Anda di halaman 1dari 4

Charlie Hebdo, Macron, dan Kadar Kebebasan

Oleh M. Anwar Djaelani

Tragedi di Prancis, di Oktober 2020, diawali oleh penggunaan prinsip


kebebasan berekspresi dan berpendapat yang melewati batas. Ini pelajaran sangat
mahal, bahwa kapanpun tak ada kebebasan tanpa batas. Tak ada kebebasan yang
dengan seenaknya boleh menabrak norma, terutama norma agama.

Implikasi Penerabasan
Di Prancis ada Charlie Hebdo, sebuah tabloid yang terbit tiap pekan. Media
ini dikenal lewat cirinya, menampilkan laporan jurnalistik dalam bentuk karikatur
serta lelucon satir. Charlie Hebdo meyakini bahwa freedom of speech atau
kebebasan berbicara dalam jurnalistik tidak memiliki batasan apapun.
Charlie Hebdo pada 2015 memuat karikatur Nabi Muhammad Saw yang
sangat menyakitkan umat Islam di seluruh dunia. Pada 2020, karikatur itu dimuat
ulang.
Pada Oktober 2020, di sebuah kelas di Prancis, karikatur Nabi Muhammad
Saw di Charlie Hebdo itu dijadikan alat peraga oleh seorang guru bernama Samuel
Paty. Bahwa, katanya, karikatur itu termasuk contoh kebebasan berekspresi dan
berpendapat. Tak lama setelah itu, Abdullah Anzorov-remaja Chechnya berusia 18
tahun-yang tidak bisa menerima sikap si guru sejarah itu, kemudian membunuhnya
pada 16/10/2020.
Atas insiden itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa
"Salah satu warga kami dibunuh hari ini karena dia mengajarkan murid-muridnya
tentang kebebasan berekspresi". Selanjutnya, Macron mengeluarkan kata-kata yang
menyinggung umat Islam. "Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis saat
ini, di seluruh dunia," kata Macron. Hal lain tapi terkait, Macron membela bahwa
kartun Nabi Muhammad Saw merupakan bentuk kebebasan berekspresi warganya.
Tak pelak lagi, pernyataan Macron membuat keadaan semakin kacau. Dia
memperpanjang contoh penggunaan prinsip kebebasan berekspresi dan
berpendapat yang tidak pada tempatnya. Pernyataannya lalu mendapat sorotan dan
kecaman dari berbagai kalangan di berbagai belahan dunia. Mereka yang bereaksi
keras, tak hanya dari pihak Islam tapi juga dan nonislam.
Mari, lihat sebagian reaksi itu: “Marah Macron Serang Islam, Negara Arab
Boikot Produk Prancis” (www.cnbcindonesia.com 26/10/2020). “Kecam
Pernyataan Macron yang Hina Islam, Kemlu RI Panggil Dubes Prancis”
(https://news.okezone.com 27/10/2020). “Bela Islam, Uskup Agung di Prancis
Kritik Kartun Nabi Muhammad” (www.liputan6.com/ 31/10/2020).
Kita cermati reaksi yang disebut terakhir di atas. Bahwa, karikatur Charlie
Hebdo yang menghina agama mendapat kecaman dari tokoh Katolik di Prancis.
Uskup Agung Robert Le Gall menyebut kebebasan berekspresi tidak berarti
menyinggung agama. "Kebebasan berekspresi ada batasnya seperti kebebasan
manusia lain," ujar Uskup Agung Robert Le Gall. Dia menyebut, penghinaan
agama mestinya tak dibolehkan.
Dalam masalah kebebasan berekspresi dan berpendapat, “Prancis” dan
pemimpinnya memang keterlaluan. Dalam kondisi mendapat sorotan dan bahkan
kecaman dunia, Charlie Hebdo di edisi pekan terakhir Oktober 2020
membuat Turki marah. Pasalnya, Presiden Turki Recep
Tayyip Erdogan digambarkan dalam cover tabloidnya lewat karikatur cabul. 
Dalam cover itu, ditampilkan karikatur Erdogan yang tengah duduk di sofa.
Dia hanya memakai kaos dan celana dalam sambil menyibak rok seorang wanita
berjilbab. Rupanya, tak ada kata jera bagi Charlie Hebdo meski setidaknya telah
dua kali disorot dunia internasional yaitu saat merilis kartun Nabi Muhammad Saw
pada 2015 dan 2020.  

Bingkai Itu
Islam memberikan hak berbicara bagi umatnya. Hak itu untuk digunakan
menyebarkan kebenaran dan kebajikan serta bukan untuk menyebarkan kejahatan
dan kekejian.
Konsep Islam tentang kebebasan berpendapat jauh lebih maju ketimbang
yang berlaku di Barat. Bahwa, dalam keadaan apapun, Islam tidak akan
mengizinkan kejahatan dan kekejian semisal menista pihak yang tak seagama.
Islam tidak memberikan hak kepada siapapun untuk menggunakan bahasa yang
keji atau menghina atas nama kritik.
Lebih jauh, dalam Islam, mengemukakan pendapat yang digunakan untuk
menyebarluaskan kebenaran dan kebajikan bukan hanya sekadar hak. Malah, hal
itu, bernilai wajib.
Hak bebas berpendapat juga berlaku dalam menumpas kejahatan, baik
kejahatan yang dilakukan oleh individu, kelompok, pemerintah sendiri, atau
pemerintah negara lain. Artinya, jika ada kejahatan atau kemunkaran, maka
menjadi kewajiban seorang Muslim untuk memperingatkan si pelaku dan berusaha
menghentikannya. Ia harus mengritisinya sembari menunjukkan jalan kebajikan
yang harus ditempuhnya.
Aktivitas mencegah kemunkaran dan menyeru kebajikan adalah sebagian
dari sifat-sifat manusia beriman. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana” (QS At-Taubah [9]: 71).
Jadilah manusia beriman dan jangan menjadi manusia munafik. “Orang-
orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain
adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat
yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah lupa
kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik
itu adalah orang-orang yang fasik” (QS At-Taubah [9]: 67).
Bagaimana jika kita, lebih khusus lagi yang sedang memegang amanat
kekuasaan, saat melihat kemunkaran? Inilah petunjuk Allah: “(yaitu) orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah
dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan” (QS
Al-Hajj [22]: 41). Terlihat, sebagai individu atau selaku pemerintah, salah satu
amanah pokoknya adalah mencegah kemunkaran.
Aktif bernahi-munkar termasuk salah satu inti ajaran Islam. Sejalan dengan
ayat di atas Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu
melihat kemunkaran, maka ia wajib menghentikannya dengan tangannya. Apabila
ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu juga, maka dengan
hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman” (HR Muslim).
Di antara bentuk kemunkaran adalah ucapan buruk. Perhatikan ayat ini:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (QS An-Nisaa’ [4]: 148). Ucapan buruk di ayat ini, semisal
menghina, mencela, memaki, dan sebagainya. Allah sangat tidak suka ucapan-
ucapan yang buruk, suatu hal yang bisa dilakukan oleh orang awam maupun
pemimpin.
Mendapat ucapan buruk itu sungguh menyakitkan. Bagi orang-orang yang
menjadi korban, terutama jika ucapan buruk itu dari sebuah pemerintahan, ada hak
mereka untuk melakukan protes terbuka.

Luruskan, Tegakkan!
Kembali ke Prancis. Charlie Hebdo, guru bernama Samuel Paty, dan
Presiden Emmanuel Macron jelas menjalankan prinsip kebebasan berekspresi dan
berpendapat yang menabrak norma dan terutama norma agama. Kadar kebebasan
berekspresi dan berpendapat yang mereka praktikkan jauh melewati kadar yang
pantas.
Pertama, Charlie Hebdo yang mengkarikaturkan Nabi Muhammad Saw
pada 2015 dan dimuat ulang pada 2020. Ini penghinaan yang sangat terang.
Atas kasus Charlie Hebdo pada 2015, Allahu-yarham Ali Mustafa Yaqub
menulis di https://republika.co.id 23/01/2015. Bahwa, “Ulama besar Indonesia
Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari (wafat 1366 H / 1947 M) dalam kitabnya al-
Tanbihat al-Wajibat menukil dari Imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitabnya, al-Syifa,
tentang kesepakatan umat Islam bahwa orang yang melecehkan Nabi Muhammad
Saw hukumnya haram dan orang yang melakukannya wajib dihukum mati. Hukum
dan hukuman ini diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun ijma’ para Sahabat
Nabi”.
Masih terkait, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat: “Dan orang-orang yang
menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih” (QS at-Taubah [9]: 61).
Ayat ini menunjukkan bahwa menyakiti Rasulullah Saw merupakan dosa besar dan
diancam azab yang sangat pedih.
Kedua, Samuel Paty menjadikan karikatur Nabi Muhammad Saw sebagai
alat peraga di kelas untuk menunjukkan contoh kebebasan berekspresi dan
berpendapat. Terang, hal ini sama saja dengan memperpanjang dan memperdalam
rasa sakit hati umat Islam.
Ketiga, Macron sebagai presiden Prancis bukan hanya melindungi media
seperti Charlie Hebdo, tapi sekaligus pada saat yang sama menghina Islam. Pasti,
penghinaan itu tak akan pernah dibiarkan oleh segenap umat Islam.
Alhasil, apa yang terjadi di Prancis adalah sebuah kemunkaran, bahkan
kemunkaran yang sangat! Munkar, sebab kebebasan berekspresi dan berpendapat
yang telah mereka praktikkan jauh melewati kadar yang wajar dari sisi norma,
terutama norma agama. []

Anda mungkin juga menyukai