Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH NEGATIF PERKEMBANGAN BUDAYA POPULER

TERHADAP KARAKTER REMAJA INDONESIA

Dery Fauzan Kusumareja

Mahasiswa Pendidikan Seni Musik Universitas Pendidikan Indonesia

Jl. Dr. Setiabudhi No 229 Bandung 40154

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualtitatif mengenai pengaruh negative budaya populer
pada remaja. Budaya populer yang berkembang di Indonesia –terutama budaya impor- mulai dari
budaya Cina, Jepang, Amerika, sampai budaya Korea yang kini melanda remaja Indonesia. Menurut
penelitian, ternyata budaya populer yang berkembang membaa pengaruh buruk terhadap karakter
remaja Indonesia, dan berpotensi mengaburkan jati diri bangsa Indonesia. Yang perlu kita lakukan
adalah melakukan pengawasan dan tindak lanjut mengenai budaya populer yang tengah berkembang di
Indonesia.

Kata kunci: budaya populer


PEMBAHASAN

Budaya Populer

Budaya populer sering digunakan untuk menyebut budaya yang menyenangkan atau banyak disukai
orang. Budaya populer juga dianggap sebagai representasi dari budaya rendah. Dalam arti, budaya
populer bersifat residual dalam mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan
budaya tinggi yang luhur.

Budaya populer seringkali dianggap sebagai produk atau praktik budaya dengan selera rendah. Hal ini
merujuk pada pandangan yang mengatakan bahwa budaya populer merupakan budaya komersial
sebagai dampak dari produksi massal dan industrialisasi, sementara budaya tinggi adalah produk budaya
hasil intelektualitas dan kreativitas individu yang lebih sophisticated (adiluhung).

Meskipun beberapa kalangan mengkritik pemisahan budaya populer dengan budaya tinggi, tetapi
perbedaan diantara keduanya tampak jelas. Kritik terutama ditujukan pada perubahan pandangan
masyarakat pada objek budaya yang sama. Artinya, suatu produk atau praktik budaya bisa ditafsirkan
sangat berbeda ketika berada dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Misalnya, karya-karya
Shakespeare yang saat ini dianggap mewakili budaya tinggi, pada jamannya justru merupakan praktik
budaya populer.

Budaya populer pada konteks tertentu juga didefinisikan (disamakan) sebagai budaya massa, yaitu
budaya yang diproduksi massa untuk dikomsumsi massa. Budaya massa adalah budaya populer yang
dihasilkan oleh industri produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak
konsumen. Budaya massa terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, dan lebih
mengabdi pada kepentingan pemuasan selera rendah.

Budaya populer juga dikaitkan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci, mengacu pada cara
kelompok dominan dalam suatu masyarakat mempengaruhi dan mendapatkan dukungan dari kelompok
subordinat melalui proses kepemimpinan (jika tidak boleh disebut teladan), intelektual, dan moral atas
praktik-praktik budaya. Gramsci menegaskan terdapat pertarungan ideologis dalam masyarakat, dimana
kelompok-kelompok subordinat melakukan perlawanan secara terus-menerus terhadap kekuatan
dominan, sehingga menghasilkan resistensi dan konsensus yang saling berkelindan dan tumpang tindih.

Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, pada dasarnya sangat rumit, terutama karena konsep tersebut
masih diperdebatkan. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John
Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, menyatakan bahwa budaya populer juga
didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah menetapkan apa yang disebut sebagai
budaya tinggi. Namun kenyataannya banyak karya dan praktik budaya yang melampaui dikotomi ini,
misalnya Shakespeare. Suatu pendekatan post-modernisme pada budaya populer bahkan tidak lagi
mengenali perbedaan antara budaya populer dan budaya tinggi.

Perkembangan Budaya Populer

Pada awalnya, kajian tentang budaya populer tidak dapat dipisahkan dari peran Amerika Serikat dalam
memproduksi dan menyebarkan budaya Populer. Negara tersebut telah menanamkan akar yang sangat
kuat dalam industri budaya populer, antara lain melalui Music Television (MTV), McDonald, Hollywood,
dan industri animasi mereka (Walt Disney, Looney Toones, dll). Namun, perkembangan selanjutnya
memunculkan negara-negara lain yang juga berhasil menjadi pusat budaya populer seperti Jepang,
Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan.

Dadang Rusbiantoro dalam buku Generasi MTV (Dadang, 2008:190) juga menyatakan bahwa MTV –
terutama pada Indonesia- membawa sangat banyak pengaruh. Budaya MTV yang pada kalanya menjadi
bagian dari budaya populer remaja Indonesia sangat berpengaruh. Baik disadari maupun tidak, budaya
populer dan media massa membawa pengaruh sangat besar terhadap remaja. Dadang menyatakan
bahwa remaja merupakan sebuah bentuk kontradiktif antara sebagai pengungkapan ekspresi diri sendiri
dan juga sebagai padang rumput yang subur bagi produsen komersial.

Menurut Nissim Kadosh Otmazgin, peneliti dari Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto
University, Jepang sangat sukses dalam menyebarkan budaya populernya. Ia mengemukakan bahwa,
“Selama dua dekade terakhir, produk-produk budaya populer Jepang telah diekspor, diperdagangkan,
dan dikonsumsi secara besar-besaran di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara”. Manga (komik Jepang),
anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama) merupakan contoh-contoh
budaya populer Jepang yang sukses di berbagai negara.

Setelah Jepang, menyusul Korea Selatan yang melakukan ekspansi melalui budaya populer dalam bentuk
hiburan. Amerika Serikat sebagai negara asal budaya pop juga mendapat pengaruh penyebaran budaya
pop Korea tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masuknya beberapa artis Korea ke Hollywood. Di samping
itu, film-film Korea juga menjadi magnet bagi sutradara Hollywood untuk melakukan re-make film Korea,
salah satunya Il Mare yang ceritanya diadopsi Hollywood menjadi Lake House. Kasus di Amerika Serikat
tersebut menjadi contoh keberhasilan ekspansi budaya populer Korea di dunia.

Proses penyebaran budaya Korea di dunia dikenal dengan istilah Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau
Korean Wave (“Gelombang Korea”) adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea
secara global di berbagai negara di dunia. Pada umumnya Hallyu mendorong masyarakat penerima
untuk mempelajari bahasa Korea dan kebudayaan Korea,hingga akhirnya budaya tersebut masuk ke
Indonesia dan melahirkan musisi ternama.

Budaya Populer di Indonesia


Budaya sedikit banyak mempengaruhi unsur-unsur manusia dalam menjalani kehidupannya. Dahulu,
orang-orang berpergian menggunakan delman. Dan beberapa tahun kemudian, orang-orang berpergian
menggunakan taksi, mobil atau kendaraan umum.

Dahulu sekali, orang mendengarkan musik menggunakan gramophone atau piringan hitam. Kini orang-
orang mendengarkan musik menggunakan telepon genggam atau mp3 player, dimana segala
sesuatunya menjadi mungil dan mudah dibawa kemana-mana.

Demikian juga dalam dunia pendidikan. Dulu sekali para murid menulis menggunakan papan hitam kecil
berupa batu tulis, kemudian setelah kertas ditemukan mereka menulis menggunakan buku. Masa
dewasa ini, tidak hanya buku saja yang digunakan. Para siswa bisa menulis menggunakan komputer,
laptop hingga tablet.

Bila tidak mengikuti arus perkembangan jaman dan mengikuti budaya populer, seseorang dikatakan
kuno dan ketinggalan jaman. Dan parahnya lagi, orang tidak memiliki persepsi yang sama mengenai apa
itu budaya populer. Pada umumnya mereka hanya ikut-ikutan semata tanpa memahami segi positif atau
negatif dari suatu budaya populer.

Dalam kalangan para pelajar, budaya populer sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan mereka sehari-hari. Setelah demam Korea mewabah, sapaan,”Annyong Haseiyo!”, mulai
merebak dan terdengar dimana-mana. Saat demam budaya Cina mewabah, semuanya saling
menyemangati dalam bahasa Cina yaitu,”Jia you!”. Saat budaya Jepang mulai dikenal, semuanya lalu
mulai mengatakan maaf dalam bahasa tersebut, yaitu,”Gomenasai!”.

Sementara itu bahasa asli, bahasa ibu dan bahasa daerah negeri sendiri terlupakan. Pembicaraan bahasa
Indonesia yang menggunakan EYD telah lama hilang dan tergantikan dengan bahasa SMS yang lebih
singkat atau dikenal pula dengan bahasa alay. Seperti misalnya,” !tU T@eMiN mUk4NyA S4m@ aJa……
t4p! KL0 y4nG L4!n 4g@K bEd4 D`k!t SaMa MuK@ Y4nG d! M4kE-Up….T4p! tETep GaNt3nG”, dan lain
sebagainya.

Budaya populer tampak menjadi pedang dengan dua sisi. Satu sisi memperkaya budaya sendiri dan sisi
lain merusak budaya asli itu sendiri.

Pengaruh Budaya Populer Terhadap Remaja

Seperti yang sudah dibahas pada bagian Budaya Populer di atas, istilah budaya populer itu sendiri
kadang didefinisikan sebagai “budaya rendahan”, yang berlawanan dengan budaya tinggi. Hal ini
disimpulkan dari tinjauan bahwa budaya populer tidak memiliki beberapa unsur yang dimiliki budaya
tinggi, yaitu intelektualitas, adiluhung, dan sophisticated.

Seperti yang dibahas oleh Cyntia Rachmijati dalam artikelnya mengenai pengaruh budaya pop
(https://cynantia.wordpress.com/2013/10/21/pengaruh-budaya-populer-pada-pendidikan/), budaya
populer memiliki beberapa karakteristik khusus. Beberapa karakteristik ini –baik mau atau tidak mau,
akan terserap pada individu atau kelompok yang turut mengikuti perkembangan budaya populer,
walaupun tidak kesemuanya.
Beberapa karakteristik yang diungkapkan oleh Cyntia adalah sebagai berikut:

1. Pragmatisme: dalam budaya populer segala sesuatunya diterima meskipun belum tentu
menghasilkan suatu manfaat yang berguna.

2. Hedonisme: dalam budaya populer lebih mengacu kepada kepuasan emosi daripada kepuasan
secara intelek.

3. Materialisme: dikenal pula sebagai budaya McWorld dimana materi, uang dan mencari kekayaan
adalah hal yang terpenting.

4. Banalisme: dikenal juga sebagai kedangkalan, dimana teknologi mempermudah segala sesuatunya
namun juga menjadi kehilangan makna hidup.

5. Konsumerisme: budaya popular erat kaitannya dengan konsumerisme. Orang lebih


mengutamakan nama, merk dan gengsi daripada kegunaan atau fungsi dari sesuatu.

Sebagian besar dari karakteristik tersebut, walaupun sebenarnya dapat dihindari, akan mempengaruhi
karakter individu atau kelompok yang mengikuti perkembangan budaya populer. Jika perkembangan
budaya populer di Indonesia terus berkembang tanpa diawasi, masyarakat –terutama remaja- akan
memiliki karakter-karakter tersebut. Para remaja akan memiliki pola pikir yang banal, akan menyerap
sifat materialistis, konsumerisme, hedonisme, dan banyak pengaruh –yang menurut penulis- negatif.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Seperti yang kita lihat bahwa perkembangan budaya populer sangat merebak dan sangat susah
dihindari. Salah satu hal yang sangat penulis sayangkan adalah budaya populer yang berkembang di
Indonesia justru merupakan budaya impor yang diimpor dengan lebih mengutamakan kepentingan
materialism, tanpa memikirkan pengaruh-pengaruh negative dari budaya tersebut. Remaja yang
menyerapnya juga cenderung langsung menyerapnya secara pragmatis dan banal. Jika hal demikian
terus berkembang tanpa pengawasan dan tindak lanjut, pengaruh-pengaruh negative yang terkandung
dalam budaya populer akan terserap ke dalam kepribadian remaja, dan yang lebih parah lagi, akan
berpengaruh buruk terhadap jati diri bangsa kita, bangsa Indonesia.

Saran
Sebagai orang yang mengerti perihal budaya populer dan pengaruh buruknya, kita harus melakukan
pengawasan dan tindak lanjut terhadap budaya populer yang diindikasi akan membawa pengaruh
negative yang berkembang di Indonesia. Dengan itu, kita akan membantu mereduksi pengaruh negative
yang terbawa, atau bahkan menghilangkannya.

Daftar Pustaka

Rusbiantoro, Dadang. (2008). “Generasi MTV”. Yogyakarta: JALASUTRA.

Rachmijati, Cynantia. (2013). “Pengaruh Budaya Populer Pada Pendidikan”. [Internet]. Tersedia:
https://cynantia.wordpress.com/

Fathulnuddin. (2013). “Pengaruh Budaya Pop Pada Pergaulan Remaja”. [Internet]. Tersedia:
https://fathulnuddin.wordpress.com/

Surya University. (2010). “Definisi Budaya Populer”. [Internet]. Tersedia: http://prasasti.com/

Anda mungkin juga menyukai