Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Taro (Colocasia esculenta) atau biasa disebut talas terdiri

dari banyak jenis dan warna daging umbinya bervariasi, yaitu

putih, kuning muda, kuning atau oranye, merah, coklat, ungu,

dan lainnya. Indonesia merupakan negara produsen talas,

jenisnya seperti talas Bogor, talas Padang atau talas Belitung

(kimpul) yang tersebar di Bogor, Cianjur, Kuningan, Cisarua

dan Pangalengan di Jawa Barat, Temanggung dan Gunung

Lawu di Jawa Tengah, serta Malang di Jawa Timur. Di

Kabupaten Bogor sebagai sentra produksi talas Indonesia,

tercatat  produksinya sekitar  57.000 ton pada tahun 2008

(dkpp.jabarprov.go.id). Namun pada data produksi taro dari

factfish (factfish.com) pada tahun 2016, Indonesia tidak

tercatat sebagai 50 besar negara penghasil taro. Produksi taro di

dunia pada tahun 2016 mencapai 10.128.954 ton dengan

1
nigeria sebagai negara penghasil taro nomor 1 (3.175.842 ton)

(factfish.com).

Umbi talas mengandung pati dalam jumlah yang cukup

besar, yakni 70-80 g/100 g talas kering. Taro merupakan

sumber protein yang cukup bagus, namun kandungan utamanya

merupakan karbohidrat, vitamin, dan asam amino esensial

seperti lisin, leusin, isoleusin (Bradbury dan Holloway, 1988).

Taro sering diolah menjadi beraneka macam produk, salah

satunya adalah tepung taro. Pati yang diekstrak dari umbi talas

tampak sebagai butiran halus dalam kisaran 0,5-5 mikron, dan

dapat membentuk gel pati yang halus. Tepung taro memiliki

pola kristalografi tipe-A. Secara umum, pati tipe-A memiliki

heliks ganda yang padat dalam bentuk ortogonal di daerah

kristal dengan hanya 4 molekul air yang ada di antara rongga

heliks ganda yang berdekatan. Hal ini mengakibatkan granula

pati yang lebih kuat yang dapat mempertahankan kondisi

pemanasan dan pemotongan (Tattiyakul et al., 2006).

2
Roti adalah makanan yang berbahan dasar utama tepung

terigu dan air. Penggunaan tepung terigu di dunia sangat besar,

karena penggunaan tepung terigu sebagai bahan utama dari

pembuatan roti. Tepung terigu sangat baik untuk bahan baku

pembuatan roti karena memiliki gluten. Gluten tersebut yang

akan membuat roti dapat mengembang sempurna, sehingga

didapatkan tekstur roti yang empuk dan mudah digigit. Untuk

mengurangi penggunaan gandum dalam proses pembuatan roti,

banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi

penggunaan tepung terigu dengan melakukan penambahan

tepung-tepung yang berasal dari bahan-bahan nabati lainnya.

Oleh karena itu, potensi penambahan proporsi tepung

taro dan tepung terigu sangat penting untuk diversifikasi dan

peningkatan penggunaan talas di negara-negara penghasil

gandum, serta mengurangi biaya produksi dari roti.

Pengetahuan tentang pengaruh berbagai proporsi penggunaan

tepung taro dengan tepung gandum dapat digunakan untuk

3
mengoptimalkan penggantian tepung terigu dengan tepung taro

tanpa terlalu merubah karakteristik dari roti yang dihasilkan.

Informasi mengenai sifat fungsional dari tepung komposit dan

karakteristik dari roti yang dihasilkan akan sangat berguna

untuk perkembangan diversifikasi dari produk roti.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah

pada makalah ini adalah :

a. Bagaimana pengaruh proporsi tepung taro dan tepung

terigu terhadap sifat fungsional tepung komposit?

b. Bagaimana pengaruh proporsi tepung taro dan tepung

terigu terhadap karakteristik roti?

4
1.3. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

a. Mengetahuipengaruh proporsi tepung taro dan tepung

terigu terhadap sifat fungsional tepung komposit.

b. Mengetahuipengaruh proporsi tepung taro dan tepung

terigu terhadap karakteristik roti.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taro

2.1.1. Tinjauan Tanaman Taro

Taro atau biasa disebut Talas (Colocasia esculenta(L) Schot),

termasuk genus Colocasia dengan famili Araceae. Talas dibudidayakan

secara luas di kawasan Asia, Pasifik, Amerika Tengah, dan Afrika. Talas

dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, subtropik dan sedang. Beberapa

kultivar dari talas dapat beradaptasi pada tanah yang kering sampai basah

dan pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 mdpl. Suhu untuk

pertumbuhannya berkisar antara 21-27 ⁰C dengan curah hujan optimal

ialah 250 cm per tahun (Richana, 2012). Produksi taro di dunia pada tahun

2016 mencapai 10.128.954 ton dengan nigeria sebagai negara penghasil

taro nomor 1 (3.175.842 ton) (factfish.com).

Indonesia merupakan negara produsen talas, jenisnya seperti talas

Bogor, talas Padang atau talas Belitung (kimpul) yang tersebar di Bogor,

Cianjur, Kuningan, Cisarua dan Pangalengan di Jawa Barat, Temanggung

dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, serta Malang di Jawa Timur. Di

Kabupaten Bogor sebagai sentra produksi talas Indonesia, tercatat

produksinya sekitar  57.000 ton pada tahun 2008 (dkpp.jabarprov.go.id).

Umbi talas terdiri atas tiga bagian yaitu kulit luar, korteks atau kulit dalam,

dan daging. Daging umbi talas mempunyai warna yang bervariasi seperti,

kuning muda, kuning tua, orange, merah muda sampai ungu, atau

merupakan kombinasi antara putih dengan ungu. Talas biasa dipanen

6
umbinya setelah berumur 6-9 bulan. Kultivar talas banyak ragamnya,

terutama di daerah – daerah yang merupakan sentra produksi talas seperti

di Bogor, Malang, Kepulauan Mentawai, Lampung, Sulawesi (Selatan dan

Utara), dan Papua. Di Bogor, dapat ditemukan lima kultivar talas yaitu:

1. Talas Pandan

Talas pandan mempunyai ciri berupa pohon pendek, bertangkai,

daun berwarna keunguan, pangkal batang merah atau kemerahan, umbi

berbentuk lonjong dan berkulit coklat. Daging umbi berwarna keunguan

dan setelah direbus berbau pandan.

2. Talas Sutra

Talas sutra memiliki daun yang halus dan berwarna hijau muda,

pelepah daun berwarna putih di bagian pangkalnya. Bila umbinya direbus

maka akan lembek dan berwarna putih.

3. Talas Ketan

Talas ketan memiliki ciri – ciri berupa batang di atas umbi yang mengecil, dengan

pelepah daun berwarna hijau disertai garis hitam, umbi pudar dan daging umbi

berwarna kuning. Umbi terasa gatal jika direbus.

4. Talas Lampung

Talas Lampung dapat dicirikan dari daun dan pelepahnya yang

berwarna kuning keunguan, dengan umbi besar berbentuk bulat. Daging

umbi berwarna kuning dan terasa gatal apabila direbus. Talas ini sering

disebut talas mentega Talas ini sangat sering diolah daripada jenis talas

lain.

7
Gambar 2.1.a. Tanaman Taro Gambar 2.1.b. Umbi Taro

Sumber: www.agrowindo.com Sumber: www.ilmubudidaya.com

Taro memiliki kandungan pati sebesar 70-80% (dry basis) dengan

granula yang berukuran kecil dengan diameter sekitar 1,4 – 5 µm. Umbi

dari taro memiliki kandungan karbohidrat dan potasium yang sangat baik.

Taro juga merupakan sumber thiamin, riboflavin, besi, fosfor, zinc dan

vitamin B6, vitamin C, niacin, potasium, tembaga, dan mangan yang

sangat baik (Alcantara et al., 2013).

Komposisi kimia bagian-bagian umbi talas tidak sama. Kandungan

pati pada bagian ujung umbi lebih rendah dibandingkan bagian

pangkalnya, sedangkan kandungan non pati lebih banyak terdapat pada

kulitnya. Kandungan protein pada tanaman talas terutama banyak terdapat

di bagian daunnya. Umbi talas mengandung Ca, P, Fe, yang jumlahnya

masih lebih besar dibandingkan umbi-umbian lainnya seperti umbi kayu

dan ubi jalar (Richana, 2012).

Umbi talas mentah mengandung sejumlah besar asam oksalat (H2C2O4) dalam

bentuk asam oksalat yang soluble dan garam oksalat yang insoluble. Asam oksalat

yang larut bisa membentuk kompleks dengan kalsium, magnesium, atau

potassium, dan oleh karena itu dapat mengurangi ketersediaan mineral dalam

8
makanan. Garam oksalat yang tidak larut menyebabkan iritasi kulit dan bau yang

menyengat pada umbi talas yang tidak dicuci (Tattiyakul et al., 2006).

Tabel 2.1. Komposisi Kimia Talas Mentah

Komposisi Kadar
Air (%) 70.14
Protein (%) 9.04
Abu (%) 3.32
Serat kasar (%) 5.34
Lemak kasar (%) 0.82
Karbohidrat (%) 81.49
Amilase (%) 34.15
Amilopektin (%) 65.85
Asam askorbat (mg/ 30.35

100 g)
Antosianin (mg/ 100 g) 31.58
Asam oksalat (mg/ 100 173.88

g)
Sumber: James et al. (2013)

2.1.2. Tepung Taro

Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara

penggilingan. Pada penggilingan, ukuran bahan diperkecil dengan cara

penggilingan dengan gaya mekanis dari alat penggiling tepung (Ridal,

2003). Tepung merupakan produk yang memiliki kadar air rendah. Kadar

air yang rendah berperan penting terhadap keawetan bahan pangan

(Winarno, 1997). Umbi talas dapat diolah menjadi tepung talas. Tepung

umbi talas ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan baku industri

makanan seperti biskuit, cake, kripik, dll.

Proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara,

tergantung dari jenis umbi-umbian yang digunakan. Dalam skala

komersial, tepung dibuat dengan mengupas, mengiris, dan mencuci umbi

9
dengan air untuk menghilangkan getah. Irisan-irisan tersebut kemudian

direndam dengan air selama satu malam, dicuci kembali, kemudian

direndam dalam 0,25% asam sulfat selama tiga jam. Setelah diblansir

dalam rebusan air selama 4-5 menit, irisan-irisan tersebut dikeringkan

pada suhu 57-60o C. Setelah kering, irisan-irisan tersebut dihaluskan

menjadi tepung.

Proses pembuatan tepung taro diawali dengan pencucian dan

pengupasan umbi segar. Setelah itu umbi diiris tipis dan direndam dengan

air. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan,

sedangkan perendaman dimaksudkan untuk memberikan efek

membersihkan. Selanjutnya dilakukan pengeringan pada suhu 50-60o C,

yaitu pada saat kadar air mencapai 12%. Proses ini dilakukan selama ± 6

jam dan biasanya umbi yang dikeringkan dibolak-balik agar umbi kering

merata. Hasil pengeringan kemudian digiling dan diayak agar ukuran

tepung yang dihasilkan seragam (Lingga, 1986). Diagram alir pembuatan

tepung talas dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Tepung umbi talas mengandung protein dalam jumlah yang cukup

tinggi, serta kandungan utamanya adalah karbohidrat dan juga kandungan

mineralnya.

Tabel 2.2. Komposisi Kimia Tepung Taro per 100 gram Bahan

Komposisi Kadar

10
Air (g) 7,86
Karbohidrat (g) 84
Protein (g) 4,69
Serat kasar (g) 2,69
Abu (g) 1,16
Lemak (g) 0,5
Fosfor (mg) 0,061
Besi (mg) -
Kalsium (mg) 0,028
Thiamin (mg) -
Riboflavin (mg) 0,04
Nikotinamid (mg) -
HCN (ppm) -
Sumber: Richana (2012)

Umbi Taro

Pengupasan

Pencucian dengan air

Pemotongan dengan ketebalan 0,1mm

Perendaman 1 jam dengan NaCl 10%

Pencucian dengan air

Perendaman 3 jam dengan air hangat

Pengeringan 50-60oC dengan cabinet drier, 6-12 jam

Penggilingan 100 mesh

11 Talas
Tepung
Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Taro

Sumber: Mayasari (2010)

2.2. Roti

Roti merupakan produk pangan berbahan dasar tepung terigu yang di

fermentasi dengan ragi roti atau bahan pengembang lainnya yang diolah

dengan cara dipanggang. Melalui cara pengolahannya , roti dapat

dibedakan menjadi tiga macam, yaitu roti yang dikukus, dipanggang, dan

yang digoreng. Roti termasuk dalam salah satu produk bioteknologi

konvensional karena adanya proses fermentasi yang memanfaatkan

mikroorganisme (Mudjajanto dan Yulianti, 2007). Menurut SNI 1995,

definisi roti adalah produk yang diperoleh dari adonan tepung terigu yang

diragikan dengan ragi roti dan dipanggang, dengan atau tanpa penambahan

bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan.

2.2.1. Bahan Pembuatan Roti

2.2.1.1. Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bulir gandum.

Tepung terigu umumnya digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mie

dan roti. Gandum yang telah diolah menjadi tepung terigu menurut

Rustandi (2011) dapat digolongkan menjadi 3 tingkatan yang dibedakan

berdasarkan kandungan protein yang dimiliki, yakni:

12
a. Hard flour (kandungan protein 12% – 14%)

Tepung ini mudah dicampur dan difermentasikan, memiliki daya

serap air tinggi, elastis, serta mudah digiling. Jenis tepung ini cocok untuk

membuat roti, mie, dan pasta.

b. Medium flour (kandungan protein 10,5% – 11,5%)

Tepung ini cocok untuk membuat adonan dengan tingkat fermentasi

sedang, seperti donat, bakso, cake, dan muffin.

c. Soft flour (kandungan protein 8% – 9%)

Tepung ini memiliki daya serap rendah, sukar diuleni, dan daya

pengembangan rendah. Tepung ini cocok untuk membuat kue kering,

biskuit, pastel.

Kandungan protein utama di dalam tepung terigu yang berperan

dalam pembuatan roti adalah gluten. Banyak sedikitnya gluten yang

didapat bergantung pada berapa banyak jumlah protein dalam tepung itu

sendiri, makin tinggi proteinnya maka makin banyak jumlah gluten yang

didapat, begitu juga sebaliknya. Komponen utama yang terkandung di

dalam tepung terigu seperti protein, lemak, kalsium, fosfor, besi dan

vitamin A cukup tinggi. Banyaknya kandungan komponen utama dapat di

lihat pada Tabel 2.3. Komposisi kimia tepung terigu dalam 100 gram

bahan sebagai berikut:

Bahan

Komponen Jumlah
Kalori (kal) 332
Protein (g) 9,61
Lemak (g) 1,95
Karbohidrat (g) 74,48
Kalsium (mg) 33

13
Fosfor (mg) 323
Besi (mg) 3,71
Vitamin A (IU) 9
Vitamin C (mg) 0
Air (g) 12,42
Sumber: USDA (2014)

2.2.1.2. Air

Air merupakan bahan yang berperan penting dalam pembuatan roti.

Gluten yang terdapat pada tepung terigu dapat terbentuk dengan adanya

air. Air sangat menentukan konsistensi dan karakteristik reologi adonan

yang berpengaruh terhadap sifat adonan selama proses dan menentukan

mutu produk akhir yang dihasilkan. Air juga berfungsi sebagai pelarut

bahan seperti garam, gula, susu dan mineral sehingga bahan tersebut

terdispersi secara merata dalam adonan.

Menurut U.S. Wheat Associates (1983), dalam pembuatan roti, air

memungkinkan terbentuknya gluten, mengatur kepadatan adonan,

melarutkan garam, menahan dan menyeragamkan bahan-bahan bukan

tepung, membasahi dan mengembangkan pati.. Dalam pembuatan roti, air

akan melakukan hidrasi dan bersenyawa dengan protein membentuk

gluten dan dengan pati membentuk gel setelah dipanaskan. Jumlah air

yang digunakan tergantung pada kekuatan tepung dan proses yang

digunakan. Faktor-faktor yang terlibat pada proses penyerapan air antara

lain macam dan jumlah protein serta sebanyak 45.5 persen air akan

berikatan dengan pati, 32.2 persen dengan protein dan 23.4 persen dengan

pentosan. Banyaknya air yang dipakai akan menentukan mutu dari roti

yang dihasilkan (Koswara, 2009).

2.2.1.3. Garam

14
Garam akan membangkitkan rasa pada bahan-bahan lainnya,

membantu membangkitkan aroma harum, dan meningkatkan sifat-sifat

roti. Garam adalah salah satu bahan pengeras, bila adonan tidak memakai

garam, maka adonan akan bersifat agak basah. Garam memperbaiki pori-

pori roti dan tekstur roti akibat kuatnya adonan, dan membantu

pembentukan warna secara tidak langsung, membantu mengatur aktifitas

dan tingkat fermentasi ragi roti dalam adonan yang sedang difermentasi.

Pada roti, garam mempunyai fungsi yang lebih penting daripada sekedar

memperbaiki rasa, yakni membantu aktivitas amilase dan menghambat

aktivitas protease pada tepung. Adonan tanpa garam akan menjadi lengket

(agak basah) dan sukar dipegang.

2.2.1.4. Ragi

Ragi untuk roti dibuat dari sel khamir Saccharomyces cereviceae.

Dengan memfermentasi gula, khamir menghasilkan karbondioksida yang

digunakan untuk mengembangkan adonan. Di dalam ragi terdapat

beberapa enzim yaitu protease, lipase, invertase, maltase dan zymase.

Protease memecah protein dalam tepung menjadi senyawa nitrogen yang

dapat diserap sel khamir untuk membentuk sel yang baru. Lipase

memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserin. Invertase memecah

sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Maltase memecah maltosa menjadi

glukosa dan zymase memecah glukosa menjadi alkohol dan

karbondioksida. Akibat dari fermentasi ini timbul komponen-komponen

pembentuk flavor roti, diantaranya asam asetat, aldehid dan ester

(Koswara, 2009).

15
Ragi berfungsi untuk mengembangkan adonan dengan memproduksi

gas CO2, memperlunak gluten dengan asam yang dihasilkan. Pada

roti, ragi termasuk bahan baku utama. Aktivitas ragi roti di dalam adonan

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain enzim-enzim protease, lipase,

invertase dan maltase, kandungan air, suhu, pH, gula, dan garam.

2.2.1.5. Gula

Gula digunakan sebagai bahan pemanis dalam pembuatan roti. Jenis gula

yang paling banyak digunakan adalah sukrosa. Menurut U.S. Wheat Associates

(1983), gula pada roti berfungsi sebagai sumber makanan ragi selama fermentasi

sehingga dapat dihasilkan karbondioksida dan alkohol. Gula juga dapat berfungsi

untuk memberi rasa manis, flavor dan warna kulit roti (crust). Selain itu gula juga

berfungsi sebagai pengempuk dan menjaga freshness roti karena sifatnya yang

higroskopis (menahan air) sehingga dapat memperbaiki masa simpan roti.

Dengan adanya gula maka waktu pemanggangan harus sesingkat mungkin

agar roti tidak menjadi hangus karena sisa gula yang masih terdapat dalam adonan

dapat mempercepat proses pembentukan warna pada kulit roti. Dengan singkatnya

waktu pemanggangan tersebut, maka menyebabkan masih banyak uap air yang

tertinggal dalam adonan yang akan mengakibatkan roti akan tetap empuk.

2.2.1.6. Lemak

Lemak digunakan dalam pembuatan roti sebagai shortening karena dapat

memperbaiki struktur fisik seperti volume, tekstur, kelembutan, dan flavor. Selain

itu penambahan lemak menyebabkan nilai gizi dan rasa lezat roti bertambah.

16
Penambahan lemak dalam adonan akan mempermudah pemotongan roti, juga

dapat menahan air, sehingga masa simpan roti lebih panjang dan kulit roti lebih

lunak. Penggunaan lemak dalam proses pembuatan roti membantu mempertinggi

rasa, memperkuat jaringan zat gluten, roti tidak cepat menjadi keras (Koswara,

2009).

2.2.1.7. Susu dan Telur

Penggunaan susu untuk produk-produk bakery berfungsi membentuk flavor,

sebagai bahan pengisi, membentuk struktur yang kuat dan porus karena adanya

protein berupa kasein, membentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan dan

menambah keempukan karena adanya laktosa. Selain itu, penggunaan susu dalam

pembuatan roti juga dapat meningkatkan nilai gizi. Susu mengandung protein

(kasein), gula laktosa dan mineral kalsium. Susu akan memperkuat gluten karena

kandungan kalsiumnya (U.S. Wheat Associates, 1983). Telur berfungsi untuk

meningkatkan nilai gizi, memberikan rasa yang lebih enak dan membantu untuk

memperlemas jaringan zat gluten karena adanya lesitin dalam telur yang

mengakibatkan roti menjadi lebih empuk dan lemas (Koswara, 2009).

2.2.2. Proses Pengolahan Roti

Secara garis besar proses pembuatan roti terdiri dari pencampuran,

peragian, pembentukan dan pemanggangan.

2.2.2.1. Pencampuran

17
Secara tradisional ada dua cara pencampuran adonan roti, yaitu

sponge and dough method atau metode babon dan straight dough method

atau cara langsung, metode lainnya, yaitu no time dough dan metode

babon cair yang disebut juga brew atau broth. Dalam metode babon,

sebagian besar tepung dan air, semua ragi roti dan garam mineral serta zat

pengemulsi dicampur menjadi babon. Babon difermentasi selama 3-6 jam,

kemudian dicampur dengan bahan lainnya. Pada pembuatan babon cair, 25

% tepung dibuat babon cair sebelum pencampuran adonan.

Proses straight dough lebih sederhana tetapi kurang fleksibel, karena

tidak mudah dimodifikasi jika terjadi kesalahan dalam proses fermentasi

atau tahap sebelumnya. Dalam proses ini seluruh bahan dicampur

sekaligus menjadi adonan sebelum difermentasi. Demikian pula pada

metode cepat, seluruh bahan dicampur sekaligus. Bedanya dengan no time

dough adonan langsung dibentuk atau masuk ke dalam alat pencampur

tanpa fermentasi.

Tujuan pencampuran ialah membuat dan mengembangkan sifat daya

rekat serta membentuk gluten. Tepung mengandung protein dan sebagian

besar protein akan dalam bentuk gluten bila protein itu dibasahi, diaduk-

aduk, ditarik, dan diremas-remas.

2.2.2.2. Peragian

Tujuan fermentasi (peragian) adonan ialah untuk pematangan adonan

sehingga mudah ditangani dan menghasilkan produk bermutu baik. Selain itu

fermentasi berperan dalam pembentukan cita rasa roti. Selama fermentasi enzim-

18
enzim ragi bereaksi dengan pati dan gula untuk menghasilkan gas karbondioksida.

Perkembangan gas ini menyebabkan adonan mengembang dan menyebabkan

adonan menjadi lebih ringan dan lebih besar. Jika ingin memperoleh hasil yang

seragam, suhu dan kelembaban dalam ruang fermentasi perlu diatur. Suhu formal

untuk fermentasi ialah kurang lebih 26oC dan kelembabannya 70-75 %.

2.2.2.3. Pembentukan

Pada tahap ini secara berurutan adonan dibagi dan dibulatkan,

diistirahatkan, dipulung, dimasukkan dalam loyang dan fermentasi akhir

sebelum dipanggang dan dikemas. Pembagian adonan dapat dilakukan

dengan menggunakan pemotong adonan. Proses berikutnya adalah

intermediete proofing, yaitu mendiamkan adonan dalam ruang yang

suhunya dipertahankan hangat selama 3-25 menit. Di sini adonan

difermentasi dan dikembangkan lagi sehingga bertambah elastis dan dapat

mengembang setelah banyak kehilangan gas, teregang dan terkoyak pada

proses pembagian. Setelah didiamkan adonan siap dengan pemulungan.

Proses pemulungan terdiri dari proses pemipihan atau sheating,

curling, dan rolling atau penggulungan serta penutupan atau sealing.

Setelah pemulungan adonan dimasukkan ke dalam loyang yang telah

dioles dengan lemak, agar roti tidak lengket pada loyang. Selanjutnya

dilakukan fermentasi akhir, yang bertujuan agar adonan mencapai volume

dan struktur remah yang optimum. Agar proses pengembangan cepat

fermentasi akhir ini biasanya dilakukan pada suhu sekitar 38oC dengan

kelembaban nisbi 75-85%. Dalam proses ini ragi roti menguraikan gula

dalam adonan dan menghasilkan gas karbondioksida.

19
2.2.2.4. Pemanggangan

Beberapa menit pertama setelah adonan masuk oven, terjadi

peningkatan volume adonan dengan cepat. Pada saat ini enzim amilase

menjadi lebih aktif dan terjadi perubahan pati menjadi dekstrin yang

menyebabkan adonan menjadi lebih cair, sedangkan produksi gas

karbondioksida meningkat. Pada suhu sekitar 50-60oC, aktivitas

metabolisme khamir meningkat, sampai terjadi perusakan khamir karena

panas berlebihan. Pada saat suhu mencapai sekitar 76oC, alkohol

dibebaskan serta menyebabkan peningkatan tekanan dalam gelembung

udara. Sejalan dengan terjadinya gelatinisasi pati, struktur gluten

mengalami kerusakan karena penarikan air oleh pati. Di atas suhu 76oC

terjadi penggumpalan gluten yang memberikan struktur crumb. Pada akhir

pemanggangan, terjadi pembentukan crust serta aroma. Pembentukan crust

terjadi sebagai hasil reaksi maillard dan karamelisasi gula.

2.2.3. Syarat Mutu Roti Tawar

Persyaratan mutu roti tawar menurut Standart Nasional Indonesia

(1995) dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Syarat Mutu Roti Tawar

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

.
1. Keadaan kenampakan:  
  a. Bau - Normal tidak

berjamur
  b. Rasa - Normal

20
  c. Warna - Normal
2. Air %b/b Maks. 40
3. Abu (tidak termasuk garam %b/b Maks. 1

dihitung atas dasar bahan

kering)
4. Abu yang tidak larut dalam %b/b Maks. 3,0

asam
5. NaCl %b/b Maks. 2,5
6. Gula jumlah %b/b -
7. Lemak -
8. Serangga / belatung Tidak boleh ada
9. Bahan makanan tambahan:  
  a. Pengawet Sesuai dengan SNI

0222-1987
  b. Pewarna
  c. Pemanis buatan
  d. Sakarin siklamat Negatif Negatif
10. Cemaran Logam  
  a. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05
  b. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0
  c. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0
  d. Seng (Zn) mg/kg Maks. 0,5
11. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
12. Cemaran Mikrobia:  
  a. Angka Lempeng Total koloni/g Maks. 10^6
  b. E. Coli APM/g < 3
  c. Kapang koloni/g Maks. 10^4
Sumber: SNI (1995)

Roti tawar adalah roti yang tidak ditambahkan rasa atau isi apapun,

sehingga rasanya tawar. Biasanya konsumen menambahkan sendiri isinya

sesuai dengan keinginan dan selera masing-masing. Komposisi kimia roti

tawar dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Komposisi Kimia Roti Tawar dalam 100 gram Bahan

Komposisi Jumlah
Protein (g) 8,0
Karbohidrat (g) 50,0
Lemak (g) 1,5
Air (g) 39,0

21
Vitamin dan mineral 1,5

(g)
Sumber: Gaman dan Sherington (1992)

BAB III

PEMBAHASAN

Tepung taro memiliki kandungan karbohidrat, mineral, serta serat

pangan yang cukup tinggi. Tingginya kandungan nutrisi tersebut

mengakibatkan pemanfaatan tepung taro sudah banyak digunakan dalam

produk olahan pangan. Salah satu produk yang dapat ditambahkan dengan

tepung taro adalah roti. Adanya komponen-komponen dari tepung taro

tersebut diharapkan penambahan proporsi tepung taro dan tepung terigu

selain untuk diversifikasi produk, juga akan dapat menghasilkan

karakteristik roti yang dapat diterima masyarakat.

3.1. Pengaruh proporsi tepung taro dan tepung terigu terhadap sifat

fungsional tepung komposit.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Emmanuel et al.

(2010), dengan perlakuan komposisi tepung komposit (tepung

terigu:tepung taro) seperti pada Tabel 3.1. dimana menggunakan perlakuan

tepung taro dengan perlakuan pendahuluan diblansir dan tidak diblansir.

Tabel 3.1. Formulasi Tepung Komposit

Tepung Komposit
Bahan Kontrol
70:30 80:20 90:10
Tepung terigu (g) 1000 700 800 900
Tepung taro (g) - 300 200 100
Sumber: Emmanuelet al. (2010)

22
Emmanuel et al. (2010) melakukan penelitian terhadap tepung

komposit yang dihasilkan dengan perlakuan perbandingan proporsi tepung

taro dan tepung terigu dan juga perlakuan tepung taro diblansir dan tidak

diblansir. Pengujian dilakukan pada sifat fungsional tepung komposit yang

meliputi daya serap air (water absorption capacity), daya serap minyak

(oil absorption capacity), konsentrasi gelasi terendah (least gelation

concentration), dan kapasitas pembengkakan (swelling capacity). Data

hasil pengujian tiap parameter dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Data Sifat Fungsional Tepung Komposit


Tidak diblansir Diblansir Kontrol
Parameter
70:30 80:20 90:10 70:30 80:20 90:10
WAC (g/g) 98.40±0.10g 109.60±0.05e 113.70±0.10d 105.20±0.10f 115.40±0.10c 122.40±0.10b 130.70±0.10a
OAC (g/g) 118.10±0.10c 111.10±0.57a 107.30±0.20f 98.80±0.08a 110.70±0.05e 185.50±0.07a 153.20±0.07b
LGC (%) 6.0c 8.0b 8.0b 8.0b 6.0c 6.0c 10.0a
SC 3.10±0.10a 3.30±0.30a 3.20±0.20a 2.40±0.10c 2.7±0.10b 2.8±0.10b 3.40±0.10a
Sumber: Emmanuel et al.(2010)

Berdasarkan nilai yang diperoleh pada Tabel 3.2, Tepung komposit

dengan tepung taro yang diberi perlakuan blansir dalam proses

pengolahannya memiliki nilai WAC yang lebih tinggi dibandingkan

dengan perlakuan tidak diblansir. Tingginya nilai WAC pada sampel

tepung komposit dengan perlakuan diblansir menunjukkan bahwa dengan

perlakuan blansir akan diperoleh tepung yang memiliki banyak unsur-

unsur hidrofilik. Kemampuan bahan pangan untuk menyerap air terkadang

ditentukan oleh kandungan protein (Kinsella, 1976) dan kandungan

patinya (Ali et al., 2013). Adanya pemanasan dari perlakuan blansir

menyebabkan molekul protein terdisosiasi atau berubah menjadi subunit

monomer yang mungkin memiliki lebih banyak bagian yang dapat

mengikat air (Lin et al., 1974). Dari data pada Tabel 3.2, dapat dilihat

23
bahwa semakin besar proporsi tepung taro yang ditambahkan, maka

semakin kecil nilai WAC yang diperoleh dari tepung komposit tersebut.

Penurunan nilai WAC seiring besarnya proporsi tepung taro yang

ditambahkan dapat disebabkan karena rendahnya jumlah protein yang

terdapat pada tepung komposit. Semakin banyak proporsi tepung taro yang

ditambahkan maka proporsi tepung terigu akan semakin sedikit sehingga

jumlah protein pada tepung komposit juga akan semakin kecil karena

tepung taro memiliki kandungan protein yang tidak terlalu tinggi bila

dibandingkan dengan tepung terigu (Richana, 2012).

Untuk Oil absorption capacity (OAC), Penurunan nilai OAC dari

sampel dengan perlakuan diblansir diikuti dengan meningkatnya rasio dari

tepung taro yang ditambahkan dari 10 sampai 30%. Namun pada sampel

dengan perlakuan tidak diblansir memiliki nilai OAC yang meningkat

seiring dengan meningkatnya rasio tepung taro yang ditambahkan pada

perlakuan tepung komposit tersebut. Hasil yang diperoleh ini berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2016) dimana

menggunakan tepung komposit dengan perlakuan tidak diblansir memiliki

nilai OAC yang semakin menurun seiring banyaknya proporsi tepung taro

yang ditambahkan. Penurunan nilai OAC tersebut dapat disebabkan karena

kandungan protein yang terdapat pada tepung komposit tersebut. Semakin

banyak proporsi tepung taro yang ditambahkan, maka jumlah protein dari

tepung komposit akan menurun karena tepung taro mengandung protein

tidak setinggi pada tepung terigu. Lemak dapat berguna sebagai flavor

retainer dan juga akan berpengaruh terhadap mouth feel yang dihasilkan

24
dari suatu produk, terutama roti dan produk yang dipanggang lainnya

(Emmanuel et al., 2010).

Semakin rendah nilai Least Gelation Concentration (LGC),

kapasitas pembengkakan (Swelling Capacity) dari tepung akan semakin

meningkat. Nilai dari LGC ini dipengaruhi oleh rasio protein, karbohidrat,

dan lemak yang terdapat dalam sampel tepung komposit tersebut. Sathe et

al. (1982) menyatakan bahwa interaksi antara komponen-komponen

tersebut berperan penting terhadap sifat fungsional dari tepung komposit

yang dihasilkan. Karena tepung komposit mengandung protein yang tinggi

dari tepung terigu dan juga kandungan pati yang tinggi dari tepung taro,

kapasitas gelasi dari tepung komposit dipengaruhi oleh kompetisi fisik

untuk air diantara gelasi protein dan gelatinisasi pati(Kaushal et al., 2012).

Semakin rendah LGC, semakin baik kemampuan gelasi dari protein.

Pada nilai Swelling Capacity (SC) atau kapasitas

pembengkakan,dengan adanya penambahan proporsi tepung taro

berpengaruh terhadap nilai SC dari tepung komposit yang dihasilkan.

Semaki besar proporsi tepung taro yang ditambahkan, maka nilai SC akan

semakin kecil.Pada perlakuan blansir, terdapat beda nyata yang signifikan

dibandingkan dengan kontrol dan tidak diblansir. Perlakuan pemanasan

yang diberikan selama proses blansir mengganggu jaringan-jaringan dari

tepung taro tersebut, terutama adanya degradasi dari pati menjadi dekstrin

karena dekstrin tidak dapat membengkak. Kemungkinan lainnya adalah

karena adanya penurunan kelarutan protein karena denaturasi pada bagian

yang dapat mengikat air.

25
3.2. Pengaruh proporsi tepung taro dan tepung terigu terhadap karakteristik

roti.

Tabel 3.3. Formulasi Bahan Pembuatan Roti

Tepung Komposit
Bahan Kontrol
70:30 80:20 90:10
Tepung terigu (g) 1000 700 800 900
Tepung taro (g) - 300 200 100
Air (ml) 430 430 430 430
Garam (g) 20 20 20 20
Gula (g) 140 140 140 140
Lemak (g) 20 20 20 20
Ragi (g) 10 10 10 10
Susu (g) 30 30 30 30
Sumber: Emmanuel et al. (2010)

Formulasi bahan dengan untuk pembuatan roti dapat dilihat pada

Tabel 3.3. Penilaian terhadap sifat sensori dari roti yang dihasilkan dari

tepung komposit pada penelitian yang dilakukan oleh Emmanuel dkk

(2010) dilakukan dengan menggunakan sembilan panelis terlatih untuk

menilai parameter-parameter yang akan diujikan. Setiap panelis

memberikan penilaian tiap sampel sebanyak dua kali. Parameter yang diuji

serta skor maksimumnya adalah tekstur (15), crumb colour (10), crumb

texture (10), aroma (10), dan rasa(10). Roti dengan perlakuan kontrol juga

(tepung terigu 100%) juga digunakan untuk diuji.

Tabel 3.4. Skor Panelis terhadap Sampel Roti


Paramete Tidak diblansir Diblansir Kontrol
r 70:30 80:20 90:10 70:30 80:20 90:10
Crumb 4.22g±1.4 5.85d±0.4 6.82c±1.6 4.98f±0.3 5.69e±0.3 8.20b±0.6
9.32a±0.61
Colour 2 1 6 1 1 1
Crumb 4.10f±0.5 4.38e±0.3 7.59c±0.4 3.76g±0.4 4.61d±0.4 8.44b±0.3
9.61a±0.19
texture 9 9 2 1 1 4
5.04f±0.6 5.88d±0.3 6.76b±0.8 4.29g±0.4 5.61e±0.5 6.57c±1.4
Aroma 8.58a±0.28
2 6 2 4 8 8
7.66e±0.7 8.10d±0.5 9.00b±0.3 5.91f±1.0 5.50g±0.5 8.92c±0.7
Rasa 9.88a±0.95
3 7 7 3 1 6
6.80f±0.4 7.18e±0.6 8.90b±1.1 5.88g±0.9 7.26d±1.5 8.82c±1.5 10.82a±0.9
Tekstur
5 7 5 9 3 7 2
Sumber: Emmanuel et al. (2010)

26
Data yang ditunjukkan pada Tabel 3.4. menunjukkan adanya beda nyata antara

perlakuan kontrol dengan sampel dari tepung komposit di semua parameter

sensori yang dinilai. Roti yang dihasilkan dari campuran tepung terigu dengan

tepung taro diblansir dan tidak diblansir dengan proporsi90:10 memiliki skor

tertinggi diantara semua perlakuan proporsi laiinya. Roti yang dibuat dengan

tepung komposit proporsi 90:10 memiliki kisaran skor yang masih dapat diterima,

karena memiliki range skor 6,76-9,00 yang hampir menyentuh skor maksimum

penilaian pada tiap parameter yang diuji. Namun pada kontrol, diperoleh skor

yang jauh lebih tinggi, yakni kisaran range 8,58-10,82 pada semua parameter yang

diuji.

Skor penilaian sensori dari roti yang dihasilkan akan semakin

menurun seiring banyaknya proporsi tepung taro yang ditambahkan. Sifat

sensori yang dihasilkan tersebut tidak lepas dari komponen-komponen

bahan yang berada dalam tepung komposit tersebut. Dari penelitian yang

dilakukan oleh Sanful (2011) terhadap tepung komposit dengan perlakuan

dan komposisi sebagai berikut: Tepung terigu:tepung taro (400g:0g ;

280g:120g ; 240g:160g ; 200g:200g), margarin 50g, gula 50g, ragi kering

½ sendok teh, diluted milk 220ml, garam ¼ sendok teh, pala ¼ sendok teh,

dengan waktu pengovenan selama 30 menit pada suhu 180 oC dapat dilihat

pada Tabel 3.5.

Dari data pada Tabel 3.5, dapat dilihat bahwa semakin banyak

proporsi tepung taro yang ditambahkan, maka kadar air dan kadar abu dari

roti yang dihasilkan akan mengalami peningkatan. Kemudian untuk kadar

27
lemak, protein, karbohidrat, dan energi mengalami penurunan ketika

proporsi tepung taro yang ditambahkan semakin banyak.

Tabel 3.5. Data Kandungan Gizi Roti dengan Tepung Komposit

Perlakuan
Parameter Satuan
100:0 70:30 60:40 50:50
Kadar Air g/100g 29.1 37.4 35.6 37.0
Kadar Abu g/100g 1.04 1.16 1.28 1.82
Lemak g/100g 5.6 2.1 2.9 1.7
Protein g/100g 7.70 5.95 5.42 5.74
Karbohidra
g/100g 56.56 53.39 54.80 53.74
t
Energi g/100g 307.4 256.3 267.0 253.22
Sumber: Sanful (2011)

Kadar air, lemak, protein, dan karbohidrat yang terkandung dari

tepung komposit tersebut akan mempengaruhi sifat organoleptik dari roti

yang dihasilkan, serta karakteristik dari tepung komposit juga akan

mempengaruhi sifat organoleptik dari orti yang dihasilkan juga. Beberapa

sifat fungsional dari tepung komposit yang berpengaruh nyata pada sifat

organoleptik roti yang dihasilkan adalah: daya serap air (water absorption

capacity) dan daya serap minyak (oil absorption capacity).

Daya serap airberhubungan dengan banyaknya air yang bisa diserap

oleh tepung komposit tersebut. Semakin banyak air yang mampu diserap,

maka akan mampu mengikat air sehingga roti yang dihasilkan akan

memiliki kandungan air yang tinggi pula. Pada proporsi tepung

terigu:tepung taro (90:10) dirasa yang paling pas, karena memiliki daya

28
serap air yang paling tinggi diantara perlakuan proporsi lainnya. Apabila

proporsi tepung taro yang ditambahkan semakin tinggi, nilai WAC dari

tepung komposit akan menurun, namun kadar air dari roti yang dihasilkan

akan meningkat, hal ini disebabkan karena tepung taro memiliki pola

kristalografi tipe-A. Secara umum, pati tipe-A memiliki heliks ganda yang

padat dalam bentuk ortogonal di daerah kristal dengan hanya 4 molekul air

yang ada di antara rongga heliks ganda yang berdekatan. Hal ini

mengakibatkan granula pati yang lebih kuat yang dapat mempertahankan

kondisi pemanasan (Tattiyakul et al., 2006). Banyaknya air yang terdapat

dalam produk roti akan mempengaruhi kenampakan, mouth feel, rasa, dan

warna dari roti tersebut.

Daya serap minyak berhubungan dengan banyaknya minyak yang

mampu diserap oleh tepung komposit tersebut. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Emmanuel et al. (2010) pada Tabel3.2. terlihat bahwa

semakin besar proporsi tepung taro yang ditambahkan, maka akan

memiliki daya serap minyak yang semakin kecil pula. Hal ini sejalan

dengan kadar lemak yang terdapat padapenelitian yang dilakukan oleh

Sanful, R. E. (2011) pada Tabel 3.5, dimana semakin banyak proporsi

tepung taro yang ditambakan maka kandungan lemak yang terdapat pada

roti tersebut juga akan semakin sedikit. Lemak dapat berguna sebagai

flavor retainer dan juga akan berpengaruh terhadap mouth feel yang

dihasilkan dari suatu produk, terutama roti dan produk yang dipanggang

lainnya (Emmanuel et al., 2010). Sehingga banyaknya lemak yang dapat

29
terserap tersebut akan mempengaruhi beberapa sifat organoleptik dari roti

yang dihasilkan.

BAB IV

KESIMPULAN & SARAN

4.1. Kesimpulan

Proporsi tepung taro dan tepung terigu akan mempengaruhi sifat

fungsional tepung komposit dan karakteristik dari roti yang dihasilkan.

Sifat fungsional dari tepung komposit juga dipengaruhi oleh proses

pengolahan tepung taro. Semakin besar proporsi tepung taro yang

ditambahkan dengan tepung terigu maka akan akan semakin kecil nilai

Water Absorption Capacity (WAC) dan Swelling Capacity (SC). Kemudian

untuk nilai dari Oil Absorption Capacity (OAC) dan Least Gelation

Concentration (LGC) dipengaruhi oleh proses blansir dan tidak diblansir

pada tepung taro.

Semakin banyak proporsi tepung taro yang ditambahkan, maka

kadar air dan kadar abu dari roti yang dihasilkan akan mengalami

peningkatan, namun pada kadar lemak, protein, karbohidrat, dan energi

mengalami penurunan. Kandungan protein, karbohidrat, dan lemak yang

terkandung dari tepung komposit tersebut akan mempengaruhi sifat

30
organoleptik dari roti yang dihasilkan, serta karakteristik dari tepung

komposit juga akan mempengaruhi karakteristik dari roti yang dihasilkan

juga.

4.2. Saran

Proporsi tepung taro yang ditambahkan sebaiknya tidak terlalu

banyak, karena panelis lebih menyukai roti dengan perlakuan 100%

tepung terigu. Untuk dapat meningkatkan sifat organoleptik dari roti yang

dihasilkan, dapat dilakukan upaya-upaya untuk memberikan flavor atau

cita rasa tambahan yang diinginkan agar roti dari tepung komposit tepung

taro dan tepung terigu tetap dapat diterima oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Akintayo E. T., A. A. Oshadi, and K. O. Esuoso.1999. Effect of NaCl, ionic

strength and pH on the foaming and gelation of pigeon pea (Cajanus cajan)

protein concentrate. Food Chemistry. 66(1):51-56.

Alcantara, R.M., W. A. Hurtada, andE. I. Dizon. 2013. The Nutritional Value and

Phytochemical Components of Taro [Colocasia esculenta (L.) Schott]

Powder and its Selected Processed Foods. College of Human Ecology.3: 1-

7.

Ali, A.O., A. E. Aziz, J. M. Kassem, andZ. M. Ghany. 2013. Effect of substitution

of wheat flourwith taro flour on some properties of weaning food formula.

Journal of Applied Sciences Research. 9(6): 3985 – 3991.

31
Bradbury, J. H. and W. D. Holloway. (1988). Chemistry of Tropical Root

Crops:Significance for Nutrition and Agriculture in the Pacific. Canberra:

Union Offset Co. Pty Ltd.

Emmanuel, C. A. I., N. C. Osuchukwu, and L. Oshiele. 2010. Functional and

sensory properties of wheat (Aestium triticium) and taro flour (Colocasia

esculenta) composite bread. African Journal of Food Science. 4(5): 248-

253.

Gaman, P. M.dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu

Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Penerjemah, Murdijati G. Yogyakarta:

Penerbit Gajah Mada University Press.

Hossain, M. D. 2016. Effect of Taro Flour Addition on the Functional

andPhysiochemical Properties of Wheat Flour and Dough for the Processing

of Bread. International Journal of Nutrition & Food Science. 1(2): 1-4.

Http://dkpp.jabarprov.go.id/bioindustri-umbi-talas-2/ (diakses 20 February 2018)

Http://ilmubudidaya.com/cara-menanam-talas (diakses 4 Maret 2018)

Http://www.agrowindo.com/peluang-usaha-budidaya-talas-dan-analisa-

usahanya.htm (diakses 4 Maret 2018)

Http://www.factfish.com/statistic/taro%2C%20production%20quantity (diakses

13 April 2018)

James, E. O., I. A. Peter, N. I. Charles, and N. Joel. 2013. Chemical Composition

and Effect of Processing and Flour on Physicochemical and Organoleptic

Properties of Cocoyam (Colocasia esculenta var. esculenta) Flour. Journal

of Nigerian Institute of Food Science and Technology. 31(2): 113-122.

32
Jane, J., L. Shen, J. Chen, S. Lim, T. Kasemsuwan, and W. K. Nip. 1992. Physical

and Chemical Studies of Taro Starches and Flours. Cereal Chemistry. 69(5):

528-535.

Jitngarmkusol S., J. Hongsuwankul, and K. Tananuwong. 2008. Chemical

composition, functional properties, and microstructure of defatted

macademice flours. Food Chemistry., 110: 23-30.

Kaushal P., V. Kumar, and H. K. Sharma. 2012. Comparative study of physico-

chemical, functional, anti-nutritional and pasting properties of taro

(Colocasia esculenta), rice (Oryza sativa), pegion pea (Cajanus cajan) flour

and their blends. LWT -Food Science & Technology.48:59–68.

Kinsella, J. E. 1976. Functional properties of protein foods: A survey, Critical

Review. Food Science & Nutrition. 1: 219 – 249.

Koswara, S. 2009.Teknologi Pengolahan Roti. eBookPangan.com. diakses pada

tanggal 16 September 2018.

Lin, M.J., E. S. Humbert,and W. Sosulski. 1974. Certain functional properties of

sunflower meal products. Journal of Food Science. 39: 368 – 372.

Lingga, P. 1986. Bertanam Ubi-ubian. Jakarta: P.T Penebar Swadaya.

Mayasari, N. 2010. Pengaruh penambahan larutan asam dan garam sebagai

upaya reduksi oksalat pada tepung talas (Colocasia esculenta (L.) Schott)

(skripsi). Bogor: IPB.

Mudjajanto, E.S. dan L.N. Yulianti. 2007. Seri Agrotekno Membuat Aneka Roti.

Jakarta: Penerbit Swadaya.

33
Njintang, Y. N., C. M. F. Mbofung, and K. W. Waldron. 2001. Effect of

processing and incorporation of soybean and cowpea flour. Journal of

Agriculture & Food Chemistry. 49(5): 2465-2471.

Obiegbuna, J. E., C.N. Ishiwu, P.I. Akubor, andE.C. Igwe. 2014. Effect of

processing and storage relative humidity on selected functional functional

properties of cocoyam (Colocasia Esculenta) corm flour. Food Science and

Quality Management. 28:19-28

Onwuene, I. C. 1978. The Tropical Tuber Crops. New York:John Willey and

Sons.

Richana, N. 2012. Araceae dan Dioscorea: Manfaat Umbi-Umbian Indonesia.

Bandung: Nuansa Cendekia.

Ridal, S. 2003. Karakteristik sifat Fisiko-Kimia tepung dan pati talas (Colocasia

esculenta) dan kimpul (Xanthosoma sp.) dan uji penerimaan α-amilase

terhadap patinya (Skripsi). Bogor: IPB.

Rustandi, D. 2011. Produksi Mie. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Sanful , R. E. 2011. Organoleptic and Nutritional Analysis of Taro and Wheat

Flour Composite Bread. World Journal Dairy & Food Science. 6(2): 175-

179.

Sathe, S. K., S. S. Desphpande, and D. K. Salunkhe. 1982. Functional Properties

of Winged Beans (Phosphocarpus tetragonolobus). Journal of Food Science.

47(2): 503-509.

Standar Nasional Indonesia (SNI).1995.Syarat Mutu Roti Tawar. Jakarta: Dewan

Standar Nasional.

34
Tattiyakul, J., S. Asavasaksakul, and P. Pradipasena. 2006. Chemical and Physical

Properties of Flour Extracted from Taro Colocasia esculenta (L.) Schott

Grown in Different Regions of Thailand. Journal Science Asia. 32: 279-284.

U.S. Wheat Associates. 1983. Pedoman Pembuatan Kue dan Roti. Jakarta:

Djambatan.

USDA. 2014. National Nutrient Data Base for Standard. Washington D. C: The

national Agriculutural Library.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

35

Anda mungkin juga menyukai