Dalam perkembangannya ilmu ekonomi dibedakan menjadi dua, yaitu ekonomi positif
(positive) dan ekonomi normatif (normative atau regulative). Ekonomi positif
berdasarkan kenyataan yang ada (das sein) dan ekonomi normatif adalah apa yang
seharusnya (das sollen)?.
Kerancuan antara ekonomi positif dan normatif dalam hal tertentu tidak dapat dihindari.
Sebagaimana dalam bidang ilmu pengetahuan (science) pada umumnya. Tujuan utama
dari positive science adalah pengembangan teori atau hipotesis, yang mempunyai arti
untuk menjelaskan atau membuat prediksi dari fenomena ekonomi. Positive science
adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis yang membahas mengenai
D:mikro-revisi-rev-1
2
what is. Sedangkan normative atau regulative science adalah sekumpulan pengetahuan
yang tersusun secara sistematis mengenai sistem aturan (rules) yang membahas what
ough to be (bagaimana seharusnya).
Dengan demikian tugas dari ekonomi positif adalah untuk menjelaskan dan
memprediksikan dari fenomena atau perilaku ekonomi. Misalnya, faktor apa yang
menentukan harga rumah, harga minyak atau nilai tanah di pedesaan, atau apakah yang
akan terjadi pada perusahaan dalam pasar persaingan sempurna bilamana harganya turun.
Semuanya ini merupakan permasalahan yang dibahas dalam ekomonomi positif,
termasuk empiris (nyata), memberikan hipotesa yang dapat diuji secara empiris. Sebagai
contoh; jika harga barang dinaikkan, maka akan mengurangi jumlah yang diminta. Benar
tidaknya teori ini dapat dibuktikan dengan mengamati fenomena pasar (empiris).
Dalam ekonomi Islam sisi normatif dan positif (post positisme) yaitu sesuatu yang bisa
dikuantitatifkan seperti dalam Al-Quran disebutkan manusia cenderung mempunyai sifat
boros. Sedangkan normatif bersifat teoris seperti larangan untuk bersifat boros karena
Allah SWT tidak senang orang yang boros atau berlebihan (Muhammad, 2003; 8).
D:mikro-revisi-rev-1
3
Islam adalah cara hidup yang imbang (balance). Selalu menganjurkan minatnya untuk
dapat mencapai kemuliaan akherat, tetapi dilarang untuk melupakan kemuliaan di dunia
(QS. Al–Qashah: 77) umat Islam selalu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan jaman terutama perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan agama
(syareat) yang mengatur kehidupan termasuk di dalamnya adalah ekonomi. Dengan
demikian disini diperlukan ijtihad (usaha menemukan hukum baru). Rasulullah pernah
tanya kepada Mu’adz bin Jabal sewaktu diangkat menjadi Gubernur Yaman, Rasulullah
bertanya: “Bagaimana caranya kamu memutuskan masalah apabila anda menemukan
masalah? Mu’adz menjawab: saya putuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi,
jika kamu tidak menemukan pemecahannya di Al-Qur’an ?, Mu’adz menjawab : saya
putuskan berdasarkan As-Sunnah. Kemudian Nabi bertanya lagi, seandainya dalam
pemecahannya di As-Sunnah ?, jawab Mu’adz : saya mengamalkan ijtihad dengan nalar
saya sendiri dan saya tidak akan berbuat kelengahan”. Atas jawaban itu Rasulullah
menepuk dada Mu’adz sambil berkata. “segala puji bagi Allah yang telah memberikan
taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul
-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tarmudi).
Bentuk ijtihad dapat diinterpretasikan berbagai macam: tanya kepada pakar (ahlinya),
diskusi sesama pakar dan terakhir minta petunjuk kepada-Nya melalui do’a yang
diwujudkan dalam sholat istichoroh (sholat minta petunjuk atas kebimbangan terhadap
sesuatu hal). Hal ini dilakukan karena untuk mencari sesuatu yang dapat memenuhi
kepuasan (satisfaction) bagi yang bersangkutan dan dapat memberikan eksternalitas
positif bagi pihak lain.
D:mikro-revisi-rev-1