Anda di halaman 1dari 11

Japanese Enchephalitis (JE) pada Hewan

Adrin Ma'ruf 2 years ago Kesmavet & Zoonosis, Penyakit Hewan Besar

Pengertian

Japanese encephalitis (JE) adalah penyakit yang ditularkan oleh vector nyamuk dan
disebabkan oleh virus JE. Virus tersebut masuk dalam genus Flavivirus dan family
flaviviridae. Partikel virus berbentuk sferis dengan envelope yang terdiri dari banyak
lipid, memiliki garis tengah 45-50 nm, dan dapat bermultiplikasi lebih baik pada suhu
rendah.

Penyakit Japanese Encephalitis atau disebut juga Japanese B Encephalitis


ditemukan pertama kali di Jepang pada tahun 1935 dan virus Japanese B
Encephalitis ini masuk dalam group B Arbovirus (Arthropod Borne Virus).

Penyakit JE dapat menyerang berbagai jenis hewan, seperti kuda, sapi, bagal,
kerbau, dan domba serta jenis unggas seperti ayam, itik, dan jenis burung. Manusia
merupakan jalan akhir dari siklus penularan (dead-end reservoir).

Virus JE disebarkan oleh jenis nyamuk culex, melalui siklus zoonotik. Virus
berpindah ke binatang melalui vektor C. gelidus, C. fuscocephala dan C. Vishnui.
Infeksi virus JE umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis di Asia, seperti
India, Cina, Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Infeksi JE di Indonesia telah
ditemukan di 7 propinsi yaitu, Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Papua, Jawa Barat,
Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur .

Infeksi virus JE pada hewan, umumnya tidak menimbulkan gejala klinis. Gejala klinis
encephalitis ditemukan pada hewan seperti pada kuda, keledai, dan pada manusia.
Pada ternak lainnya (itik, sapi, domba, kerbau) gejala encephalitis tidak nampak,
meskipun antibodi virus JE dapat terdeteksi. Pada unggas yang terinfeksi juga
terjadi perbedaan gambaran klinis, akibat dari adanya perbedaan pathogenesitas
dari strain virus JE. 

Japanese B Encephalitis sebagai Penyakit Menular

Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit radang otak menular bersifat


zoonosis, menyerang hewan dan manusia, ditandai dengan demam, gejala syaraf
dan kelainan reproduksi. Hasil survey serologis yang dilakukan di Daerah Nusa
Tenggara menunjukan prevalensi antibody yang tinggi. 

Hal ini menunjukkan bahwa penyakit bersifat endemic, dapat menimbulkan radang
otak dan kematian pada manusia, selain itu penyakit dapat menyerang berbagai
jenis hewan, seperti kuda, sapi, babi, bagal, kerbau, kambing dan domba serta jenis
unggas, seperti ayam, itik dan jenis burung.
Etiologi dan Sifat JE

Pada awalnya virus JE dikelompokkan sebagai kelompok virus arbo grup B,


kemudian diklasifikasikan sebagai famili togaviridae dan sekarang virus JE termasuk
dalam anggota kelompok Flavivirus, famili Flaviviridae. 

Virus JE termasuk virus “Ribonucleic Acid” (RNA) yang beramplop,  Pada amplop
luar dibentuk oleh amplop (E) protein dan merupakan antigen protektif. Hal ini
membantu dalam masuknya virus ke dalam sel, Tetapi virus ini tidak tahan terhadap
pelarut lemak seperti eter, khloroform, sodium deoksikholat dan enzim proteolitik
atau enzim lipolitik. Virus ini juga sangat sensitive terhadap deterjen dan tripsin,
tetapi tahan terhadap aktinomisin D atau guanidine. 

Dalam keadaan basa (PH 7-9) virus JE stabil, tetapi dengan pemanasan 56oC
selama 30 menit dan penyinaran dengan sinar ultra violet, virus JE menjadi inaktif.
Derajat keasaman (pH) medium yang paling baik untuk pertumbuhan virus ini adalah
8,5.

Virus ini mempunyai garis tengah antara 40-50 nm, sedangkan dengan jenis
pewarnaan negatif dengan mikroskop electron, berkisar antara 20-30 nm dan
mempunyai bobot molekul 60-70 x 106 Dalton. Dalam gradient sukrosa, virus JE
mempunyai “Buoyant Density” 1,19 – 1,20 g/cm3 dan 1,22 – 1,24 g/cm3 dalam
esium khlorida.

Virus lainnya yang diduga termasuk dalam famili Flaviviridae, genus Flavivirus
antara lain virus Cacipacore virus (CPCV), Koutango virus (KOUV), Murray Valley
Encephalitis virus (MVEV), St Louis ensefalitis virus (SLEV), Usutu virus (USUV),
West Nile Virus (WNV), Yaounde virus (YAOV). 

Namun, dari sekian banyak virus kelompok Flavivirus, hanya beberapa virus
memainkan peranan yang penting dalam menyebabkan kasus penyakit yang
mempunyai dampak ekonomis, psikologis dan politis terutama bagi dunia
pariwisata. 

Virus tersebut antara lain JE, Dengue, West Nille dan Murray Valley Emcephalitis.
Namun, virus JE dapat dibedakan dengan serotype lainnya dan hanya memiliki satu
serotype.

Epidemiologi

Penderita penyakit JE pertama ditemukan di jepang tahun 1871. Virus penyebabnya


diisolasi tahun 1934 dari biopsy penderita yang meninggal. Di Korea Selatan
diisolasi tahun 1946. Di Vietnam diisolasi tahun 1951. 

Sejak itu penyakit JE menyebar ke beberapa Negara di Asia, seperti RRC, Thailand,
Burma, India, Malaysia, Indonesia , Hongkong, dan Guam. Sedangkan di Jepang
dan Vietnam sendiri penyakit itu sudah mulai reda.
Situasi epidemiologi penyakit JE di Negara-negara Asean termasuk Indonesia.masih
belum di ketahui. Keadaan yang akan terjadi di kemudian hari masih sulit diduga. 

Pengalaman di jepang menunjukan bahwa dengan kenaikan populasi nyamuk culex


di bidang pertanian dan kenaikan populasi babi ternak karena kenaikan kebutuhan
pangan dapat menyebabkan letusan penyakit JE di Indonesia.

Japanese ensefalitis (JE) adalah penyebab utama ensefalitis virus di  Asia dengan
30,000-50,000 kasus yang dilaporkan setiap tahunnya. Kasus fatalitas berkisar
antara 0,3% sampai 60% dan tergantung pada populasi dan pada usia. 

Penduduk daerah pedesaan di lokasi endemik berada pada risiko tertinggi;


Japanese ensefalitis biasanya tidak terjadi di wilayah perkotaan. 

Hal ini di karenakan daerah pedesaan yang masih banyak  terdapat lahan pertanian
yang merupakan sarang bagi berkembangnya nyamuk penyebar virus Japanese
ensefalitis yaitu nyamuk culex. 

Biasanya nyamuk ini akan pesat berkembang pada saat musim hujan antara bulan
Januari, Februari, April, Agustus Oktober, November dan Desember yang
merupakann musim penghujan. Hal ini berhubungan erat dengan kegiatan bertani
yang dimulai pada musim hujan, yang merupakan media yang baik bagi
perkembangan nyamuk. 

Olson et al.(1985) juga membuktikan bahwa apabila dalam satu kali penangkapan,
diperoleh 66 ekor Culex tritaeniorhynchus betina, maka hanya 1% dari nyamuk
tersebut yang terinfeksi.

Populasi C. tritaeniorhynchus sebagai salah satu vetor JE diketahui meningkat pada


awal kegiatan bertani, yaitu pada saat pembajakan sawah dan akan menurun pada
saat setelah proses penanaman. 

Hal ini berkaitan erat dengan unsur-unsur bahan organic dan oraganisme yang
muncul selama masa pembajakan yang ditandai dengan bau yang spesifik, akibat
fermentasi dari batang padi, rumput-rumput dan Lumpur. Kondisi ini merupakan
medium yang sangat baik bagi media perkembangbiakan Culex, terutama C.
tritaeniorhynchus, C. gelidus dan C. fuscochepala. 

Setelah penanaman air disawah menjadi bersih dan fermentasi jarang terjadi akibat
hujan deras dan penambahan herbisida sehingga aktifitas Culex menurun dengan
drastic.

Induk Semang

Virus JE dapat menginfeksi ternak dan manusia, yang terbukti dengan adanya
laporan terdeteksinya antibodi terhadap virus JE pada beberapa spesies ternak
seperti kerbau, sapi, kambing, domba, sapi, itik, ayam, anjing, kelinci, kera dan
burung liar.
Tidak hanya di Negara yang populasi babinya cukup banyak, kasus JE sering
terjadi, namun Rusia dan India yang populasi babinya sangat kecil, sedangkan
keberadaan burung liar cukup banyak, kasus JE pada manusia di Negara tersebut
juga tinggi. 

Di Negara yang populasi babinya sangat kecil, tetapi populasi sapi dan kerbaunya
sangat besar, virus JE dapat ditemukan pada sapi dan kerbau. Namun kasus
penyakit pada manusia tidak pernah dilaporkan. Jadi tidak semua hewan merupakan
reservoir yang baik bagi perkembangbiakan virus JE. 

Hal ini mungkin dapat disebabkan karena titer viraemia yang terbentuk pada ternak
dan ruminansia lain masih rendah dan tidak semua spesies nyamuk yang bertindak
sebagai vektor yang potensial bagi virus JE, senang menghisap darah ternak
tersebut untuk ditularkan pada manusia.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa babi  dan burung liar merupakan
reservoir yang paling potensial untuk meningkatkan perkembangbiakan virus JE
yang siap ditularkan kepada hewan atau manusia melalui nyamuk. 

Untuk mengetahui apakah kondisi ini berlaku juga pada unggas dan hewan lainnya
yang dapat bertindak sebagai reservoir, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Vektor Penyebab Penyakit

Virus JE disebarkan oleh jenis nyamuk culex, melalui siklus zoonotik. virus
berpindah ke binatang melalui vektor C. gelidus, C. fuscocephala dan C. vishnui
pada daerah peternakan babi dekat Bogor, Jawa Barat.

Penyebaran penyakit JE tidak dapat ditularkan langsung dari virus kepada penderita,
tetapi harus melalui vector. Hingga saat ini, vektor JE yang banyak terdapat disekitar
kita adalah nyamuk.hal ini dapat diketahui dari isolasi virus pada spesies nyamuk
tersebut. Hingga saat ini virus JE telah berhasil diisolasi dari nyamuk Culex, Aedes
dan anopheles.

Antigen atau virus JE dapat dideteksi dengan “Polymerase Chain Reaction” (PCR),
immunofluoresensi atau secara isolasi virus. Dengan cara tadi dapat dibuktikan
bahwa antigen atau virus JE telah ditemukan pada pool culex sp., Aedes sp. dan
Anopheles sp.  seperti disajikan pada tabel.

Tabel.  deteksi antigen virus JE pada Culex spp., Aedes spp. dan Anopheles spp.
Culex spp. Aedes spp. Anopheles spp.
Tritaeniorhynchus Vexansnipponii Vagus
Bitaeniorhynchus Albopictus hycranus sinensis
Vishnui Curtipes peditaeniatus
Sinensis Esoensis Annularis
Gelidus Togoi Subpictus
Fuscochepala Japonicas
Whitmorei Bakteri
Epidesmus
Pipiens
Pseudovishnui
Sumber :  Hasegawa et al., 1975; Van Peenen et al., 1975; Olson et al., 1985; Somboon et
al., 1989; Vythilingam et al., 1995.

Disamping genus Culex, Aedes dan Anopheles, virus JE juga berhasil diisolasi dari
genus lain seperti Armigeres subalbatus, Mansonia annulifera, Mansonia bonnea,
Lasiohelea taiwana, Haemophysalis.

Namun dari semua spesies tersebut, hanya beberapa spesies yang telah terbukti
dapat memainkan peranan sebagai transmitter yang paling baik untuk menularkan
JE baik dari hewan ke hewan seperti C. bitaeniorhynchus, maupun dari hewan ke
manusia, seperti C. tritaeniorhynchus. 

Diyakini pula bahwa disamping kedua spesies Culex tersebut bertindak sebagai
vektor yang paling potensial, spesies Culex lainnyajuga dapat bertindak sebagai
vektor infeksi JE seperti C. vishnui, C. gelidus dan C. fuschocephalus.

Patogenesis JE

Infeksi virus JE pada tubuh hewan atau manusia harus melalui gigitan nyamuk yang
mengandung virus JE. Pada babi, viraemia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti
dengan pembentukan antibodi dalam waktu 1 hingga 4 minggu. Virus JE dapat
menembusplasenta tergantung pada umur kebuntingan dan galur virus JE. 

Kematian janin dan mumifikasi dapat terjadi apabila infeksi JE berlangsung pada
umur kebuntingan 40-60 hari. Sedangkan infeksi JE sesudah umur kebuntingan 85
hari, kelainan yang ditimbulkan sangat sedikit

Gejala Klinis, Perubahan Patologi dan Histopatologi

JE merupakan salah satu penyakit arbovirus yang bersifat zoonosis dan dapat
ditularkan dari hewan ke manusia. Namun, gejala klinis yang dihasilkan Pada anak
babi, kadang-kadang gejala klinis tampak, namun hal ini jarang sekali terjadi.
Apabila induk babi yang sedang bunting terinfeksi virus JE, dapat mengakibatkan
lahir mati, keguguran dan mumifikasi. 
Bayi babi lahir dalam keadaan lemah, terlihat adanya kelainan dan kadang-kadang
disertai dengan gejala syaraf yang kemudian mati. Kelainan tersebut antara lain
berupa hidrosefalus, oedema subkutan pada bayi babi dan kekerdilan pada babi
yang mengalami mumifikasi.

Sementara itu, kelainan patologik pada umumnya tidak ditemukan pada babi
dewasa akibat infeksi JE. Akan tetapi, kelainan patologi dapat diamati pada fetus
babi dalam kandungan akibat induknya terinfeksi virus JE pada waktu bunting. 

Berat atau ringannya gejala tersebut bervariasi tergantung dari periode umur
kebuntingan. akibat infeksi JE pada ternak dan manusia tidak sama. Hal ini
tergantung dari spesies dan umur ternak yang terinfeksi.

Pada Manusia

Japanese ensefalitis memiliki masa inkubasi 5 sampai 15 hari dan sebagian besar
infeksi tidak menunjukkan gejala: hanya 1 dari 250 infeksi berkembang menjadi
ensefalitis Demam, sakit kepala dan malaise adalah gejala non-spesifik lain dari
penyakit ini yang mungkin berlangsung selama periode antara 1 dan 6 hari. 

Tanda-tanda yang terjadi selama tahap ensefalitis akut meliputi kekakuan leher,
cachexia , hemiparesis, kejang dan suhu tubuh mengangkat antara 38 dan 41
derajat Celcius.keterbelakangan mental dikembangkan dari penyakit ini biasanya
menyebabkan koma. 

Mortalitas penyakit ini bervariasi tetapi umumnya jauh lebih tinggi pada anak-anak.
Transplasental menyebar telah dicatat. lama-Life cacat saraf seperti tuli, lability
emosional dan hemiparesis dapat terjadi pada mereka yang memiliki sistem saraf
pusat keterlibatan. Dalam kasus yang diketahui beberapa efek juga termasuk mual,
sakit kepala, demam, muntah dan kadang-kadang pembengkakan testis.

Hasil pemeriksaan MRI pada otak manusia. terlihat lesi ekstensif pada nukleus basal dan
hipocampus
Peningkatan mikroglial aktivasi setelah infeksi JEV telah ditemukan untuk
mempengaruhi hasil patogenesis virus. 

Microglias adalah sel-sel kekebalan penduduk dari sistem saraf pusat (SSP) dan
memiliki peran penting dalam pertahanan tuan rumah melawan mikroorganisme.
sitokin aktif mengeluarkan mikroglia, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor nekrosis
faktor alfa (TNF-α), yang dapat menyebabkan efek toksik di otak. 

Selain itu, faktor larut lain seperti neurotoksin, neurotransmiter rangsang,


prostaglandin, oksigen reaktif, dan spesies nitrogen disekresikan oleh mikroglia
diaktifkan. Dalam model murine JE, ditemukan bahwa dalam hippocampus dan
striatum, jumlah mikroglia aktif lebih daripada di tempat lain di otak diikuti oleh yang
di thalamus. 

Pada korteks, jumlah mikroglia diaktifkan secara signifikan kurang bila dibandingkan
dengan daerah lain dari otak tikus. Sebuah induksi keseluruhan ekspresi diferensial
sitokin pro-inflamasi dan kemokin dari daerah otak yang berbeda selama infeksi JEV
progresif juga diamati.

Meskipun efek bersih dari mediator pro-inflamasi adalah untuk membunuh


organisme infeksi dan sel yang terinfeksi serta merangsang produksi molekul yang
memperkuat respon mounting untuk merusak, juga terbukti bahwa dalam
nonregenerating organ seperti otak, kekebalan bawaan dysregulated respon akan
merugikan. 

Dalam JE peraturan ketat aktivasi mikroglial tampaknya terganggu, mengakibatkan


loop autotoxic aktivasi mikroglial yang mungkin menyebabkan kerusakan saraf
penonton. 

Pada Hewan

Infeksi virus JE pada hewan, umumnya tidak menimbulkan gejala klinis. Gejala klinis
encephalitis pada hewan dapat terlihat pada kuda dan keledai, seperti yang terjadi
pada manusia. 

Pada ternak lainnya (itik, sapi, domba, kerbau) gejala encephalitis tidak nampak,
meskipun antibodi Virus JE dapat terdeteksi. Pada Unggas yang terinfeksi juga
terjadi perbedaan gambaran klinis, akibat dari adanya perbedaan pathogenesitas
dari strain virus JE.

Diagnosa

Cara diagnosa penyakit JE ini akan sulit jika hanya berdasarkan gejala klinis saja.
Yang paling tepat adalah isolasi, akan tetapi cara ini pada umumnya tidak dilakukan
dan tidak praktis, oleh karena itu diagnosa dapat dilakuakan dengan melihat
epidemiologi penyakit serta  pemeriksaan laboratorium yang mencakup uji
serologis. 

Meliputi deteksi antibodi spesifik dan uji virologis yang meliputi isolasi virus
penyebab, deteksi antigen virus dari sampel yang dicurigai

ELISA Tak Langsung (indirect Elisa)

Enzim linked immunosorbent assay-enzim (ELISA), juga dikenal sebagai enzim


immunoassay (EIA), adalah teknik biokima yang digunakan terutama dalam
imunologi untuk mendeteksi keberadaan suatu antibodi atau antigen dalam sampel. 

Prinsip dasar dari indirect ELISA adalah mereaksikan serum antibody dengan
antigen yang terikat pada fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibody yang
belabel enzim dan kemudian ditambahkan substrat. Aktivitas dari enzim yang terikat
berbanding lurus dengan  kadar antibody yang terdapat dalam bahan pemriksaan.
Tahapan Pelapisan (Coating)

Untuk tahap pelapisan (coating) dalam uji ELISA diawali dengan mencairkan antigen
ke konsentrasi akhir 20 mg / ml dalam PBS atau buffer karbonat lainnya. Lambang
sumur dari pelat mikro PVC dengan antigen oleh pipeting 50 ßl dari dilusi antigen
dalam sumur atas piring. 

Mengencerkan menuruni pelat sesuai kebutuhan, kemudian tutup piring dengan


plastik perekat dan menetaskan selama 2 jam pada suhu kamar, atau 4° C
semalam. Waktu inkubasi pelapisan mungkin memerlukan beberapa optimasi, lalu
dilanjutkan dengan melepaskan substrat  coating dan mencuci piring tiga kali
dengan mengisi sumur dengan 200 ßl PBS. 

Tahapan Blokade (blocking)

Tahapan blocking pada uji ELISA diawali dengan memblok  situs pengikatan protein
yang tersisa di sumur dilapisi dengan menambahkan 200 buffer memblokir ßl, 5%
susu skim tanpa lemak  atau serum 5% di dalam PBS, per sumur. Reagen alternatif
memblokir termasuk block ACE atau BSA. 

Kemudian, tutup micro plate dengan plastik perekat dan menetaskan selama paling
sedikit 2 jam pada suhu kamar atau, jika lebih nyaman, semalam pada 4 ° C.
Selanjutnya cuci micro plate sebanyak dua kali dengan PBS.

Penambahan Antibodi Pertama (serum uji)

Kadar antibodi yang terlalu tinggi dapat menimbulkan hasil yang positif semu melalui
reaksi silang dan ikatan non-spesifik. 

Pengenceran yang dianjurkan adalah 1:100 sampai 1:5000 untuk antisera, 1:2
sampai 1:100 untuk cairan supernatan dan 1:200 sampai 1:10.000 untuk cairan
asites (Garfin, 1992). Inkubasi antibodi dalam spesimen dilakukan pada suhu
ruangan selama 1-2 jam.

Penambahan Antibodi kedua (konjugat berlabel enzim) atau detector

Penambahan antibodi kedua, yang merupakan antibodi konjugat yang berlabel


enzim terhadap antibodi pertama, diinkubasikan selama 1-2 jam pada suhu
ruangan. 

Detektor merupakan molekul yang spesifik untuk sampel dan dipakai untuk
melacaknya. Detektor dapat dilabel dengan enzim secara langsung (pada antibodi)
atau secara tak langsung (pada anti-imunoglobuolin). 

Berbagai macam detektor berlabel yang dipakai dalam ELISA diantaranya adalah
antibodi yang dilabel secara langsung dengan enzim, antigen yang berlabel enzim
dan protein A yang berlabel. 
Pencucian dilakukan dengan cara yang sama seperti tahap penambahan antibodi
primer. Daya lacak (sensitivitas laboratories) dari tes sangat tergantung pada enzim
dan substrat yang dipakai dalam tes tersebut.

Enzim yang sering dipakai dalam uji ELISA diantaranya seperti Horse-Radish
Peroxidase (HRP), Phosphatase Alkali (AP), glukooksidase, glukoamilase. HRP dan
AP dapat dideteksi secara fotometris atau mata telanjang. 

Menurut Hasil pertemuan Enzyme Linked Immuno Spesific Assay for Infectious
Agent disimpulkan bahwa HRP dan AP hampir sama dalam penampilannya. Tetapi
HRP lebih disukai sebab lebih mudah didapat dan memberi perubahan warna yang
amat cerah.

Penambahan Substrat Berkromogen

ELISA Tradisional biasanya melibatkan substrat yang berkromogen yang


menghasilkan beberapa jenis perubahan warna diamati untuk menunjukkan adanya
antigen atau analit. ELISA-seperti teknik yang lebih baru menggunakan fluorogenic,
electrochemiluminescent, dan real-time PCR  untuk membuat sinyal terukur. 

Substrat ini memiliki berbagai keuntungan termasuk tinggi sensitivitas dan bersifat
multiplexing. Namun, mengingat bahwa prinsip-prinsip umum dalam tes ini sebagian
besar sama, mereka sering dikelompokkan dalam kategori yang sama dengan
ELISA.

Diagnosa Banding

Diagnosa banding penyakit JE diantaranya adalah penyakit Rabies, west nile,


murray valley encephalitis, Nipah, equine morbili virus, avian enchepalomielitis
karena sama-sama memiliki gejala encephalitis.

Pengendalian dan Pencegahan Penyakit

Untuk mengurangi penyebaran penyakit Japanese Encephalitis pada hewan, maka


pemutusan rantai penularan (virus, vektor nyamuk dan induk semang) perlu
dilakukan. Babi merupakan sumber penularan virus Japanese B Encephalitis yang
paling baik dibandingkan dengan hewan lain. 

Saat ini di Indonesia belum ada kebijakan pemerintah dalam vaksinasi JE namun di
Negara lain  Pengendalian dan pencegahan penyakit Japanese Encephalitis pada
hewan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan :

1. Dengan melakukan vaksinasi virus Japanese B Encephalitis pada hewan.

Hingga saat ini, telah beredar 3 jenis vaksin JE, yaitu:


1. Vaksin Mati atau vaksin inaktif, seperti vaksin “formalized chick embryo”,
“formalized purified mouse brain” (strain Jepang dan Cina) dan “formalized
hamster kidney cell”.
2. Vaksin hidup yang telah dilemahkan, seperti strain OCT 541, m-PK-L, SA 14-
2-8, SA 14-5-3, dan SA 14-14-2 (Thongcharoen, 1989).
3. Vaksin hasil teknologi genetik rekombinan.

Jadwal pemberian vaksin bergantung pada jenis vaksin yang digunakan. Pemberian
vaksin pada babi dara sebelum dikawinkan, sangat dianjurkan untuk mencegah
adanya keguguran. 

Bahkan akhir-akhir ini telah dikembangkan vaksin teknologi genetik rekombinan


yang aman dan efektif sehingga dapat memberikan proteksi imunitas tanpa
menimbulkan efek samping pasca vaksinasi

2. Dengan menghambat populasi vektor.

Cara ini tidak mudah dilakukan, karena memerlukan kerja lintas sektoral. Mengingat
tempat perkembangbiakan vektor tersebut adalah di daerah persawahan yang
banyak terdapat di Indonesia dan nyamuk banyak ditemukan di daerah persawahan.
Populasi vektor dapat dihambat dengan pemberian insektisida, larvasida dan
predator.

Insektisida dan larvasida dapat digunakan disekitar pemukiman, kandang ternak dan
sawah yang merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk yang baik. Namun cara
ini dinilai tidak efektif, karena biaya yang dikeluarkan tinggi, disamping akan
menimbulkan resistensi insektisida atau larvasida.

Beberapa insektisida atau larvasida yang sering digunakan antara lain karbonat
(“carbaryl”) “pyrethroid” dan preparat organofosfor seperti malathion, fenthrotion,
diazinon dan fenthion. Bahan kimia lain yang digunakan seperti Temephos,
methoprene, Difluben Zuron, Triflumuron dan Vetrazin. 

Terjadinya resistensi insektisida tersebut dapat disebabkan penggunaan secara


besar-besaran dalam waktu yang lama. Disamping menimbulkan resistensi, residu
yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida tersebut dapat membahayakan
kesehatan manusia. 

Namun, penggunaan larvasida nyamuk secara massal di daerah endemik yang


banyak terdapat kasus, sangat diperlukan. 

Pemberian abate pada air yang menggenang, seperti bak air, penyemprotan
insektisida ataupun “fogging” untuk membunuh larva dan nyamuk dewasa secara
berkala, perlu dilakukan di rumah ataupun disekitar kandang ternak.

3. Dengan menggunakan kelambu dan memindahkan lokasi peternakan babi


jauh dari lokasi persawahan.
Karena salah satu vektor JE yang paling banyak ditemui di daerah tropis terutama
didaerah persawahan adalah C. tritaeniorhynchus dan C. gelidus. Culex
tritaeniorhynchus telah diketahui senang menggigit manusia dan ternak lain.
Sedangkan C. gelidus tidak banyak menggigit manusia namun senang menggigit
ternak.

4. Mengurangi populasi C. tritaeniorhynchus dengan memodifikasi penanaman


padi.

Diantaranya, seperti penggunaan air irigasi yang intermiten, penggunaan air yang
sedikit, diharapkan dapat mengurangi populasi nyamuk C. tritaeniorhynchus di
daerah persawahan.
Share This:

Anda mungkin juga menyukai