Anda di halaman 1dari 24

THIPOID

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I
yang dibina oleh Ibu Nurul Hidayah, S.Kep Ns. M.Kep

Oleh
1. Satya Dedi Prakasa (P17220174071)
2. Millenia Lutfiatur Rohmah (P17220183050)
3. Erna Mujiati (P17220184057)
4. Nisya Diah Anggraeni (P17220184064)
5. Nabila Shafa Salsabila (P17220184071)
6. Isticharotis Saadah (P17220184079)
7. Chintia Maulidina Dwi Riyanti (P17220184093)

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
D3 KEPERAWATAN LAWANG
Juli 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tugas matakuliah
Keperawatan Dasar II tentang “Thipoid”. Dalam penyusunan makalah ini, kami
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Ibu Nurul Hidayah, S.Kep Ns. M.Kep selaku dosen pembimbing
2. Orang tua yang selalu memberikan bantuan dan dorongan baik materil maupun
spiritual.
3. Semua rekan-rekan yang terlibat.
kami menyadari, makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak
demi sempurnanya makalah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi
kami maupun bagi pembaca.

Malang, 25 Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................................ii
Daftar Isi......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2
1.3 Tujuan....................................................................................................................2

BAB II HASIL IDENTIFIKASI PERILAKU KUNJUNGAN


2.1 Hasil wawancara pada penderita anxiety disorder..................................................3
2.2 Observasi.................................................................................................................5

BAB III PENUTUP


4.1 Kesimpulan...........................................................................................................25
4.2 Saran.....................................................................................................................25

Daftar Pustaka.............................................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever) merupakan
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan
gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Menurut T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz diperkirakan insiden demam
tifoid pada tahun 1985 di Indonesia adalah sebagai berikut umur 0-4 tahun 25,32
%, umur 5-9 tahun 35,59 % dan umur 10-14 tahun 39,09%. Namun menegakkan
diagnosis demam tifoid pada anak merupakan hal yang tidak mudah mengingat
tanda dan gejala klinis yang tidak khas terutama pada penderita di bawah usia 5
tahun. Insiden penyakit ini tidak berbeda antara anak laki dan anak perempuan,
tergantung pada status gizi dan status imunologis penderita.
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang
meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat
termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala demam.
Sebagai tenaga kesehatan, kita sebaiknya memberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama pada anak-anak supaya menjaga kebersihan, baik kebersihan
lingkungan, makanan, air minum, dan kebersihan diri sendiri.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian thipoid itu?


2. Bagaimanakah etiologi dari penyakit thipoid?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit thipoid?
4. Apa saja manifestasi klinis yang disebabkan karena thypoid ?
5. Apa saja komplikasi yang terjadi akibat terserang thypoid ?
6. Bagaimana cara untuk mencegah supaya tidak terkena thypoid ?
7. Bagaimana penatalaksanaan yang harus dilakukan pada penderita thypoid ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan untuk penderita
thypoid?
9. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien Thypoid ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian dari thypoid


2. Untuk mengetahui Etiologi thypoid
3. Untuk mengetahui Patofisiologi hingga terserang thypoid
4. Untuk mengetahui Manifestasi klinis yang disebabkan karena thypoid
5. Untuk mengetahui Komplikasi yang terjadi akibat terserang thypoid
6. Untuk mengetahui cara untuk mencegah supaya tidak terkena thypoid
7. Untuk mengetahui Penatalaksanaan yang harus dilakukan pada penderita
thypoid
8. Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang yang akan dilakukan untu
penderita thypoid
9. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Pasien Thypoid
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN THIPOID
Demam tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever)
merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ngastiyah,
2005).
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella.
( Bruner and Sudart).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala
sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C.
penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Mansoer Orief.M.).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut,
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan
minuman yang terkontaminasi.

2.2 ETIOLOGI DARI PENYAKIT THIPOID


Penyakit tifus disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa, basil
gram negatif, berflagel (bergerak dengan bulu getar), anaerob, dan tidak
menghasilkan spora. Bakteri tersebut memasuki tubuh manusia melalui saluran
pencernaan dan manusia merupakan sumber utama infeksi yang mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit saat sedang sakit atau dalam pemulihan.
Kuman ini dapat hidup dengan baik sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu
yang lebih rendah sedikit, namun mati pada suhu 70°C maupun oleh antiseptik.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhiatau
Salmonella paratyphi A, B atau C (Soedarto, 1996).
Salmonella Typhosa memiliki tiga macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Ohne Hauch) : merupakan polisakarida yang sifatnya
spesifik untuk grup Salmonella dan berada pada permukaan
organisme dan juga merupakan somatik antigen yang tidak
menyebar
b. Antigen H : terdapat pada flagella dan bersifat termolabil
c. Antigen Vi : merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi antigen O terhadap fagositosis.

2.3 PATOFISIOLOGI DARI PENYAKIT THIPOID


Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada
dalam usus halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus
(teutama Plak Peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan
peradangan dan nekrose setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran
darah (terjadi bakteremi primer) menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa.
Kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga
organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah
(bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar
limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak Peyer.
Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Pada masa
bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang mempunyai peran
membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini berkembang.
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang
meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat
termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala demam.

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Masa inkubasi rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodroma,
yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak
bersemangat.
5

Kemudian gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :


a. Demam lebih dari 7 hari
Pada kasus tertentu, demam berlangsung selama 3 minggu, bersifatfebris
remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga, suhu badan berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden), lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue, lidah tifoid),
ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen terjadi
splenomegali dan hepatomegali dengan disertai nyeri tekan. Biasanya didapatkan
kondisi konstipasi, kadang diare, mual, muntah, tapi kembung jarang.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
d. Pada punggung terdapat roseola (bintik kemerahan karena emboli basil dalam
kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam).
e. Relaps (kambuh)
ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi
berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi
karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik
oleh obat zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi
basil bersamaan dengan pembentukan jaringan fibrosis.
f. Epitaksis
g. Bradikardi
6

2.5 KOMPLIKASI
Dapat terjadi pada :
a. Di usus halus
Umumnya jarang terjadi, namun sering fatal, yaitu :
1. Perdarahan usus
Diagnosis dapat ditegakkan dengan :
- penurunan TD dan suhu tubuh
- denyut nadi bertambah cepat dan kecil
- kulit pucat
- penderita mengeluh nyeri perut dan sangat iritabel
2. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian
distal ileum.
3. Peritonitis
Pada umumnya tanda gejala yang sering didapatkan:
- nyeri perut hebat
- kembung
- dinding abdomen tegang (defense muskulair)
- nyeri tekan
- TD menurun
- Suara bising usus melemah dan pekak hati berkurang
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu
singkat.
b. Diluar usus halus
- Bronkitis, terjadi pada akhir minggu pertama.
- Bronkopneumonia, kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder
- Kolesistitis
- Tifoid ensefalopati, gejala : kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah,
demam tinggi
- Meningitis, gejala : bayi tidak mau menetek, kejang, letargi, sianosis, panas,
diare, kelainan neurologis.
- Miokarditis
- Karier kronik
6

2.6 PENCEGAHAN
1. Usaha terhadap lingkungan hidup :
a. Penyediaan air minum yang memenuhi
b. Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
c. Pemberantasan lalat.
d. Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
2. Usaha terhadap manusia.
a. Imunisasi
b. Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal
hygiene. (Soeparman, 1987)

2.7 PENATALAKSANAAN
a. Perawatan
1. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk
mencegah komplikasi perdarahan usus.
2. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya
tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.
b. Diet
1. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein
2. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam
selama 7 hari.
c. Obat-obatan
a. Antimikroba :
- Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
- Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
- Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol
400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan dalam
250 ml cairan infus.
8

- Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi


dalam 3 atau 4 dosis.
Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
b. Antipiretik seperlunya
c. Vitamin B kompleks dan vitamin C
d. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat
leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1.Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang
lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2.Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh
biakan darah dapat positif kembali.
3.Vaksinasi di masa lampau
8

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan


antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
4.Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita
typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :
1.Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
2.Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
3.Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
1. Faktor yang berhubungan dengan klien :
§ Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
§ Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam
10

darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5
atau ke-6.
§ Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai
demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti
agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut
§ Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti
mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
§ Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat
menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
§ Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan
kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya
menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H
pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
§ Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan
ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer
yang rendah
§ Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin
terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan
typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
2. Faktor-faktor Teknis
§ Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
§ Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji
widal.
§ Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian
yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain
salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.

2.9 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERITA THIPOID


a. Pengkajian
Pengumpulan data
10

1. Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,
agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosa medik.
2. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-
turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta
penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke
dalam tubuh.
4. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5. Riwayat psikososial dan spiritual
Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang digunakan.
Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring total dan lemah.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan
muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan
sama sekali.
b. Pola eliminasi
Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah
baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan,
hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam
tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak
keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan
tubuh.
c. Pola aktivitas dan latihan
12

d. Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar
tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
e. Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya dan
ketakutan merupakan dampak psikologi klien.
g. Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham
pad klien.
h. Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di
rumah sakit dan klien harus bed rest total.
i. Pola reproduksi dan seksual
Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena harus
dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak
mengalami gangguan.
j. Pola penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena keadaan
sakitnya.
k. Pola tatanilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest total dan tidak
boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang dideritanya saat ini.
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 410 C,
muka kemerahan.
2. Tingkat kesadaran dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
3. Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan


gambaran seperti bronchitis.
4. Sistem kardiovaskuler
12

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.


5. Sistem integument
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
6. Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,
muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,
peristaltik usus meningkat.
7. Sistem musculoskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
8. Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung
serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi
Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas,
terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum
dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia
dengan jumlah lekosit antara 3000 – 4000 /mm3 ditemukan pada fase
demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin.
Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia
terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis
umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju
endap darah meningkat.
2. Pemeriksaan urine
Didapatkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan
lekosit dalam urine.
3. Pemeriksaan tinja
14

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan


usus dan perforasi.
4. Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan
biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.
5. Pemeriksaan serologis
Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun
antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah
antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada
minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif
(lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian
menunjukkan diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi.
6. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi
akibat demam tifoid.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh
pirogen endogen.
2. Diare berhubungan dengan infeksi pada saluran intestinal.
3. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan
diare.
4. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya
salmonella pada tinja dan urine.
5. Konstipasi berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa
intestinal.

Diagnosa Perencanaan
keperawatan keperawatan
Tujuan dan intervensi Rasional
kriteria hasil
1. Hipertermi Suhu tubuh akan 1. Monitor tanda- 1. Infeksi pada
berhubungan kembali normal, tanda infeksi umumnya
dengan gangguan keamanan dan 2. Monitor tanda menyebabkan
hipothalamus kenyaman pasien vital tiap 2 jam peningkatan suhu
oleh pirogen dipertahankan 3. Kompres tubuh
14

endogen. selama pengalaman dingin pada daerah 2. Deteksi resiko


demam dengan yang tinggi aliran peningkatan suhu
kriteria suhu antara darahnya tubuh yang ekstrem,
366-373 0C, RR 4. Berikan suhu pola yang
dan Nadi dalam lingkungan yang dihubungkan dengan
batas normal, nyaman bagi patogen tertentu,
pakaian dan tempat pasien. Kenakan menurun
tidur pasien kering, pakaian tipis pada idhubungkan denga
tidak ada reye pasien. resolusi infeksi
syndrom, kulit 5. Monitor 3. Memfasilitasi
dingin dan bebas komplikasi kehilangan panas
dari keringat yang neurologis akibat lewat konveksi dan
berlebihan demam konduksi
6. Atur cairan iv 4. Kehilangan panas
sesuai order atau tubuh melalui
anjurkan intake konveksi dan
cairan yang evaporasi
adekuat. 5. Febril dan
7. Atur enselopati bisa
antipiretik, jangan terjadi bila suhu
berikan aspirin tubuh yang
meningkat.
6. Menggantikan
cairan yang hilang
lewat keringat
7. Aspirin beresiko
terjadi perdarahan
GI yang menetap.
16

2. Diare Pasien akan 1. Ukur output 1. Menggantikan


berhubungan kembali normal 2. Kompres hangat cairan yang hilang
dengan infeksi pola eliminasinya pada abodmen agar seimbang
pada saluran dengan kriteria 3. Kumpulkan tinja 2. Mengurangi kram
intestinal makan tanpa untuk pemeriksaan perut (hindari
muntah, mual, tidak kultur. antispasmodik)
distensi perut, feses 4. Cuci dan 3. Mendeteksi
lunak, coklat dan bersihkan kulit di adanya kuman
berbentuk, tidak sekitar daerah anal patogen
nyeri atau kram yang terbuka. 4. Mencegah iritasi
perut. dan kerusakan kulit

3. Resiko tinggi Pasien akan bebas 1.Kumpulkan 1. Pengumpulan


infeksi (kontak infeksi dan darah, urine dan yang salah bisa
pasien) komplikasi dari feses untuk merusak kuman
berhubungan infeksi salmonella pemeriksaan sesuai patogen sehingga
dengan adanya dengan kriteria aturan. mempengaruhi
salmonella pada tanda vital dalam 2.Atur pemberian diagnosis dan
tinja dan urine. batas normal, kultur agen antiinfeksi pengobatan
darah, urine dan sesuai order. 2. Anti infeksi harus
feses negatif, hitung 3.Pertahankan segera diberikan
jenis darah dalam enteric precaution untuk mencegah
bataas normal, tidak sampai 3 kali penyebaran ke
ada perdarahan. pemeriksaan feses pekerja, pasien lain
negatif terhadap S. dan kontak pasien.
Thypi 3. Mencegah
4.Cegah pasien transmisi kuman
terpapar dengan patogen
pengunjung yang 4. Membatasi
terinfeksi atau terpaparnya pasien
petugas, batasi pada kuman patogen
pengunjung lainnya.
5.Terlibat dalam 5. Meyakinkan
perawatan lanjutan bahwa pasien
16

pasien diperiksa dan


6.Ajarkan pasien diobati.
mencuci tangan, 6. Mencegah infeksi
kebersihan diri, berulang
kebutuhan makanan
dan minuman,
mencuci tangan
setelah BAB atau
memegang feses.
4. Resiko tinggi Keseimbangan 1.Kaji tanda-tanda 1. Intervensi lebih
kekurangan cairan dan elektrolit dehidrasi dini
cairan tubuh dipertahankan 2.Berikan minuman 2. Mempertahankan
berhubungan Kriteria turgor kulit per oral sesuai intake yang adekuat
muntah dan normal, membran toleransi 3. Melakukan
diare. mukosa lembab, 3.Atur pemberian rehidrasi
urine output normal, cairan per infus 4.Meyakinkan
kadar darah sodium, sesuai order. keseimbangan
kalium, magnesium 4.Ukur semua antara intake dan
dan kalsium dalam cairan output ouput
batas normal. (muntah, diare,
urine. Ukur semua
intake cairan.
18

5. Konstipasi Pasien bebas dari 1.Observasi feses 1.Mendeteksi


berhubungan konstipasi dengan 2.Monitor tanda- adanya darah dalam
dengan invasi kriteria feses lunak tanda perforasi dan feses
salmonella pada dan keluar dengan perdarahan 2.Untuk intervensi
mukosa mudah, BAB tidak 3.Cek dan cegah medis segera
intestinal. lebih dari 3 hari. terjadinya distensi 3.Distensi yang
abdominal tidak membaik akan
4.Atur pemberian memperburuk
enema rendah atau perforasi pada
glliserin sesuai intestinal
order, jangan beri 4.Untuk
laksatif. menghilangkan
distensi
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Demam tifoid (typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever)

merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan

dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan

pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan

kesadaran(Ngastiyah,2005).

Demam tifoid disebabkan karena bakteri salmonella thyposa dan

endotoksinnya merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada

jaringan yang meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah dan akan

mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala

demam.

3.2 Saran

Sebagai tenaga kesehatan, sebaiknya kita memberikan penyuluhan kepada

masyarakat terutama anak-anak supaya menjaga kebersihan, baik kebersihan

lingkungan, makanan, air minum, dan kebersihan diri sendiri.

19
DAFTAR RUJUKAN

Barbara, E. (1998). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.


Marylin, D. E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai