Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN TETAP

PRAKTIKUM DASAR-DASAR TEKNOLOGI HASIL

PERIKANAN

Viola Maharani Windy Putri

05051281924017

Kelompok 7

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menyatakan bahwa setelah ikan mati, berbagaiproses perubahan fisika, kimia,


danorganoleptik berlangsung dengan
cepat yang akhirnya mengarah ke pembusukan, dengan urutan proses perubahan yang terjadimeli
puti perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim,aktivitas mikroba dan oksidasi. Secara
umum peristiwa rigor mortis terdiridari tiga tahap yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor,
penentuan tingkatkesegaran ikan dapat dilakukan melalui parameter fisika,sensori/organoleptik,
kimia maupun mikrobiologi.Penggunaan suhu rendah sekitar 0°C pada ikan basah/segar
dapatmemperpanjang proses rigor mortis, dapat menekan kegiatan bakteri, kimiawidan
perubahan organoleptik. Dengan demikian penyimpanan suhu rendah danwaktu pengolahan
cepat menentukan kecepatan penurunan mutu ikan segarsetela ikan mati (Taher, 2010).Salah satu
masalah yang sering timbul pada sektor perikanan adalahdalam mempertahankan mutu. Mutu
ikan dapat terus dipertahankan jika ikantersebut ditangani dengan hati-hati (careful), bersih
(clean), disimpan dalamruangan dengan suhu dingin (cold) dan cepat (quicle). Pada suhu ruang,
ikanlebih cepat memasuki fase rigor mortis dan berlangsung lebih singkat.Aktivitas enzim dan
bakteri tersebut menyebabkan perubahan yang sangatpesat sehingga ikan memasuki fase post
rigor. Fase ini menunjukkan bahwamutu ikan sudah rendah dan tidak layak untuk dikonsumsi
(Munandar et al.,2005).Segera setelah ikan mati, perubahan-perubahan biokimia punberlangsung
dan mulai terjadi proses penurunan mutu ikan atau
deteriosasi yang disebabkan oleh tiga macam kegiatan, yaitu autolysis, kimiawi, danbacterial.
Pada deteriosasi ikan, reaksi kimia yang terjadi adalah auto oksidasipigmen mioglobin, serta
perubahan lainnya.

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang cukup digemari oleh masyarakat, karena
kandungan protein dan mudahnya mendapatkan ikan segar dipasaran yang bervariasi. Ikan kakap
merah merupakan salah satu ikan air laut yang dijual dipasaran. Rasa gurih dan kandungan
protein yang tinggi menjadikan ikan kakap merah sebagai makanan favorit, serta memiliki nilai
ekonomis yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan air laut lainnya. Ikan kakap merah
segar memiliki kandungan kadar air 77,53 %, abu 1,42%, protein 20,55%, lemak 0,27%, dan
karbohidrat 0,23% (Jacoeb, 2015). Namun, apabila ikan segar tidak segera diolah dan hanya
memiliki ketahanan beberapa jam saja. Maka dari itu diperlukan suatu cara atau metode yang
praktis agar ikan dapat bertahan lebih lama dalam keadaan segar. Ikan termasuk bahan pangan
yang sifatnya mudah rusak (perishable food), sehingga perlu adanya pengolahan lebih lanjut,
ikan tersebut lama kelamaan akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengaruh
fisiologi, mekanik, kimiawi, mikrobiologi yang dapat menyebabkan kerusakan dan selanjutnya
tidak dapat dikonsumsi (Lubis, 2009). Kemunduran mutu ikan sebagai bahan pangan disebabkan
oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk (Putro, 2008). Suatu usaha untuk mempertahankan atau
menghambat kecepatan kerusakan ikan segar dapat dilakukan dengan pengawetan. Pengolahan
dan pengawetan makanan dibagi menjadi 3, yaitu pengawetan secara fisika, pengawetan secara
kimia dan pengawetan secara mikrobiologi (Effendi, 2012). Pengawetan secara fisika dengan
pengeringan, pengawetan secara kimia dengan penambahan bahan makanan atau pengawet
buatan (sintetis), akan tetapi terkadang bahan kimia cukup berbahaya karena penggunaan yang
tidak tepat seperti penambahan formalin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit. Sedangkan
pengawetan secara mikrobiologi 2 dengan memanfaatkan bahan alami atau menumbuhkan
mikroorganisme yang berguna secara selektif. Pengawet alami merupakan jenis pengawet yang
berasal dari tumbuhan, hewan maupun mikroba. Pengawetan dengan menggunakan bahan alami
sangat aman digunakan, karena berasal dari alam yang mudah ditemukan yaitu dengan
penambahan suatu ekstrak dari tanaman yang memiliki kandungan senyawa aktif antibakteri,
sehingga dapat mengurangi pembusukan atau kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh
aktivitas mikroba serta dapat memperpanjang daya simpan. Salah satu tanaman yang dapat
digunakan sebagai pengawet alami ialah Anting-anting (Acalypha Indica L.), tanaman ini
dianggap sebagai penganggu tanaman budidaya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pengawet alami. Hasil penelitian Sriwahyuni (2010), menunjukkan bahwa adanya senyawa aktif
tanin, alkaloid dan steroid pada ekstrak Acalypha yang dapat menghambat pertumbuhan
beberapa bakteri patogen. Menurut penelitian Pambudi (2014), kandungan flavon, flavonol,
khalkon dan isoflavon pada organ daun tanaman anting-anting dapat berpotensi sebagai sumber
antioksidan dan antimikroba. Dari beberapa senyawa yang tergolong dalam flavonid tersebut
isoflavon ialah senyawa yang berpotensi sebagai antimikroba. Hasil penelitian mengenai
kandungan dan manfaat tanaman anting-anting berpotensi sebagai antibakteri. Menurut
Govindarajan (2008), ekstrak etil asetat anting-anting dapat berpotensi sebagai anti bakteri. Hasil
penelitian Imrosi (2015), menyatakan bahwa anting-anting dapat dimanfaatkan sebagai
antifungal (antijamur) bahan alternatif dalam mengendalikan beberapa patogen. Hasil penelitian
Suryawati (2011), Waktu perendaman ikan bandeng pada larutan lengkuas mempunyai peranan
terhadap pertumbuhan bakteri. Adanya penurunan rata-rata jumlah bakteri dari perendaman 2
jam terhadap 4 jam, perendaman 4 jam terhadap 6 jam menunjukkan terdapat perbedaan yang
nyata. Semakin lama waktu perendaman, maka jumlah bakteri yang dapat terhambat
pertumbuhannya akan semakin banyak serta didukung adanya 3 kandungan zat kimiawi dalam
yang bersifat antibakteri seperti fenol, flavanoid dan minyak astsiri yang terkandung dalam
lengkuas. Hasil penelitian Bahtika (2015), menunjukkan bahwa presentase penurunan jumlah
bakteri tertinggi pada ikan kembung pada variasi dosis 15% dengan lama perendaman 3 jam
yaitu 83,7% (0,7x105 koloni/gr) dari larutan rimpang lengkuas. Hasil penelitian Sukmawati
(2014), menunjukkan bahwa ekstrak Kappaphycus alvarezii konsentrasi 500 ppm dan lama
perendaman 60 menit menghasilkan pengaruh terhadap nilai total bakteri dan nilai organoleptik
pada ikan nila. Hasil penelitian Iswadi (2015), menunjukkan bahwa lama perendaman pada 20 %
ekstrak daun api-api selama 2 jam dapat bertahan hingga 12 jam, penampakan ikan tongkol mata
bening, kulit tegang, insang merah, daging kenyal dan konsistensi padat. Hasil penelitian Hijriy
(2015), menunjukkan bahwa konsentrasi sari rimpang jahe 70% dengan lama perendaman 105
menit pada ikan tongkol dapat menghambat jumlah koloni bakteri yaitu 1,8 x 105masih dibawah
SNI (5x105 ). Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik dan telah melakukan
penelitian dengan judul “Kualitas dan Daya Simpan Ikan Kakap Merah dengan Daun Anting-
Anting (Acalypha indica L.) Sebagai Pengawet Alami”.

1.2. Tujuan

Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa lebih memahami tingkat kemunduran mutu ikan
sehingga dapat membedakan sampai batas mana ikan layak untuk dikonsumsi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Salem (

Menurut ,ikan salem (Scomber Japonicus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Family : Scombridae

Genus : Scomber

Spesies : S. japonicus

Gambar 2.1.1. Ikan Salem (Scomber Japonicus)

Makerel pasifik, Scomber japonicus, adalah sejenis ikan laut yang termasuk dalam


kelompok makerel sejati (puak Scombrini), suku Scombridae. Menyebar di
perairan Pasifik Tengah bagian barat, ikan berukuran kecil ini di pasar-pasar
tradisional Jabodetabek dikenal secara salah kaprah sebagai ikan salem atau ikan sarden.
Dalam bahasa Inggris disebut sebagai chub mackerel, Pacific mackerel atau Pacific chub
mackerel.

Ikan yang bertubuh kecil hingga sedang; bentuk sedikit mirip cerutu, dengan batang ekor yang
kecil ramping. Panjang tubuh FL (fork length) maksimal 50 cm, namun umumnya sekitar 30 cm
saja.[2]
Moncongnya meruncing. Bagian depan dan belakang mata terlindungi oleh pelupuk lemak yang
bening. Rahang atas dan bawah dengan sederetan gigi kecil-kecil yang runcing mengerucut;
deretan gigi serupa juga terdapat di langit-langit mulut. Sisir saring berjumlah 25-35 pada lengan
bawah lengkung insang yang pertama.[2]
Sirip punggung yang pertama tersusun oleh IX-X jari-jari keras (duri); jarak terbuka antara duri
terakhir sirip ini dengan awal sirip punggung kedua adalah lebih pendek daripada jarak duri
pertama hingga terakhir pada sirip punggung pertama. Sebuah duri pendek yang kaku dan
kuat berada di belakang anus, di muka sirip anal. Lima buah sirip kecil (finlet) terdapat masing-
masing di belakang sirip punggung dan sirip anal, di muka sirip ekor. Dua lunas kecil menonjol
di pangkal sirip ekor, pada masing-masing sisi tubuh.[2] Sirip pektoral (dada) sangat pendek.
Punggung berwarna biru baja, dengan pola garis berliku-liku; sisi bawah dan
perut kuning keperakan.[2]
Ikan yang bersifat pelagik-neritik, menghuni wilayah permukaan samudera pada kedalaman
antara 0 – 300 m (biasanya 50 – 200 m, epipelagik hingga mesopelagik),
sepanjang pesisir dan paparan benua. Suhu perairan yang disukainya antara 10 °C – 27 °C.
Makerel pasifik biasa berenang menggerombol dengan sesama jenisnya yang berukuran serupa;
namun kadang kala juga ditemukan bergabung dengan jenis-jenis lain seperti Sarda
chiliensis, Trachurus symmetricus dan Sardinops sagax.
Pada siang hari, makerel dewasa tinggal di dekat dasar laut dan naik ke permukaan di waktu
malam, di mana mereka memangsa kopepoda dan krustasea lain, ikan-ikan kecil, dan juga cumi-
cumi. Makerel pasifik memijah berombongan, beberapa kali setahun; telur-telur dan larvanya
tinggal melayang-layang di dekat permukaan laut. Selama musim dingin, di perairan Asia, ikan
ini bergerak ke kedalaman laut dan berdiam di sana.[4] Dapat mencapai usia 18 tahun, ikan ini
mulai bereproduksi pada umur 4 tahun, bahkan kadang-kadang pada umur setahun. Ikan betina
melepaskan hingga 70.000 butir telur setiap kali memijah; telur-telur ini akan menetas di air laut
dalam 4-5 hari.
BAB 3

PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3.3. Tempat dan Waktu

Praktikum Dasar-Dasar Teknologi Hasil Perikanan mengenai pengamatan Kemunduran


Mutu Ikan dilaksanakan di Laboratorium, Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sriwijaya. Pada tanggal 20 Februari 2020, pukul 14.30 s/d selesai.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah baskom, pisau, plastik, penggaris, alat
ukur berat (timbangan), sarung tangan lateks, masker dan alat tulis. Sedangkan bahan yang
digunakan Ikan Lele (Clarias bathracus), Ikan Nila (Oreochromis niloticu), Ikan Bandeng
(Channos channos), Ikan Sarden (Sardinella lemuru), Ikan Salem (Elagatis bipinnulatus), Ikan
Tawes (Barbonymus gonionotus), Ikan Betok (Anabas testudineus), Ikan Kembung
(Rastrelliger) masing-masing 3 ekor ikan.

3.3. Cara Kerja

Cara kerja yang dilakukan pada praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan adalah
sebagai berikut:

1. Siapkan alat dan bahan. Ukur panjang total, panjang standar, panjang kepala, badan, dan ekor.

2. Lalu ikan diamati kondisi fisiknya mualai dari mata, insang, tekstur daging, keadaan kulit dan
lender, keadaan perut dan sayatan daging serta bau.

3. Catat masing-masing hasil pengamatan yang diperoleh pada format laporan sementara.
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Hasil yang diperoleh dari praktikum ini dapat dilihat pada table dibawah ini, yakni
sebagai berikut :

Tabel 4.1.1. Hasil Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan


4.2. Pembahasan

Pada praktikum ini, kita mengamati perbedaan ikan yang masih segar dan ikan yang
sudah. Seperti yang telah kita ketahui di diktat bahan ikan yang digunakan dalam
praktikum kali ini yaitu, ikan kembung jantan ( Rastrelliger Kanagurta), ikan
nila (Oreocromis niloticus), ikan lele (Clarias bathracus), ikan patin (Pangasius
pangasius), dan ikan sarden ( Sardinella Lemuru )
            Kali ini kita melakukan pengamatan pada ikan yang dilakukan oleh masing -
masing kelompok.
            Pada percobaan ini kami melakukan pengamatan pada ikan nila. Pada ikan
nila setelah di amati ikan nila yang kami bawa keadaannya masih segar, walaupun
ada satu yang hampir busuk. Pengamatan yang kami lakukan yaitu mengamati
mata, insang, tekstur daging, keadaan kulit, dan lender, keadaan perut dan sayatan,
serta bau ikan.
            Keadaan mata ikan nila yang yang kami amati, dari ketiga ikan nila yang
kami bawa, dua ekor ikan keadaan pupil matanya hitam menonjol, dengan kornea
mata cembung dan cemerlang  atau serah, sedngkan satu ekornya pupil matanya
sudah kelabu tertutup lender seperti putih susu, bola mata cekung dan
keruh           Keadaan insang ikan nila yang kami amati, dua ekor ikan nila warna
insangnya merah tua atau merah cemerlang tanpa adannya lender, tidak tercium
bau yang menyimpang, sedangkan satu ekornya warna insang merah coklat bahkan
sampai keabuabuan,bau menyengat dan lender tebal.
            Keadaan Tekstur daging ikan nila yang kami amati, dua ekor di antaranya
keadaannya masih elastik dan jika ditekan tidak meninggalkan bekas jari serta
padat atau kompak, sedangkan satu ekornya dagingnya kehilangan keelasticannya,
lunak jika di tekan dengan jari akan meninggalkan bekas dan lama kelamaan hilang.
            Keadaan kulit dan lender ikan nila yang kami amati, dua ekor diantaranya
masih segar warnanya masih sesuai dengan aslinya dan cemerlang. Lender
dipermukaan jernih dan transparan dan baunya segar. Sedangkan satu ekornya
busuk warnanya sudah pudar dan memucat, lender tebal dan sudah menggumpal
dan lengket.
            Keadaan perut dan sayatan daging ikan nila yang kami bawa, dua ekor
diantaranya masih segar parutnya masih utuh, tidak pecah dan warna sayatan
daging  cemerlang serta jika ikan di belah maka daging melekat kuat pada tulang
terutama rusuk. Sedangkan satu ekornya sayatan daging kurang cemerlang. Yang
terakhir bau kedua ikan yang masih segar baunya masih spesifik menurut jenisnya,
segar seperti bau rumput laut. sedangkan  satu ekornya  yang sudah busuk baunya
seperti asam asetat dan lama kelamaan akan berubah menjadi busuk. 
            Ikan yang sudah di amati kemudian kami catat hasil pengamatannya di
tabel, setelah di catat barulah terlihat jelas perbedaan antara ikan yang masih segar
dan sudah busuk. Ternyata ikan yang dihasilkan pada percobaan Pengamatan
Kemunduran Mutu Ikan adalah sebagai berikut, untuk ikan nila (Oreochromis
niloticus), hasil ikan sampel 1, mata bening, daging elastic, bau segar. Hasil ikan
sampel 2, mata keabuabuan, warna pucat, agak pudar, dan hasil dari ikan sampel 3,
mata bening, daging elastic, bau segar. Untuk ikan patin (Pangasius pangasius)
adalah sebagai berikut, untuk ikan sampel 1, mata cembung, daging elastic. Untuk
ikan sampel 2, bau segar, insang merah. Untuk ikan sampel 3 adalah mulut masih
menganga. Untuk ikan lele (Clarias bathracus), hasil ikan sampel 1 adalah mata
cembung, insang merah dan hasil ikan sampel 2 adalah daging elastic,bau segar.
Kemudian hasil dari ikan sardin ( Sardinella lemuru ) untuk sampel 1 adalah insang
merah gelap, mata keruh dan berlendir. Untuk sampel 2, tubuh berlendir dan
keruh, dagingnya tidak elastic lagi dan hasil untuk sampel 3 adalah memiliki
daging tidak lastic, baunya tidak segar dan busuk. Serta untuk ikan kembung jantan
( Rastrelliger kanagurta) hasil dari sampel 1 adalah mata sudah
cekung, insang bewarna merah pucat. Hasil dari sampel 2 adalah mata keruh atau
buram, insang merah pucat dan hasil dari sampel 3 adalah insang merah pucat dan
badan busuk.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Adanya kesimpulan yang didapat dari praktikum ini pengamatan kemunduran mutu ikan
adalah sebagai berikut :
1.        Kemunduran mutu ikan ditandai dengan adanya perubahan fisik dan kimia yang
disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroorganisme.
2.         Fese kemunduran mutu ikan setelah ikan mati terdiri dari 3 fase
yaitu prerigormortis, rigormortis dan postrigormortis.
3.        Penurunan mutu ikan juga dapat terjadi oleh pengaruh fisik. Misal kerusakan oleh
alat tangkap waktu ikan berada di atas kapal dan selama ikan disimpan di kapal.
Kerusakan yang dialami ikan secara fisik ini disebabkan karena penanganan yang
kurang baik. Sehingga menyebabkan luka-luka pada badan ikan dan ikan menjadi
lembek.
4.        Ciri ikan yang masih segar atau busuk dapat di lihat dari mata, insang, tekstur
daging, keadaan kulit dan lender, keadaan perut dan sayatan daging
serta  bau ikan.
5.        Kecepatan pembusukan berbeda pada tiap jenis ikan, karena perbedaan komposisi
kimia ikan. Ikan-ikan yang kecil membusuk lebih cepat dari pada ikan yang lebih
besar.

5.2. Saran
Pelaksanaan praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan
penggunaan        waktu harus lebih di perbaiki lagi, agar praktikan tidak terburu –
buru melakukan praktikum.
LAMPIRAN PERHITUNGAN

1. Kemunduran Mutu Ikan


 Susut Bobot 1 = Bobot Awal – Bobot Akhir
Bobot Akhir
= 1- 1
1

Anda mungkin juga menyukai