Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas PKK KEP. GADAR dan KRITIS yang
diampu dan dibimbing oleh Andri Nugraha,M.Kep

Disusun oleh :
Sri Gustiani

PRODI S1 KEPERAWATAN IIIA


STIKes KARSA HUSADA GARUT
Tahun Akademik 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN
KRITIS APENDISITIS

A. PENGERTIAN

Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94


inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan
dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak
efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbatdan rentan
terhadap infeksi. (Smeltzer, 2002).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia
antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).

Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh


fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, danEnterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).

Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang


terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)

Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab


yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks
atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

B. ETIOLOGI
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid,
penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding
apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa
akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya
apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan
lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya
apendisitis akut ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu
faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor
perilaku. Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk
faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus,
parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari
pelayan keshatan yang diberikan oleh 13 layanan kesehatan baik dari fasilitas
maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti
asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang
menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih
tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

C. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

Nama Tanda dan gejala


pemeriksaan

Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan


tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul
nyeri pada sisi kanan.

Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian


Obraztsova’s dilakukan ekstensi dari panggul kanan.
sign Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.

Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan


dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium
atau vagina.

Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah


dengan batuk

Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi


lembut pada korda spermatic kanan

Kocher Nyeri pada awalnya pada daerah


(Kosher)’s sign epigastrium atau sekitar pusat, kemudian
berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut
(Rosenstein)’s kuadran kanan bawah saat pasien
sign dibaringkan pada sisi kiri

Aure- Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit


Rozanova’s triangle kanan (akan positif Shchetkin-
sign Bloomberg’s sign)

Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi


pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba

D. PATOFISIOLOGI
Appendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau
tersumbat , kemungkinan oleh faecalit  ( massa keras dari faeces ), tumor , benda
asing , bacterial dan virus. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal,
menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara prodresif, dalam
beberapa jam, terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen, akhirnya
appendiks yanag terinflamasi berisi pus.

   Sebagian kecil dari appendiks dapat menjadi membengkak atau nekrosis.


Tekanan didalam appendiks meningkat dengan cepat , menimbulkan nekrosis yang
cepat dari dinding appendiks dengan diikuti oleh perforasi
Infeksi akibat bakteri, virus, jamur, feses yang membatu, pola hidup, benda asing.

Apendiksitis

Inflamasi

Edema

(Berisi Pus)

Infeksi

Bakteri flora Apendik Obs. usus


usus
(bawah kanan
rongga abdomen) Abses
Konstipasi sekunder

Rangsang syaraf
reseptor
Pelvis Diafragma Hati

Nyeri
Jumlah
lekosit

Hiperthermy
E. KOMPLIKASI

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor


keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak
kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-
75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan
orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih
pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,
sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi
diantaranya:
a. Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak


di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon
dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri


menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritononitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya


yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein  (CRP). Pada


pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut
yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat
melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP
yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed


Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85%
dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan
karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi
usus halus atau batu ureter kanan.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi


penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak


mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik
b. Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage  (mengeluarkan nanah).

 
c. Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka
dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar
infeksi intra-abdomen.

  

H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Survey Primer (Primary Survey)
a) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
4) Lakukan intubasi

b) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi
dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking
chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
1. Pemberian terapi oksigen
2. Bag-Valve Masker
3. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar),
jika diindikasikan
4. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.

c) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1. Menentukan ada atau tidaknya
2. Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3. Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4. Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

e) Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz,
2009)

f.  Folley Catheter/ kateter urine

Pemakaian kateter urine dan lambung harus dipertimbangkan. Jangan lupa mengambil
sampel urine untuk pemeriksaan urine rutin. Produksi urin merupakan indikator yang
peka untuk menilai keadaan hemodinamik penderita. Urine dewasa ½ /kg/kgBB,
anak-anak 1 cc/KgBB/jam dan bayi 2 cc/KgBB/jam. Kateter urine jangan digunakan
apabila ada dugaan terjadinya ruptur uretra. Ruptur uretra ditandai dengan adanya
darah dilubang uretra bagian luar ( OUE/ Orifisium Uretra External ), adanya
hematom di skrotum dan pada colok dubur prostat terletak tinggi/ tidak teraba.

g)      Gastic Tube/ Kateter Lambung

Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mencegah muntah.
Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi. Pemasangan NGT
dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan darah tertelan,
pemasangan NGT yang traumatik ( ada perlukaan lambung). Apabila lamina fibrosa
patah ( fraktur basis kranii  anterior ), kateter lambung harus dipasang melalui mulut
untuk mencegah masukknya NGT dalam rongga otak.

h)     Heart Monitoring/ Monitoring EKG

Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.

–          Airway seharusnya sudah diatasi.

–          Brathing: pemantauan laju nafas ( sekaligus pemantauan airway ) dan bila ada
pulse oximetry.

–          Circulation: nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah urine
setiap jam. Apabila ada sebaiknya terpasang monitor EKG.

–          Disability: nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil.

2. Survey Sekunder (Secondary Survey)


1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur
dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala
(Delp & Manning. 2004).

2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan
kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
 Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies
visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia
 Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu
fraktur.
 Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
 Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
 Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
 Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur,
warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,
pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

3) Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau
tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan
pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder..

4) Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

5) Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan
dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi
bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala
mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi
berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila
diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).

6) Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim
YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis,
utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita,
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau
laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah
kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita
usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut
jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada
sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi,
dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau
terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,
Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).

7) Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal
dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD
118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan
sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn
ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-
tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya
kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia.
Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan
riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur
torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto
rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan
pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
a. Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
b. Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
c. Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

8) Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini
dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).
Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi,
dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya
deformitas.

9) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat
bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan
gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat
gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi
(ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia
( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula
adanya vertigo dan respon sensori

a. PemeriksaanTanda – Tanda Vital (Vital Sign Examination)


5) Tekanan Darah (Blood Pressure) : 130/80 mmHg
6) Frekuensi Denyut Nadi / Jantung (Heart Rate):tidak terkaji
7) Frekuensi Pernafasan (Respiration Rate): 20x/menit
8) Suhu (Temperatur): 38℃
9) Saturasi Oksigen / SaO2 (Oxygen Saturation):tidak terkaji

b. Cek Semua Lubang Menggunakan Jari (Finger in Every Orifice)

c. Pengkajian Riwayat (Anamnesis)


Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

d. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam
melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik
yang lebih spesifik seperti :
1) X Ray
Adalah salah satu teknik pencitraan medis yang menggunakan
radiasi elektromagnetik untuk mengambil gambar atau foto bagian
dalam tubuh.
2) USG
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan
angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%.
3) CT Scan
Pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
4) MRI
Adalah pemeriksaan dengan teknik pengambilan gambar detail
organ dari berbagai sudut yang menggunakan medan magnet dan
gelombang radio.
5) Elektrokardiogram (EKG)
Adalah pemeriksaan jantung untuk mendeteksi kelainan dengan
mengukur aktivitas listrik yang dihasilkan oleh jantung,
sebagaimana jantung berkontraksi.
6) Echocardiography (ECG)
Adalah suatu teknik pemeriksaan jantung dan pembuluh darah
besar dengan menggunakan gelombang suara-ultra (ultrasound).
7) Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah
satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90%.
8) Dll

e. Persiapan Rujukan
Biasanya dilakukan ketika pasien telah dilakukan perawatan
sementara, persiapan rujukan terjadi ketika pasien yang awalnya
dilarikan ke klinik dan setelah dilakukan perawatan sementara pasien
dibawa ke RS.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan dengan penekanan ujung-ujung saraf, pelepasan mediator


kimia   (histamine, bradikinin, prostaglandin), distensi jaringan usus oleh
inflamasi
2. Risiko terhadap perubahan volume cairan / kekurangan volume cairan
berhubungan dengan muntah, mual, pembatasan makanan dan cairan, kadang-
kadang diare
3. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik

J. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI


1 Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan - Lakukan
penekanan ujung-ujung saraf, 2x24 jam nyeri pengkajian nyeri
dapat teratasi secara
pelepasan mediator kimia dengan kriteria hasil komprehensif
(histamine, bradikinin, : termasuk lokasi,
- Mampu karakteristik, durasi,
p2rostaglandin), distensi jaringan
mengontrol nyeri frekuensi, kualitas
usus oleh inflamasi (tahu penyebab dan faktor
nyeri, mampu presipitasi \
menggunakan - Gunakan teknik
teknik komunikasi
nonfarmakologi terapeutik untuk
untuk mengurangi mengetahui
nyeri,mencari pengalaman nyeri
bantuan) pasien
- Melaporkan - Kolaborasikan
bahwa nyeri dengan dokter jika
berkurang dengan ada keluhan dan
menggunakan tindakan nyeri tidak
manajemen nyeri berhasil
- Mampu mengenali
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang
Risiko terhadap perubahan volume Setelah dilakukan - Monitor tanda-
tanda vital
cairan / kekurangan volume cairan 2x24 jam nyeri
dapat teratasi
berhubungan dengan muntah, mual, dengan kriteria hasil  
pembatasan makanan dan cairan, :
-kelembaban  
kadang-kadang diare - Kaji membrane
membrane mukosa
mukosa, kaji tugor
kulit dan pengisian
-turgor kulit baik
kapiler.
- Haluaran urin
- Awasi masukan
adekuat: 1 cc/kg
dan haluaran, catat
BB/jam
warna
- Tanda-tanda vital
urine/konsentrasi,
dalam batas
berat jenis.
normal : TD
- Auskultasi bising
(systole 110-
usus, catat
130mmHg, diastole
kelancaran flatus,
70-90mmHg),
gerakan usus.
HR(60-
- Berikan perawatan
100x/menit), RR
mulut sering dengan
(16-24x/menit),
perhatian khusus
suhu (36,5-37,50C)
pada perlindungan
 
bibir.
- Pertahankan
penghisapan
gaster/usus. 
- Kolaborasi
pemberian cairan
IV dan elektrolit
Perubahan pola eliminasi - Pastikan kebiasaan
Setelah dilakukan defekasi klien dan
(konstipasi) berhubungan dengan
penurunan peritaltik gaya hidup
asuhan sebelumnya.
keperawatan, - Auskultasi bising
diharapkan usus 
konstipasi klien - Tinjau ulang pola
teratasi dengan diet dan jumlah /
kriteria hasil: tipe masukan
- BAB 1-2 cairan.
kali/hari
- Feses lunak - Berikan makanan
- Bising tinggi serat.
usus 5-30
kali/menit - Berikan obat
sesuai indikasi,
contoh : pelunak
feses

K. DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification


(NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &


Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai