingga atau metil merah.

17) Tekan report, buka data call id, memasukkan data fuse corr (sudah

terkalibrasi 15 cal), sulfur, dan hasil titrasi selanjutnya hasil nilai kalor

akan terbaca sebagai data final.

18) Mematikan calorimeter.


28

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisa Awal Batubara Lignit

Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu proses

pengeringan pada proses upgrading brown coal yang dilakukan pada tekanan

atmosferik menggunakan zat aditif kerosene dan LSWR sehingga batubara lignit

tersebut dapat meningkat menjadi batubara dengan nilai kalori 6663 kkal/kg. Pada

penelitian ini sampel yang digunakan adalah batubara lignit dengan hasil analisa

batubara awal dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik batubara lignit sebelum UBC

No. Parameter Nilai


Inherent Moisture
1 21,89
(%)
2 Ash Content (%) 2,2
3 Volatile Matter (%) 39,25
4 Fixed Carbon (%) 36,66
5 Nilai Kalor (cal/g) 4845

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa karakteristik batubara sebelum

mengalami UBC termasuk kategori batubara peringkat rendah atau lignit (brown

coal) karena memiliki nilai kalor kurang dari 5100 cal/g, kadar fixed carbon yang

rendah serta kandungan inherent moisture yang tinggi. Untuk menigkatkan

kualitas batubara lignit dilakukan proses UBC dengan penambahan zat aditif
29

berupa campuran LSWR yang dilarutkan dalam kerosene dan variasi waktu

pengeringan (30,45,60,75 dan 90) menit..

4.2 Hasil Analisa Batubara Lignit Setelah UBC

Pada proses UBC ini telah dapat merubah nilai kalor batubara lignit

beserta karakteristiknya. Berikut ini merupakan hasil analisa kalor dan analisa

proksimat batubara lignit yang telah mengalami proses upgrading dapat dilihat

pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Karakteristik batubara lignit setelah proses UBC

Standar
Nilai pada Berbagai Waktu Pengeringan Bahan
Parameter (menit) Bakar
PLTU
30 45 60 75 90
Inherent Moisture (%) 5,88 7,7 6,86 4,82 3,91 -
Ash Content (%) 2,58 3,13 1,86 2,31 2,23 -
Volatile Matter (%) 49,8 49,08 49,48 49,71 49,5 62,34
Fixed Carbon (%) 41,74 40,09 41,8 43,16 44,36 47,66
Nilai Kalor (cal/g) 6445 6594 6649 6723 6615 6663
Peningkatan Nilai Kalor 33,023 37,234 38,761
36,0991 36,5325 -
(%) 7 3 6

Dari hasil penelitian pada Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa terjadi

penurunan terhadap nilai persentase inherent moisture.


30

9
8
7
Inherent Moisture (%)

6
5
4
3
2
1
0
0 15
Waktu Pengeringan (menit)

Gambar 4.1 Grafik hubungan waktu pengeringan terhadap


inherent moisture
Pada Gambar 4.1 menunjukkan inherent moisture terbesar pada waktu

pengeringan 45 menit sebesar 7,7% dan inherent moisture terkecil pada waktu

pengeringan 90 menit sebesar 3,91%. Jika ditinjau dari waktu pengeringan

terhadap inherent moisture, semakin lama waktu pengeringan maka inherent

moisture semakin kecil. Hal ini dikarenakan semakin lama waktu pengeringannya

maka semakin banyak air yang menguap dari batubara tersebut. Penambahan zat

aditif berupa LSWR yang mengisi kekosongan dari pori-pori batubara serta

melapisi permukaan batubara selama proses pengeringan. Sehingga setelah proses

pengeringan, air terikat yang awalnya terkandung dalam batubara telah teruapkan

dan air yang terkandung di udara sekitar tidak dapat kembali masuk.

Persentase ash content setelah proses UBC terjadi peningkatan

seperti terlihat pada Gambar 4.2


31

3.5

2.5
Ash Content (%)

1.5

0.5

0
0 15
Waktu Pengeringan (menit)

Gambar 4.2 Grafik hubungan waktu pengeringan terhadap ash content

Ash content dari batubara setelah proses UBC mengalami peningkatan

dari batubara sebelum proses UBC seperti terlihat pada Gambar 4.2. Kandungan

abu yang biasanya terkandung dalam bahan bakar cair berupa garam dalam bentuk

senyawa sodium, vanadium, kalsium, magnesium, silikon, besi, aluminium, nikel

dan lainnya. Dapat dilihat pada Gambar 4.3 bahwa semakin lama waktu

pengeringan, maka nilai ash content semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin

banyak kandungan batubara yang menguap pada saat proses pengeringan sehingga

ash content yang didapatkan turun Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

semakin lama waktu pengeringan maka nilai ash content mengalami peurunan.

Data hasil analisa volatile matter (VM) setelah UBC ditunjukkan pada

Gambar 4.3
32

49.8

49.6
Volatile Matter (%)

49.4

49.2

49

48.8

48.6
0 15
Waktu Pengeringan (menit)

Gambar 4.3 Grafik hubungan waktu pengeringan terhadap volatile matter

Volatile matter dari batubara setelah proses UBC mengalami peningkatan

dari batubara sebelum proses UBC seperti terlihat pada Gambar 4.3. Hal yang

mempengaruhi volatile matter adalah gas-gas yang mudah terbakar seperti

hidrogen, karbon monoksida, metana dan sebagian kecil uap yang dapat

mengembun seperti tar.

Dapat dilihat pada Gambar 4.3 bahwa semakin lama waktu pengeringan,

maka nilai volatile matter semakin besar. Hal ini disebabkan karena terjadi

dekomposisi aktif batubara menyebabkan sebagian material batubara mulai

mengalami tahap pirolisis. Proses pirolisis merupakan proses dekomposisi kimia

bahan organik melalui proses pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Proses ini

menyebabkan sebagian material organik batubara mengalami pemecahan struktur

kimia menghasilkan arang dan gas-gas seperti CO, CO2, H2 dan gas organik.
33

Pada waktu pengeringan 75-90 menit terjadi penurunan volatile matter.

Penurunan nilai ini dikarenakan semakin lama waktu pengeringan, semakin

banyak kandungan volatile matter pada batubara yang menguap pada proses

pengeringan. Penurunan volatile matter juga disebabkan volatile matter awal yang

terkandung dalam batubara sebagian kecil ikut teruapkan bersama air pada saat

proses pengeringan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu

pengeringan maka nilai volatile matter mengalami kenaikan.

Nilai fixed carbon yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh nilai inherent

moisture, ash content dan volatile matter, karena nilai fixed carbon bukan

merupakan hasil dari analisa melainkan hasil dari perhitungan. Peningkatan nilai

fixed carbon sangat dipengaruhi oleh turunnya nilai inherent moisture setelah

proses UBC seperti terlihat pada Gambar 4.4

45
44
43
Fixed Carbon (%)

42
41
40
39
38
37
0 15
Waktu Pengeringan (menit)

Gambar 4.4 Grafik hubungan waktu pengeringan terhadap fixed carbon


34

Pada Gambar 4.4 menunjukkan fixed carbon terbesar pada waktu

pengeringan 90 menit sebesar 44,36% dan fixed carbon terkecil pada waktu

pengeringan 45 menit sebesar 40,09%. Nilai fixed carbon naik pada waktu

pengeringan 30 menit dari batubara lignit awal sebesar 36,66% menjadi 41,74%.

Hal ini disebabkan semakin lama waktu pengeringan maka semakin banyak zat

pengotor dalam batubara yang menguap. Hal ini ditunjukkan pada waktu

pengeringan 45 sampai 90 menit, nilai fixed carbon meningkat karena nilai

inherent moisture turun. Waktu pengeringan yang semakin lama tidak menambah

jumlah carbon dalam batubara melainkan mengurangi zat pengotor dalam

batubara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu

pengeringan maka nilai fixed carbon semakin besar.

Waktu pengeringan berpengaruh terhadap nilai kalor batubara. Hasil pada

Gambar 4.5.

39
38.5
Peningkatan Nilai Kalor (%)

38
37.5
37
36.5
36
35.5
35
34.5
0 15
Waktu Pengeringan (menit)

Gambar 4.5 Grafik hubungan waktu pengeringan terhadap


peningkatan nilai kalor
35

Pada Gambar 4.5 menunjukkan peningkatan nilai kalor terbesar pada

waktu pengeringan 75 menit sebesar 38,76 % dan peningkatan nilai kalor terkecil

pada waktu pengeringan 30 menit sebesar 33,02 %. Jika ditinjau dari waktu

pengeringan terhadap nilai kalor dapat dilihat bahwa, semakin lama waktu

pengeringan maka nilai kalor akan semakin besar. Hal tersebut disebabkan oleh

faktor inherent moisture dan volatile matter.

Inherent moisture yang rendah menunjukkan kandungan air yang kecil

pada batubara dimana kandungan moisture yang rendah tersebut berbanding

terbalik dengan nilai kalor sedangkan untuk menurunkan inherent moisture salah

satu faktornya adalah waktu pengeringan karena apabila waktu pengeringan

semakin lama akan membuat kandungan air didalam batubara dapat menguap

semuanya dan tidak terjadi penyerapan air kembali ke batubara tersebut. Hal ini

terjadi karena adanya zat aditif LSWR yang menutupi pori-pori batubara yang

ditinggalkan oleh air yang menguap selama proses pengeringan.

Volatile matter dijadikan indikasi reaktifitas batubara saat dibakar.

Volatile matter yang tinggi menunjukkan kandungan voaltile matter yang banyak

pada batubara. Nilai volatile matter berbanding lurus dengan nilai kalor karena

kandungan volatile yang tinggi pada batubara menghasilkan panas saat dibakar

sehingga nilai kalor tinggi. Salah satu faktor untuk meningkatkan volatile matter

adalah waktu pengeringan karena apabila waktu pengeringan semakin lama akan

merubah kerosene yang terikat dengan LSWR menjadi senyawa volatile sehingga

menigkatkan nilai volatile matter saat analisa.


36

Volatile matter pada waktu pengeringan 90 menit lebih berpengaruh pada

nilai kalornya karena nilai volatile matter yang didapatkan turun dari sebelumnya

sehingga kandungan volatile matter yang menghasilkan nilai kalor pada batubara

jadi semakin sedikit sehingga nilai kalor yang didapatkan turun dari sebelumnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh waktu pengeringan pada nilai volatile

matter dengan nilai kalor berbanding lurus. Bahwa semakin tinggi nilai volatile

matter maka nilai kalor juga tinggi.


37

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Semakin lama waktu pengeringan maka nilai kalor semakin besar,

dengan nilai kalor optimum yang didapatkan pada waktu pengeringan

75 menit sebesar 6723 cal/g. Mengalami penurunan nilai kalor pada

waktu pengeringan 90 menit karena banyak kandungan volatile matter

pada batubara yang menguap.

2. Pada waktu pengeringan 75 menit telah mendapatkan batubara dengan

karakteristik: kandungan air 4,82%; abu 2,31%; volatile matter 49,71%;

fixed carbon 43,16% dan nilai kalor sebesar 6723 cal/g. Nilai kalor

yang didapatkan telah memenuhi standar bahan baku PLTU.

2. Saran

Berdasarkan penelitian, untuk memperoleh produk hasil UBC yang lebih baik

lagi maka diharapkan penelitian selanjutnya lebih memperhatikan zat aditif yang

digunakan serta menambahkan variabel baru yang dapat meningkatkan mutu

batubara lignit (brown coal) seperti perbandingan komposisi zat aditif dan

penggunaan zat aditif yang lebih murah namun memiliki kinerja yang sama.
38

DAFTAR RUJUKAN

Argus. (2015). Methodology and Spesificatons Guide. 23 Januari 2018.


http://www.argusmedia.com/~/media/6C975E81AEE542E68D252B7010
EEE26A.ashx

Arno. (2014). Coal Knowledge, Classifiaction of Coal by Rank (ASTM D388-12).


30 Januari 2018. http://www.ckic.net/FocusShow.asp?id=820&cid=616

Arnold, G. (1987). Batubara. Jakarta: PT. Pertja.

Badan Geologi (2016). Kondisi Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia.

Billah, M. (2010). Peningkatan Nilai Kalor Batubara Peringkat Rendah


dengan Menggunakan Minyak Tanah dan Minyak Residu. Yogyakarta:
UPN Press.

Budiharjo, I. (2009). Teknologi UBC- menggoreng batubara, 27 Desember


2017.http://www.kamase.org/?p=588.

Cahyadi. (2015). PLTU Batu Bara Superkritikal yang Efisien. Balai Besar
Teknologi Energi. Tangerang Selatan.

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prov. Kaltim. (2018).
Produksi Batubara Perusahaan Ijin Usaha Pertambangan (IUP)
Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2017. Samarinda.

Djaman, Gustim. (2017). Pengaruh Ukuran Partikel terhadap Peningkatan


Kualitas Batubara Lignit dengan Menggunakan Benzena dan Low Sulfur
Wan Residue dalam Proses Upgrading Brown Coal. Politeknik Negeri
Samarinda. Teknik Kimia.

Heriyanto, dkk. (2015). Pengaruh Minyak Jelantah pada Proses UBC untuk
Meningkatkan Kalori Batubara Bayah. Universitas Sultan Agung
Tirtayasa. Teknik Kimia.
39

Kurachman, T. (2015). Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap


Peningkatan Kualitas Batubara Lignit Dengan Menggunakan Benzena
dan Low Sulfur Wan Residue Dalam Proses Upgrading Brown Coal.
Politeknik Negeri Samarinda, Teknik Kimia.

Manan, Abdul. (2015, April 12). Pembangkit Listrik.com, Engineering RE &


Alumni Portal. Batu Bara sebagai Bahan Bakar PLTU,10 Desember
2017.http://www.pembangkitlistrik.com/batu-bara-sebagai-bahanbakar-
pltu/

Muchjidin. (2006). Pengendalian Mutu dalam Industri Batubara. Bandung: ITB.

PT. Carsurin Samarinda. (2006). Metode Uji Panduan Mutu dan Prosedur Mutu
PT. Carsurin: Samarinda.

Putranto, W.E. (2012). Studi Eksperimen Karakteristik Bahan Bakar Batubara


Cair Sebagai Pengganti HFO dengan Menggunakan Batubara Peringkat
Rendah Melalui Porses Upgrading. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.

Rahim, M., & Wanna, N.B.Z. (2012). Proses Peningkatan Nilai Kalor Batubara
Lignit Samarinda Melalui Penambahan Aditif Low Wax Sulfur Residu dan
Perlakuan Temperatur Pada Tekanan Atmosfer. Politeknik Negeri
Samarinda. Teknik Kimia.

Sukandarrumidi. (2006). Batubara dan Pemanfaatannya. Gajah Mada University


Press. Yogjakarta

Thomas, Larry. (2013) Coal Geology. Southern Gate.


40

LAMPIRAN
41

I. Contoh Perhitungan Analisa Proksimat

1. Kadar Moisture batubara hasil UBC pada ukuran partikel -8 mesh +10 mesh

pada waktu pengeringan 30 menit

m 2−m 3
% Moisture = x 100 %
m 2−m 1

31,8477−31,7892
% Moisture = x 100 %
31,8477−30,8470

= 5,85 %

2. Kadar Ash Content batubara hasil UBC pada ukuran partakel -8 mesh

+10 mesh pada waktu pengeringan 30 menit

m3 −m1
% Ash Content = x 100 %
m2−m1

18,2058−18,1802
% Ash Content = x 100 %
19,1809−18,1802

= 2,56 %

3. Kadar Volatile matter batubara hasil UBC pada ukuran partikel -8 mesh

+10 mesh pada waktu pengeringan 30 menit

( m2−m3 )
% Volatile Matter =
[ ( m2 −m1 ) ]
x 100 % −% moisture

( 14,3270−13,7706 )
% Volatile Matter = [ ( 14,3270−13,3270 ) ]
x 100 % −5,85%

= 49,80%

4. Fixed Carbon batubara hasil UBC pada waktu pengeringan 30 menit

% Fixed Carbon = 100% - % moisture - % ash content - % volatile matter

% Fixed Carbon = 100% - 5,85% - 2,56% - 49,80%


42

= 41,79%
43

II. Data Pengamatan Hasil Analisa


44

III. Perhitungan Persentase Peningkatan Nilai Kalor Batubara

Pada ukuran partikel -8 mesh +10 mesh

Nilai kalor sebelum UBC = 4845 kal/g

Nilai kalor setelah UBC = 6445 kal/g

Peningkatan nilai kalor

nilai kalor sesudah UBC−nilai kalor sebelum UBC


= x 100 %
nilai kalor sebelum UBC

kal kal
6445 −4845
g g
= x 100 %
kal
4845
g

= 33,02%
45

Gambar 1. Proses pengayakan

Gambar 2. Proses UBC

Anda mungkin juga menyukai