Demam Tifoid
Pembimbing :
dr. Afaf Susilawati, SpA
Disusun Oleh:
Fedora Jolie
112018166
IDENTITAS PASIEN
PASIEN
Nama Lengkap : An. R SS
Tanggal Lahir (Umur) : 31 Juli 2010 ( 8 Tahun 8 Bulan 19 Hari)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Lagoa terusan gang. V C II/28 RT 10103 Kel Lagoa Kec. Koja
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SD
Tanggal Masuk RS : 19 April 2019
Orang Tua
Ayah
Nama Lengkap : Tn. A
Umur : 43 tahun
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jl. Lagoa terusan gang. V C II/28 RT 10103 Kel Lagoa Kec. Koja
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : Kristen Protestan
Hubungan dengan Anak : Ayah Kandung
ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis dari Ayah pasien
Tanggal : 24 April 2019 Pukul : 12.00 WIB
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama
Demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan
Demam disertai batuk berdahak, pilek, mual, muntah saat makan dan lemas.
Laki-Laki
Perempuan
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Tengkurap : Usia 4 bulan
Merangkak : Usia 8 bulan
Duduk : Usia 7 bulan
Berdiri : Usia 1 tahun
Berjalan : Usia 1 tahun 5 bulan
RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN DASAR ULANGAN
BCG 1 bulan
Campak 9 bulan
MMR
Tifoid
Varicella
RIWAYAT NUTRISI
Variasi : Bervariasi
Jumlah : 1 piring
Frekuensi : 3 kali/hari
Nafsu Makan : berkurang ketika sakit
PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 24 April 2019 Jam: 12.00 WIB
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Frekuensi Nadi : 90 kali/menit
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Frekuensi Napas : 26 kali/menit
Suhu Tubuh : 37,9 oC
Data Antropometri
Berat Badan : 28 kg
Tinggi Badan : 125 cm
Lingkar Kepala : 53 cm
Lingkar Dada : 69 cm
Lingkar Lengan Atas : 22 cm
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala
- Bentuk dan Ukuran : Normosefali
- Rambut dan Kulit Kepala : Rambut berwarna hitam tidak mudah dicabut, distribusi
merata.
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor Ø 2mm/2mm, refleks cahaya +/+ normal.
- Telinga : Normotia, tidak ada benjolan maupun fistula, tidak ada
sekret yang keluar dari kedua lubang telinga.
- Hidung : Cavum nasi lapang, sekret (-), hipertrofi konka inferior (-), septum
deviasi (-), mukosa hiperemis (-), napas cuping hidung (-).
- Bibir : Bibir merah muda, tidak kering, sianosis (-), trismus (-).
- Gigi-geligi : Karies (-).
- Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, hiperemis (-), pucat (-).
- Lidah : Normoglosia, warna merah muda, lidah kotor (+), tremor (-).
- Tonsil : T1-T1, tidak hiperemis.
- Faring : Faring tidak hiperemis, granular (-).
Leher
KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, trakea letak di tengah.
Toraks
- Paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris, retraksi (-).
Palpasi : Fremitus taktil simetris.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : BJ I-II reguler, murni, gallop (-), murmur (-).
Abdomen
Inspeksi : Bentuk abdomen datar.
Palpasi : Supel, turgor kulit baik, nyeri tekan (-), pembesaran hati (-), pembesaran
limpa (-), pembesaran ginjal (-).
Perkusi : Terdengar timpani di seluruh permukaan abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Anggota Gerak
Tonus : Normotonus
Sendi :
Kekuatan +5 +5 Edema - -
+5 +5
- -
Sianosis - -
- -
Capillary Refill Time : < 2 detik
Tulang Belakang
Tulang belakang normal dan lurus, tidak terdapat benjolan, gibbus (-).
Kulit
Kulit normal, tidak terdapat lesi di kulit.
Pemeriksaan Neurologis
Tingkat Kesadaran : GCS 15
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig Sign (-), Brudzinsky Sign (-), Laseque Sign (-)
Saraf Kranialis I-XII : Kesan dalam batas normal
Refleks Patologis : Babinsky -/-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal : 19 April 2019
Darah Rutin Hasil Satuan Nilai Rujukan
MCV 74 fl 76-90
MCH 25 pg 25-31
Serologi
Salmonella IgM (+) Positif (-) Negatif
RESUME
Seorang anak RSS berusia 8 tahun datang ke IGD dibawa oleh ayahnya dengan keluhan
demam sejak 7 hari SMRS. Pasien dengan keluhan demam dirasakan naik secara perlahan-lahan
dari pagi sampai malam hari dan dirasakan naik-turun. Demam lebih tinggi terutama pada malam
hari. Pasien juga mengeluh batuk berdahak, pilek, sakit kepala, mual dan muntah setiap makan.
Pasien sebelumnya telah melakukan pengobatan berulang sebanyak dua kali di Puskesmas
Kecamatan Koja dan diberikan obat paracetamol. Namun tidak mengalami perbaikan. Menurut
ayah pasien, tidak pernah terlihat adanya tanda-tanda perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah
atapun muncul ruam merah pada tubuh pasien. Orang yang serumah dengan pasien tidak ada
yang mengalami gejala yang sama. Pasien mengatakan bahwa sebelum demam, pasien sering
jajan makanan dan minum es di pinggir jalan di depan sekolah. Dari hasil pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi Salmonella IgM (+) positif yang mendukung
diagnosa demam tifoid.
DIAGNOSA KERJA
Demam Tifoid
Dasar Diagnosis : Diagnosa ini ditegakkan karena pasien datang dengan demam yang naik
turun sejak 7 hari SMRS, demam terutama tinggi pada malam hari disertai mual dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi Salmonella IgM (+)
positif yang mendukung diagnosa demam tifoid.
DIAGNOSA BANDING
- Dengue Fever
PENATALAKSANAAN
Non Medika Mentosa
- Tirah baring
- Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
Medika Mentosa
- Zink 1x20 mg
- Vestein syr 3x5 ml
- PCT 3x375 mg
- Ondansentron 2x3 mg
- Ceftriaxone 1x1,5 g
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
EDUKASI
- Tidak jajan di pinggir jalan, usahakan makan makanan dari rumah yang dicuci dan
dimasak dengan bersih.
- Makan makanan yang bergizi, bersih, dan matang.
- Menjaga kebersihan diri
FOLLOW UP
Tanggal 22 April 2019 hari ke-4 dirawat
S : Demam masih dirasakan paling tinggi pada malam hari. Batuk berdahak warna putih
encer dan pilek, sakit perut, ada muntah 1x kemarin saat makan. Isi muntahannya air dan
makanan. Mual (+), ada BAB cair sebanyak 3x dan sering flatus, BAK lancar, minum dan nafsu
makannya masih kurang/sedikit dan merasa pegal-pegal badannya.
O : HR 90 kali/menit RR 24 kali/menit Suhu 39,5oC
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/- cekung -/-
Mulut : mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor (+)
Leher : KGB tidak membesar
Thoraks pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, bising usus (+)
Ekstremitas : Akral hangat
A : Prolonged Fever, Diare akut
P : cek IgM salmonella
K3B 16 tpm
Cefriaxon inj 1x1,5 g
Zink 1x20 mg
Vestein 3x5ml
PCT 3x375 mg
Odansenteron 2x3 mg
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit yang berkaitan erat dengan kualitas dari hygiene
pribadi dan sanitasi lingkungan seperti hygiene penjamah makanan yang rendah, lingkungan
kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang masih rendah, sumber
air dan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk serta perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat. Di Indonesia demam tifoid bersifat penyakit endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari tahun ke tahun kejadian demam tifoid
meningkat dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5%. 1
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas yang berkepanjangan, diawali dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s
patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid. Demam
paratifoid secara patologik maupun klinis merupakan demam yang sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis yaitu
bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii).1
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat
luas.2 Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia >5 tahun tetapi gejala dan tanda klinisnya
masih sangat luas sehingga sukar didiagnosis. Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia
disebabkan oleh S. typhi, sementara sisanya disebabkan oleh S. parathypi. Keduanya merupakan
bakteri Gram-negatif. Masa inkubasi sekitar 10-14 hari.3
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.4
Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun
di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika
Selatan.2
Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella.
Basil ini bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau fili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. Suhu optimum untuk tumbuh adalah
37°C dengan ph 6-8. Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui secret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila
berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Sedangkan
reservoir satu satunya adalah manusia yaitu seorang yang sedang sakit atau carrier. Basil ini
dibunuh dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan
khlorinisasi. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari dan pada anak masa inkubasinya ini bervariasi
berkisar 5-40 hari dengan perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidak teratur. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multiple antibiotik.2 Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw
sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (suhu 63oC).2
Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.
Penularan ke manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar dengan feses manusia.
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel pada Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ
ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan
(4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.2
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum) dan
menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria. Bakteri
kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang disebut Peyer’s
patch (plak Peyeri). Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe mesenterika
hingga ke aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan retikuloendotelial
(hepar, limpa, sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air
ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke sirkulasi sistemik (bakteremia II)
dan menginvasi organ lain, baik intra maupun ekstraintestinal.3
1. Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri yang mati.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan
yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch (jaringan limfoid) merupakan
tempat internalisasi/tempat predileksi untuk berkembang biaknya Salmonella typhi. Bakteri
mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada
yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella
typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati dan limfe. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari).2-3
Setelah masa inkubasi, yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta
respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus
torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat
terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi
organism di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.2-3
2. Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Salmonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida dan
dianggap berperan penting dalam pathogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta
memperbesar reaksi peradanagan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Selain itu, juga
menstimulasi sel-sel makrofag dan sel lekosit di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus
dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Sitokin ini
merupakan mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamasi)
seperti menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, depresi sumsum tulang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. Oleh karena itu, kuman
Salmonella bersifat intraseluler maka hamper semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-
kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi. Kelainan patologis yang
utama terdapat di usus halus terutama diileum bagian distal terdapat kelenjar plak peyer. Pada
minggu pertama, plak peyer terjadi hyperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan
ulserasi pada minggu ke 3 akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan
dan perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-
sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Proses ini juga terjadi pada
jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan patologis lainnya
juga dapat ditemukan pada organ tubuh seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput
otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses pada banyak organ
sehingga dapat ditemukan bronchitis, arthritis sepsis, pielonefritis, meningitis, dll. Kandung
empedu merupakan tempat yang di sukai oleh kuman Salmonella. Bila penyembuhan tidak
sempurna, basil salmonella ini akan tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus
sehingga menjadi carrier intestinal. Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu
lama sehingga juga menjadi carrier ( Urinary carrier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan
basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).2-3
3. Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik di tingkat local
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam
menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan
pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T
ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan
reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. typhii pada uji hambatan migrasi leukosit.
Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja,
tanpa memasuki epitel pejamu.2-3
Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian
pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali.
Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.6
Pemeriksaan Penunjang
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-
90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media
kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi
atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama
pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.6,7
Diagnosa Banding
Demam dengue
Pada minggu pertama penyakit ini biasanya tidak ditemukan gejala umum yang khas,
hanya terdapat demam antara 2 hingga 7 hari tanpa adanya manifestasi perdarahan. Akan
tetapi, pada uji tourniquet didapatkan hasil yang positif.3
Tuberkulosis paru
Pada anak kebanyakan penderita penyakit ini adalah asimptomatik. Keluhan dapat berupa
demam yang sering (subfebris), anoreksia, berat badan menurun, keringat malam,
hemoptoe jarang sekali. Yang terpenting adalah adanya sumber penularan atau kontak di
lingkungan pasien. Pasien pada kasus ini memiliki status gizi yang normal dan tidak ada
keringat malam ataupun hemoptoe.3
Malaria
Adanya demam yang turun naik atau intermitten disertai dengan menggigil, diare, muntah,
dan terkadang kejang merupakan beberapa gejala penyakit malaria. Akan tetapi pada
pasien ini tidak didapatkan menggigil serta tidak adanya riwayat keluar kota atau ke hutan.3
Penatalaksanaan
1.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap
panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7
1.2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.
Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik
jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan
usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus
segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol. Kasus demam tifoid
yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.2
Indikasi Rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.6
a. Cairan dan Kalori
1. Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan
dan kalori diberikan melalui sonde lambung.
2. Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah.
3. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.
4. Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
5. Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu diberikan O2.
6. Pelihara keadaan nutrisi.
7. Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
b. Antipiretik, diberikan apabila demam >39oC, kecuali pada pasien dengan riwayat kejang
demam dapat diberikan lebih awal.
c. Diet
1. Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.
2. Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup.
3. Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna
dan perforasi usus.
Pemantauan
1. Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah pengobatan
demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan
diagnosis.
2. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2, yaitu: 3,8
1. Komplikasi pada usus halus
a. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala
akut, yaitu nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun atau
menghilang, ditemukan defans muskular, dan pekak hati menghilang. Nyeri lepas lebih khas
untuk peritonitis.3
b. Perforasi intestinal
Perdarahan dan perforasi intestinal terjadi pada hari minggu kedua demam. Perdarahan
dengan gejala berak berdarah atau dideteksi dengan test perdarahan tersembunyi. Perforasi
intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, nyeri tekan yang paling nyata di kuadran
kanan bawah abdomen. Suhu tubuh turun tiba tiba dengan peningkatan frekuensi nadi dan
berakhir syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus melemah, dan
pekak hati menghilang, perforasi dapat dipastikan dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3
posisi. Perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid yang serius karena sering menimbulkan
kematian. Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan perdarahan usus
pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit,
walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan
suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh
nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang
menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence muscular,
hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis lain. Beberapa kasus perforasi usus halus
mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
2. Komplikasi diluar usus halus
a. Ensefalopati tifoid (toxic typhoid)
Komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun, kejang –
kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang –
kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai
dengan lokasi yang terkena.3
b. Hepatitis tifosa
Demam tifoid yang disertai dengan ikterus, hepatomegali, dan kelainan test fungsi hati
dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT, dan bilirubin darah. Pada histopatologi hati
didapatkan nodul tifoid dan hiperplasi sel-sel kuffer. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai
pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok.
Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga
dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam
tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).
c. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas.
Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua
dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST,
perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
d. Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi
pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada
5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi
kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan
bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.2
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada
individu dengan skistosomiasis.2
Pencegahan
Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau
kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.
Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut
dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.
Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan,
anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi
menyebarkan bakteri Salmonella.
Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan
(booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
Kesimpulan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan pendukung lainnya, pemeriksaan TUBEX direkomendasikan untuk menunjang
penegakan diagnosis pada penderita demam tifoid dengan sensitifitas dan spesifisitas yang cukup
baik. Terapi yang diberikan adalah pemberian makan dan cairan yang cukup, antibiotik, dan
edukasi untuk menjaga higienitas. Untuk menghindari terjangkit penyakit demam tifoid
diperlukan pencegahan terhadap infeksi demam tifoid dengan memperhatikan kualitas makanan
dan minuman yang baik dan dengan pemberian vaksinasi terhadap penyakit tifoid.
Daftar Pustaka
1. Supari, SF. Pedoman pengendalian demam tifoid. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006. 2006. h. 1-26.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis.
Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.h.338-45.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.h.74-5.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
5. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik
Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
6. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
7. Ilham, Nugraha J, Purwanta M. Deteksi IgM Anti Salmonella Enterica Serovar Typhi
dengan pemeriksaan Tubex TF dan Typhidot-M. Jurnal Biosains Pascasajarna. 2017. 19(2).
8. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. Surabaya
: FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
Analisa Kasus
Pada kasus seorang anak laki-laki berusi 8 tahun 8 bulan 19 hari dengan berat badan 28
kg datang dibawa oleh ayah kandungannya ke IGD didapatkan keluhan demam sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit sesuai dengan allo-anamnesa dari ayah ibu pasien. Sifat demam
yang dirasakan pasien yaitu bersifat naik secara perlahan-lahan dan tinggi terutama pada malam
hari. Puncak titik tertinggi demam adalah pada akhir minggu pertama dimana anak tersebut
segera dibawa ke IGD oleh ayahnya. Hal ini sesuai dengan gambaran klinis sifat demam dari
demam tifoid. Seminggu sebelum masuk rumah sakit, pasien jajan makanan dan minum es di
pinggir jalan di depan sekolah., yang kemungkinan sudah terkontaminasi dengan S. typhi
sehingga terjadi penularan melalui makanan/minuman yang tercemar. Selain sifat demam,
terdapat gejala lain yaitu gejala gastrointestinal berupa muntah setiap makan, awalnya
mengalami diare akut selama 3 hari dan kemudian ketika di rawat inap pasien mengalami
konstipasi selama kurang lebih 5 hari berturut-turut. Hal ini juga mendukung diagnosa demam
tifoid dimana ada gangguan gastrointestinal seperti yang dijelaskan pada patofisiologi demam
tifoid. Jadi pada kasus ini konstipasi dan diare akut yang terjadi merupakan kesatuan gejala klinis
yang digambarkan dari demam tifoid itu sendiri.
Pasien juga mengeluh mual, nyeri ulu hati, nyeri kepala dan anoreksia. Hal ini sesuai
dengan gejala sistemik yang menyertai timbulnya demam tifoid. Oleh sebab itu dari anamnesis,
dapat dilihat bahwa apa yang dialami pasien sesuai dengan gambaran gejala klinis pada demam
tifoid. Selain itu, pada kasus terbukti bahwa pemeriksaan test tubex salmonella IgM (+) juga
membantu sebagai pemeriksaan diagnosa pasti dalam menentukan demam tifoid akut pada
pasien tersebut.