Anda di halaman 1dari 7

Musim Pandemi Lahirkan Kebiasaan Baru di Lingkungan Pesantren eLKISI

Protokol kesehatan dan protokol pencegahan jauh lebih intensif dilakukan Asatidz dan santri.

MOJOKERTO -- Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung --hingga saat ini-- jamak menyisakan
berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat, karena dampak yang diakibatkan terhadap berbagai
aktivitas kehidupan.

Kendati begitu masih ada sisi positif yang bisa diambil setelah masyarakat terbiasa menghadapi situasi
serba sulit akibat pandemi. Tak terkecuali bagi kehidupan para santri di lingkungan pondok pesantren.

Setidaknya, ini diakui oleh Pengasuh Ponpes eLKISI, di Dusun Kemuning, Desa Purworejo, Kecamatan
Pungging, Kabupaten Mojokerto, Nikma Lailatul Qodaryati (37).

Tanpa mengesampingkan dampak sosial akibat pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak
pertengahan Maret lalu, banyak nilai positif yang bisa menjadi budaya baru bagi kehidupan di
lingkungan pondok.

Khususnya dalam hal pembiasaan para santri untuk menerapkan kehidupan yang lebih berkualitas
dalam hal kesehatan. “Alhamdulillah anak- anak (para santri) menjadi lebih peduli dan disiplin dalam
melaksanakan kebiasaan baru tersebut,” ungkapnya kepada Republika, Rabu (10/6).   

Ia mengakui, aktivitas para santri di Ponpes Al Mina tidak efektif hanya H-7 Lebaran sampai dengan H+7
Lebaran lalu. Kendati begitu, aktivitas kegiatan belajar tatap muka hingga saat ini belum bisa berjalan
kendati sejumlah agenda pondok sebenarnya telah dimulai.

Karena sesuai dengan ketentuan Pemkab Semarang memang secara resmi belum mengizinkan aktivitas
di belajar tatap muka –baik di sekolah maupun di pondok pesantren-- bisa dilaksanakan kembali.
Namun karena per hari Selasa (9/6) kemarin beberapa agenda pondok sudah dimulai, Pondok Pesantren
Al Mina tetap menyesuaikan. “Seperti mengaji tetap kita laksanakan secara daring, dengan
memanfaatkan aplikasi video conference zoom,” jelas Nikma.

Artinya, hingga saat ini para santri memang belum kembali ke pondok, kecuali para santri program
hafidz, karena mereka harus mengabdi di tahun terakhir sebagai guru ngaji. Namun jumlahnya hanya
beberapa dan tidak banyak.

Sedangkan untuk santri baru, juga sudah berjalan dengan pencaftaran secara daring. Data sudah banyak
yang masuk dan mereka juga sudah registrasi.

Seharusnya kegiatan para santri baru Al Mina tersebut sudah akan dimulai pekan depan. Tetapi karena
harus menunggu keputusan pemerintah terlebih dahulu, pengelola pondok sementara juga
menyesuaikan.

Terkait dengan kesiapan dalam melaksanakan protokol kesehatan dan protokol pencegahan Covid-19,
Nikma menegaskan, kebetulan selama satu bulan terakhir --sebelum masa libur Lebaran atau saat para
santri masih berada di pondok— pengelola Ponpes Al Mina telah menerapkan ketentuan baru dalam
mendukung pencegahan.

Seperti penerapan physical distancing di kamar para santri. Kalau biasanya satu ruang kamar santri diisi
hingga 15 orang santri, mulai pekan kedua bulan April jumlah penghuni kamar santri sudah dikurangi.
Sehingga otomatis physical distancing bisa diterapkan di kamar dengan memisahkan (membuat jarak)
kasur tempat tidur para santri.

Kemudian, lanjut Nikma, dalam hal kerja bakti membersihkan kamar sebelumnya dilakukan santri
sepekan sekali. Namun sejak pertengahan April kemarin kerja bakti membersihkan kamar dilaksanakan
setiap pagi hari oleh para santri.

Tiap pagi, ruangan kamar harus dalam kosong dan bersih, karena karpet dan kasurnya dijemur dan
digulung terlebih dahulu sebelum digunakan untuk beristirahat para santri. Penyemprotan (disinfeksi)
kamar santri juga rutin dilakukan tiap pagi.

Untuk keluar masuk lingkungan pondok sudah ada piket jaga di gerbang yang menyiapkan fasilitas cuci
tangan, sabun antiseptik serta hand sanitizer. Petugas piket juga dibekali dengan thermo gun
mendeteksi suhu tubuh siapa pun yang keluar masuk lingkungan pondok.

“Jadi para santri yang ada di dalam lingkungan pondok juga terjaga dan terlindungi, pun demikian yang
dari luar juga sudah kita pastikan kondisi kesehatannya agar tidak menularkan virus Corona ke dalam
lingkungan pondok,” tegasnya.

Di luar penerapan ini, lanjutnya, pondok juga menyiapkan ruang khusus untuk karantina mandiri bagi
santri yang sedang bermasalah dengan kondisi kesehatannya.  Ruangan ini memanfaatkan ruang dari
lembaga lain yang saat ini tidak terpakai.

Jadi walaupun santri hanya mengalami sedikit flu atau cuma masuk angin biasa sementara dipisahkan
dari santri yang lain. Sedangkan untuk penanganan kesehatannya kita bekerjasama dengan bidan desa
yang telah ditunjuk sebagai tim kesehatan pondok serta berkoordinasi dengan petugas kesehatan di
Puskesmas terdekat.

Selain itu juga ada tambahan kegiatan berupa olahraga pagi setiap hari bagi para santri. Karena selama
masa pandemi otomatis kegiatan para santri banyak kelas daring yang tiap hari dimulai pukul 09.30  WIB
atau lebih siang.

Setelah kerja bakti membersihkan kamar, anak pondok mereka diharuskan senam pagi sambil berjemur
sampai dengan sebelum kegiatan kelas daring dimulai. “Jadi malah ada kegiatan olahraga rutin, yang
tadinya tidak ada,” tegasnya. 

Yang pasti, lanjut Nikma, untuk penanaman protokol kesehatan dan protokol pencegahan jauh lebih
intensif. Demikian pula dengan kebersihan kamar para santri di lingkungan Ponpes Al Mina.

“Banyak nilai positifnya dan Alhamdulillah santri menjadi lebih peduli dan disiplin dalam melaksanakan
kebiasaan baru tersebut,” tandas Nikma.
Di Kabupaten Semarang, beberapa agenda pondok memang sudah mulai berjalan, kendati Pemkab
setempat belum secara resmi memberikan lampu hijau kepada para pengelola pondok pesantren.

Pengasuh Ponpes Edi Mancoro, Gedangan,  Kecamatan Tuntang, KH Muhammad Hanif menyampaikan,
saat ini proses kepulangan para santri --secara bergelombang-- baru dimulai per tanggal 16 Syawal atau
Senin (8/6) kemarin.

Ini ditandai dengan kedatangan gelombang pertama 25 orang santri. Seterusnya, kembalinya para santri
secara bertahap masih akan berlanjut hingga nanti semua santri lengkap.

Nanti setelah proses kembalinya para santri selesai dan mereka sudah rampung melaksanakan karantina
14 hari, baru agenda pondok berupa kajian klasikal bisa dimulai. Tetapi untuk kegiatan setoran Quran-
nya sudah dimulai.

Karena ada yang santri tahfidz. Walaupun dalam pelaksanaannya setoran Quran ini ada proses tatap
muka, saat ini jumlah santri juga belum banyak. “Sehingga kami relatif leluasa untuk bisa menerapkan
physical distancing,” tegasnya.
Santri, Pesantren, dan Tantangan Zaman

Tanggal 22 Oktober ditetapkan Presiden Jokowi sebagai Hari Santri Nasional. Bagaimana para
santri menghadapi tantangan dunia yang semakin besar?

Jika mendengar kata santri, apa yang muncul di benak Anda. Mungkin, mayoritas akan
membayangkan figur anak muda mengenakan sarung, kemeja dan peci di kepala yang ditarik
sedikit ke belakang hingga sebagian terlihat di atas jidat. Anda tidak sepenuhnya keliru. Memang
mayoritas santri tampil seperti itu. Terutama di pondok-pondok pesantren tradisional.

Sebenarnya, sebutan santri tidak hanya dikenakan kepada mereka yang sedang menimba ilmu di
pesantren. Santri lebih bermakna sebagai siapapun yang belajar dan mengikuti pemikiran
seorang kyai atau pemimpin keagamaan.

Santri, seperti Muhammad Habib Ghulam Alrasyid, hidup dalam banyak batasan. Sejak bangun
pagi, harus beribadah hingga waktu sekolah tiba. Sore hari, mereka disibukkan dengan berbagai
kegiatan pondok, lalu mengaji dan belajar di malam hari. Waktu tidur relatif singkat, menu
makanan terbatas, dan tinggal dalam ruangan besar berisi belasan santri.

Santri belajar di PP Al Mumtaz, Gunungkidul, Yogyakarta (Foto: VOA/Nurhadi)

“Tapi ini kan proses. Saya ingin belajar memaknai proses kehidupan ini sesuai dengan ajaran
agama dan menjadi pribadi yang mandiri,” kata Habib yang belajar di Pesantren Ikhsanul Fikri,
Magelang, Jawa Tengah.

Tapi, banyak santri tidak lagi bersarung dan hanya pandai ilmu agama. Zaki Mubarok Busro,
salah satunya. Pria yang pernah belajar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta ini bisa
mewakili identitas santri yang lebih modern. Sekali-kali ia mengenakan sarung dan membaca
kitab. Tetapi ia terlihat meyakinkan ketika tampil dengan jas dan berbicara di forum-forum
internasional.

Zaki adalah calon doktor yang kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Wollongong,
Australia. Ahli hukum, yang bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan ini juga aktif
menulis di media massa dengan artikel berbahasa Inggris.

“Pesantren adalah tempat membangun karakter. Saya mendapatkan banyak nilai humanis
disamping ilmu agama. Juga belajar egaliter, persamaan nilai setiap orang di depan Tuhan dan
persamaan derajat antara sesama manusia. Kami terbiasa makan bersama dalam satu nampan dan
tidur beralasan tikar di ruangan yang sempit tanpa memandang status sosial,” kata Zaki.

Bagi Zaki, pendidikan santri sangat berarti dalam karir. Dia mengatakan, dalam
birokrasi,komunikasi sering dipengaruhi jabatan atau posisi. Pada kegiatan berskala
international, dia juga sering menghadapi delegasi negara lain yang berbeda sudut pandang.

Menurut Zaki, egalitarianisme yang dia peroleh selama di pesantren membuatnya memandang
seseorang berdasarkan tanggung jawab, tidak berdasarkan strata sosial atau posisi.

“Kita tidak memandang rendah rekan kerja yang di bawah. Sebaliknya, dalam level
internasional, egalitarianism membuat saya percaya diri untuk berkomunikasi atau bernegosiasi
dengan pihak lain karena saya memegang prinsip bahwa semua manusia pada prinsipnya sama,”
tambah Zaki.

Kyai Mohamad Khoeron Marzuki, pendiri Pondok Pesantren Al Mumtaz di Gunungkidul,


Yogyakarta menyadari besarnya tantangan santri dan pesantren saat ini. Pesantren sudah lama
berperan dalam mengurangi kemiskinan ilmu di masyarakat. Saat ini, tantangannya adalah
berperan lebih besar dalam mengurangi kemiskinan ekonomi. Santri tidak cukup belajar ilmu
agama, tetapi juga harus memupuk jiwa wirausaha. Tidak mengherankan, jika di pondok
pesantren ini mencangkul adalah salah satu pelajaran wajib.

“Kami konsisten, sejak masuk ke pesantren, pelajaran dasarnya adalah mencangkul. Itu dalam
rangka menumbuhkan etos kerja. Nanti setelah etos kerjanya terbentuk, kami akan memberikan
keterampilan. Di Al Mumtaz keterampilan yang diberikan itu bermacam-macam. Anak-anak kita
latih,kita siapkan, keluar dari pesantren menjadi pengusaha walaupun kecil-kecilan. Tidak peduli
anak orang kaya, orang miskin, ada juga anak kyai atau dosen, ke sini kita beritahu bahwa
pelajaran awalnya adalah mencangkul. Kalau tidak boleh mencangkul yang tidak usah masuk ke
sini,” kata Mohamad Khoeron Marzuki.

Bagi santri Al Mumtaz, mencangkul tidak bisa diartikan hanya sebagai kegiatan mengolah tanah.
Menurut Kyai Khoeron, ini adalah proses pembentukan etos kerja. Dia berharap santri yang
sudah selesai belajar nanti memiliki keahlian wirausaha yang diminati. Karena itu, selama di
pondok selain belajar agama, mereka juga membuka usaha pembuatan roti, minuman kemasan,
membatik, makanan ringan hingga pembuatan deterjen.

Santri kadang juga predikat yang diwariskan, misalnya bagi Sudaryono yang sejak tiga bulan lalu
mengirim anaknya ke pesantren. Dia aktivis di Nahdlatul Ulama dan percaya bahwa pesantren
penting dalam pembentukan karakter. Tanpa paksaan, anaknya yang memperoleh nilai tinggi
dalam ujian akhir sekolah dasar, memilih menjadi santri. Padahal dia berkesempatan memilih
sekolah berkualitas.

“Saya santri, itu yang pertama. Kedua, anak saya sejak kelas 1 SD memang sudah ingin mondok.
Dari sisi akademik dia juara dalam ujian nasional. Nilainya termasuk yang tertinggi. Jadi, bukan
memilih masuk pesantren karena afkiran, anak saya mau masuk SMP favorit mana saja
memungkinkan karena nilainya memang bisa. Tetapi dia ingin masuk pesantren memang karena
pilihannya sendiri,” kata Sudaryono.

Pesantren memang kuat dalam pembentukan karakter. Pantauan selama 24 jam oleh para guru
diyakini menjadi salah satu jawaban untuk dampak negatif dunia modern. Orang tua mencari
kawasan tanpa telepon selular, minim media sosial, namun kaya dengan nilai-nilai kebersamaan,
dan menemukan pesantren sebagai jawabannya.

Alvin Setiawan, ketika kanak-kanak pernah menimba ilmu di sebuahpesantren di Magelang,


Jawa Tengah. Kehidupan pesantren memberinya kemampuan bersosialisasi sehingga menunjang
karirnya sebagai manajer di sebuah perusahaan suku cadang di Cikampek, Jawa Barat.

“Pesantren membuat saya lebih bisa mandiri. Karena hidup sebagai santri ibaratnya kan
mengurus semua sendirian. Kita juga cenderung memandang semua orang sama, tidak takut pada
jabatan dan sebagainya. Pembentukan karakter ini yang penting, dan karena itu saya juga ingin
anak saya jadi santri,” kata Alvin.

Zaki Mubarok, meyakini pesantren menghadapi tantangan ke depan karena itu santri perlu
membekali diri dengan kemampuan non-agama. Menurutnya, pesantren perlu menerapkan
kurikulum yang menghasilkan santri kultur hibrida. Konsep ini mendorong santri berperan lebih
besar dalam pemerintahan ataupun sektor formal lain. [ns/ab]

Anda mungkin juga menyukai