Anda di halaman 1dari 17

ALERGI OBAT

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Keperawatan Anak

yang dibina oleh

Oleh

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

D3 KEPERAWATAN LAWANG

SEPTEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Malang, Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................
Daftar Isi.........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Alergi Obat.............................................................................................
2.2 Etiologi......................................................................................................................
2.3 Tanda dan Gejala......................................................................................................
2.4 Patofisiologi..............................................................................................................
2.5 Komplikasi ...............................................................................................................
2.6 Prognosis...................................................................................................................
2.7 Pemeriksaan Penunjang............................................................................................
2.8 Penatalksanaan Medis...............................................................................................

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan...............................................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................................

Daftar Rujukan................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Alergi Obat


Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat
masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction),
yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi
obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis
obat.
Alergi obat terjadi ketika tubuh membentuk antibody terhadap obat
tertentu, menyebabkan timbulnya respon imun ketika orang tersebut terpajan
kembali dengan obat tersebut. Pasien tidak dapat alergi terhadap obat yang
belum pernah diminumnya, meskipun pasien dapat mengalami alergi silang
terhadap obat dalam kelas yang sama seperti obat yang pernah digunakannya.
Anak-anak memiliki daya metabolisme yang berbeda dengan orang
dewasa sehingga respon terhadap obat juga kemungkinan berbeda. Sejumlah
negara maju telah meningkatkan keamanan dan efikasi dari penggunaan obat
pada pasien bayi dan anak. Namun demikian tetap ditemukan prevalensi
penggunaan obat off-label pada pediatri di sejumlah negara di Eropa, Asia,
Afrika, Amerika Serikat dan Amerika Selatan baik pada pasien pediatri rawat
inap maupun pasien rawat jalan.5–9 Adapun di negara-negara berkembang
dengan perbedaan etika, ekonomi, dan hukum, upaya untuk memastikan resep
obat yang aman dan efektif untuk pasien pediatri masih terhambat.
2.2 Etiologi

Hampir semua obat bisa memicu reaksi yang tidak diinginkan dari tubuh,
tapi tidak semuanya menyebabkan alergi. Alergi obat disebabkan oleh reaksi
sistem kekebalan tubuh pada zat tertentu. Jenis-jenis obat yang berpotensi memicu
reaksi alergi meliputi:

 Antibiotik (contohnya penisilin).


 Antiinflamasi nonsteroid.
 Aspirin.
 Krim atau losion kortikosteroid.
 Antikejang (antikonvulsan).
 Obat-obatan untuk penyakit autoimun.
 Obat-obatan herbal.
 Insulin.
 Vaksin.
 Obat-obatan untuk hipertiroidisme.
 Obat-obatan kemoterapi.
 Obat-obatan untuk infeksi HIV.

2.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala alergi obat pada setiap anak berbeda-beda, tergantung
seberapa kuat sistem kekebalan tubuhnya dalam merespon alergi. Namun, gejala
alergi obat pada anak secara umum adalah sebagai berikut:

 Bintik dan area merah di wajah, bahu dan dada: disebabkan oleh
kortikosteorid, vitamin B2, B6, atau B12
 Kulit merah dan bersisik: disebabkan oleh antibiotik yang mengandung
sulfa, penicillin, atau hidantoin
 Ruam merah atau keunguan pada area kulit yang sama: disebabkan oleh
antibiotik yang mengandung sulfa, tetracycline, atau phenolphthalein
 Benjolan merah: disebabkan oleh aspirin, penicillin, atau antibiotik yang
mengandung sulfa
 Bintik merah mirip campak: disebabkan oleh antibiotik yang mengandung
sulfa, ampicillin, atau analgesik
 Ruam keunguan pada kulit (terutama kaki): disebabkan oleh obat
antikoagulan dan diuretik
 Kulit melepuh atau ruam pada mulut, vagina, atau penis: disebabkan oleh
antibiotik yang mengandung sulfa, antibiotik jenis lain, NSAID, atau penicillin

Anak yang mengalami alergi obat dapat menunjukkan reaksi tubuh yang serius
hingga fatal yang mengancam nyawa. Hal ini disebut sebagai syok anafilaktik.
Maka itu, segera temui dokter jika si kecil mengalami gejala alergi obat sebagai
berikut:

 Mual
 Muntah
 Sesak napas
 Sakit di tenggorokan atau dada
 Pingsan

2.4 Patofisiologi
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan
menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui
mekanisme ke-4 tipe tersebut . Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah
IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I
(anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian
diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons
imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV
merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui
pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi
alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat
secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I
dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III
umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit
autoimun.
Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell


dan Coomb, yaitu :
Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya
berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel
mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi. Reaksi tipe I merupakan
hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi
seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema
laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius. Penyebab umum adalah
molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.
Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM
yang mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen
serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh
sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang
diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG.
Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah membran
permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan
oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh
kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain
sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.
Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat
atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III terdapat
periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang
dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi
komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi
tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus.
Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen berada,
misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita
telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada
tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah
pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati
dan artralgia. Contoh obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida,
klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik dan fenitoin.
Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat. Pada
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen,
misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya
berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat
sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan
berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat
antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering
menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri,
neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi
lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti
parabens atau lanolin.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu
obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi
sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang
dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi
adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu
asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun
demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan
sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi
imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama
(masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat
molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak
bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai
hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang
bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam
makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat
mempunyai berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ
bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.
Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung
dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini
membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan
merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa induksi
(laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.
Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat
jaringan sebagai antigen diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem
imun tubuh, sehingga dapat terjadi reaksi autoimun. Contoh obatnya antara
lain klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan sulfasalazin. Bila sel
sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis
akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel
(misalnya pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan
akumulasi sel polimorfonuklear dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi
inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat yang dapat
menimbulkan reaksi seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin,
salisilat, isoniazid, dan lain-lain.
2.5 Komplikasi
1. Alergi Makanan Bikin Ruam Pada Kulit dan Bengkak di Sebagian Tubuh
Alergi makanan bisa membuat terkena urtikaria (ruam disertai gatal pada
kulit) dan angioedema. Angioedema ini memunculkan pembengkakan atau
bercak, dengan berbagai ukuran yang tiba-tiba muncul dan menghilang
pada bagian dalam kulit, terutama di dekat bibir dan mata. Gejala ini
biasanya timbul pada mereka yang alergi udang, susu dan kacang. Meski
tidak meninggalkan bekas, urtikaria dan angioedema menyebabkan gatal
pada kulit, jalan napas terhalang hingga kehilangan kesadaran.
2. Alergi Makanan Bisa Menyerang Saluran Cerna, Balita Paling Rentan
Terkena Bahaya!
Hati-hati, alergi makanan bisa menyerang saluran cerna dengan gejala
sistemik seperti nausea (perasaan mual), muntah, diare, kembung, sering
flatus (kentut), kolik dan konstipasi menahun. Pada balita yang alergi susu
sapi misalnya, dapat membuat ia kembung, muntah dan diare yang hilang
timbul. Dampak ini sangat besar risikonya pada proses tumbuh kembang
anak, jika tak segera ditangani dan gejala alergi jadi makin berat ini dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan.
3. Alergi Makanan Bisa Picu Anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi alergi yang parah dan terjadi tiba-tiba karena
ternyata tubuh jadi sangat sensitif pada zat yang masuk. Gejalanya terjadi
dalam beberapa menit hingga 2 jam setelah mengkonsumsi makanan.
Anafilaksis muncul bersamaan dengan gejala alergi lain seperti ruam pada
kulit, bengkak pada tubuh hingga muntah-muntah karena gangguan
saluran cerna. Pada tingkatan paling parah, anafilaksis bisa mengakibatkan
hilangnya kesadaran. Semua jenis makanan dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis, tetapi alergen yang paling sering adalah kacang dan makanan
laut ( ikan dan kerang).
4. Alergi Makanan Bisa Mengganggu Saluran Pernapasan
Alergi makanan yang mengganggu saluran pernapasan biasanya ditandai
dengan batuk, sesak, dan mengi. Bahayanya lagi, mereka yang punya riwayat
alergi makanan dan mengalami gangguan pernapasan bisa berkembang
menjadi asma. Alergi makanan bisa sangat berbahaya dan mengancam nyawa
terutama saat mengganggu saluran pernapasan.
Semua kondisi ini berbahaya dan membutuhkan penangan medis sesegera
mungkin.
2.6 Prognosis
Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin
meningkat. Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5%
dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit
mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan
alergi obat.
Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik
bahkan untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit,
kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat
dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma
Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Prosedur tes kulit, seperti skin prick testing (SPT) dan tes intradermal (tes
dimana alergen diinjeksikan ke dalam dermis kulit) berguna untuk diagnosis
reaksi IgE-mediated (tipe I). Protokol tes kulit yang sudah terstandarisasi
untuk penisilin dan juga anastesi lokal, muscle relaxants, dan sangat sensitif
untuk substansi protein dengan berat molekul yang besar, seperti insulin atau
antibodi monoklonal. Tes kulit positif terhadap obat mengkonfirmasi adanya
spesifik antigen IgE dan mendukung diagnosis reaksi hipersensitivitas tipe I.
Nilai prediktif negatif dari tes kulit terhadap penisilin sangat tinggi dengan
reagen yang sesuai dan karenanya hasil tes negatif berguna untuk
menyingkirkan alergi penisilin. Tes kulit negatif terhadap agen lainnya
(kecuali protein berat molekul yang besar) tidak efektif untuk menyingkirkan
keberadaan spesifik IgE.
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih
diragukan nilainya. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal, antara lain:
a. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan
bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan
obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali
penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat
yang mempunyai berat molekul besar (insulin, hormon
adrenokortikotropik, serum serta vaksin yang mengandung protein
telur).
b. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin
(kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false
positive).
c. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbukan hasil positif semu.
Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya
merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
Reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksaan uji
kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat.
Pemeriksaan Radio Allergo Sorbent test (RAST) yaitu pemeriksaan untuk
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk
obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-
kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin timbul bila
dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit.
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada
anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek,
sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau
reaksi aglutinasi. Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat
menunjang reaksi obat tipe III. Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG
atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk
reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak
memuaskan.
2.8 Penatalaksanaan Medis
Pengobatan alergi obat terdiri dari penghentian obat segera dan pemberian
epinefrin, antihistamin, dan steroid untuk menghilangkan gejala. Apabila pasien
pernah mengalami reaksi urtikaria atau reaksi tipe anafilaktik dan harus
melanjutkan obatnya, dapat diusahakan desensitisasi. Protokol desensitisasi oral
terhadap penisilin telah dipublikasikan. Desensitisasi terhadap penisilin
semisintetik sering diperlakukan pada pasien pediatrik dan mungkin diberikan
secara intravena, dimulai dengan dosis 10-6 dosis terapeutik dalam 50 ml larutan
dekstrosa 5%, natrium klorida 0,2%. Secara berturut-turut diinfuskan konsentrasi
yang lebih tinggi sepuluh kali lipat, masing-masing selama 30 sampai 45 menit
sampai tercapai dosis terapeutik, dan kemudian dilanjutkan. Reaksi obat yang
tidak diperantarai terutama oleh IgE tidak berespons dengan protokol
desensitisasi. Apabila timbul reaksi kulit morbiliformis terhadap obat, misalnya
fenitoin dan fenobarbital, obat harus dihentikan sesegera mungkin bila terdapat
kecurigaan diagnosis ini. Desensitisasi tidak dilakukan pada para pasien dengan
reaksi imunologis yang rumit ini karena pemberian obat selanjutnya dapat
menyebabkan dermatitis eksfoliativa berat dengan hepatitis yang berpotensi
mematikan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
DAFTAR RUJUKAN

Colin D. Rudolph, A. M. (2006). Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 1. Jakarta:


EGC.

Harsono Ariyanto, Anang E, 2006. Alergi Obat.Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya : Surabaya
Judarwanto Widodo 2009,Manifestasi klinik alergi obat. children’s ALLERGY
CLINIC : Jakarta
Kusniar Y 2003: . Skripsi Manifestasi Reaksi Alergi Terhadap Obat - obatan pada
tindakan bedah mulut : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara
Viard I., Wehrli P., Bullani R.  Inhibition of toxic epidermal necrolysis by
blockade of CD95 with human intravenous immunoglobulin. Science
1998; 282 : 490-3.

Anda mungkin juga menyukai