Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Remaja

2.1.1. Definisi Remaja

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence,berasal dari bahasa latin
adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Masa remaja
disebut sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan
masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan
sosioemosional (Ali & Asroni, 2018).

Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang


luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini
didukung oleh piaget yang mengatakan bahwa secara psikologis ,remaja adalah
suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa,
suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang
yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki
masyarakat dewasa ini mengandung banayak aspek afektif, lebih atau kurang dari
usia puberitas (Ali & Asroni, 2018).

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang


pesat baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual. Remaja merupakan
peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang sering disebut
dengan masa pubertas. Masa pubertas merupakan masa dimana remaja mengalami
kematangan seksual dan kematangan pada organ reproduksi. Masa pematangan
fisik pada remaja wanita ditandai dengan mulainya haid (menstruasi), sedangkan
pada remaja laki-laki ditandai dengan mimpi basah (Sarwono, 2011).

Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita dan
13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu usia 12-13 tahun sampai dengan 17-18 tahun adalah remaja
awal, dan 17-18 tahun sampai dengan 21-22 tahun adalah remaja akhir. Menurut
Amerika Serikat saat ini, individu telah dianggap dewasa apabila telah mencapai
usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya. Pada usia ini,
umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah menengah (Ali & Asroni, 2018).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan
dari anak-anak menuju dewasa dimana masa ini terdapat perubahan yang
sekuensial baik dari segi fisik maupun psikis. Hal ini menyebabkan seorang
remaja relatif bergejolak dibandingkan dengan masa lainnya, sehingga masa
remaja sangat penting untuk diperhatikan.

2.1.2. Pembagian Usia Remaja

Sa’id (2015), membagi usia remaja menjadi tiga fase sesuai tingkatan umur yang
dilalui oleh remaja. Menurut Sa’id, setiap fase memiliki keistimewaannya
tersendiri. Ketiga fase tingkatan umur remaja tersebut antara lain:

2.1.2.1. Remaja Awal (early adolescence)

Tingkatan usia remaja yang pertama adalah remaja awal. Pada tahap ini,
remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun. Umumnya remaja
tengah berada di masa sekolah menengah pertama (SMP).
Keistimewaannya yang terjadi pada fase ini adalah remaja tengah
berubah fisiknya dalam kurun waktu yang singkat. Remaja juga mulai
tertarik kepada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.

2.1.2.2. Remaja Pertengahan (middle adolescence)

Tingkatan usia remaja selanjutnya yaitu remaja pertengahan, atau ada


pula yang menyebutnya dengan remaja madya. Pada tahap ini, remaja
berada pada rentang usia 15 hingga 18 tahun. Umumnya remaja tengah
berada pada masa menengah atas (SMA). Keistimewaannya dari fase
ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik remaja, sehingga
fisiknya sudah menyerupai orang dewasa. Remaja yang masuk tahap
ini sangat mementingkan kehadiran teman dan remaja akan senang jika
banyak teman yang menyukainya.

2.1.2.3. Remaja Akhir (late adolescence)


Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah remaja akhir. Pada tahap ini,
remaja telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun. Remaja pada usia ini
umumnya tengah berada pada usia pendiidkan di perguruan tinggi, atau
bagi remaja yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka
bekerja dan mulai membantu menafkahi anggota keluarga.
Keistimewaannya pada fase ini adalah seorang remaja selain dari segi
fisik sudah menjadi orang dewasa, dalam bersikap remaja juga sudah
menganut nilai-nilai orang dewasa.

2.1.3. Tugas-Tugas Perkembangan Masa Remaja

Salah satu periode dalam rentang kehidupan ialah (fase) remaja. Masa ini
merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu,
dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan kepada perkembangan masa
dewasa yang sehat. Untuk dapat melakukan sosialisasi dengan baik, remaja harus
menjalankan tugas-tugas perkembangan pada usianya dengan baik. Apabila tugas
pekembangan sosial ini dapat dilakukan dengan baik, remaja tidak akan
mengalami kesulitan dalam kehidupan sosialnya serta akan membawa
kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas perkembangan untuk fase-
fase berikutnya. Sebaliknya, manakala remaja gagal menjalankan tugas-tugas
perkembangannya akan membawa akibat negatif dalam kehidupan sosial fase-fase
berikutnya, menyebabkan ketidakbahagiaan pada remaja yang bersangkutan,
menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan
tugas-tugas perkembangan berikutnya (Putro, 2017).

Tugas-tugas perkembangan masa remaja sebagai berikut (Putro, 2017) :

2.1.3.1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

2.1.3.2. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang


mempunyai otoritas.

2.1.3.3. Mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal dan bergaul


dengan teman sebaya, baik secara individual maupun kelompok.

2.1.3.4. Menemukan manusia model yang dijadikan identitas pribadinya.


2.1.3.5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri.

2.1.3.6. Memeperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar


skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup (weltanschauung).

2.1.3.7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)


kekanakkanakan.

2.2. Kecanduan Smartphone

2.2.1. Definisi Kecanduan Smartphone

Smartphone Addiction adalah suatu bentuk keterikatan atau kecanduan terhadap


smartphone yang memungkinkan terjadinya masalah sosial seperti halnya menarik
diri dan kesulitan dalam performa aktivitas sehari-hari atau sebagai gangguan
kontrol impuls terhadap diri seseorang. Individu yang mengalami smartphone
addiction menunjukkan perilaku seperti selalu membawa pengisi daya smartphone
kemanapun, kesulitan untuk berhenti menggunakan smartphone dan akan mudah
tersinggung apabila diganggu saat sedang menggunakan smartphone, mereka juga
menjadi kesulitan untuk berkonsentrasi dalam menyelesaikan tugas di sekolah
atau saat bekerja karena keinginan yang besar untuk terus menggunakan
smartphone serta mereka menjadi kesulitan untuk berhenti menggunakan
smartphone (Kwon, 2013). Menurut Haug et al., (2015) penggunaan smartphone
selama sekitar 6 jam atau lebih dalam sehari dapat dikatakan sebagai smartphone
addiction.

Chiu (2014) menyebutkan juga bahwa smartphone addiction adalah salah satu
kecanduan yang memiliki resiko lebih ringan dari pada kecanduan alkohol
ataupun kecanduan obat-obatan. Perilaku dapat dikatakan sebagai perilaku
kecanduan apabila seseorang tidak dapat mengontrol keinginanya dan
menyebabkan dampak negatif pada diri individu yang bersangkutan.

Menurut (Lin et al. 2014; dalam jurnal Haug et al. 2015) Kecanduan smartphone
dapat dianggap sebagai bentuk kecanduan teknologi. Griffith dalam Lin at al.
(2014) mendefinisikan secara operasional bahwa kecanduan teknologi sebagai
kecanduan perilaku yang melibatkan interaksi manusia-mesin dan non kimia di
alam, pola perilaku serupa, kecanduan pada internet telah dikategorikan sebagai
tipe yang substans terkait dan gangguan adiktif dalam DSM-V.

Menurut pendapat beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


kecanduan smartphone merupakan sebuah perilaku yang menyebabkan
keterikatan atau ketergantungan dan merupakan bentuk ketergantungan pada
teknologi yang memiliki dampak negatif pada individu. Kecanduan smartphone
adalah suatu perilaku yang tidak terkontrol dalam menggunakan smartphone yang
dapat mengakibatkan adanya perubahan signifikan pada rutinitas seseorang dalam
kesehariannya.

2.2.2. Aspek Kecanduan Smartphone

Kemunculan telepon genggam smartphone membuat banyak kalangan remaja


lebih asik dan sibuk dengan fitur yang terdapat pada alat tersebut, individu jauh
lebih menyukai interaksi via jejaring sosial media, daripada harus bertatapan
langsung. Adanya smartphone juga memiliki efek baru pada perilaku
penggunanya (Bian dan Leung, 2014).

Kwon, dkk. (2013) mengembangkan smartphone addiction dalam 5 aspek, yaitu:

2.2.2.1. Daily-life disturbance (gangguan kehidupan sehari-hari)

Merupakan gangguan kehidupan sehari-hari mencakup hilangnya


pekerjaan yang sudah direncanakan, mengalami kesulitan konsentrasi di
dalam kelas atau saat bekerja, penglihatan menjadi buram, nyeri pada
pergelangan tangan dan di belakang leher serta terjadinya gangguan
tidur.

2.2.2.2. Withdrawal (penarikan)

Withdrawal terkait dengan rasa tidak sabar, gelisah dan tidak sanggup
tanpa smartphone, selalu mengingat smartphone walaupun tidak
menggunakannya, tidak pernah berhenti menggunakan smartphone dan
menjadi tersinggung apabila diganggu saat sedang menggunakan
smartphone.

2.2.2.3. Cyberspace-oriented relationship (hubungan berorinentasi dunia maya)

Cyberspace-oriented relationship mencakup pertanyaan mengenai


seseorang yang merasa hubungan dengan teman yang dikenalnya melalui
smartphone menjadi jauh lebih akrab daripada hubungan dengan teman
di kehidupan nyata, mengalami perasaan kehilangan yang tidak
terkendali ketika tidak menggunakan smartphone dan selalu memeriksa
smartphone.

2.2.2.4. Overuse (terlalu sering digunakan)

Overuse mengacu pada penggunaan smartphone yang tidak terkontrol,


lebih memilih mencari sesuatu lewat smartphone dari pada meminta
bantuan orang lain, selalu mempersiapkan alat pengisi daya smartphone,
dan dorongan untuk kembali menggunakan smartphone setelah berhenti
menggunakannya.

2.2.2.5. Tolerance

Tolerance yaitu selalu berusaha untuk mengontrol agar tidak


menggunakan smartphone akan tetapi selalu gagal melakukannya.

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kecanduan Smartphone

Terdapat faktor yang mempengaruhi kecanduan smartphone menurut Kwon, dkk


(2013). Diantaranya adalah gangguan dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan
smartphone tetap dilakukan walaupun terdapat gangguan dalam kehidupan sehari-
hari seperti masalah fisik, sosial, atau psikologis yang sering timbul dan
kemungkinan besar disebabkan atau diperburuk dengan penggunaan smartphone.

Duha Agusta (2016) mengemukakan ada empat faktor penyebab kecanduan


smartphone, yaitu:

2.2.3.1. Faktor Internal


Faktor ini terdiri atas faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik
individu, yaitu :

2.2.3.1.1. Tingkat sensation seeking yang tinggi.

Sensation seeking atau biasa disebut pencarian sensasi adalah sifat


yang didefinisikan sebagai kebutuhan-kebutuhan yang beragam, baru,
dan sensasi-sensasi kompleks serta keinginan untuk mengambil resiko,
baik secara fisik maupun secara sosial.

2.2.3.1.2. Self-esteem yang rendah.

Self esteem itu sendiri adalah evaluasi diri individu terhadap kualitas
atau keberhargaan diri sebagai manusia.

2.2.3.1.3. Kepribadian ekstraversi yang tinggi.

2.2.3.1.4. Kontrol diri yang rendah,

kontrol diri adalah kemampuan individu untuk


menyusun,membimbing, mengatur, dan mengarahkan langkah-langkah
dan tindakannya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.

2.2.3.2. Faktor Situasional

Faktor ini terdiri atas faktor-faktor penyebab yang mengarah pada


penggunaan ponsel sebagai sarana membuat individu merasa nyaman
secara psikologis ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman. Dalam
hal ini individu akan cepat bertindak ketika berada pada situasi yang
tidak nyaman dan merasa terganggu aktivitas bila ada situasi yang tidak
diinginkan dan mengalihkan perhatian pada ponsel.

2.2.3.3. Faktor Sosial

Terdiri atas faktor penyebab kecanduan smartphone sebagai sarana


berinteraksi dan menjaga kontak dengan orang lain. Dalam hal ini
individu selalu menggunakan ponsel untuk berinteraksi dan cenderung
malas untuk berkomunikasi secara langsung dengan individu yang lain.

2.2.3.4. Faktor Eksternal


Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor
ini terkait dengan tingginya paparan media tentang ponsel dan berbagai
fasilitasnya. Hal ini membahas bagaimana besarnya pengaruh media
dalam mempengaruhi individu untuk memenuhi kebutuhan akan ponsel.

2.2.4. Dampak Pengguna Smartphone

Penggunaan gadget/smartphone dikalangan remaja tentunya akan menimbulkan


dampak bagi remaja. Dampak yang terjadi bisa berupa dampak positif maupun
dampak negatif yaitu diantaranya sebagai berikut (Harfiyanto, Utomo, & Budi,
2015):

2.2.4.1. Dampak Positif

2.2.4.1.1. Memudahkan untuk berinteraksi dengan banyak orang lewat media


sosial. Sehingga memudahkan untuk saling berkomunikasi dengan
orang baru dan memperbanyak teman.

2.2.4.1.2. Mempersingkat jarak dan waktu. Karena dalam era perkembangan


gadget yang canggih didalamnya terdapat media sosial seperti
sekarang ini.

2.2.4.1.3. Hubungan jarak jauh tidak lagi menjadi masalah dan menjadi
halangan. Hal ini dikarenakan kecanggihan dari aplikasi yang ada
didalam gadget.

2.2.4.1.4. Mempermudah para remaja mengonsultasikan pelajaran dan tugas-


tugas yang belum dimengerti. Hal ini biasa dilakukan remaja dengan
sms atau bbm kepada guru mata pelajaran.

2.2.4.2. Dampak Negatif

2.2.4.2.1. Remaja menggunakan media sosial didalam gadget mereka, sehingga


menimbulkan lebih banyak waktu yang digunakan untuk bermain
gadget. Hal ini digunakan remaja untuk berkomunikasi dimedia sosial
dibandingkan dengan belajar dan melakukan hal positif lainnya.
2.2.4.2.2. Aplikasi yang ada didalam gadget membuat remaja lebih
mementingkan diri sendiri. Seringkali remaja mengabaikan orang
disekitarnya bahkan tidak menganggap orang yang mengajaknya
mengobrol.

2.2.4.2.3. Remaja menjadi kecanduaan dalam bermain gadget hanya untuk


bermain game. Akan tetapi remaja lama-kelamaan menemukan
kesenangan dengan gadget sehingga hal ini akan menjadi sebuah
kebiaaan.

2.2.4.2.4. Gadget memudahkan remaja mengakses berbagai situs yang tidak


selayaknya diakses. Berbagai hal yang marak diakses remaja adalah
bermacam bentuk pornografi dan video kekerasan.

2.2.4.2.5. Remaja seringkali tidak dapat mengontrol kata-katanya. Mereka


menggunakan kata-kata kasar, mengejek, serta seringkali remaja
mencemooh dengan sesama teman sebaya di media sosial yang ada
didalam gadget.

2.2.4.2.6. Gadget membuat remaja menjadi malas bergerak dan beraktifitas.


Biasanya remaja dalam keseharian penuh untuk bermain gadget.

Pada saat akan tidur seseorang membutuhkan waktu untuk pre-sleep


selama 10 sampai 30 menit jika waktu pre-sleep digunakan untuk
aktivitas menggunakan gadget maka waktu untuk pre-sleep akan lebih
dari 30 menit (Rahayuningsih, S.I & Jarmi, A., 2017).

2.2. Insomnia

2.3.1. Definisi Insomnia

Insomnia merupakan gangguan pada kuantitas dan kualitas tidur yang


menghambat fungsi. (NANDA International nursing diagnoses. 2018). Insomnia
adalah salah satu gangguan tidur dimana seseorang merasa sulit untuk memulai
tidur. Gangguan tidur yang terjadi yaitu lamanya waktu tidur atau kuantitas tidur
yang tidak sesuai, selain itu gangguan tidur yang terjadi berhubungan dengan
kualitas tidur seperti tidur yang tidak efektif (Hidaayah & Alif, 2016).
Insomnia adalah kondisi yang menggambarkan dimana seseorang kesulitan untuk
tidur. Kondisi ini bisa meliputi kesulitan tidur, masalah tidur, sering terbangun di
malam hari, dan bangun terlalu pagi. Kondisi ini mengakibatkan perasaan tidak
segar pada siang hari dan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan
tidak tercukupinya kebutuhan tidur yang baik (Matthew, dkk. 2014).

Dalam kesehatan kondisi tidur yang baik itu biasanya berlangsung sekitar 6
hingga 9 jam. Jumlah tidur yang seseorang butuhkan adalah yang cukup bagi
seseorang untuk membangkitkan perasaan segar dan dapat beraktivitas secara
optimal di siang hari. Dan jumlah tidur pada seseorang lebih banyak berubah
ketika akan beranjak dewasa (Driver et al., 2012).

Dari uaraian diatas dapat disimpulkan Insomnia merupakan kondisi dimana


seseorang sulit untuk memulai tidur dan mempertahankan tidurnya. Walaupun
mereka memiliki waktu tidur yang cukup, namun tidur yang mereka lakukan tidak
memiliki kualitas akan menimbulkan kelelahan dipagi harinya. Gangguan
insomnia dapat bersifat sementara ataupun menetap.

2.3.2. Karakteristik Insomnia

Kozier & Erb (2008) menyebutkan bahwa terdapat dua jenis insomnia, (1)
Insomnia Akut yaitu insomnia yang terjadi dua sampai tiga minggu dan
disebabkan karena stres dan perasaan khawatir. (2) Insomnia Kronis yaitu
insomnia yang sudah terjadi lebih dari satu bulan.

Menurut Munir (2015) klasifikasi berdasarkan bentuk insomnia yaitu:

2.3.2.1. Difficulty in Initiating Sleep (DIS)

Jenis ini sering disebabkan karena tidur yang terjaga yang disertai
kecemasan dan faktor lain.

2.3.2.2. Difficulty in Maintaining Sleep (DMS)

Biasanya terbangun secara tiba-tiba, atau pada saat-saat tertentu seperti


merasa pusing tiba-tiba kemudian terbangun.

2.3.2.3. Early Morning Waking (Sleep Offset Insomnia)


Sering terjadi pada orang tua dan biasanya disebabkan karea demensia,
penyakit parkinson, gejala menopause, depresi, dan obat-obatan.

Menurut International Classification of Sleep Disorder 2 (ICSD-2),


insomnia dapat ditegakkan bila terdapat satu atau lebih keluhan yaitu:
kesulitan memulai tidur, kesulitan untuk mempertahankan tidur sehingga
sering terbangun dari tidur, bangun terlalu dini hari dan sulit untuk tidur
kembali, dan tidur dengan kualitas yang buruk. Selain itu setidaknya
terdapat satu gangguan disiang hari seperti kelelahan, gangguan atensi,
gangguan konsentrasi dan memori, gangguan dalam hubungan sosial,
gangguan mood atau mudah tersinggung, nyeri kepala, dan gangguan
pencernaan akibat kurang tidur (Susanti, 2015).

Chung et al; dalam Noman (2015) menggolongkan insomnia dalam tiga kategori:

2.3.2.1. Transient Insomnia

Kategori insomnia ini berlangsung selama beberapa hari hingga kurang


dari satu minggu. Insomnia ini diakibatkan karena stres, cemas, suasanya
hati yang berlebihan, dan sakit. Keadaan ini dapat kembali lagi pada pola
tidur yang normal.

2.3.2.2. Acute Insomnia

Acute Insomnia berlangsung selama beberapa minggu hingga kurang dari


satu bulan. Biasanya disebabkan oleh penyakit yang sudah diderita sejak
lama.

2.3.2.3. Cronic Insomnia

Insomnia ini berlangsung lebih dari satu bulan hingga menahun dan
disebabkan karena penyakit kronis, stres dan cemas yang
berkepanjangan.

2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Insomnia pada Remaja

Insomnia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah usia lanjut dan
jenis kelamin perempuan. Pada usia lanjut terjadi perubahan daya tahan tubuh
yang membuat mereka rentan memiliki masalah kesehatan. Hal tersebut dapat
memicu terjadinya insomnia pada usia lanjut. Jenis kelamin perempuan juga
menjadi penyebab insomnia karena berhubungan dengan perubahan hormon saat
menstruasi atau menopause (Kozier & Erb, 2008).

Menurut National Sleep Foundation wanita lebih banyak mengalami insomnia


dibandingkan pria, 57% wanita mengalami tanda gejala insomnia beberapa kali
dalam satu mingggu. Insomnia lebih banyak terjadi pada wanita karena fase
tertentu dalam kehidupannya seperti siklus menstruasi, kehamilan, dan
menopause. Menopause pada wanita menyebabkan terjadinya penurunan hormon
estrogen dan progesteron yang berhubungan dengan kejadian insomnia (Susanti,
2015).

Menurut Munir (2015) faktor penyebab terjadinya insomnia sebagai berikut :

2.3.3.1. Stres

Stres akibat pekerjaan, sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran


menjadi aktif dimalam hari.

2.3.3.2. Kecemasan dan depresi

Hal ini disebabkan karena terjadi ketidakseimbangan kimia dalam otak


atau kekhawatiran yang menyertai depresi.

2.3.3.3. Obat-obatan

Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk


beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulan, dan kortikosteroid.

2.3.3.4. Kafein, nikotin, dan alkohol.

2.3.3.5. Kondisi medis

Gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan kondisi medis lainnya dapat
menyebabkan insomnia karena menimbulkan rasa tidak nyaman.

Faktor lain yang mempengaruhi insomnia yaitu remaja yang aktif dalam
media sosial, hal tersebut menyebabkan remaja rentan mengalami
insomnia. Fasilitas yang sering mereka gunakan adalah chatting,
browsing, dan downloading. Kegiatan tersebut sering mereka lakukan
karena remaja memiliki keinginnan untuk bersosialisasi yang tinggi
sehingga mereka sering menghabiskan waktu dimalam hari untuk
mengakses media sosial dan bermain game online. Selain itu mereka juga
menggunakan internet sebagai media untuk mengerjakan tugas di rumah
pada malam hari (Syamsoedin, Bidjuni & Wowiling, 2015).

Faktor yang memicu terjadinya insomnia pada remaja adalah faktor


psikologi. Selain faktor psikologi, lingkungan dan gaya hidup juga dapat
memicu terjadinya insomnia pada remaja. Tidak heran mengapa remaja
dapat mengalami gangguan tidur, salah satu faktornya adalah menonton
televisi hingga larut malam dan pemakainan alat elektronik seperti
smartphone & Laptop. (Rimbawan, 2016).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kairupan, Rottie, & Malara (2016)
disebutkan bahwa 47 remaja dari 60 remaja yang merokok mengalami
insomnia. Hal itu disebabkan karena nikotin yang terkandung dalam
rokok akan mengenai reseptor diotak dan seolah membuat otak selalu
menagih nikotin lagi, sehingga pecandu memiliki waktu lebih lama untuk
tertidur. Selain karena merokok remaja yang mengalami insomnia dapat
disebabkan karena stress atau cemas, depresi, efek samping pengobatan,
kelainan kronis, alkohol, dan kafein.

Insomnia yang terjadi pada mahasiswa biasanya terjadi karena memiliki


beban atau tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas atau harus belajar
dengan materi yang cukup banyak. Insomnia sering terjadi pada
mahasiswa yang sedang menjalani skripsi karena memiliki beban harus
menyelesaikan skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana. Beban
tersebut dapat menjadi stressor saat perkuliahan maupun diluar
perkuliahan, ketika stressor datang maka tubuh akan memberikan respon.
Salah satu respon yang terjadi saat malam hari yaitu mahasiswa akan
mengalami insomnia atau memiliki kualitas tidur yang buruk (Nifilda,
Nadjmir & Hardisman, 2016).
Menurut Molen et al (2013) menyebutkan bahwa rasa khawatir terhadap
gangguan tidur yang dialami seseorang dapat menyebabkan insomnia.
Rasa khawatir tersebut disebabkan karena mencemaskan akan kebiasaan
tidur dan waktu tidur yang kurang dapat mempengaruhi kesehatannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa rasa cemas atau
khawatir merupakan faktor yang dapat memengaruhi insomnia.

2.3.4. Tanda dan Gejala Insomnia

Gejala insomnia pada umumnya berupa kesulitan untuk memulai tidur, sulit
mengatur waktu tidur, bangun tidur terlalu awal, dan kualitas tidur yang buruk
(Horsley et al, 2016). Menurut Kozier & Erb (2008) gejala insomnia diantaranya:

2.3.4.1. Sulit untuk memulai tidur

Seseorang yang mengalami insomnia akan sulit untuk memulai tidur


walaupun sudah merasa lelah.

2.3.4.2. Sering terbangun saat tengah malam

Keadaan insomnia sering mengalami terbangun dimalam hari, sehingga


tidurnya selalu terjaga.

2.3.4.3. Sulit kembali tertidur

Setelah terbangun dimalam hari, biasanya penderita insomnia akan sulit


untuk tertidur kembali.

2.3.4.4. Bangun terlalu pagi Penderita insomnia akan bangun terlalu pagi karena
tidurnya terjaga.

2.3.4.5. Tidak merasa puas akan tidur

Pada saat bangun di pagi hari biasanya penderita insomnia tidak merasa
puas dengan tidurnya, mereka akan merasakan letih karena tidurnya
selalu terjaga.

2.3.4.6. Mengantuk di siang hari


Mengantuk di siang hari disebabkan karena kurang tidur di malam hari.

2.3.4.7. Sulit untuk berkonsentrasi


Penderita insomnia akan sulit untuk berkonsentrasi saat siang hari karena
mereka merasa lemas dan mengantuk.

2.3.5. Dampak Insomnia

Dampak dari insomnia menurut Munir (2015) berupa kelelahan, sulit untuk
berkonsentrasi, mengantuk saat beraktivitas disiang hari, penurunan motivasi, dan
performa sosial yang buruk. Orang yang kurang tidur akan cenderung melakukan
kesalahan saat bekerja dan mudah tersinggung. Hal tersebut dikarenakan mereka
merasa lelah karena kekurangan waktu tidur.

Mahasiswa yang kekurangan waktu tidur biasanya mengantuk saat kuliah atau
tidak hadir pada perkuliahan pagi, mereka juga sulit untuk berkonsentrasi ketika
kuliah dan hal tersebut akan berdampak pada prestasi akademik. Dari hasil
penelitian, mahasiswa yang memiliki kualitas tidur buruk juga memiliki hasil
prestasi akademik yang kurang baik (Nifilda, Nadjmir & Hardisman, 2016).

Insomnia menyebabkan seseorang kesulitan untuk bereaksi terhadap sebuah


situasi dan gagal membuat berbagai pertimbangan yang rasional. Hal tersebut
tidak baik bagi seseorang yang mengalami insomnia untuk melakukan hal yang
membutuhkan konsentrasi tinggi seperti mengemudi, melakukan operasi, dan
menerbangkan pesawat. Sudah ada beberapa kejadian serius yang disebabkan
karena insomnia seperti bencana internasional berupa tumpahan minyak terparah
di dunia dari kapal tanker Exxon Valdez dan radiasi nuklir yang mengerikan di
Chernobyl (Comfort, 2010).

2.3.6. Komplikasi Insomnia

Komplikasi akibat dari insomnia dapat mempengaruhi fungsi otak yang tepat.
Otak menggunakan tidur sebagai proses aktif dimana pada saat seseorang tidur
otak akan melatih semua sel saraf dengan melewatkan sinyal aktivitas listrik
melalui semua sel saraf. Ketika sel saraf otak tidak mendapatkan jumlah tidur
yang cukup maka kerja fungsi otak dalam hal menyimpan atau mengambil
informasi dan kemampuan untuk mentoleransi situasi stress dan berfungsi pada
tingkat yang lebih tinggi dapat terganggu dan tidak optimal (Driver et al., 2012).
Efek fisik imsomnia kurang jelas sampai saat ini.Sekarang diketahui bahwa sistem
kekebalan tubuh dipengaruhi oleh insomnia.Kekurangan tidur juga terbukti dapat
menyebabkan kenaikan berat badan dan obesitas.

2.3.7. Penatalaksanaan Insomnia

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada orang yang mengalami insomnia


adalah melakukan behavioral treatment untuk memperbaiki kebiasaan pola tidur.
Contoh behavioral treatment sebagai berikut (Kozier & Erb, 2008):

2.3.7.1. Kontrol stimulus Yaitu dengan cara membuat lingkungan yang nyaman
agar merasa tenang sehingga dapat memudahkan kita untuk tertidur.

2.3.7.2. Terapi kognitif Terapi ini dilakukan dengan cara berlatih untuk
memciptakan pikiran yang positif dan yakin untuk bisa tertidur.

2.3.7.3. Pembatasan tidur Menghindari waktu tidur yang berlebihan disiang hari,
sehingga dapat memulai tidur dengan mudah dimalam hari.

Latihan relaksasi jangka pendek sebelum tidur seperti meditasi dan nafas dalam
dapat membantu untuk meningkatkan kualitas tidur. Selain itu relaksasi mental
yang dilakukan dengan cara yoga juga dapat membantu, hal tersebut dikarenakan
relaksasi dapat menenangkan pikiran sehingga tubuh akan lebih tenang dan
mudah untuk tidur (Munir, 2015).

Relaksasi lain yang dapat digunakan adalah aromaterapi, penelitian yang


dilakukan oleh (Lestari & Rodiyah, 2016) disebutkan bahwa aromaterapi lavender
dapat mengatasin insomnia. Terapi non farmakologi ini membantu lansia untuk
menenangkan diri dan mengolah stressor yang menyebabkan insomnia. Aroma
minyak lavender yang terhirup akan merangsang otak sehingga memberikan
relaksasi fisik, sehingga terapi ini dapat digunakan untuk menurunkan tingkat
insomnia
2.4. Kerangka Teori

Menurut Notoatmodjo (2010), kerangka teori merupakan uraian definisi-definisi


terkait dengan permasalahan yang akan dijadikan sebagai tujuan dalam melakukan
penelitian. Dimana hubungannya digambarkan sebagai berikut :

Remaja
Masa remaja
Menurut Duha Agusta berlangsung antara
(2016) mengemukakan umur 12 tahun sampai
21 tahun bagi wanita Menurut Munir (2015)
ada empat factor
dan 13 tahun sampai faktor penyebab
penyebab kecanduan
22 tahun bagi pria terjadinya insomnia
smartphone, yaitu:
(Ali & Asroni, 2018). sebagai berikut :
1. Faktor Internal
1. Stress
2. Faktor Situasional
2. Kecemasan dan
3. Faktor Sosial
depresi
4. Faktor Eksternal Kecanduan Smartphone
3. Obat-obatan
4. Kafein, nikotin, dan
Dalam penelitian Rimbawan,
alkohol.
Gangguan Tidur/ 5. Kondisi medis
(2016). Faktor yang memicu Insomnia
terjadinya insomnia pada
remaja adalah faktor
psikologi, lingkungan dan Dampak
gaya hidup faktornya lainnya
Dampak dari insomnia
adalah menonton televisi
menurut Munir (2015) berupa
hingga larut malam dan kelelahan, sulit untuk
pemakainan alat elektronik berkonsentrasi, mengantuk
seperti smartphone &
saat beraktivitas disiang hari,
penurunan motivasi, dan
Laptop. performa sosial yang buruk.

Gambar 1.2 Kerangka Konsep Penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Ali,M & Asroni,M. (2018). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.


Jakarta: PT. Bumi Askara.

Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Said, A. M., (2015). Mendidik Remaja Nakal. Jakarta: Semesta Hikmah.

Khamim Zarkasih Putro. (2017). Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa
Remaja. Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama. Volume 17, Nomor 1

Kwon, M., Lee, J. Y., Won, W. Y., Park, J. W., Min, J. A., Hanh, C., Gu, X.,
Choi, J. H., & Kim, D. J. (2013). Development and validation of a
smartphone addiction scale (SAS). Plos One, 8(2), 1-7.
https://doi.org/10.1371/journal.po ne.0056936

Chiu, Shao - I. (2014). The relationship between life stress and smartphone
addiction on taiwanese university student: A mediation model of learning
self efficacy and social efficacy. Computers in Human Behavior, 34, 49-
57, http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2014.01.024

Severin Haug, Raquel Paz Castro, Min Kwon, Andreas Filler, Tobias Kowatsch,
And Michael P. Schaub. (2015). Smartphone use and smartphone
addiction among young people in Switzerland.

Lin Y-H, Chang L-R, Lee Y-H, Tseng H-W, Kuo TBJ, et al. (2014). Development
and Validation of the Smartphone Addiction Inventory (SPAI). PLoS
ONE 9(6): e98312. doi:10.1371/journal.pone.0098312

Bian, M. & Leung, L. (2014). Linking loneliness, shyness, smartphone addiction


and patterns of smartphone use to capital. Journal: Social Science
Computer Review, 1-19, DOI: 10.1177/0894439314528779

Duha Agusta. (2016). Faktor-faktor resiko kecanduan menggunakan smartphone


pada siswa di smk negeri 1 kalasan yogyakarta. E-Journal Bimbingan dan
Konseling Edisi 3.
Doni Harfiyanto, Cahyo Budi Utomo & Tjaturahono Budi. (2015). Pola Interaksi
Sosial Siswa Pengguna Gadget Di Sma N 1 Semarang. Journal of
Educational Social Studies. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jess

Armaya Jarmi & Sri Intan Rahayuningsih. (2017). Hubungan Penggunaan Gadget
Dengan Kualitas Tidur Pada Remaja

NANDA International nursing diagnoses. (2018). Definisi dan Klasifikasi 2018-


2020. Edisi 11. Jakarta: EGC

Nur Hidaayah & Hilmi Alif. (2016). Hubungan tingkat kecemasan dengan
terjadinya insomnia pada wanita premenopause di dusun ngablak desa
kedungrukem kecamatan benjeng kabupaten gresik. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, Vol. 9, No. 1

Matthew R. Ebben PhD, D,ABSM, CBSM, FAASM and Mary C. Kapella PhD,
RN. (2014). American Thoracic Society (ATS) Patient Information
Series. Vol 190, P9–P1. Retrieved from http://www.sleepeducation.

Driver, H., Gottschalk, R., Hussain, M., Morin, C. M., Shapiro, C., & Zyl, L. Van.
(2012). The Youthdale Series 1 insomnia in adults and children.

Kozier, B., Erb, G,. Snyder, S.J. & Berman, A. (2008). Fundamental of Nursing
Eight edition. Pearson Education South Asia.

Munir, B. (2015). Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto

Susanti, L. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Insomnia di


Poliklinik Saraf RS DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas
diakses pada tanggal 26 November 2016. http://jurnal.fk.unand.ac.id.

Noman, M., Iqbal, A., Sajjad, Y., Khan, J.A., & Mahmood, L. (2015). Causes of
Insomnia and Its Effects on Day to Day Activities of Rehman Medical
College Students. Journal of Medical Students, 1(1): 28-36.

Syamsoedin, W., Heendro, B., Ferdinan, W. (2015). Hubungan Durasi


Penggunaan Media Sosial dengan Kejadian Insomnia pada Remaja di
SMA Negeri 9 Manado. Jurnal Keperawatan
Rimbawan. (2016). Prevalensi dan korelasi insomnia terhadap kemampuan
kognitif remaja usia 15-18 tahun di panti asuhan widhya asih 1 denpasar.
E-jurnal medika, vol 5 no.5.

Nafilda, H., Nadjmir., & Hardisman. (2016). Hubungan Kualitas Tidur dengan
Prestasi Akademik Mahasiswa Program Studi Pendidikan
DokterAngkatan 2010 FK Universitas Andalas. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(1), 243-249

Kairupan, J.M., Julia, R., & Reginus, M. (2016). Hubungan Merokok dengan
Kejadian Insomnia pada Remaja di SMA Negeri 1 Remboken Kabupaten
Minahasa. Ejournal Keperawatan, 4 (1).

Molen, Y.F., Luciane, B.C., Lucila, B.F., & Gilmar, F. (2013). Insomnia:
Psychological and Neurobiological Aspect and Non-Pharmacological
Treatments. Neurologia, Universidade Federal de São Paulo, Sao Paulo
SP, Brazil.

Horsley, K.J., Codie, R.R., Sheila, N.G., Charles, S., Sandeep, G.A., James, A.S.,
Ross, A., & Tavis, S.C. (2016). Insomnia Symptoms and Heart Rate
Recovery Among Patiens in Cardiac Rehabilitation. Journal of
Behavioral Medicine, 39, 642-651.

Comfort, R. (2010). Mengatasi Insomnia: Kiat Praktis & Alkitabiah untuk


Membantu Orang yang Sulit Tidur. Jakarta: Inspirasi.

Lestari, YT., & Rodiyah. (2016). Pengaruh Pemberian Lavender Aromatherapy


terhadap Penurunan Insomnia pada Lanjut Usia di UPT Panti Werdha
Mojopahit Mojokerto. Jurnal Ilmiah Keperawatan, 2(1).

Notoatmodjo, S. (2010). Metodelogi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai