Anda di halaman 1dari 14

LINGKUNGAN KESEHATAN GLOBAL

PENYAKIT MENULAR DAN LINGKUNGAN

KELOMPOK 4

Aan Edison (2006559470)


Arif Purnomo Aji (2006505291)
Desy Shinta Dewi (2006505373)
Irene Tenriana Kenia (2006505713)
Nur Fatimah (1906430610)
Okti Fitmala Sari (1906336220)
Pramita Puspaningtyas (2006560125)
Reny Widyasari (2006560195)

PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK

202
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pandemi yang disebabkan virus dapat terkait dengan kerusakan lingkungan dan
perubahan iklim. Jika keseimbangan ekosistem terganggu, risiko paparan virus terhadap manusia
pun kian tinggi. Perubahan habitat alamiah hewan akan mempertinggi potensi virus yang selama
ini berinang pada hewan untuk pindah ke inang baru, yang bisa jadi adalah manusia. Di samping
itu, perilaku manusia mengonsumsi satwa liar meningkatkan risiko perpindahan virus dari hewan
ke manusia. Ekosistem alamiah seperti hutan dan lautan selama ini cenderung dieksploitasi
secara berlebih. Padahal, fungsinya sangat penting seperti menyediakan udara bersih, air, aneka
tumbuhan obat, buah, dan beragam bahan baku pangan. Juga menjaga iklim bumi agar tetap
nyaman untuk berjalannya kehidupan.

Namun, ada beberapa aspek penting yang kita sering lupa, ekosistem alamiah merupakan
rumah atau habitat berbagai satwa liar dan aneka bakteri serta virus. Ketika pohon-pohon
ditebang, aneka satwa liar mati, berbagai bakteri dan virus akan mencari inang baru yakni
manusia. Ketika ekosistem alami hutan dan laut dirusak, kualitas hidup menurun drastis.
Pencemaran air dan udara naik tajam. Kondisi kualitas hidup dan kesehatan seperti ini
menjadikan manusia menjadi semakin rentan terhadap serangan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri dan virus.

Dari berbagai kajian, kita mendapatkan informasi bahwa kualitas udara juga menjadi
salah satu faktor penentu tingkat kematian Covid-19. Covid-19 menyebar cepat di lingkungan
dengan kualitas udara buruk. Belajar dari berbagai kesalahan tersebut, manusia perlu mengubah
cara pandang menuju cara pandang yang lebih bersahabat dengan alam.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kerusakan lingkungan terkait dengan pola transmisi penyakit menular


(covid-19)?

2. Bagaimana kaitan zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan) dengan pencairan es?
3. Sebelum pandemi Covid-19, adakah contoh kasus penularan penyakit yang berhubungan
dengan perubahan iklim atau kerusakan lingkungan?

1.3 Ruang Lingkup

1. Hubungan kerusakan lingkungan dengan pola transmisi penyakit menular (Covid-19)

2. Hubungan zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan) dengan pencairan es

3. Contoh kasus penularan penyakit yang berhubungan dengan perubahan iklim atau kerusakan
lingskungan.

BAB II

1. Bagaimana kerusakan lingkungan terkait dengan pola transmisi penyakit menular


(covid-19)?

Tak lama setelah merebaknya penyebaran virus Corona di Wuhan, Cina akhir Desember
2019 mulai bermunculan teori konspirasi yang menyatakan, virus diciptakan di laboratorium di
Cina. Tapi konsensus ilmiah mengatakan, virus SARS-CoV-2 adalah penyakit yang berasal dari
hewan dan menular ke manusia. Kemungkinan penyakit berasal dari kelelawar, kemudian
menyebar melalui hewan mamalia lainnya.
Walaupun tidak dibuat di laboratorium, bukan berarti manusia tidak berandil apapun dalam
pandemi yang sedang berlangsung. Studi terbaru oleh ilmuwan dari Australia dan AS
menemukan, tindakan manusia terhadap habitat alamiah, hilangnya keanekaragaman hayati dan
perusakan ekosistem ikut menyebabkan penyebaran virus. Jumlah penyebaran penyakit menular
meningkat lebih dari tiga kali lipat setiap dekade sejak tahun 1980-an. Lebih dari dua pertiga
penyakit ini berasal dari hewan, dan sekitar 70% dari jumlah itu berasal dari hewan liar. Penyakit
menular yang kita kenal misalnya: Ebola, HIV, flu babi dan flu burung, adalah penyakit yang bisa
menular dari hewan ke manusia. COVID-19 juga menyebar luas dengan cepat akibat
populasi dunia yang semakin terhubung erat.
Deforestasi dan perusakan habitat
Di sejumlah kasus, ilmuwan sudah berhasil mengungkap, jika hewan di bagian atas rantai
makanan punah, hewan di bagian bawah, seperti tikus yang membawa lebih banyak patogen,
mengambil tempat di bagian atas rantai makanan. “Tiap spesies punya peran khusus dalam
ekosistem. Jika sebuah spesies mengambil tempat spesies lain, ini bisa berdampak besar
dalam hal risiko penyakit. Dan kerap kita tidak bisa memperkirakan risikonya,“ demikian
dijelaskan Alica Latinne dari Wildlife Conservation Society.
Perdagangan hewan liar
Dalam UNEP Frontier Report 2016 disebutkan, salah satu kekhawatiran yang muncul
dari lembaga internasional, yang mengurusi program lingkungan adalah penyakit zoonosis.
Pada abad ke-20, telah terjadi peningkatan drastis penyakit menular, sekitar 75 persen
merupakan penyakit zoonosis yang bersumber dari hewan.
Will Steffen, dkk. menyebut perubahan lingkungan hidup global sebagai the Great
Acceleration. Momen penanda masuknya Bumi pada era Antroposen, manusia sebagai agen
utama yang mengubah sistem Bumi secara signifikan. Akibatnya, Bumi kehilangan
kestabilan, mengarah pada kondisi terra incognita (tidak diketahui tujuannya).
Antroposen menunjukkan keterbatasan hukum lingkungan, mencegah manusia tidak
melewati batas-batas ekologis yang dapat merusak sistem Bumi itu sendiri. Pada konteks
COVID-19, tidak bekerjanya hukum lingkungan berakibat terjadinya perusakan habitat alami
satwa liar beserta perdagangan ilegal. Pada gilirannya, memungkinkan terjadinya perpindahan
penyakit dari satwa liar ke tubuh manusia. COVID-19 harus dilihat sebagai bagian kecil
Antroposen.

2. Bagaimana kaitan zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan) dengan


pencairan es?

Penyebaran penyakit dari hewan ke manusia seperti 2019-nCoV, SARS, dan MERS
disebut penyakit zoonosis. Setidaknya ada 80 persen penyakit menular pada manusia bersumber
dari hewan. Sementara sekitar 75 persen penyakit baru pada manusia disebabkan oleh mikroba
yang berasal dari hewan. Perubahan demografi dan perubahan ruang hidup seperti penggundulan
hutan juga menjadi penyebab meningkatnya kontak antara satwa liar dan manusia. Misal
hilangnya karnivora penyantap hewan pengerat membuat agen penyebar penyakit seperti
leptospirosis (virus melalui air seni hewan yang terinfeksi).

Ada istilah yang sedang dikaji oleh banyak ilmuan saat ini, yaitu permafrost. Dalam
geologi, permafrost adalah tanah yang berada di titik beku pada suhu 0 derajat celsius.
Permafrost umumnya terletak di tanah yang dekat dengan kutub utara dan selatan. Tanah es
menyumbang 0,022 persen dari total volume air dan ada dalam 24 persen lahan terbuka di
belahan bumi utara.
Seiring meningkatnya suhu bumi, sejumlah permafrost mencair. Sudah banyak penelitian
ilmiah bahwa permafrost ini adalah tempat berlindungnya bakteri dan virus yang memang sudah
ada sejak ribuan atau jutaan tahun. Bahkan, ada peneliti yang menemukan bahwa ditemukan
mikroba berusia 400 ribu tahun dari lapisan permafrost yang mencair. Kuman yang sudah
dorman (terhambat sementara perkembangannya) itu jika tempat tinggalnya rusak, tentu dia akan
beradaptasi mencari inang yang baru. Biasanya adalah satwa liar. Interaksi antara satwa dan
manusia bisa menjadikan sarana untuk adanya “transfer inang”.Perlu dicatat, kelelawar diketahui
memiliki 60 jenis virus termasuk virus korona. Kita ketahui kelelawar umumnya tinggal di gua,
kawasan ekosistem karst, dan alam terbuka. Mereka adalah inang yang baik, tapi kemudian
terjadi gangguan keseimbangan habitat yang disebabkan manusia. Maka terjadilah zoonosis
tersebut. Ekosistem alami merupakan tempat atau hunian (habitat) berbagai makhluk, termasuk
bakteri dan virus. Bila ekosistem alami tersebut terganggu karena dieksploitasi oleh manusia,
bakteri dan virus akan mencari inang baru (manusia) untuk tempat tinggalnya.

Sebuah studi menunjukkan, mencairnya es di Kutub Utara akan menyebabkan virus di


sekitar wilayah kutub utara. Virus tersebut akan berdampak pada bagi berang-berang, anjing laut,
dan singa laut di sekitar Kutub Utara. PDV (Phocine distemper virus) umumnya ditemukan
akibat mencairnya es di wilayah utara Laut Atlantik. Akan tetapi, virus tersebut baru-baru ini
juga ditemukan di beberapa mamalia di wilayah utara Laut Pasifik. Dalam penelitian yang telah
dilakukan selama 15 tahun itu, menemukan, PDV dapat membunuh beberapa spesies. Penelitian
yang dilakukan menggunakan satelit itu menelusuri, ketika es Kutub Utara mencair, maka
beberapa mamalia akan mudah bergerak dari Laut Atlantik ke Laut Pasifik (Pádraig J. Duignan,
2014).Wabah pertama tersebut telah menewaskan sekitar 18.000 anjing laut di Laut Utara dan
Laut Baltik. Kemudian, epidemi lainnya terjadi pada tahun 2002 di Laut Utara. Pada peristiwa
kedua ini diperkirakan setengah populasi di wilayah tersebut.

Meningkatnya temperatur global secara terus-menerus telah mengakibatkan es di Kutub


Utara maka akan menyebabkan es mencair. Hal itu telah membuka jalur laut baru yang selama
ribuan tahun sebelumnya tidak dapat dijamah. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change) menyatakan, antara tahun 1979 dan 2018, pencairan es di Laut Kutub Utara mencapai
12,8 persen setiap dekadenya.Hal itulah yang diperkirakan menjadi proses penyebaran virus.
Ketika para hewan itu bergerak dan berinteraksi dengan spesies lain. Saat itulah mereka
dimungkinkan menyebarkan virus tersebut. Gejala hewan terinfeksi PDV diantaranya adalah
kesulitan bernafas, demam, dan serangan pada sistem saraf. Kasus tersebut pertama kali
ditemukan pada akhir 1980-an. Peristiwa itu terjadi dimulai pada anjing laut yang terkurung di
daratan Danau Baikal, Siberia.

3. Sebelum pandemi Covid-19, adakah contoh kasus penularan penyakit yang berhubungan dengan
perubahan iklim atau kerusakan lingkungan?

Penyakit menular terutama yang sensitif terhadap iklim akan sangat terpengaruh ketika perubahan iklim
terjadi. Perubahan iklim akan membuat suhu meningkat, curah hujan meningkat dan begitu juga
kelembaban. Iklim mempengaruhi pola penyakit infeksi dalam hal virus, bakteri atau parasit dan
vektornya. Pajanan terhadap penyakit menular oleh air bisa terjadi melalui kontak manusia terhadap
sumber air yang terkontaminasi; termasuk air minum, dan makanan. Hal ini merupakan akibat dari ulah
manusia, seperti saluran pembuangan yang tidak sesuai atau karena cuaca. Curah hujan meningkat juga
mempengaruhi transport dan diseminasi agen infeksius, suhu akan mempengaruhi perkembangbiakan dan
kelangsungan hidupnya. Gambar di bawah berikut menunjukkan beberapa contoh penyakit yang muncul
karena adanya perubahan iklim lingkungan.

Beberapa contoh penyakit yang timbul akibat kerusakan lingkungan:

Penyakit Ebola
Pertama kali ditemukan di Afrika, daerah selatan Sudan dan Zaire pada tahun 1976, inang atau reservoir
virus Ebola belum dapat dipastikan tetapi diketahui bahwa kelelawar buah adalah salah satu inang virus
Ebola. virus ini juga dideteksi pada daging simpanse, gorila, dan kijang liar. Penyakit ini dikatakan
sebagai zoonosis; menular dari hewan terinfeksi ke manusia.

Penyakit Lyme

Di Amerika Serikat penyebaran penyakit Lyme merupakan hasil dari pengurangan dan fragmentasi hutan
yang menyebabkan penurunan besar pada predator, yang menyebabkan peningkatan berikutnya pada
tikus putih, yang merupakan reservoir penyakit menular. ditransmisikan oleh kutu yang menginfeksi
hewan mamalia hutan. Sebagian besar bakteri berakhir pada bangkai hewan. Komunitas diverse dapat
membatasi jumlah kutu (ticks) yang membawa penyakit untuk ditularkan kepada manusia; disebut juga
dilution effect. Kehilangan biodiversity akan meningkatkan resiko penularan penyakit dari hewan liar ke
manusia.

Penyakit Diare

Diare merupakan penyebab signifikan kesakitan dan kematian secara global. Dua juta anak-
anak meninggal setiap tahunnya di negara dengan penduduk berpenghasilan menengah ke bawah
walaupun sudah ada peningkatan penggunaan oralit untuk terapi. kematian tersebut
berhubungan dengan pemakaian air yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang tidak memadai.
Walaupun demikian, diare masih menjadi masalah di negara dengan penduduk berpenghasilan
menengah ke atas, karena diare tidak hanya berhubungan dengan higiene dan sanitasi
lingkungan, tetapi juga berhubungan dengan praktik higiene dan keamanan pangan.

Perubahan iklim berdampak terhadap penyakit diare, seperti kolera, karena perubahan curah
hujan yang menyebabkan banjir di musim penghujan yang berakibat epidemi dan sebaliknya,
terjadi kekeringan dimusim kemarau. Perubahan ini berdampak terhadap penyediaan air bersih
dan sanitasi yang adekuat, juga tersedianya makanan yang higienis dan kemampuan menerapkan
praktik higiene yang baik pada tempatnya.

Dampak Perubahan Iklim dan Penyakit Menular

Perubahan iklim mencakup pergantian dalam satu atau lebih variasi iklim termasuk suhu,
curah hujan, angin, dan sinar matahari. Perubahan ini dapat berdampak pada kelangsungan
hidup, reproduksi, atau distribusi penyakit sehingga patogen dan inang bertransmisi sesuai
dengan ketersediaan sarana lingkungan mereka. Dr. Richard Williams menyatakan, memang
belum ada bukti yang jelas bahwa perubahan iklim mempengaruhi frekuensi virus secara
langsung, namun terdapat bukti yang kuat bahwa kombinasi dari perubahan iklim dan aktivitas
manusia lainnya mengganggu stabilitas ekologi kelelawar, dan inang penyakit lainnya (Derby,
2020).
McMichael, et all., (2003) dalam bukunya yang berjudul Climate Change and Human
Health: Risk and Responses menyebutkan bahwa sejak sejak akhir abad kesembilan belas,
sesungguhnya manusia telah menyadari bahwa perubahan iklim mempengaruhi munculnya
penyakit pandemi, bahkan sebelum agen infeksinya ditemukan. Sejarah mencatat bahwa setiap
musim panas bangsawan Romawi mundur ke bukit resor untuk menghindari malaria. Orang Asia
Selatan belajar sejak dini untuk mengurangi makanan kari di saat musim panas yang tinggi,
meskipun saat itu itu belum diketahui pasti bahwa kari dapat menyebabkan diare. Secara
keseluruhan, kondisi iklim geografis mendorong distribusi penyakit menular musiman. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa pemanasan iklim jangka panjang cenderung mendukung
ekspansi geografis beberapa penyakit menular (Epstein et al., 1998; Ostfeld dan Brunner, 2015;
Rodó et al., 2013). Peristiwa cuaca ekstrem dapat membantu menciptakan peluang lebih besar
untuk munculnya wabah penyakit (Haines, et all. 2000).

Penelitian telah menunjukkan bahwa perubahan iklim menggeser siklus kehidupan


spesies, baik yang hidup di darat maupun di laut. Perubahan iklim memungkinkan untuk
memperpanjang musim penularan dari penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor dan
mengubah jangkauan geografisnya. Jika, di masa depan, kita melihat spesies bergerak ke daerah
di mana manusia lazim tinggal, namun sekarang kita bisa melihat peluang baru untuk pandemi
berkembang. Hal ini terjadi, karena ketika suhu meningkat dan tingkat curah hujan berubah,
beberapa spesies dipaksa untuk mencari daerah baru dengan kondisi iklim yang dapat mereka
toleransi, sementara spesies yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Prof. Hans-Otto Poertner,
Kepala Biosains di Alfred Wegener Institute (AWI) dan Ketua Bersama dari IPCC (Dunne,
2020) menyampaikan bahwa perubahan iklim jelas menjadi salah satu faktor yag mempengaruhi
hubungan manusia dan satwa. Setiap penyakit bawaan hewan dapat disebabkan oleh:

1. interaksi antara manusia dengan satwa liar

2. kemungkinan perubahan iklim dan

3. gangguan keanekaragaman hayati.

Peristiwa-peristiwa tersebut berperan menentukan frekuensi, lama waktu, dan lokasi


terjangkitnya penyakit. Sejalan dengan itu, Prof. Birgitta Evengard, seorang peneliti senior
penyakit menular di Universitas Umea, Swedia mengungkapkan bahwa sangat mungkin
pergerakan spesies akan memiliki konsekuensi bagi kesehatan manusia. Menurutnya, ketika
hewan darat bergerak, mereka membawa serta virus mereka, dan mereka akan menyebarkannya.

Menyelamatkan Masa Depan dari Pandemi Melalui Pendidikan Lingkungan

Wabah penyakit menular dari hewan ke manusia mengalami peningkatan beberapa tahun
terakhir (Cunningham, 2020). Kemunculan wabah tak lepas dari kerusakan alam yang masif di
berbagai belahan dunia. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan monokultur, industri, dan
tambang, tak cuma berdampak pada hilangnya habitat satwa liar, tapi juga pada ketersediaan air
bersih, kebersihan udara, dan kemampuan daya dukung tanah. Sementara itu, hewan-hewan liar
yang membawa patogen yang sebelumnya terlindungi, kini menjadi semakin terekspos manusia,
bahkan berinteraksi secara langsung.

Walaupun kemunculan dan penyebaran COVID-19 ini tidak dapat diprediksi secara
cepat, akan tetapi sudah dapat dipastikan bahwa kemunculan virus lain dari satwa liar sangat
mungkin terjadi. Terlebih lagi jika manusia tidak mengubah perlakuannya terhadap lingkungan
alam. Kondisi ini tentunya menjadi ancaman kesehatan bagi manusia di seluruh penjuru dunia.
Oleh karena itu memunculkan kesadaran pada setiap individu untuk mulai memperbaiki
hubungan antara dirinya dengan lingkungan, adalah persoalan yang mendesak.

COVID-19 telah mengajarkan kita dampak pandemi dan mengingat kondisi lingkungan
dunia saat ini, perlu kiranya memperluas pendidikan lingkungan guna menemukan strategi yang
tepat untuk memperbaiki dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Mengenalkan pendidikan
lingkungan terhadap anak-anak sedini mungkin diharapkan dapat menciptakan agent of change
di masa yang akan datang. Hadirnya lingkungan yang baik akan membuat kita memiliki lebih
banyak sumber daya untuk membangun strategi mitigasi dan adaptasi terhadap munculnya
wabah di masa yang akan datang.

Pendidikan lingkungan hidup adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di
dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total dan segala masalah yang berkaitan
dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan tingkah laku,
motivasi serta komitmen untuk bekerja sama, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk
dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah
baru. (UNESCO, Deklarasi Tbilisi, 1977). Telah banyak bentuk kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan
keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup, baik secara formal maupun nonformal. Sejak
tahun 1986 hingga sekarang, pendidikan lingkungan hidup dimasukkan ke dalam kurikulum
pendidikan formal yang dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah dasar dan menengah. Tujuannya adalah untuk
pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup sejak dini untuk hidup yang
berkelanjutan. Sosialisasi tentang pentingnya menjaga lingkungan, baik dalam bentuk kampanye
maupun gerakan nyata telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga nasional dan internasional,
antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, WALHI, Greenface, WWF, dan
lembaga-lembaga lainnya. Semuanya bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup
demi masa depan yang lebih baik. Satu hal yang pasti, lingkungan hidup adalah milik kita
bersama, maka melestarikannya pun merupakan tanggung jawab bersama.
BAB III

KESIMPULAN

Kemunculan pandemi COVID-19 kembali menyadarkan manusia bahwa bumi yang kita
tinggali sudah semakin rusak, bahkan oleh manusia itu sendiri. Menipisnya habitat asli hewan;
hutan, laut, sungai, daerah kutub, demi membangun banyak bangunan industri atau pemukiman
untuk manusia tinggal, membuat keanekaragaman hayati terus berkurang atau bahkan terprediksi
hilang dalam waktu yang cepat jika manusia tidak segera mengendalikan tindakannya.

Berkurangnya keanekaragaman hayati, dimulai dari pengurangan hutan menjadi gerbang


utama satwa liar yang sebelumnya terlindungi melakukan kontak dengan manusia. Hewan-
hewan liar ini membawa virus, yang oleh karena terjadi kontak dengan manusia akan
menularkannya hingga muncul penyakit atau pandemi baru di kehidupan manusia. Hal ini
disebut zoonosis. Pencairan es di kutub juga membuka jalur virus yang sebelumnya tidak
berkembang karena suhu rendah menjadi terekspos ke hewan dan bisa menular kepada manusia.

Beberapa contoh penyakit, bahkan sebelum COVID-19 muncul, karena perubahan iklim dan
kerusakan lingkungan yaitu Ebola, Lyme, diare, malaria, demam berdarah. Penyakit ini kembali
muncul bahkan setelah beberapa waktu, karena lingkungan yang semakin memburuk. Oleh sebab
itu, penting bagi kita sebagai manusia untuk mempelajari lingkungan hidup, mengajarkan kepada
anak-anak; tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup yang kita tinggali. Sebab bumi tidak
hanya tentang manusia, tetapi interaksi dengan tumbuhan, iklim, binatang, dan cuaca.
CEK kan ya Kak , dari situ nya gitu, ini file terbaru jam 22.28
REFERENSI

Greenpeace. 2020. Apa Hubungannya Kerusakan Hutan, Krisis Iklim dengan Potensi
Wabah Penyakit Baru Menular?https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/4901/apa-
hubungannya-kerusakan-hutan-krisis-iklim-dengan-potensi-wabah-penyakit-baru-
menular/ diakses pada 3 November 2020.

Haines, A., McMichael, A. J., & Epstein, P. R. (2000). Environment and health: 2. Global
climate change and health. CMAJ : Canadian Medical Association journal = journal de
l'Association medicale canadienne, 163(6), 729–734

IPCC, 2001. Climate Change 2000, Special Report on Methodological and Technological
Issues in Technology Transfer. In review Metz B, Davidso, OR, Martens JM, van
Rooijen S and Wie McGrovy. New York: Cambridge, University Press.

Jayanegara, A. P. 2016. Ebola Virus Disease - Masalah Diagnosis dan Tatalaksana.


Continuing Medical Education. Volume 43, Nomor 8, Tahun 2016.

Johns Hopkins University. (2020, 11 Juni). COVID-19 Dashboard by the Center for Systems
Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University (JHU). Arcgis.com
https://www.arcgis.com/apps/opsdash-
board/index.html#/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6

McMichael, E.A.J. Lendrum, D.H.C., Corvalän, C.F., Ebi, K.L., Githeko, A.K., Scheraga,
J.D., & Woodward, A. (2003). Climate change and human health : Risk and Responses.
Geneva. World Health Organization, ISBN 92 4 156248 X.

Mubarok, F. (2020, 14 Maret). Pandemi COVID-19, Peringatan untuk Manusia Hidup


Berdampingan dengan Satwa Liar. Mongabay.co.id.
https://www.mongabay.co.id/2020/03/14/pandemi-covid-19-peringatan-untuk-manusia-
hidup-berdampingan-dengan-satwa-liar/

Nursastri, S.A. (2020, 22 April). Bukan Kebetulan, Virus Corona Muncul Akibat Ulah
Manusia. Kompas.com.
https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/22/200200523/bukan-kebetulan-virus-
corona-muncul-akibat-ulah-manusia

Prem, K., Liu, Y., Russell, T.W., Kucharski, A.J., Eggo, R.M., Davies, N., Jit, M., Klepac, P.
& Centre for the Mathematical Modelling of Infectious Diseases COVID-19 Working
Group. (2020). The effect of control strategies to reduce social mixing on outcomes of
the COVID-19 epidemic in Wuhan, China: a modelling study. Lancet Public Health
2020; 5: e261–70. doi.:10.1016/S2468-2667(20)30073-6.
The Scientist. 2019. Deforestation Tied to Changes in Disease Dynamics https://www.the-
scientist.com/news-opinion/deforestation-tied-to-changes-in-disease-dynamics-65406
diakses pada 3 November 2020.

WHO. Climate Change and Human Health - Risks and Responses. Summary.
https://www.who.int/globalchange/summary/en/index5.html diakses pada 3 November
2020.

Anda mungkin juga menyukai