Anda di halaman 1dari 3

Saya coba memandang dari sudut lain yang saya kira ini cara unik bumi

berkomunikasi dengan manusia, khususnya ketika berbagai kerusakan


telah diperbuat manusia. Pandemi ini sebetulnya merupakan momentum
luar biasa bagi umat manusia untuk melakukan refleksi dan evaluasi
tentang cara pandang dan tindakannya terhadap alam secara keseluruhan,
baik kepada populasi tanaman, populasi hewan, khususnya satwa liar,
maupun ekosistem hutan dan laut kita.

Ekosistem alamiah seperti hutan dan lautan selama ini cenderung 


dipandang dan diposisikan sebagai ATM yang terus digesek (ditebang dan
dieksploitasi). Padahal, fungsinya beragam. Ia menyediakan udara bersih,
air, aneka tumbuhan obat, buah, dan beragam bahan baku pangan. Juga
menjaga iklim bumi agar tetap nyaman untuk berjalannya kehidupan.

Namun, ada aspek penting yang manusia lupa, ekosistem alamiah juga
merupakan rumah atau habitat berbagai satwa liar dan aneka bakteri serta
virus. Ketika pohon-pohon ditebang, aneka satwa liar mati, berbagai bakteri
dan virus akan mencari inang baru yakni manusia.

Ketika ekosistem alami hutan dan laut dirusak, kualitas hidup menurun
drastis. Pencemaran air dan udara naik tajam. Kondisi kualitas hidup dan
kesehatan seperti ini menjadikan manusia menjadi semakin rentan
terhadap serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus.

Dari berbagai kajian, kita mendapatkan informasi bahwa kualitas udara


juga menjadi salah satu faktor penentu tingkat kematian Covid-19. Covid-
19 menyebar cepat di lingkungan dengan kualitas udara buruk. Belajar dari
berbagai kesalahan tersebut, manusia perlu mengubah cara pandang
menuju cara pandang yang lebih bersahabat dengan alam.

Kemunculan virus Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang


menyebar begitu cepat telah mengguncang hampir seluruh negara di
dunia, termasuk di Indonesia. Pandemi COVID-19 telah memberi imbas
pada hampir semua sektor kehidupan manusia. Kehidupan manusia
yang selama ini diakui sebagai “kehidupan normal” telah terporak-
porandakan, tidak hanya pada sektor kesehatan dan ekonomi secara
global, namun juga termasuk perubahan cara hidup. Lalu benarkah
keberadaan virus ini terhubung dengan kerusakan lingkungan hidup dan
sumber daya alam? Apakah kehadiran virus ini juga terhubung dengan
krisis iklim yang hingga saat ini terus menjadi perhatian para ahli dan
pemerhati lingkungan?
COVID-19 merupakan patogen ganas yang menyerang tanpa mengenal
suku, agama, ras, golongan, usia, kelas sosial, jenis kelamin, bahkan
negara maju maupun berkembang terpapar tanpa ampun. Meskipun
pandemi di sebagian wilayah telah menunjukkan penurunan bahkan nol
kasus baru, namun secara umum masih memperlihatkan perkembangan
yang memprihatinkan. Angka infeksi di sejumlah negara masih terus
mengalami lonjakan. Berdasarkan data yang dilansir langsung
dari Center for Systems Science and Engineering (CSSE) pada Johns
Hopkins University, hingga Kamis, 12 Juni 2020 pukul 02:33, total
jumlah kasus positif corona di dunia telah mencapai 7.297.059 orang.
Dari sejumlah kasus positif terkonfirmasi tersebut, angka kematian
pasien positif corona di dunia saat ini sudah mencapai 413,237 orang
(Johns Hopkins University. 2020).
Sejak kemunculan pertamanya di Wuhan, Tiongkok pada Desember
2019, penularan virus SARS-CoV-2 begitu cepat dan nyaris tidak ada
satu negara pun yang dapat menghindarinya (Prem K. et all., 2020).
Banyak virus corona terkait SARS-CoV ditemukan pada kelelawar,
bahkan investigasi sebelumnya telah menunjukkan bahwa beberapa
kelelawar SARS-CoV mungkin dapat menginfeksi manusia (Soufi, G.J.
et all., 2020). Dalam penelitiannya, Wenti Dwi Febriani, et all. (2020)
telah mendokumentasikan bahwa kelelawar diketahui membawa virus
corona ke beberapa negara, Hasil penelitiannya membuktikan bahwa
dari 95 sampel kelelawar, 24 di antaranya sebagai dugaan positif untuk
virus corona (Bat CoV). Selanjutnya delapan dari 24 sampel dianalisis
dengan sequencing nukleotida dan dikonfirmasi sebagai Bat CoV.
Penelitiannya juga menunjukkan bahwa kelelawar adalah reservoir
untuk virus yang dimiliki berpotensi zoonosis dan berpotensi menjadi
patogen berbahaya bagi kesehatan manusia. Berdasarkan kondisi
tersebut maka penanganan virus ini tidak bisa dilakukan secara
serampangan. Tidak hanya ditopang dengan fasilitas medis, sosialisasi,
dan edukasi yang masif, bahkan hingga melakukan rekayasa sosial,
akan tetapi juga termasuk melakukan pembenahan di bidang lingkungan
hidup.
Penularan penyakit dari satwa liar kepada manusia memang bukan hal
yang baru. Mulai dari AIDS, ebola, SARS, MERS, hingga kini SARS-
CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 dan menjadi pandemi global.
Semua penyakit itu mulanya berasal dari hewan (zoonosis). Satwa liar
telah menjadi sumber penyakit menular yang baru. Dalam sebuah
diskusi online bertajuk “Covid-19 and Our Relationship with Wildlife”,
(Kompas.com, 22/4) Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID
Indonesia, Matthew Burton menyebutkan 60 persen Emerging Infectious
Disease (EID) berasal dari hewan dan 70 persen EID berasal dari satwa
liar. Matthew mencontohkan HIV diketahui berasal dari simpanse.
Deforestasi sangat berkaitan dengan virus Ebola, karena kontak
manusia yang semakin dekat dengan satwa liar. Di hutan Amazon,
deforestasi meningkatkan prevalensi penyakit malaria karena hutan
gundul menjadi habitat ideal untuk nyamuk. Ini artinya perlakuan
manusia terhadap lingkungan sangat berkaitan dengan respon dari alam
(Nursastri, 2020).
 Bahan diskusi

Bagaimana kerusakan lingkungan terkait dengan pola transmisi penyakit menular

( covid19)?

Bagaimana kaitan zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan) dengan pencairan es?

Sebelum pandemi Covid-19, adakah contoh kasus penularan penyakit yang berhubungan

dengan perubahan iklim atau kerusakan lingkungan?

Anda mungkin juga menyukai