Anda di halaman 1dari 140

Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S.

, ITB 2009

Bab 12
Teori Umum Semen dan Penyemenan

12.1. Alasan Dilakukan Penyemenan


Pada umumnya operasi penyemenan bertujuan untuk melekatkan casing pada
dinding lubang sumur, melindungi casing dari masalah-masalah mekanis sewaktu
operasi pemboran (seperti getaran), melindungi casing dari fluida formasi yang bersifat
korosi dan untuk memisahkan zona yang satu terhadap zona yang lain di belakang
casing.
Menurut alasan dan tujuannya, penyemenan dapat dibagi dua, yaitu Primary
Cementing (Penyemenan Utama) dan Secondary atau Remedial Cementing
(Penyemenan Kedua atau Penyemenan perbaikan).
Primary Cementing adalah penyemenan pertama kali yang dilakukan setelah
casing diturunkan ke dalam sumur. Sedangkan secondary cementing adalah
penyemenan ulang untuk menyempurnakan primary cementing atau memperbaiki
penyemenan yang rusak.

12.1.1. Primary Cementing


Pada primary cementing, penyemenan casing pada dinding lubang sumur
dipengaruhi oleh jenis casing yang akan disemen.
Penyemenan conductor casing bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi
fluida pemboran (lumpur pemboran) terhadap lapisan tanah permukaan.
Penyemenan surface casing bertujuan untuk melindungi air tanah agar tidak
tercemar dari fluida pemboran, memperkuat kedudukan surface casing sebagai tempat
dipasangnya alat BOP (Blow Out Preventer), untuk menahan beban casing yang
terdapat di bawahnya dan untuk mencegah terjadinya aliran fluida pemboran atau
fluida formasi yang akan melalui surface casing.
Penyemenan intermediate casing bertujuan untuk menutup tekanan formasi
abnormal atau untuk mengisolasi daerah lost circulation.
Penyemenan production casing bertujuan untuk mencegah terjadinya aliran antar
formasi ataupun aliran fluida formasi yang tidak diinginkan, yang akan memasuki
sumur. Selain itu untuk mengisolasi zona produktif yang akan diproduksikan fluida
formasi (perforated completion), dan juga untuk mencegah terjadinya korosi pada
casing yang disebabkan oleh material-material korosif.

12.1.2. Secondary Cementing atau Remedial Cementing


Setelah operasi khusus semen dilakukan, seperti Cement Bond Logging (CBL) dan
Variable Density Logging (VDL), kemudian didapati kurang sempurnanya atau ada
kerusakan pada primary cementing, maka dilakukanlah secondary cementing.
Secondary cementing dilakukan juga apabila pengeboran gagal mendapatkan minyak
dan menutup kembali zona produksi yang diperforasi.
Secondary cementing dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Squeeze cementing,
Re-cementing dan Plug-back cementing.

12.1.2.1. Squeeze Cementing


Squeeze Cementing bertujuan untuk :
 Mengurangi water-oil ratio, water gas ratio atau gas-oil ratio.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 445


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

 Menutup formasi yang sudah tidak lagi produktif.


 Menutup zona lost circulation.
 Memperbaiki kebocoran yang terjadi di casing
 Memperbaiki primary cementing yang kurang memuaskan.
 Operasi squeeze dilakukan selama operasi pemboran berlangsung, komplesi
maupun pada saat workover.

12.1.2.2. Re-cementing
Dilakukan untuk menyempurnakan primary cementing yang gagal dan untuk
memperluas perlindungan casing di atas top semen.

12.1.2.3. Plug-Back Cementing


Plug-back cementing dilakukan untuk:
 Menutup atau meninggalkan sumur (abandonment well)
 Melakukan directional drilling sebagai landasan whipstock, yang dikarenakan
adanya perbedaan compressive stregth antara semen dan formasi maka akan
mengakibatkan bit berubah arahnya.
 Menutup zona air di bawah zona minyak agar water-oil ratio berkurang pada open
hole completion.

12.2. Komposisi Dan Pembuatan Semen


Semen yang biasa digunakan dalam industri perminyakan adalah Semen Portland,
dikembangkan oleh JOSEPH ASPDIN12 Tahun 1824. Disebut Portland karena mula-
mula bahannya didapat dari pulau Portland Inggris. Semen Portland ini termasuk
semen hidrolis dalam arti akan mengeras bila bertemu atau bercampur dengan air.
Semen Portland mempunyai 4 komponen (Gambar 12.1) mineral utama, yaitu :
a. TRICALCIUM SILICATE
Tricalcium silicate (3CaO.SiO2) dinotasikan sebagai C3S, yang dihasilkan dari
kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini merupakan yang terbanyak dalam semen
Portland, sekitar 40-45% untuk semen yang lambat proses pengerasannya dan sekitar
60-65% untuk semen yang cepat proses pengerasannya (high-early strength cement).
Komponen C3S pada semen memberikan strength yang terbesar pada awal
pengerasan.

Gambar 12.1. Empat Komponen Semen Portland


b. DICALCIUM SILICATE
Dicalcium silicate (2CaO.SiO2) dinotasikan sebagai C2S, yang juga dihasilkan dari
kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini sangat penting dalam memberikan final

446 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

strength semen. Karena C2S ini menghidrasinya lambat maka tidak berpengaruh
dalam setting time semen, akan tetapi sangat menentukan dalam kekuatan semen
lanjut. Kadar C2S dalam semen tidak lebih dari 20%.

c. TRICALCIUM ALUMINATE
Tricalcium aluminate (3CaO.Al 2O3) dinotasikan sebagai C3A, yang terbentuk dari
reaksi antara CaO dengan Al2O3.Walaupun kadarnya lebih kecil dari komponen silikat
(sekitar 15% untuk high-early strength cement dan sekitar 3% untuk semen yang
tahan terhadap sulfat), namun berpengaruh pada rheologi suspensi semen dan
membantu proses pengerasan awal pada semen.

d. TETRACALCIUM ALUMINOFERRITE
Tetracalcium aluminoferrite (12CaO.Al2O3.Fe2O3) dinotasikan sebagai C4AF, yang
terbentuk dari reaksi CaO, Al 2O3, dan Fe2O3. Komponen ini hanya sedikit pengaruhnya
pada strength semen. API menjelaskan bahwa kadar C 4AF ditambah dengan dua kali
kadar C3A tidak boleh lebih dari 24% untuk semen yang tahan terhadap kandungan
sulfat yang tinggi. Penambahan oksida besi yang berlebihan akan menaikan kadar
C4AF dan menurunkan kadar C3A, dan berfungsi menurunkan panas hasil
reaksi/hidrasi C3S dan C2S.

Semen Portland terbuat dari bahan-bahan mentah tertentu, pemilihan bahan-bahan


mentah tersebut sangat berpengaruh terhadap komposisi bubuk semen yang
diinginkan. Ada dua macam bahan mentah yang dibutuhkan dalam menghasilkan
semen Portland, yaitu :
a. Material CALCAREOUS
Material ini berisi kalsium karbonat dan kalsium oksida yang terdiri dari limestone
dan batuan semen.
 Limestone adalah batuan terbentuk dari sebagian besar zat- zat organik sisa
(seperti kerang laut atau koral) yang terakumulasi. Limestone ini merupakan
komponen dasar dari kalsium karbonat.
 Batu semen adalah batuan yang komposisinya serupa dengan semen batuan
 Kapur adalah Limestone kekuning-kuningan atau abu-abu dan halus yang
sebagian besar berasal dari kerang-kerang laut.
 Marl atau tanah kapur adalah tanah yang rapuh dan mengandung bahan-bahan
pokok kalsium karbonat.
 Alkali di sini berasal dari pembuangan zat-zat kimia pabrik yang mengandung
kalsium oksida atau kalsium karbonat.

b. Material ARGILLACEOUS
Material ini berisi clay atau mineral clay
 Clay adalah bahan yang bersifat plastis bila basah dan keras bila dipanaskan.
Terdiri dari sebagian besar aluminium silikat dan mineral lainnya.
 Shale adalah batuan fosil yang terbentuk dari gabungan clay, lumpur dan silt
(endapan lumpur).
 Slate adalah batu tulis adalah batuan yang padat dan berbutir baik, yang
dihasilkan dari pemampatan clay, shale dan batuan lainnya.
 Ash adalah abu merupakan produk pembakaran batu bara.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 447


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.2.1. Pembuatan Semen


Pembuatan Semen Portland melalui beberapa tahap berikut :
a. Proses Peleburan
b. Proses Pembakaran
c. Proses Pendinginan
d. Proses Penggilingan

12.2.2. Proses Peleburan


Dalam bagian ini ada dua cara yang umum digunakan, yaitu :

a. Dry Process
Pada awal proses ini, mineral clay dan limestone sama-sama dihancurkan, lalu
dikeringkan di rotary dries. Hasilnya dibawa ke tempat penggilingan untuk dileburkan.
Kemudian hasil leburan ini masuk ke tempat penyaringan, dan partikel-partikel yang
kasar dibuang dengan sistem sentrifugal. Hasil saringan ini ditempatkan di beberapa
silo (tempat berbentuk tabung yang tertutup) dan setelah didapat komposisi kimia
yang diinginkan, kemudian akan melalui proses pembakaran di Kiln. Susunan
peralatannya dapat dilihat pada (gambar 12.2).

Gambar 12.2. Dry Process


b. Wet Process
Material-material mentah dicampur dengan air, lalu dimasukkan ke tempat
penggilingan (Grinding Mill). Campuran ini kemudian dipompa melalui 'vibrating
screen'. Material-material yang kasar dikembalikan ke penggilingan, sementara
campuran yang lolos yang berupa suspensi ini ditampung pada suatu tempat
berbentuk kolom-kolom. Di tempat ini, suspensi mengalami proses rotasi dan
pemampatan sehingga didapat campuran yang homogen. Di tempat ini pula,
komposisi kimia suspensi diubah-ubah untuk didapatkan komposisi yang diinginkan
sebelum dibawa ke Kiln. Susunan peralatannya dapat dilihat pada (gambar 12.3).

Gambar 12.3. Wet Process

448 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.2.3. Proses Pembakaran


Setelah melalui salah satu proses peleburan di atas, campuran tersebut
dimasukkan ke tempat pembakaran (Kiln). Di Kiln, campuran ini berputar-putar
kemudian berubah menjadi clinker (Gambar 12.4). Ada 6 tahap temperatur yang harus
dilalui campuran di Kiln, yaitu :

Gambar 12.4. Proses Pembakaran

Tahap 1 (sampai 200oC) Pada tahap ini mengalami proses penguapan air bebas.

Tahap 2 (200 – 800oC) Pada tahap ini mengalami proses pra-pemanasan, dimana
partikel-partikel clay mengalami dehidroksidasi (pembebasan unsur-unsur
hidroksida).

Tahap 3 (800 – 1100oC) dan Tahap 4 (1100 – 1300 oC) Pada tahap ini mengalami proses
pembebasan unsur karbon (dekarbonisasi). Dehidroksidasi mineral-mineral clay
disempurnakan dan didapat hasil yang berbentuk kristal. Kalsium karbonat
membebaskan sejumlah besar karbondioksida. Produk bermacam-macam
kalsium aluminat dan ferit mulai terjadi.

Tahap 5 (1300 - 1500 – 1300oC).Pada tahap ini, sebagian campuran reaksi mencair.
Dan suhu 1500oC (Clinkering temperature), C 2S dan C3S terbentuk. Sementara
itu lime, alumina dan oksida besi tetap dalam fasa cair.

Tahap 6 (1300 – 1000oC)Pada tahap ini, C3A dan C4AF berubah dari fasa liquid menjadi
padat dan berbentuk kristal.

12.2.4. Proses Pendinginan


Proses pendinginan sebenarnya telah dimulai dari sebagian tahap 5, ketika
temperatur mulai menurun dari 'clinkering temperature'.
Kualitas clinker dan selesainya pembuatan semen sangat tergantung dari laju
pendinginan perlahan-lahan sekitar 4 – 5 oC (7 – 8oF) sampai suhu 1250oC, kemudian
pendinginan cepat sekitar 18 – 20oC (32 – 36oF) per menit.
Saat laju pendinginan lambat 4 – 5 oC, C3A dan C4AF dengan cepat meng-kristal,
kristal C3S dan C2S menjadi lebih teratur dan MgO bebas juga meng-kristal (Mineral ini
disebut Periclase). Pada kondisi ini, aktivitas hidrolik kecil. Compressive Strength awal
tinggi, namun strength lanjutnya rendah.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 449


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Saat laju pendinginan cepat, fasa liquid (yang terjadi pada tahap 5) memadat
seperti gelas. C3A dan C2S menurun. MgO bebas tetap dalam fasa gelas, sehingga
menjadi kurang aktif dan dapat menyebabkan semen menjadi kurang kokoh. Pada
kondisi ini, compressive strength awal rendah, namun strength lanjutnya tinggi.

12.2.5. Proses Penggilingan


Pada tabung penggiling ada bola – bola baja, yang dapat mengakibatkan sekitar
97 - 99% energi yang masuk diubah menjadi panas. Oleh karena itu diperlukan
pendinginan karena bila terlalu panas akan banyak gipsum yang menghidrasi menjadi
kalsium sulfat hemihidrat (CSH1/2) atau larutan anhidrit (CS).
Akhirnya dari proses penggilingan (Gambar 12.5) didapat bubuk semen yang
diinginkan, yang dihasilkan dari penggilingan clinker dengan gipsum (CSH 2).

Gambar 12.5. Proses Penggilingan

12.3. Klasifikasi Semen


API telah melakukan pengklasifikasian semen ke dalam beberapa kelas guna
mempermudah pemilihan dan penggolongan semen yang akan digunakan.
Pengklasifikasian ini didasari atas kondisi sumur dan sifat-sifat semen yang
disesuaikan dengan kondisi sumur tersebut. Kondisi sumur tersebut meliputi
kedalaman sumur, temperatur, tekanan dan kandungan yang terdapat pada fluida
formasi ( seperti sulfat dan sebagainya). Tabel 12.1, Tabel 12.2 dan Tabel 12.3.

450 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 12.1. Klasifikasi Semen

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 451


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 12.2. Klasifikasi Semen


Cement Class
A B C D,E, G H
F
Ordinary Type (O)
Magnesium Oxide (MgO), 6.0 6.0
maxximum, %
Sulfur Trioxide (SO3) maximum, % 3.5 4.5
Loss on ignition, maximum, % 3.0 3.0
Insolube residue, maximum, % 0.75 0.75
Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3), 15
maximum, %
Moderate Sulfate-Resistant Type
(MSR)
Magnesium Oxide (MgO), 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0
Maximum, %
Sulfur trioxide (SO3),maximum, % 3.0 3.5 3.0 3.0 3.0
Loss on ignition, maximum, % 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0
Insolube residue, maximum, % 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75
.
Tricalcium Silicate (3CaO.SiO2), 58 58
maximum, %
Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3), 48 48
maximum, %
Total Alkali content expressed as 8 8 8 8 8
sodiyum oxide (Na2O) equivalent,
maximum, %
High Sulfate-Resistant Type 0.75 0.75
(HSR)
Magnesium Oxide (MgO), 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0
maxximum, %
Sulfur Trioxide (SO3) maximum, % 3.0 3.5 3.0 3.0 3.0
Loss on ignition, maximum, % 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0
Insolube residue, maximum, % 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75
. .
Tricalcium Silicate (3CaO.SiO2), 65 65
maximum, %
Tricalcium Silicate (3CaO.SiO2), 48 48
minimum, %
Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3), 3 3 3 3 3
maximum, %
Tricalcium Aluminoferrite 24 24 24 24 24
(12CaO.Al2.O3.Fe2O3) plus twice
the Tricalcium aluminate
(3CaO.Al2O3), maximum
Total Alkali content expressed as 0.75 0.75
sodiyum oxide (Na2O) equivalent,
maximum, %

452 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 12.3. Klasifikasi Semen


API ASTM Typical Potential Typical
Class Type Phase Composition (%) Fineness
C3S - C3A C4AF (Cm2/g)
C2S
A I 45 27 11 8 1600
B II 44 31 5 13 1600
C III 53 19 11 9 2200
D 28 49 4 12 1500
E 38 43 4 9 1500
G (II) 50 30 5 12 1800
H (II) 50 30 5 12 1600

Klasifikasi semen yang dibuat API terdiri dari :


Kelas A.
Semen kelas A ini digunakan dari kedalaman 0 (permukaan) sampai 6.000 ft.
Semen ini terdapat dalam tipe biasa (ordinary type) saja, dan mirip dengan semen
ASTM C-150 tipe I.
Kelas B.
Semen kelas B digunakan dari kedalaman 0 sampai 6.000 ft,dan tersedia dalam
jenis yang tahan terhadap kandungan sulfat menengah dan tinggi (moderate dan
high sulfate resistant).
Kelas C.
Semen kelas C digunakan dari kedalaman 0 sampai 6.000 ft, dan mempunyai sifat
high-early strength (proses pengerasannya cepat). Semen ini tersedia dalam jenis
moderate dan high sulfate resistant.
Kelas D.
Semen kelas D digunakan untuk kedalaman dari 6.000 ft sampai 12.000 ft, dan
untuk kondisi sumur yang mempunyai tekanan dan temperatur tinggi. Semen ini
tersedia juga dalam jenis moderate dan high sulfate resistant.
Kelas E.
Semen kelas E digunakan untuk kedalaman dari 6.000 ft sampai 14.000 ft, dan
untuk kondisi sumur yang mempunyai tekanan dan temperatur tinggi. Semen ini
tersedia juga dalam jenis moderate dan high sulfate resistant.
Kelas F.
Semen kelas F digunakan dari kedalaman 10.000 ft sampai 16.000 ft, dan untuk
kondisi sumur yang mempunyai tekanan dan temperatur sangat tinggi. Semen ini
tersedia dalam jenis high sulfate resistant.
Kelas G.
Semen kelas G digunakan dari kedalaman 0 sampai 4.000 ft, dan merupakan
semen dasar. Bila ditambahkan retarder semen ini dapat dipakai untuksumur yang
dalam dan range temperatur yang cukup besar. Semen ini tersedia dalam jenis
moderate dan high sulfat resistant.
Kelas H.
Semen kelas H digunakan dari kedalaman 0 sampai kedalaman 4.000 ft, dan
merupakan pula semen dasar. Dengan penambahan accelerator dan retarder,

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 453


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

semen ini dapat digunakan pada range kedalaman dan temperatur yang besar.
Semen ini hanya tersedia dalam jenis moderate sulfate resistant.

12.4. Proses Hidrasi Semen


Hidrasi Semen Portland adalah suatu reaksi kimia yang berurutan antara clinker,
kalsium sulfat dan air, sampai akhirnya suspensi semen mengeras. Hidrasi semen
Portland ini hampir sama dengan hidrasi C 3S sendiri, namun ada beberapa parameter
yang harus ditambahkan.
Hidrasi semen Portland ini dapat dibedakan menurut kondisi temperatur
lingkungan yang dialami, yakni hidrasi pada temperatur rendah dan hidrasi pada
temperatur tinggi.

12.4.1. Hidrasi Pada Temperatur Rendah


Komponen-komponen pada semen Portland merupakan komponen yang
'anhydrous', yakni bila bertemu air maka komponen- komponen tersebut akan pecah
dan membentuk komponen hidrat (seperti suspensi). Larutan yang tidak stabil dan
kelewat jenuh terbentuk, dan secara perlahan-lahan mengeras.
Peristiwa mengenai hidrasi semen (Gambar 12.6) berhubungan dengan kelakuan
masing-masing komponen semen dalam lingkungan liquid dan kelakuan sistem
semua komponen (semen Portland). Keempat komponen utama semen Portland
mempunyai perbedaan dalam hidrasi kinetik dan bentuk produk hidrasinya.

a. Hidrasi Fasa Silikat


Fasa silikat dalam semen Portland merupakan komponen yang paling banyak,
sering lebih dari 80% dari total material. C 3S adalah unsur utamanya, dengan
konsentrasi sampai 70% sedangkan kadar C2S tidak lebih dari 20%.Hasil reaksi kimia
C3S dan C2S dengan air menghasilkan kalsium silikat hidrat (C-S-H) dan kalsium
Hidroksida (Ca(OH)2), yang umum dikenal dengan nama Portlandite.
Reaksinya adalah sebagai berikut :
2C3S + 6H  C3S2H3 + 3CH
2C2S + 4H  C3S2H3 + CH
Kalsium silikat hidrat sebenarnya tidak selalu berkomposisi C3S2H3, karena
tergantung dari rasio C:S dan H:S. Hal ini tergantung dari konsentrasi kalsium dalam
air, temperatur, adanya aditif dan umur reaksi. Kalsium silikat hidrat umumnya disebut
dengan Gel C-S-H.

454 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.6. Hidrasi Semen Portland

Gel C-S-H ini terdapat sekitar 70% dalam hidrat semen Portland keseluruhannya
dan merupakan bahan pengikat pada semen yang mengeras. Sedang kalsium
hidroksida dalam bentuk kristal yang berbentuk heksagonal, konsentrasinya dalam
semen sekitar 15-20 %.
Pada awal proses hidrasi berlangsung singkat, fasa silikat mengalami perioda
reaktivitas yang lambat yang disebut 'Induction Period'. Namun perioda ini tidak terlalu
mempengaruhi rheologi suspensi semen. Hidrasi yang besar terjadi (lihat gambar
12.7 dan gambar 12.8) saat laju hidrasi C 3S melalui laju hidrasi C2S. Karena kelebihan
laju hidrasi C3S ini dan banyaknya gel C-S-H , hidrasi C 3S sangat berpengaruh pada
saat proses pengerasan semen dan pengembangan awal strength semen.
Sedangkan hidrasi C2S berpengaruh pada final strength semen.
Pada hidrasi C3S terdapat 5 periode hidrasi (lihat gambar 12.9), yaitu :

Gambar 12.7. Hidrasi C2S Vs Waktu

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 455


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.8. Hidrasi C3S Vs Waktu

Gambar 12.9. Skema Perubahan Sistem C3S - Air

I. Pre-induction period
II. Induction Period
III. Acceleration Period
IV. Decceleration Period
V. Diffusion Period

1. Preinduction Period
Lamanya periode ini hanya beberapa menit saja. Reaksi eksotermal yang
besar pada periode ini diakibatkan oleh pembasahan bubuk semen dan
kecepatan hidrasi awal. lapisan awal gel C-S-H terbentuk di sekeliling
permukaan C3S yang anhydrous.
Saat komponen C3S kontak dengan air, ion-ion O2- dan SiO4- berubah
menjadi ion-ion OH- dan H3 SiO4-.
Reaksi ini berlangsung cepat dan diikuti dengan terputusnya permukaan
berproton, yang sesuai dengan reaksi berikut :
2Ca3SiO5 + 8H2O  6Ca2+ + 10OH- + 2H3SiO4-
Kemudian larutan yang terjadi menjadi supersaturated (lewat jenuh) dan
terjadi endapan gel C-S-H.
2Ca2+ + 2OH- + 2H3SiO4-  Ca2 (OH)2H4Si2O7 + H2O

456 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Reaksi diatas mengumpamakan bahwa rasio antara C:S sama dengan 1


pada gel C-S-H awal. Dan jumlah anion silikat dalam gel C-S-H banyak pada
waktu hidrasi yang berlangsung singkat. Terjadinya endapan gel C-S-H
mengambil tempat dipermukaan C3S, dimana mempunyai konsentrasi ionik
yang besar, karenanya lapisan tipis terjadi di permukaan C 3S. Kedua reaksi di
atas dapat ditulis menjadi :
2Ca3SiO5 + 7H2O  Ca2(OH)2H4Si2O7 + 4Ca2+ + 8OH-
Selama periode ini, konsentrasi lewat jenuh kalsium hidroksida tidak
tercapai, karena itu pada persamaan diatas ini konsentrasi kapur bertambah
selama proses hidrasi berlangsung.

2. Induction Period
Pada periode ini, laju pembebasan panas turun. Penambahan gel C-S-H
lambat, konsentrasi Ca2+ dan OH- terus bertambah. Ketika kondisi
supersaturated tercapai, pengkristalan kalsium hidroksida mulai terjadi. Pada
temperatur lingkungan, lamanya periode ini berlangsung beberapa jam.

3. Acceleration Period dan Deceleration Period


Pada akhir periode induksi, hanya sedikit dari C 3S yang menghidrasi. Pada
acceleration period, padatan Ca(OH)2 mengkristal dan gel C-S-H terjebak
kedalam ruangan- ruangan kosong dalam air membentuk jaringan yang
menyatu, dengan proses ini mulai terbentuk kekuatan (strength) semen.
Porositas sistem menurun karena kandungan hidrat. Akhirnya perpindahan
ion-ion pada jaringan gel C-S-H terhalangi, dan kecepatan hidrasi menurun.
Periode ini berlangsung beberapa hari. Acceleration period dan deceleration
period biasanya disebut dengan 'Setting Period'.

4. Diffusion Period
Pada periode ini, hidrasi berlangsung dalam keadaan lambat dan porositas
sistem berkurang. Jaringan produk hidrat menjadi lebih tebal dan strength
bertambah besar. Kristal portlandite terus berkembang dan memakan butiran
C3S yang berakibat hidrasi total tidak pernah tercapai.

b. Hidrasi fasa aluminat


Fasa aluminat, terutama, C3S sangat reaktif pada hidrasi yang berlangsung
singkat. Walaupun kadar aluminat lebih kecil daripada kadar silikat, namun aluminat
ini berpengaruh terhadap rheologi suspensi semen dan pembentukan strength semen
pada awal periode.
Seperti pada C3S, maka langkah hidrasi awal C3A adalah reaksi antara
permukaan solid dengan air. Reaksi irreversible menuntunhidroksidasi anion AlO2-
dan O2- kedalam [Al(OH)4]- dan OH-, dan mengakibatkan terputusnya permukaan
yang berproton.
Ca3Al2O6 + 6H2O  3Ca2++2[Al(OH)4]- + 4OH-
larutan dengan cepat menjadi supersaturated sehingga timbul kalsium aluminat
hidrat.
6Ca2++ 4[Al(OH)4]- + 8OH-+ 15H2O  Ca2[Al(OH)5]2.3H2O + 2[Ca2Al(OH)7.6H2O]

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 457


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

kedua reaksi diatas digabungkan menjadi :


2C3A + 27H  C2AH8 + C4AH19
Kalsium aluminat hidrat pada persamaan ini hampir stabil kondisinya dan terjadi
dalam bentuk kristal heksagonal. Kemudian berubah menjadi lebih stabil dalam
bentuk kubik sebagai C3AH6, menurut reaksi dibawah ini :
C2AH8 + C4AH19  2 C3AH6 + 15H
Tidak seperti kalsium silikat hidrat, kalsium aluminat hidrat tidak amorphous dan
tidak mempunyai lapisan pelindung. Karenanya pada hidrasi fasa aluminat tidak ada
periode induksi dan hidrasinya berlangsung cepat :
Hidrasi C3A dikontrol dengan penambahan 3 - 5% gipsum pada clinker sebelum
digiling. Ketika kontak dengan air, sebagian gipsum pecah. Ion-ion kalsium dan sulfat
bereaksi dengan ion aluminat dan ion hidroksil membentuk Kalsium Trisulfoaluminat
Hidrat yang biasa dikenal sebagai mineral Ettringite, seperti terlihat pada reaksi
dibawah ini :
6Ca2++2[Al(OH)4]-+ 3SO42-+ 4OH-+ 26H2O  Ca6[Al(OH)6] (SO4)3 .26H2O
Ettringite terjadi dalam bentuk kristal jarum yang timbul pada permukaan C 3A,
yang menghindari hidrasi berikutnya. Jadi periode induksi seolah-olah dibuat. Selama
periode ini, gipsum secara perlahan-lahan habis dan ettringite terus timbul. Kemudian
hidrasi C3A menjadi lebih cepat, saat gipsum mulai habis. Konsentrasi ion sulfat
berkurang dengan tajam. Ettringite menjadi tidak stabil dan berubah menjadi kalsium
monosulfoaluminat hidrat.
C3A.3CS.32H+2C3A+4H  3C3A.CS.12H
Sedang C3A sisa yang tidak menghidrat membentuk kalsium aluminat hidrat.

12.4.2. Hidrasi Pada Temperatur Tinggi


Seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa semen Portland terdiri paling
banyak dari material kalsium silikat, yang terdiri dari komponen trikalsium silikat dan
dikalsium silikat. Penambahan air pada material tersebut akan membentuk gel
kalsium silikat hidrat yang disebut gel C-S-H. Gel ini akan mempengaruhi strength
dan kestabilan semen pada temperatur biasa, selain itu sejumlah kalsium hidroksida
dibebaskan.
Gel C-S-H merupakan produk awal pada temperatur tinggi, dan sebagai material
pengikat pada temperatur kurang dari 110 oC (230oF).
Pada temperatur yang lebih tinggi, gel C-S-H mengalami metamorfosis yang
selalu menyebabkan turunnya compressive strength dan menaikkan permeabilitas
semen. Kejadian ini umum disebut dengan istilah Strength Retrogression, yang
pertama kali dikemukakan oleh SWAYZE pada tahun 1954.
Gel C-S-H sering berubah fasa menjadi Alpha Dicalcium Silicate Hydrate (
-C2SH), yang berbentuk kristal dan lebih padat bentuknya dibandingkan gel C-S-H.
Akibatnya mempengaruhi kelakuan compressive strength dan permeabilitas semen
pada temperatur 230oC (1246oF).
Compresive strength akan hilang dalam waktu satu bulan dan permeabilitas akan
naik. Masalah strength retrogression dapat dicegah dengan menambahkan bubuk
kapur silika dalam bubuk semen.
Pada Gambar 12.10 dibawah ini melukiskan kondisi bermacam-macam komponen
kalsium silika. Rasio C:S diplot terhadap temperatur. Gel C-S-H mempunyai rasio
rata-rata sekitar 1,5. Terjadinya C2SH pada 110oC (230oF) dapat dicegah dengan
penambahan 35 - 40% silika, sehingga mengurangi rasio C:S menjadi sekitar 1. Pada

458 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

kondisi ini, sebuah mineral yang diketahui sebagai Tobermorite (C 5S6H5) terbentuk
yang memberikan sifat strength tinggi dan permeabilitas rendah dapat dipertahankan.
Kenaikan temperatur sampai 149 oC (300oF) menyebabkan tobermorite berubah
menjadi Xonotlite (C6S6H) dan sebagian kecil Gyrolite (C 6S3H2). Namun kadang-
kadang tobermorite bertahan hingga temperatur 250 oC (1282oF), karena adanya
penggantian aluminium dalam struktur atom semen Portland.

Gambar 12.10. Kondisi Komponen Kalsium Silika

Bertambah baiknya kelakuan 'kestabilan silika' semen Portland pada temperatur


tinggi dapat dilihat pada (Gambar 12.11).
Pada temperatur 249oC (1280oF), Truscottite (C7S12H3) mulai terbentuk. Dan
mendekati temperatur 400oC (750oF) baik Xonotlite dan Truscottite mencapai
keadaan yang stabil, dan bila melebihi temperatur stabil ini, maka keduanya dapat
merusak semen.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 459


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.11. Kelakuan Compressive Strength dan Permeabiltas Sistem 16 ppg


Kelas G Distabilkan dengan 35 % silika

Disamping mineral-mineral di atas, terbentuk pula mineral lainnya seperti Pectolite


(NC4S6H), Scawtite (C7S6CH2), Reyelite (KC14S24H5), Kilchoanite (serupa dengan
C3S2H), dan Calcio-chondrodite (serupa dengan C 5S2H). Namun mineral-mineral ini
tidak begitu mempengaruhi sifat-sifat semen.
Semen yang mengandung pectolite selalu memberikan sifat permeabilitas yang
rendah. Bentuk pectolite, sodium kalsium silikat hidrat, dalam pengembangan semen
memuat semen lebih tahan terhadap korosi yang disebabkan adanya air asin.
Sementara scawtite berpengaruh dalam peningkatan compressive strength semen
walaupun hanya sedikit. Umumnya semen yang mengandung kalsium silikat hidrat
dengan rasio kurang dari 1 cenderung mempunyai compressive strength yang tinggi
dan permeabilitas yang rendah.

12.5. Sifat - Sifat Semen.


12.5.1. Densitas
Densitas suspensi semen didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah berat
bubuk semen, air pencampur dan aditif terhadap jumlah volume bubuk semen, air
pencampur dan aditif.
Dirumuskan sebagai berikut :
G  G w  Ga
Dbs  bk ......................................................................................(12-1)
Vvk  Vw  Va
dimana :
Dbs = Densitas suspensi semen, ppg
Gbk = Berat bubuk semen, lbs
Gw = Berat air, lbs
Ga = Berat aditif, lbs
Vbk = Volume bubuk semen, gallon
Vw = Volume air, gallon
Va = Volume aditif, gallon

Densitas suspensi semen sangat berpengaruh terhadap tekanan hidrostatis


suspensi semen di dalam lubang sumur. Bila formasi tidak sanggup menahan
tekanan suspensi semen, maka akan menyebabkan formasi pecah, sehingga terjadi
lost circulation.
Densitas suspensi semen yang rendah sering digunakan dalam operasi primary
cementing dan remedial cementing, guna menghindari terjadinya fracture pada
formasi yang lemah. Untuk menurunkan densitas dapat dilakukan dengan hal-hal
berikut:
 Menambahkan clay atau zat-zat kimia silikat jenis extender.
 Menambahkan bahan-bahan yang dapat memperbesar volume suspensi semen,
seperti pozzolan.
Sedangkan densitas suspensi semen yang tinggi digunakan bila tekanan formasi
cukup besar. Untuk memperbesar densitas dapat ditambahkan pasir atau material-
material pemberat ke dalam suspensi semen, seperti barite.

460 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Pengukuran densitas di laboratorium berdasarkan dari data berat dan volume tiap
komponen yang ada dalam suspensi semen, sedangkan di lapangan dengan
menggunakan alat 'pressurized mud balance'.

12.5.2. Thickening Time Dan Viskositas


Thickening time didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan suspensi semen
untuk mencapai konsistensi sebesar 100 UC (Unit of Consistency). Konsistensi
sebesar 100 UC merupakan batasan bagi suspensi semen masih dapat dipompa lagi.
Dalam penyemenan, sebenarnya yang dimaksud dengan konsistensi adalah
viskositas, cuma dalam pengukurannya ada sedikit perbedaan prinsip. Sehingga
penggunaan konsistensi ini dapat dipakai untuk membedakan viskositas pada operasi
penyemenan dengan viskositas pada operasi pemboran (lumpur pemboran).
Thickening time suspensi semen ini sangatlah penting. Waktu pemompaan harus
lebih kecil dari thickening time, karena bila tidak, akan menyebabkan suspensi semen
akan mengeras lebih dahulu sebelum seluruh suspensi semen mencapai target yang
diinginkan. Dan bila mengeras di dalam casing merupakan kejadian yang sangat fatal
dalam operasi pemboran selanjutnya.
Untuk sumur-sumur yang dalam dan untuk kolom penyemenan yang panjang,
diperlukan waktu pemompaan yang lama, sehingga thickening time harus
diperpanjang. Untuk memperpanjang atau memperlambat thickening time perlu
ditambahkan retarder ke dalam suspensi semen, seperti kalsium lignosulfonat,
carboxymethyl hydroxyethyl cellulose dan senyawa-senyawa asam organik.
Pada sumur-sumur yang dangkal maka diperlukan thickening time yang tidak
lama, karena selain target yang akan dicapai tidak terlalu panjang, juga untuk
mempersingkat waktu. Untuk mempersingkat thickening time, dapat ditambahkan
accelerator kedalam suspensi semen. Yang termasuk accelerator adalah kalsium
klorida, sodium klorida, gipsum, sodium silikat, air laut dan aditif yang tergolong dalam
dispersant. Gambar 12.12 adalah hubungan antara pumpability time dan temperature.
Perencanaan besarnya thickening time bergantung kepada kedalaman sumur dan
waktu untuk mencapai daerah target yang akan disemen. Di laboratorium,
pengukuran thickening time menggunakan alat High Pressure High Temperature
Consistometer (HPHT), disimulasikan pada kondisi temperatur dan tekanan sirkulasi.
Thickening time suspensi semen dibaca bila pada alat diatas telah menunjukkan 100
Bc untuk standar API, namun ada perusahaan lain yang menggunakan angka 70 Bc
(seperti pada Hudbay) dengan pertimbangan faktor keselamatan, kemudian
diekstrapolasi ke 100 UC.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 461


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.12. Pumpability Time Vs Temperatur

Perhitungan konsistensi suspensi semen di laboratorium ini dilakukan dengan


mengisi sampel kedalam silinder, lalu diputar konstan pada 150 rpm kemudian dibaca
harga torsinya. Dan harga konsistensi suspensi semen dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
T  78.2
Bc  ...............................................................................................(12-2)
20.02
dimana :
Bc = Konsistensi suspensi semen
T = Pembacaan harga torsi, g-cm

12.5.3. Filtration Loss


Filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dari suspensi semen ke dalam
formasi permeabel yang dilaluinya. Cairan ini sering disebut dengan filtrat. Filtrat
yang hilang tidak boleh terlalu banyak, karena akan menyebabkan suspensi semen
kekurangan air. Kejadian ini disebut dengan flash set.
Bila suspensi semen mengalami flash set maka akan mengakibatkan friksi di
annulus dan juga dapat mengakibatkan pecahnya formasi.
Pengujian filtration loss di laboratorium menggunakan alat filter press pada
kondisi temperatur sirkulasi dengan tekanan 1.000 psi. Namun filter loss mempunyai
kelemahan yaitu temperatur maksimum yang bisa digunakan hanya sampai 82oC
(180oF). Filtration loss diketahui dari volume filtrat yang ditampung dalam sebuah
tabung atau gelas ukur
Selama 30 menit masa pengujian. Bila waktu pengujian tidak sampai 30 menit,
maka besarnya filtration loss dapat diketahui dengan rumus :
5.477
F30  Ft 30  Ft ....................................................................................(12-3)
t t
dimana :
F30 = Filtrat pada 30 menit, ml
Ft = Filtrat pada t menit, ml
t = Waktu pengukur, menit

462 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Pada primary cementing, filtration loss yang diijinkan sekitar 150-250 cc yang
diukur selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan
pada tekanan 1.000 psi. Sedangkan pada squeeze cementing, filtration loss diijinkan
sekitar 55 - 65 cc selama 30 menit.

12.5.4. Water Cement Ratio (WCR)


Water cement ratio adalah perbandingan air yang dicampur terhadap bubuk
semen sewaktu suspensi semen dibuat. Jumlah air yang dicampur tidak boleh lebih
atau kurang, karena akan mempengaruhi baik-buruknya ikatan semen nantinya.
Batasan jumlah air dalam suspensi semen didefinisikan sebagai kadar minimum
dan kadar maksimum air.
Kadar Minimum Air
Kadar minimum air adalah jumlah air yang dicampurkan tanpa menyebabkan
konsistensi suspensi semen lebih dari 30 UC. Bila air yang ditambahkan lebih kecil
dari kadar minimumnya, maka akan terjadi gesekan gesekan (friksi) yang cukup
besar di annulus sewaktu suspensi semen dipompakan dan juga akan menaikan
tekanan di annulus.

Kadar Maksimum Air


Kadar maksimum air dicari sebagai berikut : Diambil sebuah tabung yang berisi
suspensi semen sebanyak 250 ml, kemudian didiamkan selama 2 jam sehingga
terjadi air bebas pada bagian atas tabung. Air bebas yang terjadi tidak boleh lebih
dari 3,5 ml. Bila air bebas yang terjadi melebihi 3,5 ml maka akan terjadi pori-pori
pada semen. Dan ini mengakibatkan semen mempunyai permeabilitas yang
besar.Kandungan air normal dalam suspensi semen yang direkomendasikan oleh
API diberikan dalam Tabel 12.4. Kadar air yang terdapat dalam suspensi semen
harus berada antara kadar minimum dan kadar maksimumnya. Gambar 12.13
adalah hubungan antara water cement ratio (WCR) dengan densitas cement slurry .
Tabel 12.4. Kandungan Air Normal Dalam Suspensi Semen
API Class Water (%) by Water
Cement weight of Gal L
cement per-sack per Sack
A and B 46 5.19 19.6
C 56 6.32 23.9
D, E, F and H 38 4.29 16.2
G 44 4.97 14.8
J (tentative) - - -

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 463


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.13. Water Cement Ratio (WCR) Vs Densitas Cement Slurry

464 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.5.5. Waiting On Cement (WOC)


Waiting on cement atau waktu menunggu pengerasan suspensi semen adalah
waktu yang dihitung saat wiper plug diturunkan sampai kemudian plug dibor kembali
untuk operasi selanjutnya. WOC ditentukan oleh faktor-faktor seperti tekanan dan
temperatur sumur, WCR, compressive strength dan aditif-aditif yang dicampur ke
dalam suspensi semen (seperti accelerator atau retarder), pada umumnya diambil
angka sekitar 24 jam.

12.5.6. Permeabilitas
Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras, dan bermakna sama dengan
permeabilitas pada batuan formasi yang berarti kemampuan untuk mengalirkan
fluida. Semakin besar permeabilitas semen maka semakin banyak fluida yang dapat
melalui semen tersebut, dan begitu pula untuk keadaan yang sebaliknya.
Dalam hasil penyemenan, permeabilitas semen yang diinginkan adalah tidak ada
atau sekecil mungkin. Karena bila permeabilitas semen besar akan menyebabkan
terjadinya kontak fluida antara formasi dengan annulus dan strength semen
berkurang, sehingga fungsi semen tidak akan seperti yang diinginkan, yaitu
menyekat casing dengan fluida formasi yang korosif. Bertambahnya permeabilitas
semen dapat disebabkan karena air pencampur terlalu banyak, karena kelebihan
aditif atau temperatur formasi yang terlalu tinggi.
Perhitungan permeabilitas semen di laboratorium dapat dilakukan dengan
menggunakan 'Cement Permeameter'. Dengan menggunakan sampel semen,
permeabilitas diukur dengan mengukur laju alir air yang melalui luas permukaan
sampel yang diberi perbedaan tekanan sepanjang sampel tersebut. Perhitungan
permeabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Darcy berikut :
QL
k ...........................................................................................................(12-4)
AP
dimana :
k = Permeabilitas, D
q = Laju alir, ml/s
 = Viscositas air, cp
L = Panjang sampel, cm
A = Luas permukaan sampel, cm2
P = Perbedaan tekanan, atm

12.5.7. Compressive Strength Dan Shear Strength


Strength pada semen terbagi dua, yakni compressive strength dan shear
strength. Compressive strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam
menahan tekanan-tekanan yang berasal dari formasi maupun dari casing,
sedangkan shear strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan
berat casing. Jadi compressive strength menahan tekanan-tekanan dalam arah
horizontal dan shear strength semen menahan tekanan- tekanan dari arah vertikal.
Dalam mengukur strength semen, seringkali yang diukur adalah compressive
strength dari pada shear strength. Umumnya compressive strength mempunyai
harga 8 - 10 kali lebih dari harga shear strength. Pengujian compressive strength di
laboratorium dilakukan dengan menggunakan alat Curing Chamber dan Hydraulic
Mortar.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 465


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Curing Chamber dapat mensimulasikan kondisi lingkungan semen untuk


temperatur dan tekanan tinggi sesuai dengan temperatur dan tekanan formasi.
Hydraulic Mortar merupakan mesin pemecah semen yang sudah mengeras dalam
Curing Chamber. Strength minimum yang direkomendasikan oleh API untuk dapat
melanjutkan operasi pemboran adalah 6, 7 MPa (1.000 psi)
Untuk mencapai hasil penyemenan yang diinginkan, maka strength semen harus:
 Melindungi dan menyokong casing
 Menahan tekanan hidrolik yang tinggi tanpa terjadinya perekahan.
 Menahan goncangan selama operasi pemboran dan perforasi.
 Menyekat lubang dari fluida formasi yang korosif.
 Menyekat antar lapisan yang permeabel.

Gambar 12.14 dan 4.15 memperlihatkan hubungan antara temperatur dan


compressive strength serta hubungan tekanan dan compressive strength. Gambar
12.16 memperlihatkan CBL chart yang digunakan untuk menentukan besarnya
compressive strength semen.

Gambar 12.14. Temperatur Vs Compressive Strength

466 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.15. Tekanan Vs Compressive Strength.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 467


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.15a. CBL Interpreation Chart


12.5.8. Pengendapan Partikel dan Air Bebas (Particle Settling & Free Water)
Efek sampingan dari penambahan dispersant adalah akan terjadinya sedimentasi
dan terjadi degradasi densitas suspensi semen dari bagian atas dan bagian
bawahnya serta adanya air bebas dibagian atas suspensi semen.
Pengendapan partikel (sedimentasi) akan menyebabkan terbentuknya semen
yang mempunyai pori-pori yang cukup besar sehingga akan terbentuk semen yang
memiliki permeabilitas yang cukup besar pula.

468 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Dengan adanya free water di permukaan semen, akan memperburuk hasil


penyemenan, terutama untuk penyemenan sumur-sumur miring atau horizontal
sehingga akan menimbulkan chaneling yang cukup panjang terutama dibagian atas
dari suspensi semen.
Gambar 12.16 memperlihatkan tiga tipe proses pengendapan dari suspensi
semen. Gambar 12.17 memperlihatkan harga yield dan free water dari semen klas G
dengan dan tanpa menggunakan anti-settling agent. Sedangkan gambar 12.18
memperlihatkan perbandingan degradasi densitas semen pada set column cement

Gambar 12.16. Kondisi Bubur Semen Yang Mempunyai Berbagai Kandungan Air
(WCR)

Gambar 12.17.Perubahan Yield dan Free Water Akibat Penambahan Dispersant

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 469


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.18. Distribusi Densitas Pada Bubur Semen Dalam Gelas


Ukur Dengan dan Tanpa MgCl2
12.5.9. Sulfat Resistance
Air asin bawah permukaan biasanya banyak mengandung sodium sulfat dan
kerusakan dapat terjadi ketika larutan tersebut bereaksi dengan hasil hidrasi semen
tertentu. Magnesium dan sodium sulfat bereaksi dengan endapan kalsium hidroksida
membentuk magnesium dan sodium hidroksida serta kalsium sulfat. Kalsium sulfat
dapat bereaksi kembali dengan aluminat membentuk mineral ettringite (bentuk hidrat
dari calcium trisulfoaluminate yang dihasilkan dari pencampuran antara CA 3 dan
gipsum yang terdapat dalam semen Portland dengan air)

12.6. Aditif Yang Digunakan Dalam Suspensi Semen.


Sistem semen Portland ada yang di desain sampai temperatur 371oC (700oF),
misalnya untuk sumur-sumur geothermal. Juga ada yang didesain untuk tekanan
30.000 psi, misalnya untuk sumur-sumur yang dalam. Kondisi sumur ini memang
mempengaruhi dalam pemilihan jenis semen namun sangat jarang memilih bubuk
semen hanya tergantung dari kondisi sumur saja (seperti temperatur, tekanan dan
kedalaman ). Ada faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi dalam pembuatan
suspensi semen, seperti waktu dan harga. Selain itu pembuatan suspensi semen
harus memperhatikan juga sifat dari suspensi semen tersebut. Oleh karena itu perlu
ditambah ke dalam 'net semen' (suspensi semen yang hanya terdiri dari bubuk
semen dan air) suatu zat-zat kimia agar dicapai hasil penyemenan yang diinginkan.
Zat-zat kimia tersebut dikenal sebagai aditif.
Hingga saat ini lebih dari 100 aditif telah dikenal. Namun umumnya aditif-aditif itu
dapat dikelompokkan dalam 8 kategori, yaitu :
 Accelerator
 Retarder
 Extender
 Weighting Agent
 Dispersant

470 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

 Fluid-lossControl Agent
 LostCirculation Agent
 Specially Additives

12.6.1. Accelerator.
Accelerator adalah aditif yang dapat mempercepat proses pengerasan suspensi
semen. Selain itu dapat juga mempercepat naiknya strength semen dan
mengimbangi aditif lain (seperti dispersant dan fluida loss control agent), agar tidak
tertunda proses pengerasan suspensi semennya.
Sumur-sumur yang dangkal seringkali menggunakan accelerator, karena selain
temperatur dan tekanan yang umumnya rendah, juga karena jarak untuk mencapai
target tidak terlalu panjang.
Contoh-contoh aditif yang berlaku sebagai accelerator adalah kalsium klorida ,
sodium klorida, gipsum, sodium silikat dan air laut.
Kalsium Klorida
Umumnya penambahan kalsium klorida antara 2 - 4% saja kedalam suspensi
semen. Pengaruhnya dapat mempercepat thickening time dan menaikkan
compressive strength .
Sodium Klorida
Sodium klorida atau Narium klorida dengan kadar sampai 10% BWOMW (by weight
on mix water) berlaku sebagai accelarator. Pengaruhnya terhadap thickening time
dan compressive strength semen dapat dilihat pada gambar 12.19.

Gambar 12.19. Efek Sodium Klorida pada Thickening Time dan Compressive
Strength

12.6.2. Retarder
Retarder adalah aditif yang dapat memperlambat proses pengerasan suspensi
semen, sehingga suspensi semen mempunyai waktu yang cukup untuk mencapai
kedalaman target yang diinginkan.
Retarder sering digunakan dalam menyemen casing pada sumur-sumur yang
dalam, sumur-sumur yang bertemperatur tinggi atau untuk kolom penyemenan yang
panjang.
Aditif yang berlaku sebagai retarder antara lain lignosulfonat, senyawa-senyawa
asam organik dan CMHEC.
Lignosulfonat

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 471


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Lignosufonat merupakan polymer yang terbuat dari pulp. Umumnya dengan kadar
0,1 - 1,5% BWOC (by weight on cement) efektif dicampur ke dalam suspensi semen
untuk berfungsi sebagai retarder. Pada gambar 12.20 dapat dilihat fungsi
lignosulfonat hingga temperatur 62 oC (144oF), namun tetap efektif sampai
temperatur 121oC (250oF). Dan bila ditambah dengan sodium borate dapat bertahan
sebagai retarder hingga temperatur 315 oC (600oF).

Gambar 12.20. Efek Retardasi Lignosulfonat 24)


CMHEC
CMHEC atau Carboxymethyl Hydroxyetyl Cellulose merupakan polisakarid yang
terbentuk dari kayu, dan tetap stabilbila terdapat alkalin pada suspensi semen.
CMHEC tetap efektif sebagai retarder hingga temperatur 121 oC (250oF).

12.6.3. Extender
Extender adalah aditif yang berfungsi untuk menaikkan volume suspensi semen,
yang berhubungan dengan mengurangi densitas suspensi semen tersebut. Pada
umumnya penambahan extender ke dalam suspensi semen diikuti dengan
penambahan air.
Adapun yang termasuk extender antara lain bentonite, attapulgite, sodium silikat,
pozzolan, perlite dan gilsonite.
Bentonite
Bentonite bersifat banyak mengisap air, sehingga volume suspensi semen bisa
menjadi 10 kalinya. API merekomendasikan bahwa setiap penambahan 1%
bentonite ditambahkan pula 5,3 % air (BWOC), yang berlaku untuk seluruh kelas
semen. Pengaruh lain dari penambahan bentonite adalah yield semen naik, kualitas
perforasi lebih baik, compressive strength menurun, permeabilitas naik, viskositas
naik dan biaya lebih murah. Untuk temperatur di atas 110 oC (230oF), penambahan
bentonite akan menyebabkan turunnya compressive strength secara drastis.
Sodium Silikat

472 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Sodium silikat dengan kadar 0,2 - 3% BWOC dapat menurunkan densitas suspensi
semen dari 14,5 ppg menjadi 11 ppg. Dan umumnya dengan bertambahnya kadar
sodium silikat tersebut, maka compressive strength semen menurun.
Pozzolan
Pozzolan terbentuk dari material-material seperti aluminium dan silika yang bereaksi
dengan kalsium hidroksida. Ada dua jenis pozzolan, yaitu pozzolan alam seperti
diatomaceous earth dan pozzolan buatan seperti fly ashes. Diatomaceous earth
sebagai extender tidak memperbesar viscositas suspensi semen dan harganya
cukup mahal. Sedangkan fly ashes dapat mempercepat naiknya compressive
strength serta harganya sangat murah.
Expanded Perlite
Perlite merupakan extender yang berasal dari batuan vulkanik. Penambahan Perlite
biasanya diikuti dengan penambahan bentonite sekitar 2 - 4% untuk mencegah
terjadinya pemisahan dengan slurry.
Gilsonite
Gilsonite terjadi pada mineral aspal, yang mula-mula ditemukan di Colorado dan
Utah. Dengan spesific gravity 1,07 dan cukup dengan jumlah air yang sedikit (sekitar
2 gal/ft3) akan didapat densitas suspensi semen yang rendah. Kadar gilsonite
sampai 50 lb yang dicampur dengan 1 sak semen Portland dapat menghasilkan
densitas suspensi semen sekitar 12 ppg.

Tabel 12.5. Berbagai Extender Sebagai Penurunan Tekanan

12.6.4. Weighting Agents


Weighting agents adalah aditif-aditif yang berfungsi menaikkan densitas suspensi
semen. Umumnya weighting agents digunakan pada sumur-sumur yang mempunyai
tekanan formasi yang tinggi.
Aditif-aditif yang termasuk ke dalam weighting agents adalah hematite, ilmenite,
barite dan pasir.
Hematite.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 473


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Hematite adalah material berbentuk kristal yang berwarna merah. Dengan


mempunyai spesific gravity sebesar 4,95, maka hematite termasuk paling efisien
sebagai weighting agent. Densitas suspensi semen bisa mencapai 19 - 22 ppg bila
ditambah hematite.
Ilmenite
Ilmenite merupakan aditif yang terbaik sebagai weighting agent. Material ini
merupakan inert solid dan tidak berpengaruh terhadap thickening time. Dengan
mempunyai spesific gravity sekitar 4,45, maka supensi semen bila ditambahkan
ilmenite bisa mencapai densitas lebih dari 20 ppg.

Barite
Barite merupakan aditif yang paling umum digunakan sebagai weighting agent, baik
itu untuk suspensi semen maupun dalam lumpur pemboran. Penambahan barite
harus disertai pula dengan penambahan air untuk membasahi permukaan partikel
barite yang besar. Dengan spesific gravity 4,23, maka barite dapat menaikkan
densitas suspensi semen sampai sekitar 19 ppg.
Pasir
Pasir yang digunakan sebagai weighting agent adalah pasir Ottawa. Dengan spesific
gravity 2,63, maka densitas suspensi semen yang mengandung pasir Ottawa ini
dapat mencapai 18 ppg. Penggunaan pasir Ottawa ini biasanya digunakan untuk
menyemen lubang sebagai tempat pemasangan whipstock dan untuk plug job.

12.6.5. Dispersant
Dispersant adalah aditif yang dapat mengurangi viskositas suspensi semen.
Pengurangan vikositas atau friksi terjadi karena dispersant mempunyai kelakuan
sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer,
sehingga dapat mengalir dengan aliran turbulen walaupun dipompa dengan rate
yang rendah.
Aditif-aditif yang tergolong dispersant adalah senyawa-senyawa sulfonat.
Polymelamine Sulfonate. Polymelamine sulfonate (PMS) dengan kandungan
0,4% BWOC sering dicampur dengan suspensi semen sebagai dispersant. Sampai
temperatur 85oC (185oF), PMS tetap efektif karena unsur-unsur kimianya masih
stabil.

474 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.21. Efek Dispersant Pada Rheologi Suspensi Semen

Polynaphtalena Sulfonate. Polynaphtalena sulfonate (PNS) merupakan


dispersant yang umum digunakan. Dan bila pada suspensi semen berisi NaCl, maka
ditambahkan PNS sebanyak 4% BWOC.
12.6.6. Fluid-Loss Control Agents
Fluid-loss control agent adalah aditif-aditif yang berfungsi mencegah hilangnya
fasa liquid semen ke dalam formasi, sehingga terjaga kandungan cairan pada
suspensi semen.
Pada primary cementing, fluid-loss yang diijinkan sekitar 150 - 250 cc yang diukur
selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan pada
tekanan 1.000 psi. Sedang pada squeeze cementing, fluid- loss yang diijinkan sekitar
55-65 cc selama 30 menit dengan menggunakan saringan ukuran 325 mesh dan
pada tekanan 1.000 psi.
Aditif-aditif yang termasuk ke dalam fluid-loss control agents diantaranya polymer,
CMHEC dan latex.

12.6.7. Lost Circulation Control Agents


Lost circulation control agents merupakan aditif-aditif yang mengontrol hilangnya
suspensi semen ke dalam formasi yang lemah atau bergoa. Biasanya material lost
circulation yang dipakai pada lumpur pemboran digunakan pula dalam suspensi
semen.
Aditif-aditif yang termasuk dalam lost circulation control agents diantaranya
gilsonite, cellophane flakes, gipsum, bentonite dan nut shell.

12.6.8. Special Additives

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 475


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Ada bermacam-macam aditif lainnya yang dikelompokkan sebagai special


additives, diantaranya silika, mud kill, radioactive tracers, fibers, antifoam agents dan
lainnya.
Silika
Bubuk silika atau tepung silika umumnya digunakan sebagai aditif dalam operasi
penyemenan supaya strength semen tidak hilang pada temperatur tinggi.
Dari test difraksi sinar-X menghasilkan bahwa penambahan silika sebanyak 20 -
40% menunjukkan naiknya strength semen bila temperatur diatas 110oC (230oF),
dan pada temperatur yang sama bila suspensi semen tidak mengandung silika bila
semen telah mengeras akan kehilangan strengthnya sampai setengah kalinya
setelah 14 jam.
Test difraksi sinar-X ini menerangkan bahwa strength retrogression terjadi karena
munculnya produk kalsium hidroksida dan alpha dicalcium silicate hydrate dalam
semen. Produk ini munculnya dapat sekaligus berdua atau sendiri-sendiri,
tergantung pada temperatur saat penyemenan terjadi. Ketika silika telah
ditambahkan, sebagian silika tersebut bereaksi dengan kalsium hidroksida
membentuk dicalcium silicate hidrate, dan sebagian silika lagi bereaksi dengan alpha
dicalcium silicate hydrate membentuk mineral yang dikenal sebagai tobermorite ini
yang memberikan strength semen tetap kuat.
Silika dapat ditambahkan kedalam semua kelas semen yang ada. Penambahan
silika yang baik sekitar 30 - 40%. Tepung silika yang berukuran kurang dari 200
mesh dapat ditambahkan air seba-nyak 40% dari berat silika. Gambar 12.22 adalah
gambaran mengenai pengaruh penambahan silika

Gambar 12.22. Efek Silika Terhadap Perubahan Compressive Strength Pada


Berbagai Temperatur

Mud Kill
Mud Kill berfungsi sebagai aditif yang menetralisir bubur semen terhadap zat-zat
kimia dalam lumpur pemboran. Contoh mud kil adalah 'paraformaldehyde'. Mud kill
juga memberi keuntungan, seperti memperkuat ikatan semen dan memperbesar
strength semen.

476 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Radioactive Tracers
Radioactive tracers ditambahkan ke dalam suspensi semen supaya memudahkan
operasi logging dalam menentukan posisi semen dan mengetahui kualitas ikatan
semen.
Antifoam Agents.
Adanya foam dalam suspensi semen sering menyebabkan hilangnya tekanan
pemompaan, maka untuk mencegahnya ditambahkan antifoam agent. Polypropylene
Glycol adalah contoh antifoam agent yang sering digunakan, karena selain efektif
juga harganya murah.

12.7. Perhitungan Pada Penyemenan


API Spec. 10 (1988) secara khusus membahas jumlah air yang harus ditambahkan
ke dalam bubuk semen. API Spec. ini berhubungan dengan densitas suspensi semen
(umumnya SG = 3.14 gr/cc untuk semen Portland), tergantung pada kelas semen
(Tabel 12.5) dan umumnya merupakan fungsi dari luas permukaan semen. Dan bila
additive hadir dalam suspensi, jumlah air yang sudah ditambahkan dengan tepat untuk
mencapai densitas yang diinginkan akan berubah.

12.7.1. Specific Gravity


Specific Gravity (SG) semen Portland berkisar antara 3.10 sampai 3.25
tergantung kepada material dasar yang digunakan dalam pembuatannya. Untuk
perhitungan selanjutnya asumsi SG digunakan harga 3.14 gr/cc.

Tabel 12.6. Sifat-Sifat Slurry Neat Semen


PROPERTIES OF NEAT CEMENT SLURRIES
Cla Slurry Gallons Cut.ft Percent
ss Weight Mixing Slurry/sk Mixing
/b/gal Water/sk Cement Water
A 15.6 5.20 1.18 46
B 15.6 5.20 1.18 46
C 14.8 6.32 1.32 56
D 16.46 4.29 1.05 38
G 15.8 4.97 1.15 44
H 16.48 4.29 1.05 38

12.7.2. Volume absolute dan Volume Bulk


Volume absolute suatu material adalah volume yang mencakup hanya volume
material itu sendiri (tidak termasuk volume udara yang terdapat di sekeliling partikel).
Sedangkan volume yang mencakup volume material ditambah volume udara
disekitarnya disebut dengan volume bulk.
Semen Portland umumnya mempunyai volume bulk 1 cuft untuk 94 lb, yang
sering disebut dengan "sack". Volume absolute untuk 94 lb semen adalah 0.48 cuft
(3.59 US Gallon). Untuk semen semen lain akan memiliki volume absolute dan bulk

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 477


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

yang berbeda. Tabel 12.6 memperlihatkan beberapa data volume absolute dan bulk
dari berbagai semen (dalam SI dan English Unit).

Tabel 12.7. Volume Absolute Dan Bulk


Sack Bulk Absolute Volume
Weight Volume (gal, lb) (m3/T)
(lb) (ft3/sk)
API Classes A 94 1.0 0.0382 0.317
through H
Class J 94 1.0 0.0409 0.341
Trinity Lite 75 1.0 0.0409 0.375
Wate
TXI 75 1.0 0.0425 0.355
Lightweight
Ciment Fondu 87.5 1.0 0.0373 0.312
Luinnite 94 1.0 0.0380 0.317

Sedangkan volume absolute dan bulk untuk berbagai material additive semen
biasanya diberikan oleh masing-masing pabrik pembuatnya. Tabel 12.7
memperlihatkan informasi berbagai volume absolute dan SG beberapa jenis aditif.

478 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 12.8. Volume Absolute Dan SG Beberapa Jenis Aditif


Material Absolute Volume Specific
(gal/lb) Gravity
(m3/T
Barite 0.0278 0.231 4.33
Bentonite 0.0454 0.377 2.65
Coal 0.0925 0.769 1.30
(ground)
Gilsonite 0.1123 0.935 1.06
Hematite 0.0244 0.202 4.95
Llmenite 0.0270 0.225 4.44
Silica Sand 0.0454 0.377 2.65
NaCl 0.0556 0.463 2.15
(above
saturation)
Fresh 0.1202 1.000 1.00
Water

12.7.3. Konsentrasi Aditif


Konsentrasi dari sebagian besar aditif yang ditambahkan ke dalam semen
dinyatakan dalam persen berat semen (BWOC, by weight of cement). Metoda ini
juga digunakan dalam proses penambahan air.
Contoh :
Jika 35 % (BWOC) pasir silika digunakan dalam pembuatan semen, maka jumlah
silika untuk tiap sack semen adalah 94 lb x 0.35 = 32.9 lb silika. Jumlah ini sama
dengan 94 + 32.9 = 126.9 lb untuk total campuran keseluruhan. Jadi prosentase
silika sebenarnya dalam campuran adalah 32.9 : 126.9 = 25.9 %.
Sedangkan untuk aditif dalam bentuk cair umumnya menggunakan istilah gallon
per sack semen.
Contoh :
Sodium silicate cair (volume absolute 0.0859 gal/lb). Jika ditambahkan 0.4 gal/sk
sodium silicate, maka berat material tersebut adalah (0.4 gal/sk) / (0.0859 gal/lb) =
4.66 lb/sk.

12.7.4. Densitas Semen dan Yield Semen


Densitas semen dihitung dengan menambahkan massa dari komponen suspensi
semen dan dibagi dengan total absolute volume atau untuk menentukan densitas
(lb/gal), total berat (pounds) dibagi dengan total volume (gallons). Hampir semua
perhitungan densitas berdasarkan harga satu sack semen adalah 94 lb.
Yield semen adalah volume yang mencakup satu unit semen ditambah semua
additive dan air pencampur. Untuk satuan semen sering disebut dengan sack, dan
yield semen dinyatakan dalam cuft/sk. Yield semen digunakan untuk menghitung
jumlah sack semen yang diperlukan untuk mencapai keperluan volume di annulus.
CATATAN :Untuk aditif yang jumlahnya kurang dari 1 % biasanya dalam
perhitungan diabaikan.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 479


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Contoh :
Semen kelas G (abs vol. = 0.0382) + 35 % Silica Flour (abs. vol. = 0.0454) + 1 %
solid cellulosic fluid loss additive ( abs. vol. = 0.0932) + 0.2 gal/sk cairan PNS
Disepersant (abs. vol. = 0.1014) + 44 % air (abs. vol. = 0.1202). Tentukan : Densitas
dan Yield Suspensi

12.7.5. Volume Annulus


Volume Annulus dihitung untuk menentukan jumlah semen yang diperlukan untuk
melakukan operasi penyemenan. Perhitungan ini biasanya berdasarkan ukuran bit
ditambah volume tambahan yang biasanya berdasarkan pengalaman lapangan
(umumnya 10 % - 15 %) . Perhitungan ini memungkinkan service company
menentukan total waktu yang diperlukan untuk mencampur dan memompakan
semen serta mendorongnya ke dalam annulus.
Contoh:
Bila volume semen = 43.34 cuft, faktor volume tambahan = 1.10, sehingga volume
total = 47.7 cuft. Bila diketahui yield semen 1.18 cuft/sk, maka semen yang
dibutuhkan sekitar 47.7 / 1.18 = 40.4 sk.

12.8. Contoh Perhitungan


1. Lihat gambar 12.23 berikut data tambahan sebagai berikut :

Gambar 12.23. Data Tambahan

Surface casing = 13 3/8 " (54.50 lb/ft) sampai 1700 ft


Openhole = 12 1/4" sampai 4950 ft Intermediate
Casing = 9 5/8 " (36.00 lb/ft)

480 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tambahan volume = 25 %
Shoe joint = 42 ft
Top of cement = 300 ft (dalam 13 3/8 " casing)
Top of Tail = 4450 ft
Lead cement = 13.0 lb/gal (yield = 1.50 cuft/sk)
Tail cement = 16.4 lb/gal (yield = 1.05 cuft/sk)
Displacement fluid = 11.5 lb/gal (lumpur)
Formasi lemah = 3125 psi (di 4320 ft)
Tekanan tertinggi = 3150 psi (di 4800 ft)
Tentukan :
a. Volume semen
b. Volume displacement
c. Tekanan pompa untuk mendudukkan plug
d. Hidrostatik pressure pada formasi

2. Penyemenan Intermediate Casing (tanpa Surface Casing)


a. Data
Casing Setting Depth = 3000 ft
Hole Size = 17,5 inch
Casing = 13,375 inch OD; 12,615 inch ID
Float Collar (diatas Shoe) = 44 feet
Pump (Duplex) = 0,112 bbl/stroke
Pump Rate = 25 SPM, psi,
Weak fracture gradien = 0,8 psi/ft at 3000 ft Depth
Mud Density = 100 ppg

b. Cement Program
LEAD cement = 2000 ft
Class G (0,0382 gal/lb ) + 50% water (0,12 gal/lb) + 4% bentonite (0,0454 gal/lb)
TAIL cement = 1000 feet
Class G (0,0382 gal/lb) + 35 % silika (0,0454 gal/lb) + 45% water (0,12 gal/lb)
Excess Volume = 50%

c. Tentukan :
1. Density dan Yield dari LEAD Cement
2. Density dan Yield dari TAIL Cement
3. Jumlah Sak semen yang diperlukan untuk LEAD Cement
4. Jumlah Sak semen yang diperlukan untuk TAIL Cement
5. Barrel lumpur yang diperlukan untuk mendorong top plug ke bottom plug
6. Stroke dan waktu (menit) pompa untuk mendorong top plug ke bottom
plug
7. Tekanan hidrostatis di dasar annulus (psi)
8. Tekanan hidrostatis di dasar dalam casing (psi)
9. Tekanan maksimum pompa yang diperlukan
10. Apakah terjadi loss circulation di bagian formasi yang terlemah

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 481


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.9. Semen-Semen Khusus


12.9.1. Semen Menggumpal (Thixotropic Cement)
Thixotropy adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat suatu
sistem, yang berupa fluida bila mendapat shear, tetapi membuat struktur gel dan
dapat menyangga beratnya sendiri atau self-supporting. Dalam pengertian praktis,
suspensi semen thixotrapic berupa fluida yang encer selama pencampuran dan
pemindahan (displacement) tetapi dengan cepat membentuk struktur gel yang tegar
bila pemompaan dihentikan. Bila dilakukan reagitasi, struktur gel itu rusak dan
suspensi kembali menjadi fluida dan dapat dipompa. Kemudian, selama penghentian
shear, struktur gel terbentuk kembali dan suspensi kembali menjadi self-supporting
(lihat gambar 12.24). Jenis kelakuan reologi ini bersifat reversibel (dapat dibalik).

Gambar 12.24. Kebutuhan Tekanan Awal Untuk Mengalirkan Suspensi Semen


Sistem semen thixotropic mempunyai beberapa penerapan penting. Biasanya
digunakan pada sumur yang sering mengalami fallback yang besar pada kolom
semen. Sumur-sumur seperti itu memiliki zona-zona lemah yang merekah pada
tekanan hidrostatis rendah. Semen yang bersifat self-supporting mengurangi tekanan
hidrostatis pada formasi bila gel strength meningkat, sehingga fallback dapat
dicegah.
Penerapan penting lainnya yaitu untuk treatment terhadap hilang sirkulasi selama
pemboran. Bila suspensi thixotropic memasuki thief zone, kecepatan leading edge
menurun dan struktur gel mulai terbentuk. Zone itu menjadi tersumbat karena terjadi
kenaikan tahanan aliran. Sekali semen telah diset, zone itu terkonsolidasi dengan
efektif.
Pengunaan-penggunaan lain sistem semen thixotropic yaitu : untuk memperbaiki
casing yang split atau berkarat, sebagai suspensi lead untuk remendial cementing
dimana sulit untuk mencapai tekanan squeeze, sebagai grout pada keadaan dimana
suspensi diinginkan menjadi immobile dengan cepat, dan untuk mencegah migrasi
gas pada keadaan tertentu.
Suspensi semen thixotropic mempunyai karakteristik lain. Setelah satu siklus
dinamis-statis, gel strength dan yield point cenderung meningkat. Selama oprerasi

482 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

penyemenan hal ini dapat menjadi masalah karena setelah penghentian hal ini dapat
menjadi masalah karena stelah pengertian beberapa kali, diperlukan tekanan pompa
yang besar untuk memulai gerakan. Karena alasan ini, kebanyakan operator
mencoba menghindari shutdown yang lama ketika memompa sistem ini.

12.9.2. Semen Mengembang (Expanding Cement).


Ikatan yang baik antara semen dan pipa dan antara semen dan formasi penting
untuk mengisolasi zone secara efektif. Ikatan yang buruk akan membatasi produksi
yang diinginkan dan mengurangi keefektifan stimulasi. Komunikasi antara zone-zone
dapat disebabkan oleh pemindahan lumpur yang tidak mencukupi, ikatan
semen/formasi yang buruk karena terbentuknya mud cake yang tebal,
pengembangan dan kontraksi casing karena tekanan internal atau thermal stress,
dan kontaminasi semen oleh fluida pemboran atau fluida formasi. Pada keadaan-
keadaan tersebut, celah yang kecil atau mikro annulus sering terdapat pada antar
muka semen/casing pada anatarmuka semen/formasi.
Sistem semen yang sedikit mengembang setelah setting dapat menyumbat
mikroanuli dan memperbaiki hasil primary cementing. Ikatan yang lebih baik berasal
dari tahanan mekanik atau pengetatan semen terhadap pipa dan formasi. Ikatan
yang lebih baik dapat diperoleh bahkan bila lumpur tertinggal di casing atau
permukaan formasi.
Pembuat semen Portland membatasi jumlah pengotoran alkalin tertentu untuk
mencegah pengembangan semen. Pada suatu lingkungan yang tidak terbatasi,
seperti jalan atau bangunan, pengembangan semen dapat menyebabkan keretakan
dan kegagalan. Pada lingkungan lubang sumur, semen dibatasi oleh casing dan
formasi, karena itu bila semen telah mengembang dengan mengurangi ruang
kosong, pengembangan yang terjadi kemudian merupakan pengurangan porositas
internal semen. Gambar 12.25 memperlihatkan perbandingan pengembangan antara
semen standard dengan expansion cement.

Gambar 12.25. Efek Expansive Cement System Terhadap Pengembangan Semen

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 483


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.9.3. Semen Untuk Daerah Dingin (Freeze Protected Cement)


Operasi perminyakan di lingkaran kutub Utara atau Arktik sangat meningkat sejak
dibukanya lapangan Prudhoe Bay di Alaska dan pemboran eksplorasi yang ekstensif
di Delta Mackenzie di Kanada dan daerah Pulau Arctic. Di Siberia Barat juga telah
dikembangkan lapangan gas yang sangat besar.
Pada kebanyakan lokasi di Arktik, para operator harus mempertimbangkan zone
yang disebut permafrost pada waktu pemboran, penyemenan dan operasi-operasi
produksi. Pengalaman menunjukkan bahwa operator di lingkungan Arktik mengalami
masalah-masalah unik yang disebabkan udara yang sangat
dingin, tanah yang membeku, logistik yang sulit, dan semua itu ditambah dengan
lokasi di offshore. Kondisi alamiah lain yang memerlukan praktek pemboran dan
komplesi yang unik yaitu : suhu permukaan yang sangat dingin yang mempengaruhi
peralatan dan tenaga kerja, dekat dengan magnet Kutub Utara yang berpengaruh
pada pemboran berarah, dan tundra (di onshore) atau lapisan es tebal (di offshore)
yang memerlukan desain khusus, mobilitas, dan pertimbangan lingkungan.
Semen - semen arktik harus dijaga dari beku sampai reaksi setting sempurna.
Untuk mencegah pembekuan sebelum setting dapat dilakukan:
 mempertahankan lingkungan yang hangat
 menurunkan titik beku
 menggunakan semen fast-setting (yang menset dalam waktu singkat) dan memiliki
panas hidrasi tinggi untuk menopang reaksi.

Semen-semen biasa, yaitu API kelas A, B, C atau G, menggunakan cara kedua,


sedangkan cara ketiga digunakan oleh semen kalsium - aluminat.

12.9.4. Semen Bergaram (Salt Cement)


Sistem semen yang mengandung NaCl atau KCl dalam jumlah cukup besar
disebut semen bergaram atau salt cement. Garam banyak digunakan dalam
penyemenan sumur karena tiga alasan dasar :
 Pada daerah tertentu, terdapat garam dalam campuran air, misalnya di offshore.
 Garam adalah bahan yang murah dan utama, bila dipakai sebagai aditif dapat
mengubah kelakuan sistem semen.
 Penambahan garam dalam jumlah besar telah terbukti baik pada saat
menempatkan semen melalui formasi garam masif atau zone yang sensitif
terhadap air.
 Walaupun yang paling banyak digunakan adalah NaCl, pemakaian KCl dapat
melindungi formasi clay yang sensitif. Efek KCl dan NaCl terhadap unjuk kerja
sistem semen sama, tetapi menurut Smith (1987), KCl menyebabkan viskositas
suspensi tinggi pada konsentrasi tinggi.

12.9.5. Semen Berlatex ( Latex Modified Cemment)


Latex adalah istilah umum untuk suatu emulsi polimer, berupa suspensi seperti
susu yang mempunyai partikel polimer yang sangat kecil, berdiameter 200 - 500 nm,
dan distabilkan oleh surfaktan untuk meningkatkan ketahanan terhadap pencairan
atau pembekuan dan mencegah koagulasi pada saat ditambahkan kepada semen

484 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Portland. Kebanyakan dispersi latex mengandung kira-kira 50 % padatan. Banyak


jenis monomer, termasuk vinil asetat, vinil klorida, akrilik, akrilonitril, etilen, stiren,
dan butadiena dipolimerkan untuk membuat latice.
Pertama latice digunakan pada semen Portland pada 1920-an, yaitu latex karet
alam ditambahkan kepada adukan semen. Latex banyak dipakai karena dapat
memperbaiki untuk kerja sebagai berikut :
 meningkatkan kemampuan bekerja
 menurunkan permeabilitas
 meningkatkan tensile strenght
 menurunkan penyusutan
 meningkatkan elastisitas
 meningkatkan ikatan antara semen/baja dan semen/antar muka semen.
Volume penyusutan yang diamati adalah akibat hidrasi semen. Selama setting,
terjadi stess pada matriks semen yang menghasilkan microcraks atau rekahan kecil.
Perambatan rekahan itu menurunkan kapasitas tensile semen dan meningkatkan
permeabilitasnya. Pada sistem latex yang telah dimodifikasi, partikel-partikel latex
akan bergabung untuk membentuk suatu film plastik yang akan mengelilingi dan
menyelimuti gel C-S-H itu. Karena elastisitas dan ikatan strength yang kuat, latex
akan mengisi rekahan-rekahan dan menahan perambatannya, akibatnya kekuatan
tensile semen meningkat dan permeabilitasnya menurun.

12.9.6. Semen Untuk Lingkungan Korosif


Pada lingkungan sumur, semen Portland mengalami serangan kimia dari formasi
tertentu dan dari bahan-bahan yang diinjeksikan dari permukaan. Air bergaram dari
sumur panas bumi yang mengandung CO 2 adalah yang terutama merusak keutuhan
semen. Pada penyemenan sumur panas bumi, harus diperhatikan pula daya tahan
semen pada sumur-sumur untuk bahan kimia buangan dan untuk enhanced oil
recovery (EOR) dengan CO2 flooding.
Korosi oleh karbon dioksida pada semen Portland terjadi secara termodinamika,
dan tidak dapat dicegah. Suatu pemecahan mudah untuk masalah ini adalah semen
sintesis, tetapi sistem tersebut tidak ekonomis untuk kebanyakan proyek CO 2
flooding.
Permeabilitas matriks semen dapat dikurangi dengan memperkecil perbandingan
air - semen dan/atau menambahkan bahan pozzolan. Seperti diketahui, Suspensi
semen Portland yang dapat dipompa dan memiliki densitas sampai 18 lb/gal (2,16
g/cm3) dapat dibuat dengan penambahan dispersant. Setelah setting, permeabilitas
air sistem-sistem tersebut biasanya kurang dari 0,001 md, sehingga invasi karbon
dioksida yang berada dalam air dihambat, dan laju korosi diperkecil. Panambahan
bahan- bahan pozzolan (seperti fly ash) juga menghasilkan penurunan permeabilitas.
Pada saat pengukuran tersebut dilakukan, laju korosi dapat dikurangi sampai
sebesar 50 %.

12.9.7. Fluida Pemboran Bersifat Semen


Banyak masalah komplesi sumur, seperti hilang sirkulasi, fluid loss besar, dan
migrasi fluida annular dapat dicegah, bila fluida pemboran yang digunakan bersifat
semen. Isolasi zone yang baik juga dapat diperoleh, karena pemindahan lumpur
dengan suspensi semen yang tidak cocok tidak lagi menjadi soal.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 485


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Pada tahun 1971, Harrison dan Goodwin mengembangkan sistem Portland


dengan bentonite-extended, yang bila ditambahkan retarder D-gluco-D-
glucoceptolactone, dapat digunakan sebagai fluida pemboran. Selama komplesi
pemboran, suatu logam polivalen seperti CaCl ditambahkan ke dalam fluida, dan
kemudian proses setting diaktifkan. Teknik lain menggunakan sistem lumpur dengan
polimer yang diaktifkan dengan radiasi, dan semen base - mud yang diaktifkan
dengan panas.

12.9.8. Semen Ringan (Lighweight Cement).


Pada penyemenan sumur minyak, biasanya tekanan hidrostatik yang berasal dari
kolom semen tidak boleh melebihi tekanan rekah formasi pada semua titik pada
bagian open hole. Bila tekanan kolom semen lebih besar, akan terjadi suatu rekahan,
yang dapat menyebabkan semen hilang ke dalam formasi. Hal ini akan
mengakibatkan adanya kolom semen yang kosong dan tidak dapat mendukung
casing dengan sepenuhnya. Prosedur remedial dapat dilakukan untuk
menanggulangi hal ini, tetapi proses ini selain makan banyak waktu, mahal,
kemungkinan berhasil kecil dan secara kontinu akan melemahkan casing. Untuk
formasi lemah seperti itu, perlu digunakan suspensi semen ringan.
Bila menggunakan suspensi semen ringan, dapat dilakukan penyemenan pada
zone-zone lemah dengan kemungkinan terjadi perekahan kecil. Pemakaian suspensi
semen ringan juga mengurangi jumlah tingkat penyemenan yang terlibat.
Bila hilang sirkulasi terjadi karena rekahan vertikal alami atau formasi bergua,
suspensi semen ringan digunakan untuk menghindari hilangnya suspensi ke dalam
formasi yang kosong atau menambah rekahan-rekahan yang telah ada.
Extender yang normal cocok untuk suspensi dengan densitas 11,5 - 12 lb/gal, bila
kurang dari itu air yang terpisah tidak akan hanya mempengaruhi sifat-sifat suspensi,
tetapi juga kontinuitas kolom semen.

Semen Berbusa (Foamed Cement).


Semen berbusa adalah suatu sistem semen dimana nitrogen, sebagai medium yang
menurunkan densitas, ditambahkan langsung kedalam suspensi untuk memperoleh
semen ringan. Sistem ini memerlukan suspensi semen dengan formulasi khusus dan
gas nitrogen untuk membuat suspensi semen ringan homogen.Gelembung-
gelembung nitrogen yang masuk kedalam suspensi tidak akan hancur pada saat
berfungsi menaikan tekanan hidrostatik, hanya ukurannya mengecil dan menempati
volume yang lebih sedikit. Konsentrasi nitrogen di dalam suspensi semen berbusa
dapat ditambah untuk mengkompensasi penurunan volume pada suatu tekanan.
Satu- satunya batasan kedalaman di mana semen berbusa digunakan adalah
tekanan yang terjadi di kepala semen. Penggunaan semen berbuisa di lapangan
memerlukan sumber gas (dapat berupa kompresor udara atau unit penguapan
nitrogen cair) dan suatu surfactan untuk menstabilkan busa. Semen berbusa dapat
digunakan untuk :
 Primary Cementing Zone Lemah Penggunaan ini merupakan penggunaan utama.
Dalam hal ini, densitas semen berbusa dapat mencapai 6 lb/gal untuk
mengurangi atau mengatasi loses selama penyemenan satu tingkat.Di Offshore,
dimana dasar laut mengandung pasir mudah lepas dengan gradien rekah relatif
rendah, merupakan keadaan lain dimana semen berbusa dapat digunakan.

486 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

 Mengatasi Hilang Sirkulasi Usaha-usaha untuk menyumbat rongga-rongga pada


formasi seringkali gagal karena gravitasi menyebabkan suspensi dengan densitas
lebih besar jatuh ke dasar rongga. Semen berbusa mempunyai sifat thixotropy,
densitasnya cocok dengan densitas fluida di dalam rongga, dan hal ini dapat
membantu mencegah pemisahan karena gravitasi dan memastikan semen telah
diset.
 Squeeze Cementing Zone Kosong pada sumur-sumur kosong yang tidak dapat
menahan sedikit kolom semen, squeezing dengan suspensi biasa hampir selalu
sulit dan boros waktu, dan hasil yang memuaskan diperoleh setelah berusaha
berkali-kali dan mahal.
 Isolasi Zone Suspensi semen, selama hidrasi dan setting, melalui suatu masa
transisi dimana terjadi hilangnya tekanan hidrostatik, ketika volume air interstisial
berkurang karena hidrasi kimia. Penurunan volume itu menyebabkan tekanan
menurun secara drastis, karena air interestial pada suspensi semen tidak lagi
mudah berpindah, pada saat suspensi semen berada pada kondisi transisi.Hal ini
dapat menyebabkan masuknya gas formasi dan aliran gas pada kolom semen
yang menghidrat. Sifat mengembang semen berbusa memberikan jalan keluar
dengan melawan penurunan volume air interstisial, sehingga membatasi
masuknya gas atau fluida formasi lain.
 Insulasi PanasInsulasi panas penting pada injeksi uap, panas bumi dan sumur-
sumur. Semen berbusa dapat menurunkan konduktivitas panas karena
gelembung nitrogen tetah memasuki matriks.

12.9.9. Semen Untuk Suhu Tinggi (Thermal Cement)


Thermal cement atau semen untuk suhu tinggi yaitu sistem semen Portland yang
distabilkan dengan silika dan sistim semen khusus lain yang dapat mempertahankan
retrograsi pada suhui tinggi.
Semen Portland murni yang mengalami suhu di atas mempengaruhi sifat-sifat
fisiknya. Hilangnya Compressive strength dan kenaikan permeabilitas terjadi pada
setting awal, dan penurunan (deterioration) itu berlangsung terus selama eksposure
sehingga disintegrasi keseluruhan dapat terjadi.
Laju penurunan semen Portland dipengaruhi oleh suhu dan jumlah air pencampur
dan aditif yang terdapat di dalam suspensi. Penurunan keseluruhan atau nol
compressive strength telah ditemukan pada sistem-sistem semen yang diekspose
pada suhu antara 450 - 600oF (232 - 316oC).
Komponen utama semen Portland unheated adalah gel CSH. Pada suhu di atas
230oF (110oC), gel CSH akan berubah menjadi alpha dikalsium silikat hidrat, suatu
fasa yang lemah dan porous. Reaksi ini makin cepat dengan naiknya suhu.
Penambahan 30 sampai 40% silika kepada semen Portland akan mencegah
terjadinya alpha-dikalsium silika hidrat. Pada suhu antara 230 sampai 300 oF (110
dan 149oC) akan terbentuk mineral tobermorite, yang menyebabkan strength dan
sifat-sifat permeabilitas gel CSH. Pada suhu yang lebih tinggi, akan terbentuk fasa
lain yang bermanfaat yaitu Xonotlite.
Retrograsi strength dapat dicegah dengan mengurangi perbandingan bulk line
terhadap silika (C/S ratio) pada semen. Untuk itu, semen Portland sebagian diganti
dengan kuarsa, biasanya sehalus pasir silika atau bubuk silika. Gambar 12.47
menunjukkan kondisi pembentukan berbagai senyawa kalsium silikat, yang banyak
terjadi secara geologi. Perubahan terjadi a-C2SH pada 230 oF (110oC) dapat dicegah

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 487


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

dengan penambahan 35 sampai 40% silika (BWOC), menurunkan perbandingan C/S


menjadi sekitar 1,0. Pada tingkat ini, mineral tobermorite (C5S6H5) terbentuk yang
menyebabkan strength tinggi dan permeabilitas rendah. Bila suhu curing naik
menjadi sekitar 300oF (150oC), tobermorite akan berubah menjado xonotlite (C 6S3H2)
dengan penurunan minimal. Tobermorite kadang tahan sampai 482 oF (250oC) pada
semen Portland karena substitusi aluminium pada struktur latticenya.

Gambar 12.26. Pembentukan Mineral Pada Semen Bertemperatur Tinggi Untuk


Berbagai Rasio CaO/SiO2
12.9.10. Semen Pencegah Migrasi Gas
Fenomena aliran gas melalui kolom semen segera setelah penempatan adalah
fenomena yang berbahaya, mahal dan sukar untuk dicegah. Laboratorium riset
Dowell Schlumberger telah merekayasa suatu solusi dalam masalah gas channeling.
Gas chanelling terjadi selama setting awal suspensi semen, pada saat
penyemenan melalui zone gas bertekanan. Pada saat suspensi semen sedang
disirkulasikan, sebagaimana fluida, suspensi semen menyebarkan tekanan
hidrostatik yang sebanding dengan densitasnya dan densitas fluida yang terdapat
diatasnya. Selama tekanan ini lebih besar dari pada tekanan gas formasi, gas tidak
akan memasuki kolom semen (gambar 12.27). Tetapi, pada saat mulai menghidrat,
suspensi itu tidak lagi berkelakuan seperti fluida. Pada keadaan transisi ini, suspensi
akan mempunyai sifat seperti gel yang membuatnya sedikit self-suporting. Semen
membentuk struktur yang menyatu dan partikel-partikel semen tidak lagi
menyebabkan tekanan hidrostatik. Pada titik ini, tekanan hidrostatik awal yang
berasal dari kolom fluida (lumpur dan semen), terperangkap di dalam ruang pori
matriks semen.

488 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.27. Tidak terjadi Masukan Gas

Sampai saat itu belum terjadi gas channeling karena seluruh tekanan hidrostatik
terperangkap di pori semen yang terisi air (gambar 12.28). Gas tidak dapat
memasuki matrik selama tekanan pori semen tetap lebih besar dari pada tekanan
formasi gas. Bila terjadi sedikit penurunan volume air pori (air mempunyai
kompresibilitas sangat rendah), akan terjadi penurunan tekanan pori semen yang
besar.
Sebenarnya, selalu terjadi penurunan volume air pori karena adanya dua
mekanisme yang terjadi selama hidrasi semen, yaitu :
1. Pengurangan volume air karena hidrasi semen
2. Pengurangan volume air karena hilangnya air kedalam formasi yang porous.

Gambar 12.28. Proses Keseimbangan

Penurunan volume air selama hidrasi berasal dari air yang digunakan pada reaksi
kimia yang diperlukan semen. Penurunan ini, ditambah dengan penurunan volume
karena hilangnya air ke dalam formasi, sangat menurunkan tekanan pori semen.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 489


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Pada saat tekanan pori menurun, semen masih sangat permeabel untuk gas karena
strukturnya masih lemah. Hal tersebut merupakan saat di mana matriks semen
mudah mengalami gas channeling. Tekanan pori semen telah turun menjadi di
bawah tekanan formasi, tetapi semen belum memiliki compressive strength yang
cukup untuk menghambat gas channeling (gambar 12.29).
Bila gas memasuki matriks semen dan channel yang dibuat bertambah dan
membesar, makin membesar pula biaya remedial. Masalah itu diperburuk oleh
penyusutan kimia yang disebabkan oleh hidrasi, yang menyebabkan ikatan yang
lemah antara semen dan formasi dan antara semen dengan casing. Masalah yang
disebabkan gas channeling dapat menyebabkan perlu dilakukannya remedial atau
squeeze cementing yang mahal, sampai sembur liar dan sumur harus ditinggalkan.

Gambar 12.29. Terjadi Masukan Gas Dari Formasi Yang Bertekanan Tinggi

12.9.11. Retarded Cement.


Pada tahun 1969, masih terdapat banyak kesulitan untuk memperlambat (retard)
semen kelas H untuk sumur-sumur dengan kedalaman lebih dari 14.000 ft.
Api Committe 10 untuk Standardisasi semen pada tahun 1972 menetapkan
spesifikasi sementara semen suhu tinggi khusus. Semen tersebut dikenal dengan
kelas J. Selain itu dikenal pula semen yang disebut semen Hydrotermal setting atau
semen HTS.
1. Komposisi
Kimia.Semen hidrothermal setting dapat terdiri dari beberapa senyawa, - misalnya
semen Portland, semen Portland dan bubuk silika, atau silika, lime dan air - yang
bereaksi untuk membentuk kristalin silikat hidrat pada kondisi hidrotermal.Komposisi
semen hidrothermal setting yang dijelaskan disini pada dasarnya terdiri dari bahan
pengikat, pasir kuarsa dan kalsium hidroksida. Bahan pengikat tersebut adalah
dikalsium silikat (b-2CaO.SiO2), salah satu mineral utama semen Portland.Tabel
12.13 menunjukkan analisis kimia, kehalusan dan spesifik gravity semen hidrotermal
setting (atau HTS cement) dibandingkan dengan semen kelas H yang ditambah 60%
bubuk silika.Dari hasil analisis kimia terlihat bahwa semen HTS sebenarnya sama
dengan semen kelas H yang ditambahkan 60 % bubuk silika (SiO 2). Tetapi, harus
disadari bahwa semen HTS Mengandung senyawa-senyawa yang berbeda. Faktor

490 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

utama adalah sejarah termal bahan pengikat dan kehalusan semen.Pada data tabel
12.14 menunjukkan bahwa semen HTS mempunyai thickening time dan compresive
strength yang lebih baik dari pada semen kelas H plus 60% bubuk silika. Pada suhu
biasa, semen HTS relatif tidak reaktif. Hasil Test ASTM C109 menunjukkan kubus
semen HTS yang di cured pada 73 oF (23oC) tidak menset dalam 9 hari. Walaupun
curing diperpanjang hingga 28 dan 180 hari, strength spesimen mengembang sangat
lambat, yaitu berturut-turut 200 dan 1.000 psi. Dilain pihak, pada kondisi hidrotermal,
semen HTS yang dicampur dengan 43,5% air mempunyai 1.090 dan 4.290 psi pada
waktu dites dengan API Schedule 7S (pada 260 o/127oC dan 3.000 psi) selama 8 jam
dan 7 hari. Pada kondisi test yang terakhir, strength yang besar pada semen HTS
dihubungkan dengan pembentukan Tobermorite 11 A, suatu kalsium silikat hidrat
(C5S6H5).

Tabel 12.13. Analisa Kimia Untuk Semen Kelas-H Yang Dicampur Silika, dan
Hydrothermal Cement

Tabel 12.14. Sifat Semen Kelas-H Yang Dicampur Silika dan Hydrothermal Cement

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 491


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

2. Spesifikasi Sementara
Semen Kelas J Tahun 1972.Karena semen HTS dirancang sebagai formulasi yang
tergantung pada suhu, sangat penting untuk diketahui bahwa semen tersebut hanya
digunakan pada sumur-sumur dengan suhu statik dasar sumur sebesar 260 oF
(127oC) atau lebih. Pada sumur-sumur minyak, gas atau panas bumi, suhu tinggi
dari bumi membuat terjadinya reaksi lime-silika pada semen HTS. Karena itu tidak
diajurkan menggunakan semen HTS pada suhu dibawah 260 oF (127oC), walaupun
strength yang cukup (640 psi) terjadi pada 2309 oF (110oC) setelah 24 jam, dan 2.650
psi setelah 3 hari. Semen HTS dibuat tanpa retarder atau kalsium sulfat, tetapi
memerlukan air dan kondisi batas hidrotermal untuk mengembangkan strength.
Semen HTS dapat digunakan sebagai semen dasar untuk kedalaman 12,000
sampai 16.000 ft, dimana suhu pada kedalaman tersebut berkisar antara 260 o
sampai 320oF (127 sampai 160oC).Tabel 12.15 menunjukkan data perbandingan
semen HTS dengan spesifikasi sementara kelas J. Terlihat bahwa semen HTS
mempunyai thickening time dan compressive strength yang diperlukan lebih baik
dengan batas keamanan yang memadai bila suspensi semen memiliki air 43,5% dari
berat semen (12,91 gal/sak).
Tabel 12.15. Sifat Semen Kelas-J, dan Hydrothermal Cement

3. Karakteristik Fisika

492 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Telah diketahui bahwa gipsum anhydrous pada semen Portland dapat mempunyai
efek yang menurunkan unjuk kerja suspensi semen Portland. Keadaan anhydrous
biasanya berwujud gel semen. Bila sifat gel tersebut terjadi diawal, hal itu akan
menyebabkan masalah pada saat semen dicampur dengan air dipermukaan.
Pembentukan Gel semen juga dapat terjadi di bawah, selama pemompaan, karena
shoutdown atau break down.Dengan semen HTS, akan diperoleh pencampuran dan
pemompaan suspensi dengan baik, karena tidak diperlukan gipsum pada
formulasinya.Pada tabel 12.16 dan 12.16, dapat dilihat bahwa semen HTS dapat
digunakan pada sumur dengan kedalaman 12.000 sampai 16.000 ft, bila dicampur
dengan 43,5 air.
Tabel 12.165. API-Schedule Untuk Berbagai Kondisi Siumur Dalam Pengujian
Thickening Time

Tabel 12.17. API-Schedule Untuk Berbagai Kondisi Sumur Dalam Pengujian


Compressive Strength

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 493


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.9.12. Semen Khusus Lain-lain.


Semen Khusus Untuk Sumur Bahan Kimia Buangan
Isolasi zone merupakan yang terpenting pada sumur bahan kimia buangan. Bila
tidak diisolasi dengan baik, fluida buangan akan mengkontaminasi lapisan air tawar
dan mengkorosi bagian luar casing. Untuk memastikan perawatan zone isolasi
selama sumur digunakan, semen dan peralatan tubular yang digunakan didalam
sumur harus tahan secara kimia terhadap fluida buangan.
Casing yang tahan bahan kimia yang digunakan pada sumur itu termasuk
poliester modifikasi, dan epoxy fibercast, atau campuran logam seperti Carpenter 20,
incoly 825, dan Hastalloy G.
Sistem semen dipilih menurut bahan buangan yang diinjeksikan. Semen Portland
modifikasi biasanya tepat digunakan untuk sumur buangan dengan asam organik
lemah, air kotor atau larutan yang mempunyai pH 6 atau lebih. Daya tahan semen
ditingkatkan dengan menambahkan pozzolan, menaikan `densitas dengan
menambahkan dispersant, atau menambahkan latices cair pada susppensi. Metoda-
metoda itu banyak sekali menurunkan permeabilitas semen.
Sistem semen Portland tidak cocok dengan asam organik kuat seperti sulfur,
hidroklorik, dan nitrit. Untuk lingkungan itu, harus digunakan semen polimer organik,
biasanya epoxy-base, untuk menghasilkan ketahanan yang cukup terhadap bahan
kimia. Sistem itu disebut sebagai semen sintetis.

494 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Semen epoxy dibuat dengan mencampur resin epoxy seperti bisphenol-A dengan
bahan pengeras. Tergantung pada sifat yang diinginkan, bahan pengeras yang
digunakan bisa anhidrit, aliphatic amine atau polyamide. Suatu filler atau pengisi
padat seperti bubuk silika sering digunakan untuk menambah densitas, dan sebagai
heat sink untuk eksoterm yang terjadi selama cure. Tergantung pada suhu sumur
statik dan sirkulasi, berbagai katalis dan akselerator dapat ditambahkan untuk
mengontrol penempatan dan waktu setting.
Sistem semen epoxy resin mempunyai ketahanan terhadap korosi, compressive
strength dan shear bond strength tinggi. Sistem itu cocok dengan asam kuat dan
basa (sampai 37% HCl, 60% H2SO4 dan 50% NaOH) pada suhu sampai 200oF
(93oC) selama periode eksposure. Epoxy juga tahan terhadap hidrokarbon dan
alkohol, tapi tidak tahan terhadap chlorinated organik atau aseton. Compressive
strength antara 4.000 - 10.000 psi (56 - 70 MPa), dan shear bond strengthnya dapat
mencapai sembilan kali lebih tinggi daripada semen Portland.
Spacer non-aqueous digunakan untuk semua pekerjaan semen epoxy. Oil bergel,
diesel atau alkohol menyingkirkan lumpur dan air dari pipa dan formasi, seperti juga
pada semua permukaan oil-wet.

12.10. Teknik Penyemenan


12.10.1. Pendahuluan
Keberhasilah suatu pekerjaan penyemenan merupakan fungsi dari kemampuan
suatu team dalam pendesaian peralatan penyemenan, persiapan-persiapan yang
harus dilakukan sebelum penyemenan. Selain masalah di atas teknik penyemenan
(primary cementing) harus dilaksanakan secara tepat dan teknik penyemenan
tersebut gagal maka penyemenan perbaikan (squeeze cementing) harus
dilaksanakan, sehingga tercapai tujuan dari penyemenan tersebut.

12.10.2. Peralatan Penyemenan


12.10.2.1. Material Semen
Material yang digunakan dalam kegiatan penyemenan terdiri dari :
 Semen
Portland semen digunakan selama kegiatan sementing berlangsung. Bahan
tersebut halus dan merupakan bubuk yang sangat reaktif. Portland semen
biasanya disimpan dalam silo pada lokasi dimana akan dilakukan kegiatan
penyemenan.
 Air
Fresh water dipakai untuk menyemen sumur di darat, sedangkan sea water untuk
sumur di lepas pantai. Kadang- kadang fresh water sering tidak berada dalam
kondisi yang benar-benar fresh/murni, yang hal ini bisa juga mempengaruhi
kemampuan dari sistem semen.
 Dry cement additives
Jenis serta sifat-sifatnya ada pada tabel 12.18.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 495


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 12.18. Sifat Fisik Dari Berbagai Material

Liquid additive di lepas pantai liquid additive biasanya digunakan. Material-


material akan lebih kompatibel, karena peralatan pencampurnya memerlukan
ruang yang lebih kecil.

12.10.2.2. Peralatan Permukaan


Peralatan di permukaan terdiri dari :

Mixer
Alat ini pada prinsipnya adalah mempertemukan cement slurry dan air dengan
kecepatan yang sangat tinggi (sistem jet) melalui suatu venturi sehingga timbul aliran
turbulensi yang menjadikan proses pencampuran menjadi sempurna.(gambar 12.30)

496 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.30. Jet-Mixer Untuk Mencampur Semen dan Air Menjadi Suspensi
Semen

Pompa Semen
Pompa semen dipakai untuk pemompaan bubur semen ke dalam sumur. Pompa
yang biasa dipakai adalah pompa duplex double acting piston atau single acting
triplex pluner pump. Plunger pump adalah biasa dipakai karena rate slurry yang
keluar lebih seragam dengan tekanan yang cukup besar. Kadang-kadang pumping
dengan recirculating mixer dijadikan satu dalam satu kesatuan tempat yang mudah
dipindah-pindahkan. Ini disebut sebagai mobile cementing equipment. (gambar
12.31)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 497


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.31. Pompa Plunger Yang Bisa Didapati Pada Penyemenan


Plug Containers

Plug container sebagai tempat top dan bottom cementing plug yang diletakkan di
atas dan di bawah cement slurry. (gambar 12.32)

Gambar 12.32. Cementing Head Untuk Menyimpan Cement Waper Plug Sebelum
Dilepas

Casing Cementing Head


Alat ini berfungsi sebagai media penghubung antara pipa penyemenan dari
pompa semen ke casing dan sebagai tempat untuk menempatkan plug (top dan
bottom plug). Dengan adanya casing cementing head ini maka lumpur dapat
disirkulasikan oleh desakan bottom plug sampai ke dasar casing lalu diisikan bubur
semen di atasnya sebelum pendesakan oleh top plug dimulai. (gambar 12.33)

498 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.33. Cementing Head/Head Plug Conditioner Untuk Menyimpan Cement


Wiper Plug Sebelum Dilepas

12.10.2.3. Peralatan Bawah Permukaan


Peralatan penyemenan di bawah permukaan terdiri dari :
Floating Equipment
Alat ini terdiri dari guide shoe dan float collar. Guide shoe adalah peralatan yang
dipasang pada ujung casing agar casing tidak tersangkut selama diturunkan. Guide
shoe yang dilengkapi dengan penahan tekanan balik disebut float shoe.(gambar
12.34)

Gambar 12.34. Berbagai Float-Shod dan Float Collar Untuk Mencegah Aliran Balik

Wiper Plug
Wiper plug adalah plug yang dipakai untuk membersihkan dinding dalam casing
dari lumpur pemboran. Plug ini dibagi menjadi dua yaitu top plug dan bottom plug.
(gambar 12.35)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 499


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Bottom plug berfungsi mendorong lumpur dalam casing sedangkan top plug
dipakai untuk mendesak kolom semen dalam casing agar semen dapat ke tempat
lokasi penyemenan.

Gambar 12.35. Wiper Plug Untuk Menyekat Tercampurnya Semen dan Lumpur
Scratchers
Adalah peralatan pembersih dinding lubang sumur dari mud cake sehingga
semen dapat melekat langsung pada dinding formasi dan dapat menghindarkan
channeling (lubang saluran diantara semen dan formasi). Cara pemakaian alat ini
ada beberapa macam yaitu dengan cara diputar (rotating) atau dengan menarik
turunkan (reciprocating). (gambar 12.36)

Gambar 12.36. Scratcher Untuk Membersihkan Dinding Lubang Sumur

Centralizer
Centralizer adalah alat untuk menempatkan casing tepat di tengah-tengah lubang
sumur agar diperoleh jarak yang sama antara dinding casing dengan dinding lubang
sumur. Pemasangan alat ini pada casing biasanya dengan cara dilas (welding).
(gambar 12.37)
Penempatan casing dalam lubang sumur sedapat mungkin terletak di tengah-
tengah untuk menghindari terjadinya channeling.

500 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.37. Centralizer Untuk Membuat Casing di Tengah-Tengah

Landing collar.
Berfungsi untuk menyekat dan menangkap liner wiper plug, mencegahnya naik
kembali ke atas lubang, menyekat tekanan dari bawah dan mencegahnya berputar
sewaktu pemboran keluar (drill-out). (gambar 12.38)

Gambar 12.38. Landing Collar

Cementing Basket
Cementing basket digunakan bersama-sama dengan casing atau lier pada titik
dimana terdapat formasi yang porous atau lemah. Guna alat ini adalah agar cement
slurry tidak bercampur dengan batuan formasi yang gugur. (gambar 12.39)

Liner Hanger
Digunakan untuk menggantung liner dan dipasang pada bagian atas liner.
(gambar 12.40)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 501


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Liner Packer
Dipasang pada bagian atas liner sebagai penyekat antara liner dan selubung
selama atau setelah penempatan semen.(gambar 12.41)

Gambar 12.39. Cement Basket Untuk Mencegah Suspensi Semen Melorot Jatuh
Kebawah

Gambar 12.40. Liner Hanger

502 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.41. Liner Packer

Packer Bore Receptacle


Biasa disebut polished bore receptacle yang merupakan tabung yang berdinding
tebal dengan gerigi dan diameter dalam yang licin dimana bagiandalamnya bisanya
dilapisi dengan TFE untuk mencegah menempelnya semen ataupun material
lainnya, sehingga mengurangi friksi dan korosi. (gambar 12.42)

Gambar 12.42. Packer Bore Receptackle

Pack-off Bushing
Biasa dimasukkan diantara setting tool dan bagian atas liner hanger sebagai
penyekat antara setting tool dengan liner. Pack-off bushing ada yang drillable dan
yang retrievable. Jenis drillable harus dibor kembali dengan bit atau mill. Retrievable
biasa dipakai pada pemboran dalam, dapat merupakan bagian dari setting tool dan
diambli kembali pada waktu setting tool dipindahkan dari liner, sehingga dapat
menghemat waktu pemboran ke luar. (gambar 12.43)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 503


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.43. Pack-off Bushing

Pump Down Plug Dropping Head Dan Cementing Manifold


Dihubungkan pada bagian atas pipa bor. Manifold digunakan untuk membantu
pada waktu pemompaan lumpur dan semen ke dalam pipa bor dan menahan pump
down plug sampai pump down plug dilepaskan di belakang semen. (gambar 12.44)

Gambar 12.44. Pump Down Plug Dropping Head

Liner Wiper Plug


Ditempatkan pada bagian bawah setting tool. Pump down plug akan mengikuti
semen sambil membersihkan semen pada liner wiper plug yang kemudian lepas dari
setting tool karena tekanan pompa. Kedua pug ini lalu turun mengikuti semen smbil

504 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

membersihkan liner sampai akhirnya tersangkut dan menempel pada landing collar.
(gambar 12.45)

Gambar 4.45. Liner Wiper Plug

Liner Setting Tool


Berfungsi untuk menghubungkan pipa bor dengan liner.
Setting collar dan tie-back receptacle atau sleeve
Biasa digabungkan menjadi satu alat.(gambar 12.46)

Gambar 12.46. Liner Setting Tool

Liner Swivel
Merupakan alat yang digunakan untuk liner yang tersangkut dalam lubang
terbuka atau dalam lubang yang tidak lurus dimana hanger barrel sukar berputar.
Dengan memakai alat ini liner tidak akan ikut berputar, hanya liner hanger dan
setting tool saja yang berputar. (gambar 12.47)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 505


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.47. Liner Swivel

12.10.3. Persiapan Penyemenan


12.10.3.1 Analisa Masalah
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum dilakukannya cementing adalah :
 Data kedalaman/konfigurasi
 Keadaan lubang sumur
 Data temperature
 Data Kedalaman/konfigurasi
Data yang diperlukan adalah kedalaman vertikal, measured depth, ukuran casing
(dan berat), ukuran open hole, jenisa string (liner dsb). Data kedalaman sangat
penting karena berhubungan dengan temperatur, volume fluida, tekanan hidrostatik
dan tekanan gesekan.

Keadaan Lubang Sumur


Keadaan lubang seperti formasi yang over pressure, atau dengan gradien rekah
yang rendah, gas, zone garam yang massive perlu diketahui.

Data Temperatur
Peralatan bottom hole circulating temperatur (BHCT) dan Bottom hole static
temperature (BHST) diperlukan untuk memperkirakan perbedaan serta distribusi
temperatur di sepanjang lubang bor.

12.10.3.2 Seleksi Suspensi Semen


Dalam mendesain suspensi semen perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi karakteristik semen tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain :
Kedalaman, Temperatur Dan Tekanan Kolom Semen
Dua hal yang sangat mempengaruhi karakteristik dari cement slurry pada dasar
sumur adalah tekanan dan temperatur. Keduanya mempengaruhi penempatan dan
thickening time bubur semen. Makin besar tekanan dan temperatur akan
mengakibatkan tickening timenya semakin turun atau semen lebih cepat mengeras,
juga akan menaikkan compressive strength dari semen. Tetapi pada 230°C atau
lebih, compressive strength akan menurun. Penurunan compressive strength ini

506 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

disebut dengan strength retrogression. Penyebabnya selain temperatur adalah WCR


(water cement ratio) yang tinggi. (gambar 12.48)

Gambar 12.48. Perubahan Compressive Strength Akibat Penambahann Air

Viskositas Dan Kandungan Air Semen


Pada primary cementing slurry harus mempunyai viskositas atau konsistensi
yang cukup agar pendesakan lumpur oleh semen lebih efisien sehingga menjadikan
ikatan antara casing dengan formasi lebih baik. Pengaturan jumlah air yang akan
dicampurkan tergantung dari ukuran partikel, luas permukaan partikel dan zat
additive yang dipakai.

Thickening Time
Tickening time adalah waktu yang diperlukan agar slurry mempunyai konsistensi
100 poise. Seratus poise ini adalah batas dimana slurry masih bisa dipompakan oleh
sebab itu disebut pumpability. Dengan mengetahui pump ability suatu cement slurry
maka kemungkinan terjadinya pengerasan semen dalam perjalanan dapat dihindari.
Penambahan tekanan menyebabkan penurunan tichening time lebih cepat. (tabel
12.19)

Tabel 12.19. Efek tekanan Terhadap Thickening Time


Tekanan (psi) Penurunan thickening time
2850 5 – 20%
7100 25 – 40%
11500 . – 50%

Compressive strength
 Strength semen harus memenuhi syarat-syarat teknis antara lain :
 mampu menahan casing di lubang sumur/
 mengisolasi zona permeabel
 tidak pecah karena perforasi
 tidak berubah karena terkontaminasi dengan lumpur pemboran.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 507


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Bila kandungan air kurang dari 37%, maka semen dalam keadaan tidak dapat
dipompakan (not pumpable) tetapi akan memberikan strength yang maksimum. Bila
kandungan air lebih dari 37% maka semen akan berubah sifat dari not pumpable
menjadi pumpable tetapi dengan compressive strength yang menurun. (gambar
12.49)

Gambar 12.49. Perubahan Thickening Time Akibat Temperatur dan Tekanan

Densitas Semen
Densitas semen dipengaruhi oleh kandungan air dan jumlah additive yang
dipakai. Densitas semen selalu dibuat lebih besar dari densitas lumpur pemboran
agar semen dapat mendorong lumpur dan juga mencegah terjadinya kontaminasinya
semen oleh lumpur.
Permeabilitas Semen
Permeabilitas semen harus dibuat sekecil mungkin sebab semen dipakai juga
sebagai penyekat (isolasi) zona-zona dibelakang casing agar tidak terjadi hubungan
langsung antar zona. Air yang berlebihan pada campuran semen akan menyebabkan
kantong-kantong air dalam campuran sehingga permeabilitas meningkat.
Filtration Control
Pada sumur dalam kemungkinan dijumpainya zone permeable lebih besar
daripada sumur dangkal sehingga kemungkinan kehilangan filtratnya adalah lebih
besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya filtration loss antara lain:
tekanan, waktu dan permeabilitas.

508 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.10.3.3. Cara Penempatan Suspensi Semen


Pergerakan yang baik dari lumpur sangat penting agar cementing bisa berjalan
dengan baik. Ada beberapa bagian dari semen yang tidak kompatibel dengan fluida
pemboran, sehingga menyebabkan terbentuknya gel pada lumpur/permukaan semen
dan mengurangi effisiensi dari pergerakan. Untuk itu fluida spacer dipompakan
diantara lumpur dan semen. Pada beberapa kondisi, dimungkinkan menggunakan
air. Untuk kondisi lain, dimana diperlukan keamanan sumur maka fluida spacer yang
berat digunakan untuk memperbaiki tekanan hidrostatic ketika menembus suatu
formasi.
Spacers normalnya mempunyai densitas diantara densitas lumpur dan semen,
karena gaya apung (buoyancy) memungkinkan masuknya lumpur pada proses
pergerakan.
Jenis dari spacer tergantung dari jenis lumpur, karakteristik aliran (plug, laminer
atau turbulen), jenis formasi dan juga sifat dari cement slurry yang akan dialirkan.
Fresh water base muds spacers digunakan untuk memindahkan fresh water base
mud, juga salt tolerant spacers dipersiapkan untuk jenis salt saturated muds. Oil
base mud dipindahkan dengan spacer yang mengandung surfactan dan atau larutan
organik.

12.10.3.4. Kontrol dan Keamanan Sumur


Untuk keamanan sumur dan perlengkapan yangberada di dalamnya maka
kondisi-kondisi di lubang sumur seperti tekanan formasi harus diperhatikan karena
hal ini berhubungan dengan perkiraan tekanan burst dan collapse yang akan
diterima oleh tubular product seperti casing atai liner.

12.10.3.5. Simulator
Algoritma telah dikembangkan untuk membuat simulasi secara akurat dari
kegiatan sementing seperti kecepatan fluida di annular, tekanan yang aman dan
kondisi lainnya. Manipulasi numerik diperlukan agar dimulasi secara akurat dari fisik
sumur selama pergerakan semen dapat diperoleh. Diperlukan komputer dengan
kemampuan yang tinggi sehingga bisa diperoleh peningkatan efisiensi dari disain
sementing.

12.10.4. Teknik Penyemenan Awal


12.10.4.1. Klasifikasi Casing
Setelah suatu operasi pemboran minyak/gas mencapai kedalaman tertentu, maka
segera dipasang casing guna memberi dinding yang kuat pada lubang bor,
mengisolasi suatu zona dengan zona lain, menghindari terkontaminasinya air tanah
oleh lumpur pemboran, mencegah keguguran dinding, membuat diameter lubang
pemboran konstan serta menutup zona lost dan abnormal pressure.
Berdasarkan fungsinya, maka casing dibagi menjadi empat jenis, yaitu : (gambar
12.50)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 509


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.50. Berbagai Jenis Casing

Conductor Casing
Conductor casing adalah casing yang pertama kali dipasang pada operasi
pemboran. Ukuran casing berkisar antara 16" sampai 30" dengan letak kedalaman
maksimum sekitar 150 ft.
Fungsi conductor casing antara lain:
a. Untuk melindungi lubang dari gugurnya formasi yang lunak di dekat permukaan
karena akan tererosi oleh lumpur, jika tanah disekitar cukup kuat dan keras maka
tidak perlu dipasang.
b. Untuk melindungi drill pipe dari air laut yang korosive dan sebagai tempat
sirkulasi lumpur bor pada pemboran di lepas pantai.

Surface Casing
Surface casing adalah casing yang dipasang setelah conductor casing dan disemen
hingga ke permukaan.
Fungsi dari surface casing adalah :
a. Mencegah kontaminasi air tanah oleh lumpur pemboran.
b. Sebagai tempat pegangan (fondasi) bagi BOP.
c. Menahan berat casing string yang berikutnya.

Intermediate Casing
Suatu sumur bisa mempunyai lebih dari satu intermediate casing tergantung dari
kondisi geologis dan kedalamnnya. Pemasangan intermediate casing bertujuan
untuk menutupi zona-zona yang mengganggu selama berlangsungnya operasi
pemboran, seperti sloughing shale, lost circulation, abnormal pressure, kontaminasi
dan sebagainya.

510 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Production Casing
Production casing adalah casing terakhir yang dipasang pada formasi produktif.
Kadang-kadang production casing tidak dipasang sampai ke permukaan karena
alasan biaya agar lebih murah. Hal ini menggunakan liner production casing.
Fungsi dari production casing adalah :
a. Memisahkan zona gas, zona minyak dan zona air, pada formasi produktif.
b. Memelihara agar lubang tetap bersih.
c. Melindungi alat-alat produksi di bawah permukaan misalnya pompa, packer dan
lain-lain.

12.10.4.2. Prosedur Penempatan Semen


Prinsip operasi penyemenan ini adalah menempatkan adonan semen (cement
slurry) ke dalam annulus antara selubung dan lubang sumur, dengan cara
mensirkulasikan adonan semen tersebut melalui selubung kemudian melalui casing
shoe dengan menggunakan dua buah plug (top dan bottom plug). Oleh karena itu
primary cementing ini disebut juga casing cementing.(gambar 12.51)
Agar diperoleh hasil yang maksimal dalam primary cementing maka beberapa
prosedur dibawah ini sebaiknya dilakukan yaitu :
1. Mengkondisikan lubang sumur, antara lain dengan reaming yaitu pemboran kecil
pada lubang yang telah ada untuk memperlebar sedikit lubang atau meratakan
dinding lubang pemboran.
2. Mengkondisikan lumpur dengan cara mengalirkan lumpur pada saringan agar
terlepas semua cuttingnya. Selain itu viskositas dan gel strength dijaga supaya
rendah, juga water lossnya harus rendah.
3. Memasang guide shoe dan float collar. loat collar sebaiknya dipasang 30 ft diatas
guide shoe untuk mencegah pendorongan yang berlebihan (over displacement)
pada cement slurry dan agar diperoleh cement slurry yang baik disekitar casing
shoe.
4. Memasang scratcher terutama untuk zona-zona permeabel guna menghilangkan
mud cake.

Gambar 12.51. Teknik Primary Cementing

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 511


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

5. Memasang centralizer agar casing terletak di tengah- tengah lubang. Lokasi


pemasangan ditentukan dengan log dan spacingnya diatur sekitar 60 - 90 ft.
6. Memakai adonan semen dengan densitas sedikit lebih besar dari densitas lumpur
mula-mula. Hal ini untuk mencegah blow out, lost circulation dan over
displacement. Semen yang dipilih harus sesuai dengan tekanan dan temperatur
formasi.
7. Memakai caliper log untuk mengukur diameter lubang pemboran agar volume
cement slurry bisa dihitung dengan tepat, lalu ditambahkan sekitar 15-25%
volume untuk keamanan (safety). Bila dalam penentuan diameter lubang tidak
dipakai caliper log, maka untuk safety biasanya lebih besar yaitu sekitar 50-
100%.
8. Menggunakan top plug dan bottom plug.
9. Memutar dan menggerak-gerakkan casing selama pendesakan adonan
berlangsung, lanjutkan sampai top plug menyentuh float collar yaitu selesai
pendesakan bubur semen.
10. Setelah penempatan semen selesai, periksa permukaan fluida di annulus.
Annulus harus selalu penuh dengan fluida.
11. Casing dijaga dalam keadaan tension pada saat penyemenan. Setting time dapat
diatur sesuai dengan kondisi yang ada.
12. Melakukan pressure test pada penyemenan tersebut sebelum pemboran
dilanjutkan kembali.

Ada beberapa macam teknik penempatan adonan semen ke dalam annulus di


belakang casing pada primary cementing, antara lain :
 Cementing Through Casing
 Stage Cementing
 Inner String Cementing
 Outside or Annulus Cementing
 Multiple String Cementing

Cementing Through Casing


Cementing through casing disebut juga penyemenan normal, yang biasa dilakukan
pada conductor, surface, intermediate dan production casing. Penyemenan ini
dilakukan dengan metode satu tingkat (single stage method) yang dilakukan dengan
memompakan adonan semen melalui casing shoe dan memakai top dan bottom
plugs (gambar 12.52). Ketika top plug mencapai bottom plug terlihat kenaikan
tekanan pompa yang tiba-tiba di permukaan. Kenaikan tekanan yang tiba-tiba ini bisa
dipakai sebagai indikator bahwa pendesakan adonan semen telah selesai.

512 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.52. Proses Top-Plug Sampai Pada Bottom Plug

Stage Cementing
Stage cementing atau penyemenan bertingkat adalah penyemenan yang
dilakukan dalam dua atau tiga bagian. Teknik ini terutama dilakukan pada
production casing dari sumur-sumur yang dalam atau dilakukan bila formasinya
lemah sehingga dikhawatirkan tidak mampu menahan tekanan kolom semen,
sehingga terjadinya lost circulation dapat dihindari.
Pada stage cementing ini dipakai peralatan tambahan yang disebut "float collar"
(gambar 12.53), yaitu alat yang bisa membuka pada saat semen slurry pertama
ditempatkan di dalam sumur dan menutup pada saat semen slurry kedua akan
ditempatkan di atas slurry pertama. Mekanisme pendesakan dapat dilihat pada
gambar 12.54.

Gambar 12.53. Float Collar

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 513


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.54. Proses Stage Cementing

Inner String Cementing


Bila diameter casing yang akan disemen berukuran besar, maka penyemenan
dapat dilakukan dengan memakai tubing atau drill pipe. Prosedur ini dapat
memperkecil waktu penyemenan dan volume adonan semen yang dibutuhkan.
Cara penyemenannya adalah dengan menggantung selubung beberapa feet dari
dasar sumur kemudian adonan semen dimasukkan melalui tubing yang ujungnya
sampai ke level casing shoe dengan fluida pendorong air. Annulus antara tubing
dan selubung dipasang packer. (gambar 12.55)
Ada dua metode dalam pemasangan packer ini yaitu bottom packer method bila
packer dipasang pada annulus tubing- casing pada bagian bawah dan top packer
method bila packer dipasang pada annulus tubing casing bagian atas dan diisi
air.

Gambar 12.55. Inner String Cementing

514 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Outside or Annulus Cementing


Outside atau Annulus Cementing adalah metode penyemenan dengan
menggunakan pipa ukuran kecil (tubing) melalui ruang annulus antara casing dan
lubang sumur. Cara ini biasa dilakukan pada conductor casing atau surface
casing. Kadang-kadang annulus cementing ini dipakai juga untuk pekerjaan
perbaikan casing yang rusak. Casing akan mengalami kerusakan bila gas
tekanan tinggi bersama-sama pasir dari lingkungan di sekitarnya bersentuhan
langsung dengan selubung sehingga selubung harus diperbaiki dengan
penyem,enan melalui annulus.
Metode ini bisa juga dipakai untuk mencegah lost circulation (kehilangan semen)
lebih lanjut ke dalam formasi yang lemah. Metode ini dilakukan bila penyemenan
pada zona lemah telah selesai dan ditunggu sampai mengeras setelah itu baru
melakukan operasi penyemenan melalui annulus di atasnya.(gambar 12.56).

Gambar 12.56. Outside Cementing

Cementing Multiple String


Cementing Multiple String adalah penyemenan banyak string pada formasi
produktif dimana masing-masing string dilubangi (perforation) untuk mengalirkan
fluida produktif ke permukaan. Hal ini dilakukan karena metode single atau
konvensional komplesi secara ekonomis tidak bisa dilakukan. Proses
penyemenan masing-masing string biasanya dilakukan satu demi satu dimana
string yang pertama kali dipasang adalah yang paling panjang. (gambar 12.57)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 515


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.57. Multiple String Cementing


Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan multiple string
cementing adalah :
 Mengkondisikan lubang sumur dan mengkondisikan lumpur pemboran.
 Merancang semen slurry seperti pada pekerjaan primary cementing.
String atau pipa yang akan disemen harus dapat dipakai untuk komplesi dimasa
yang akan datang. Selama penyemenan string harus digerak-gerakkan naik turun
(reciprocating).
Semen slurry harus mampu melewati ruang terkecil diantara string-string yang
ada dalam lubang sumur. Tiap-tiap string dipasang plug-landing collar pada 15
sampai 25 ft di bawah interval zona produksi.

12.10.4.3. Liner
Untuk mengurangi biaya pada oprasi pemboran dalam, maka dipakai liner
untuk mengganti rangkaian selubung penuh. Liner ini sendiri sama seperti
selubung akan tetapi pendek dan digantung pada selubung atau liner diatasnya.
Sebagaimana selubung, liner ini juga harus disemen. Kesulitan pada
penyemenan ini terutama karena kecilnya annulus disekitar liner, sehingga
perpindahan lumpur pemboran menjadi kurang baik. Untuk memperbaikinya
digunakan beberapa metode menggerakkan liner, seperti menggerakkan naik
turun (reciprocating) dan memutar (rotation) liner pada waktu menyemen.(gambar
12.58)
Prosedur penurunan dan penyemenan liner secara umum adalah sebagai
berikut :
1. Sebelum diturunkan ke dalam sumur, batang-batang liner terlebih dahulu
disambung di meja putar.
2. Liner hanger dipasang di atas liner.
3. Liner diturunkan ke dalam sumur dengan memakai pipa bor yang diikat
dengan liner.
4. Batang-batang pipa bor ditambah di permukaan dan liner yang lengkap
diturunkan ke dalam sumur. Kecepatan penurunan liner bila berada di dalam
selubung dapat dilakukan sekitar 1 - 2 menit per batang dan 2 - 3 menit per
batang bila berada di dalam lubang terbuka.

516 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

5. Kalau liner sudah berada pada kedalaman yang diinginkan, tetapi sebelum
penggantung diset, terlebih dahulu lumpur pemboran disirkulasikan untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya sirkulasi sebelum liner digantung.
6. Penggantung diset kalau operasi penyemenan telah memungkinkan.
7. Semen dipompakan ke dalam sumur.
8. Penurunan pada indikator berat permukaan akan menunjukkan bahwa operasi
penyemenan telah selesai.
9. Pipa bor dicabut 4-10 batang atau di atas semen, dan untuk mencegah
migrasi gas maka tekanan di atas semen ditahan sampai semen mengeras.
10. Pipa bor dikeluarkan dari sumur.
11. Setelah waiting on Cement telah tercapai kemudian semen yang berlebih
dibor keluar.

Gambar 12.58. Liner Cementing

12.10.4.4 Teknik Penyemenan di Offshore


Prinsip penyemenan di offshore sama pada penyemenan sumur di darat hanya
saja diperlukan modifikasi dari peralatan yang dipakai untuk penyesuaian dengan
pekerjaan yang harus dilakukan pada tempat yang terbatas di tengah laut.
Misalnya Pneumatic Bulk Handling System yang merupakan satu unit peralatan
terdiri dari bulk material, alat pencampur (mixer) dan pompa yang bisa dipindah-
pindahkan dengan mudah (gambar 12.59)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 517


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.59. Penyemenan di Laut


12.10.4.5. Batasan Operasional
Perencanaan adalah dasar dari kesuksesan suatu penyemenan awal. Mula-
mula harus harus diketahui secara akurat kondisi lubang sumur sebelum
dilakukan cementing.

Perhitungan
Volume dari lubang bor harus diketahui dengan pasti, yang hal ini bisa diketahui
dengan menggunakan caliper log. Jika tidak tersedia data caliper log maka
volume semen yang dipersiapkan adalah leih besar dari 50-100% dari volume
lubang sumur yang telah diketahui sebelumnya. Jika data volume didapatkan dari
caliper log maka volume semen yang disiapkan lebih kecil daripada jika tnpa
menggunakan caliper log (15-25% lebih besar dari volume lubang sumur).

Kondisi Lubang
Keadaan dari lubang sumur seperti lost circulation, hole washouts harus diketahui
agar bisa didesain semen yang sesuai dengan kondisi lubang tersebut. Lumpur
pembortan harus didesain agar kegiatan sementing bisa berjalan dengan baik.
Temperatur
Mengetahui Bottomhole Circulating Temperature (BHCT) adalah sangat vital.
Waktu pemompaan cement slurry adalah fungsi dari temperatur lubang
sumur.Temperatur juga bisa merubah sifat rheology semen dan lumpur, seperti
rejim aliran, efek tabung U, dan juga tekanan gesekannya. Temperatur bisa
diketahui dengan logging, circulating temperature probes atau dengan simulasi
matematika dari sirkulasi temperatur.

518 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tekanan
Perlu diketahuinya tekanan dasar sumur adalah untuk kontrol sumur dan juga
suksesnya kegiatan penyemenan awal. Densitas dari slurry ditentukan untuk
mengontrol sumur dan juga menset kekuatan semen. Densitas yang terlalu tinggi
akan mengakibatkan formasi menjadi retak dan juga akan terjadi lost circulation.

Quality Control
Program quality control dilakukan dengan cara melakukan pengetasan material-
material yang akan digunakan dalam kegiatan sementing. Kegiatan ini bisa
dilakukan di laboratorium dengan kondisi-kondisi yang sama dengan sumur yang
akan disemen.

Pergerakan Casing
Pergerakan casing seperti reciprocating (naik turun), rotation (memutar), atau
keduanya akan meningkatkan kualitas dari proses sementing. Pergerakan casing
akan memecahkan daerah kosong di lumpur yang akan mengakibatkan timbulnya
cement channeling.

Cement Job Monitoring


Merekam parameter-parameter kritik selama sementing adalah sangat penting.
Mengetahui secara tepat tekanan, rate slurry, dan juga densitas selama kegiatan
sementing akan berguna untuk evaluasi ataupun mengoptimalkan disain
sementing untuk waktu yang akan datang.

12.10.5. Teknik Penyemenan Perbaikan


12.10.5.1. Teori Squeeze Cementing
Squeeze cementing secara umum dapat dikatakan sebagai suatu proses
dimana bubur semen (cement slurry) didorong dibawah tekanan sampai pada titik
tertentu di dalam sumur untuk maksud-maksud perbaikan. Salah satu persoalan
yang paling utama pada sumur minyak adalah mengisolasi air dibawah lubang
sumur. Persoalan diselesaikan dengan mempergunakan bubur semen dan
tekanan squeeze. Sekarang yang paling umum pemakaian dari pada squeeze
cementing adalah memisahkan zone penghasil hidrokarbon dari zone yang
menghasilkan fluida lainnya.

12.10.5.2. Teknik Penempatan Squeeze Cementing


Untuk menyelesaikan tujuan dilakukannya squeeze cementing diatas hanya
dibutuhkan volume semen yang relatif kecil, tetapi harus ditempatkan pada titik
yang tepat didalam sumur. Kadang-kadang kesulitan utama adalah membatasi
semen terhadap lubang bor. Untuk itu diperlukan perencanaan yang baik
terutama perencanaan bubur semen (cement slurry) dan pemilihan tekanan dan
penggunaan metode/teknik yang digunakan untuk berhasilnya pekerjaan.
Dua cara yang umum dikenal untuk penyelesaian penyemenan untuk
perbaikan yaitu :

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 519


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

1. Teknik tekanan tinggi. Teknik ini mencakup perekahan formasi dan


pemompaan bubur semen kedalam rekahan hingga tekanan tertentu tercapai
dan terlaksana tanpa kebocoran (bleed off). Biasanya digunakan semen
bersih (dengan fluid loss yang sangat tinggi). Teknik ini mempunyai beberapa
kerugian, hal mana diatasi dengan teknik tekanan rendah.
2. Teknik tekanan rendah atau lebih dikenal dengan nama teknik "semen fluid
loss rendah". Teknik ini mencakup penempatan semen diatas interval
perforasi dan memberikan tekanan yang cukup membentuk filter cake dari
semen yang didehidrasi didalam perforasi dan didalam saluran-saluran atau
rekahan- rekahan yang mungkin terbuka pada perforasi tersebut. Semen
dengan fluid loss rendah (50 - 200 cc API) dan fluida 'clean work over" harus
digunakan. Tingginya tekanan squeeze pada teknik tekanan tinggi
menyebabkan rekahnya formasi, ini perlu diperhitungkan terutama pada saat
mana rekahnya formasi tidak diinginkan. Oleh karena itu teknik tekanan tinggi
kurang menguntungkan dan sering digunakan teknik tekanan rendah, dengan
mengontrol kehilangan filtrasi sangat rendah.Tekanan squueze yang tingi,
yang mula-mula dianggap perlu untuk squeeze, sekarang ini tidak dilakukan
lagi karena telah digunakan semen dengan pengontrolan laju filtrasi
(controlled filtration rate cement).
3. Bradenhead Placement Technique (No Packer). Dalam metode ini semen
dipompakan ke dalam casing melalui tubing atau drillpipe dengan tidak
memakai packer, mendesak fluida sumur masuk ke annulus. (gambar 12.60)

Gambar 12.60. Penempatan Semen Langsung (Bradenhead Method)

Metode ini dipakai secara luas pada squeezing sumur- sumur dangkal, untuk
penyumbatan sumur dan kadang-kadang dipakai pula dalam menutup zona
lost circulation selama operasi pemboran.
4. Squeeze Tool Placement Technique. Teknik ini dibagi dalam dua bagian yaitu
metode retriaveble squeeze packer dan drillable cement retainer. Pada
metode retriaveble squeeze packer, digunakan packer yang bisa diangkat
kembali, sedangkan pada driiable cement retainer digunakan packer yang
tetap. Packer ini dipasang pada tubing sedikit diatas puncak zone yang akan

520 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

disqueeze. Metode ini lebih baik daripada metode bradenhead karena metode
ini membatasi tekanan pada suatu titik tertentu dari sumur.
5. Running Squeeze Pumping Methods. Selama dilakukannya running squeeze,
cement slurry dipompakan secara kontinyu sampai tercapai tekanan squeeze
yang diinginkan (bisa dibawah atau diatas tekanan rekah) tercapai. Sesudah
pemopaan dihentikan, tekanan dimonitor, jika tekanan masih dibawah yang
dikehendaki maka perlu dipompakan lagi cement slurry untuk menaikkan
tekanan.
6. Hesitation Methods. Metode ini mencakup penempatan semen dalam tahapan
tunggal, tetapi membagi-bagi penempatan semen alternatif
pemompaan/periode menunggu bergantian. Keuntungan memakai metode
hesitasi adalah bahwa cara ini cenderung meningkatkan pengontrolan
pengumpulan padatan semen terhadap formasi. Kecepatan pengumpulan ini
diperoleh sebagai aturan umum untuk segera menyelesaikan pekerjaan
squeeze secara menyeluruh dengan berhasil.(gambar 12.61)

Gambar 12.61

12.10.5.3. Test Injeksi


Tes injeksi dilakukan dengan alasan :
 Untuk memastikan bahwa perforasi telah terbuka dan siap untuk dimasuki
fluida.
 Untuk mendapatkan perkiraan rate injeksi cement slurry.
 Untuk memperkirakan tekanan ketika dilakukannya squeeze.
 Memperkirakan banyaknya slurry yang digunakan.
Tes injeksi dilakukan dengan cara memompakan fluida (air atau mud flush) ke
dalam sumur. Asam harus diinjeksikan jika terdapat matriks.

12.10.5.4. Disain dan Persiapan Suspensi Semen


Compressive Strength (kekuatan tekan). Compressive strength dari semen
tidak selalu merupakan faktor penting pada perencanaan bubur semen. Semen

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 521


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

dengan kekuatan tekan 24 jam dari 500 sampai 1000 psi akan menyumbat
perforasi dengan baik. Dari segi teknis, strength semen harus memenuhi syarat-
syarat : menahan pipa di lubang, mengisolasi zone permeabel, menahan
rekahan-rekahan permukaan pada zone yang diinginkan.
WOC time (waiting on cement). Waktu menunggu pengerasan semen
(WOC) ditentukan oleh faktor temperatur sumur, tekanan, ratio air-semen (WCR),
compressive strength, retarder dan lainnya. Dalam pengalaman di lapangan,
waktu yang dibutuhkan adalah 4 - 12 jam umumnya terlaksana antara perawatan
(treatment) squeeze atau setelah tekanan squeeze akhir dicapai.
Water Cement Ratio (WCR). Jika air yang diberikan kurang dari minimum
maka friksi diantara annulus bertambah dan ini jika ditambah dengan tekanan
hidrostatik semen akan dapat menyebabkan formasi rekah. Juga dengan
sedikitnya air, maka kehilangan air walaupun sedikit di tubing collar sewaktu
squeeze dapat menyebabkan semen terhenti pada formasi permeabel yang lebih
dekat ke sumur. Tetapi pekerjaan plug back diperlukan WCR minimum agar
strength maksimal atau dalam menutup formasi-formasi bertekanan tinggi,
dimana SG dengan WCR rendah akan dapat meningkat.
Densitas. Umumnya densitas semen dibuat hampir sama dengan densitas
lumpur.
Fluid Loss Control. Fluid loss pada semen murni sangat besar, jika semen
slurry murni bertemu dengan zone permeabel dimana mud cake telah hilang.
Umumnya fluid loss menurut API adalah :
 200 ml/30 min untuk formasi yang sangat permeabel
 100 - 200 ml/30 min untuk formasi low permeable
 35 - 100 ml/30 min untuk formasi high permeability

Volume Slurry. Volume dari cement slurry tergantung dari panjang interval
yang akan disemen dan juga teknik penyemenan yang akan digunakan.Pada low
pressure squeeze hanya diperlukan slurry untuk membentuk filter cake semen
pada setiap saluran perforasi.
Untuk high pressure squeeze, yang dilakukan pada formasi yang rekah
diperlukan volume slurry yang lebih besar. Smith menyebutkan beberapa rule of
thumb :
 Volume tidak boleh melebihi kapasitas running string
 Dua sacks semen digunakan untuk interval perforasi sepanjang satu feet.
 Minimum volume adalah 100 sacks jika rate injeksi adalah 2 bbl/min yang
dapat dicapai sesudah break down, sebaliknya harus 50 sacks.

Viskositas Slurry. Slurry dengan viskositas yang rendah akan bisa


menembus lubang/rekahan yang kecil.

Spacers dan Washes. Ada dua faktor yang akan membuat berhasilnya
proses cementing yaitu :
 Pembersihan dari perforasi dan ruang disekitarnya dari padatan yang dibawa
oleh fluida atau lumpur pemboran.
 Menghindari kontaminasi pada cement slurry, yang akan mengakibatkan
berubahnya sifat slurry seperti fluid loss, tickening time dan juga
viskositasnya.

522 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Biasanya kontaminasi cement slurry dihindari dengan cara memompakan spacer


air diatas dan dibawah semen. Bisa juga dengan menggunakan chemical wash
atau larutan asam lemah yang diletakkan diatas slurry, dimana dipisahkan oleh
fluida yang kompatibel.

12.10.5.5. Prosedur Pelaksanaan Squeeze


Prosedur pelaksanaan squeeze yang umum dilakukan adalah :
1. Zone yang akan disemen diisolasi dengan menggunakan retrievable packer
atau dengan drillable bridge plug.
2. Perforasi dibersihkan dengan menggunakan perlengkapan pencuci perforasi,
atau dibuka kembali dengan teknik "back surging".
3. Peralatan pencuci perforasi diangkat dan jika metode drillable squeeze packer
dipilih maka dipasang peralatan circulating valve.
4. Menempatkan peralatan ke dalam sumur sampai pada kedalaman yang
diinginkan.
5. Semua pipa atau casing ditest dan formation breakdown ditentukan.
6. Dengan membiarkan circulating valve terbuka di atas retainer, fluida spacer
dimasukkan ke dalam pipa yang diikuti oleh slurry kemudian spacer yang
kedua, dan akhirnya oleh lumpur yang cukup untuk memasukkan setengah
dari fluida spacer yang pertama ke dalam annulus.
7. Circulating valve ditutup dan formasi disqueeze.
8. Bila tekanan squeeze telah dicapai, maka tekanan tetap ditahan beberapa
menit. Bila formasi tidak pecah atau valve tidak bocor, tekanan dapat
dihentikan, circulating valve dibuka dan kelebihan slurry dikeluarkan.
9. Jika kelebihan slurry tidak dapat dikeluarkan, maka semua peralatan
sebaiknya dicabut keluar.
Operasi dengan retrievable packer hampir sama dengan drillable packer hanya
alat yang dipasang dapat dilepas kembali untuk digunakan pada operasi lainnya.

12.10.5.6. Aplikasi Squeeze Cementing


Proses squeeze cementing telah digunakan secara luas untuk maksud-maksud :
1. Mengisi saluran perforasi atau saluran dibelakang casing dengan semen
untuk memperolwh kerapatan antara casing dan formasi.
2. Untuk mengontrol GOR yang tinggi.
3. Untuk mengontrol air atau gas yang berlebihan.
4. Untuk memperbaiki kerusakan casing.
5. Menutup zona lost circulation.
6. Untuk melindungi zone produksi dari migrasi fluida.
7. Mengisolasi zone produksi secara menyeluruh dan permanen.
8. Memperbaiki pekerjaan primary cementing yang rusak.
9. Mencegah migrasi fluida dari zone-zone atau sumur- sumur yang ditinggalkan
(abandoned).

12.10.5.7. Evaluasi Squeeze Cementing


Dua gejala yang sering menyebabkan hasil penyemenan menjadi tidak
sempurna adalah timbulnya "channeling" dan "micro annulus". Channeling adalah
gejala yang timbul bila semen berhasil menempati ruang annulus tetapi tidak

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 523


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

seluruhnya mengelilingi selubung dan mengisi penuh ruang annulus. Sedangkan


micro annulus merupakan rongga kecil yang terbentuk antara selubung dengan
semen atau antara semen dengan dinding formasi. Gejala tersebut menyebabkan
kualitas ikatan (bounding) semen menjadi jelek.
Jenis-jenis tes yang dilakukan untuk mengevaluasi squeeze cementing adalah
:
Acoustic Log
Jika tujuan squeeze untuk memperbaiki primary cementing maka normal cement
log dirun untuk mengevaluasi hasil dengan cara membandingkan hasil log
sebelum dan sesudah dilakukan squeeze.

Radioactive Tracers
Material radioaktif ditambahkan ke dalam cement slurry dan dengan survey tracer
(penjejak) bisa diindikasikan apakah semen berada di tempat yang diinginkan.

Kekerasan Semen
Suman dan Ellis(1977) menyatakan bahwa didalam kegiatan squeeze dimana
semen dibor, merupakan indikasi berhasil atau tidaknya penyemenan dengan
mengamati cutting semen tersebut. Jika cutting semen tersebut keras maka
menandakan bahwa hasil squeeze baik, jika tidak keras atau ada ruangan maka
mengindikasikan bahwa squeeze gagal.

Profile Temperatur
Goolsby(1969) mengevaluasi hasil squeeze pada sumur injektor air dengan cara
membandingkan antara profile temperatur sebelum dan sesudah dilakukannya
squeeze.

12.10.5.8. Penyebab Kegagalan

Cement Slurry Menembus Pori Batuan


Hanya campuran air dan substansi yang terlarut menembus pori, ketika padatan
terakumulasi di permukaan formasi dan membentuk filter cake. Dibutuhkan
permeabilitas yang lebih besar dari 100 Darsi agar butiran semen bisa
menembus matrik batuan pasir. Hanya ada satu jalan slurry menmbus formasi
yaitu melalui rekahan atau melalui lubang yang besar.

Tekanan tinggi yang diperlukan untuk mendapatkan squeeze yang baik.


Jika tekanan rekah formasi diperbesar, akan terjadi kehilangan kontrol dari
penempatan slurry, dan slurry akan memasuki daerah yang tidak diinginkan.
Tekanan tidak akan menolong menempatkan slurry pada semua lokasi yang
diinginkan.

524 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Plugged Perforations
Adanya mud cake, debris, scale paraffin, pasir formasi dan lain sebagainya dapat
terakumulasi di lubang perforasi sehingga menyebabkan lubang perforasi
tertutup. Goodwin (1984) menyatakan bahwa pada sumur produksi, perforasi
pada bagian atas selalu terbuka sedangkan pada bagian bawah tertutup.
Squeezing dengan kondisi seperti itu akan mengakibatkan kegagalan, karena
fluida formasi masih tetap mengalir melalui formasi yang tertutup tadi (plugged
perforations).

Lokasi Packer Yang Tidak Tepat


Packer diset terlalu tinggi diatas perforasi, cement slurry menjadi terkontaminasi
seperti fluida komplesi. Sifat slurry seperti fluid loss, thickening time dan
viskositas akan berubah oleh kontaminasi tersebut dan penempatan slurry akan
berubah.
Shryock dan Slagle (1968) merekomendasi bahwa squeeze packer diset tidak
lebih dari 75 ft (23 m) diatas perforasi. Suman dan Ellis (1977) mere-komendasi
bahwa packer diset diantara 30 dan 60 ft dari perforasi.

High Final Squeeze Pressure


Tekanan akhir yang tinggi tidak akan menaikkan tingkat keberhasilan; akan tetapi
sebaliknya akan meningkatkan kemungkinan merekahnya formasi, dan hal ini
akan menghilangkan kontrol pada waktu penempatan semen.

12.10.5.9. Teknik Penempatan Penyekat (plug)


Cement Plug adalah menempatkan cement slurry dengan volume yang relatif
kecil di dalam lubang sumur yang bertujuan untuk :
 Menutup sumur
 Mencegah lost circulation selama operasi pemboran
 Untuk sidetrack (tempat pembelokan) pada permulaan dilakukannya
pemboran berarah.
 Menyediakan tempat untuk tes openhole
 Ada tiga teknik untuk penempatan cement plugs :
 Balanced plug
 Dump bailer
 Two-plug method

Balanced PlugUmumnya teknik penempatan plug menggunakan metode ini.


Tubing atau drillpipe diturunkan ke dalam lubang sumur pada kedalaman yang
telah ditentukan untuk dilakukannya penyekatan. Spacer atau bahan kimia
dipompakan didepan dan dibelakang dari semen untuk melakukan pembersihan
lubang agar tidak terjadi kontaminasi semen oleh lumpur. Cement slurry tadi
dipompakan sampai ketinggiannya sama antara diluar dan didalam string.
Kemudian tubing atau string tadi ditarik dengan pelan ke atas, meninggalkan
cement slurry pada lokasi yang ditentukan. Metode ini sangat sederhana denagn

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 525


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

tidak membutuhkan peralatan yang khusus, hanya menggunakan unit cementing


services. (gambar 12.62)

Gambar 12.62. Metoda Penempatan Semen Dengan Cara Balanced Plug

Dump Bailer MethodMetode ini biasanya digunakan untuk kedalaman yang


dangkal; tetapi jika komposisi semen ditambah dengan retarder maka bisa
digunakan sampai kedalaman 12000 ft.
Dump bailer memuat sejumlah semen, yang diturunkan dengan menggunakan
wire line. Limit plug, cement basket, permanent bridge plug atau gravel pack
biasanya ditempatkan dibawah lokasi plugging yang ditentukan.Bailer dibuka oleh
sentuhan dari bridge plug, kemudian semen dialirkan.
Metode ini mempunyai keuntungan dimana perlengkapan dijalankan de ngan
wireline dan kedalaman dari cement plug dengan mudah bisa dikontrol. Biaya
dengan metode ini juga relatif lebih murah karena hanya menggunakan satu
peralatan pumping yang konvensional. Kerugiannya adalah jumlah semen yang
terbatas karena volume daump bailer yang tertentu.(gambar 12.63)

526 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gamabr 4.63. Penempatan Semen Dengan Bantuan Dump Driver

Two Plug Method pada metode ini top dan bottom tubing plugs dirun untuk
mengisolasi cement slurry dari fluida sumur dan juga fluida pendorong. Bridge
plug biasanya di run pada kedalaman cement plugging. Sebuah baffle tool di run
diatas dasar string dan ditempatkan pada kedalaman tertentu untuk dasar dari
cement plug. Peralatan ini memungkinkan bottom tubing plug masuk dan keluar
dari tubing atau drillpipe. Semen kemudian dipompakan keluar dari string pada
kedalaman plugginbg dan mulai mengisi annulus. (gambar 12.64)

Gambar 12.64. Penempatan Semen Dengan Metoda Two-Plug

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 527


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Keuntungan dari metode two plug adalah :


 Meminimalkan kemungkinan pergerakan yang berlebihan.
 Bentuknya yang ketat, dengan struktur semen yang keras.
 Memungkinkan ditentukannya top dari plug.

12.11. Penilaian Kualitas Penyemenan


12.11.1. Pendahuluan
Evaluasi penyemenan adalah pengujian tujuan dari penyemenan telah tercapai
setelah operasi penyemenan dilaksanakan. Evaluasi penyemenan tidak akan
efisien bila tujuan dari penyemenan tidak jelas, apakah primary cementing,
remedial cementing atau plugging cementing. Untuk pengetesan ada beberapa
macam metode yaitu :

12.11.2. Hydraulic Testing


Test ini umumnya untuk menguji isolasi yang terjadi di lubang bor. Hal ini
dilakukan setelah dilakukan operasi primary cementing, bila zone air terletak dekat
dengan zone minyak atau gas yang akan diproduksi, atau dapat dilakukan setelah
remedial cementing.
Berbagai type pengujian dapat dilakukan, umumnya menggunakan uji tekanan
(pressure testing) dan Dry testing.

12.11.2.1. Pressure Testing


Umumnya test ini dilakukan setelah penyemenan surface atau intermediate
casing telah dilakukan, dimana casing shoe telah dibor. Tekanan di dalam casing
ditingkatkan menjadi lebih tinggi dari tekanan yang akan diderita pada titik ini
selama operasi pemboran berikutnya. Casing shoe bila tidak tahan menahan
tekanan menunjukkan operasi penyemenan yang buruk dan remedial cementing
harus dilaksanakan.

12.11.2.2. Dry Testing


Dry testing semacam DST yang khusus untuk menguji penyekatan semen.
Dry testing umumnya digunakan untuk menguji keefektifan dari squeeze
cementing, atau penyekatan semen di atas liner. Sementara tujuan utama dari
DST adalah untuk mengevaluasi kandungan lapisan berdasarkan rate dan
tekanan. Pengujian dry test dikatakan berhasil bila tidak terjadi perubahan
tekanan selama penutupan sumur. Gambaran test ini dapat dilihat pada gambar
12.65.

528 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.65. Chart Hasil Dry-Test

12.11.3. Temperatur dan Nuklir Log


12.11.3.1. Temperatur Log
Temperatur log juga kadang-kadang dipakai untuk mengevaluasi hasil
penyemenan, biasanya digunakan untuk pengujian primary cementing, yaitu
untuk mendeteksi kedudukan puncak semen (lihat gambar 12.66). Temperatur
log juga digunakan untuk mendeteksi bagian semen yang bocor dan channeling.

Gambar 12.66 Hasil Temperatur Survey

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 529


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.11.3.2. Nuclear Logging


Dalam industri perminyakan, sangat praktis bila dilakukan penambahan
radioaktif sebagai tracer, sehingga dengan menggunakan detector kita dapat
men-trace posisi dan kedudukan semen dalam annulus casing-lubang bor, (lihat
gambar 12.67).

Gambar 12.67. Hasil Test Intensitas Radiasi


12.11.4. Gelombang Acoustic
12.11.4.1. Karakteristik Gelombang Acoustic
Acoustic berkaitan erat dengan karakteristik perambatan gelombang suara
(sound wave). Pada hakekatnya perambatan gelombang suara ini merupakan
proses compression (penekanan) dan refraction (pengembangan) molekul-
molekul gas atau cairan atau sebagai proses squeezing (pemerasan) dan
stretching (perentangan) struktur butiran padatan.
Ada dua jenis gelombang acoustic, compressional wave dan shear wave.
Apabila proses perambatan gelombang terjadi searah dengan arah perambatan
gelombang, gelombang tersebut disebut dengan gelombang kompressional
(compressional wave). Dan apabila gerakan di atas tegak lurus dengan arah
perambatan gelombang disebut gelombang shear (shear wave).
Ditinjau dari jumlah frekuensi yang dipancarkan, gelombang acoustic dibagi
menjadi 3, infrasonic (frekuensi kurang dari 20 kHz), gelombang suara (frekuensi
antara 20 sampai 20.000 kHz) serta utrasonic (frekuensi di atas 20 kHz).

12.11.4.2. Karakteristik Acoustic Formasi


Sifat-sifat dasar formasi memiliki pengaruh pada acosutic log. Untuk maksud-
maksud evaluasi semen dikenal istilah fast formation dan slow formation. Kedua
istilah ini berkenaan dengan kecepatan suara. Suatu formasi dikatakan sebagai
fast formation apabila kecepatan perambatan gelombang suara yang melaluinya
lebih cepat dari pada yang melalui casing, yakni memiliki perambatan (T) kurang

530 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

dari 57 mu s/ft. Sedangkan suatu formasi disebut sebagai slow formation apabila
kecepatan perambatan gelombang suara yang melaluinya lebih rendah dari pada
yang melalui casing T 57 mu s/ft. Karakteristik acoustic untuk berbagai jenis
formasi dan fluida yang umum dapat kita lihat pada Tabel 12.20.
Tabel yang sama tidak dapat dibuat untuk karakteristik atenuasinya karena
karakteristik tersebut bergantung pada frekuensi namun secara umum dikatakan
bahwa harga attenuasi besar bila perlambatannya besar. Atenuasi akan sangat
besar pada material non consolidated seperti shale pada tempat yang dangkal
attenuasi diabaikan pada batuan yang memiliki ikatan yang kuat.

Tabel 12.20 Sifat Akustik Berbagai Batuan

12.11.4.3. Karakteristik Acoustic Semen


Response acoustic logging sangat tergantung pada sifat- sifat acoustic dari
semen keras. Sifat-sifat acoustic beberapa batuan dapat diketahui, namun akan
lebih sulit untuk mengetahui karakteristik acoustic dari semen, karena fisik semen
akan berubah terhadap waktu.
Akibat perbedaan yang mendasar ini, membuat analisis logging menjadi krisis
untuk beberapa kasus. Response logging akan berubah terhadap waktu, karena
sifat-sifat fisik semen juga berubah. Dengan terjadinya semen yang tidak berada
pada keadaan fisik yang sama di sepanjang string casing, akan mengakibatkan
perbedaan yang menyolok pada response logging untuk string yang panjang,
dimana terjadi perbedaan temperatur antara bottom dan top semen.
Karakteristik acoustic untuk berbagai jenis formulasi semen pada kondisi
abient di perlihatkan pada tabel 12.21, dari hasil tersebut, terlihat bahwa bubur
semen dengan densitas rendah, memiliki impedansi acoustic yang rendah yang
akan berubahsetelah beberapa hari. Impedansi acoustic dari bubur semen yang

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 531


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

lebih padat berubah kurang dari 20 % antara satu sampai tujuh hari. Hal ini akan
menjadi semakin kritis untuk bubur semen dengan hollow silika microsphere
dimana memiliki impedansi acoustic rendah. Foamed cement (semen buih) juga
memiliki impedansi acoustic rendah. Bila kualitas (porositas) foam tinggi maka
sulit untuk membedakan antara semen dan air.
Meskipun sifat-sifat acoustic semen tidak dapat ditentukan secara pasti,
namun harga yang dilaporkan pada tabel 12.21 dapat digunakan sebagai
pendekatan awal.

Tabel 12.21 Sifat Akustik Berbagai Aditive

12.11.5. Metode Acoustic Logging


Ada dua metode acoustic logging yang dipakai dan memiliki prinsip pengukuran
yang berbeda, yakni Cement Bond Log (CBL) dan Cemen Evaluation Tool (CET).
Jenis ketiga yakni Cement Bond Tool (CBT) pada dasarnya merupakan borehole-
compensated CBL.
12.11.5.1. Cement Bond Logging

A. Peralatan dan Prinsip Pengukuran


Cement Bond Logging atau CBL merupakan metode yang sudah
dikembangkan sejak 30 tahun yang lalu dan merupakan metode yang masih
sering digunakan untuk mengevaluasi pekerjaan penyemenan. Gambar 12.68
berikut menggambarkan konfigurasi peralatan CBL dengan satu transmitter
dan dua receiver yang keduanya dibuat dari piezoelectric ceramic.

532 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.68 Konsep CBL/VDL pada Pengukuran Kualitas Semen

Kedua receiver ditempatkan pada jarak 3 ft dan 5 ft dari transmitter. Peralatan


CBL tersebut juga dilengkapi dengan sejumlah centralizer yang berfungsi agar
transmitter dan receiver tetap terpusat di dalam pipa. Menurut BIGELOW,
sedikitnya dipasang dua atau tiga centralizer pada CBL untuk
mempertahankan peralatan berada pada pusat casing.
Prinsip pengukuran CBL adalah merekam harga transit time dan
amplitudo/attenuation dari gelombang acoustic 20 kHz yang dipancarkan oleh
transmitter setelah merambat melalui dinding casing dan fluida lubang bor.
Gambar 12.69 berikut melukiskan jalur beberapa gelombang tersebut.

Gambar 12.69 Gelombang yang Ditengkap CBL


Gambar 12.70 melukiskan beberapa siklus gelombang yang diterima pertama
kali pada receiver.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 533


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.70 Siklus Gelombang yang Diterima CBL

B. Interpretasi CBL
Dua informasi utama yang diperoleh dari CBL adalah amplitudo yang datang
dari sinyal pipa dan penampilan rangkaian gelombang akustik secara lengkap.
Sebagai tambahan ditampilkan pula transit time gelombang pipa yang datang
pertama kali.
Amplitudo log adalah ukuran amplitudo acoustic pipa yang datang pertama
kali dan diukur dengan detector/receiver yang lebih dekat terhadap transmitter
(3 ft dari transmitter). Harga ini merupakan ukuran keras suara sinyal acoustic
yang diterima. Pipa yang tidak terikat semen bebas bergetar, mengirimkan
banyak energi acoustik dari sinyal yang diterima dari transmitter. Sedang
dalam pipa yang terikat semen, sinyal acoustic dilemahkan dengan sangat.
Dengan demikian amplitudo suara yang dikirimkan melalui casing merupakan
ukuran ikatan semen terhadap pipa. Gambar 12.71 melukiskan karakteristik
kualitatif amplitudo log.

Gambar 12.71 Karakteristik Kualitas Amplitudo Log

534 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Harga Bond Index digunakan untuk menggambarkan fraksi ikatan lingkaran


pipa. Berdasarkan data empirik, zone isolation dapat dicapai bila semen
mengikat casing sekurang-kurangnya 80 % atau BI = 0.4. BROWN
menyatakan bahwa dengan Bond Index = 0.8 atau lebih, interval minimum
casing yang harus disemen untuk memnuhi isolasi hidrolik dapat ditentukan
menurut grafik yang tertera pada gambar 6.9 melukiskan contoh rekaman
CBL-VDL pada casing 7 inch yang disemen pada rangkaian sand/shale. Zone
A merupakan bagian yang terikat baik karena BI menunjukkan bahwa isolasi
hidrolik dapat diharapkan. Meskipun zone B, C dan D memiliki BI lebih besar
dari 0.8 namun interval yang disemen terlalu pendek untuk menjamin ikatan
hidrolis.
Menurut MORRIS, evaluasi Bond Index akan benar bila : peralatan dipasang
benar-benar central, tidak terjadi microannulus, tidak ada perubahan
compressive strength, amplitudo E1 diukur dengan baik dan tidak dipengaruhi
fast formation dan cycel skipping serta koreksi atas impedansi dan atenuasi
fluida lubang bor dilakukan dengan baik.
Pada free pipe, sinyal amplitudo yang tinggi dimulai pada saat sinyal pipa
yang datang diukur (gambar 12.72a). Gambar 12.72b, mengilustrasikan
rangkaian gelombang suara yang diterima dengan ikatan yang baik terhadap
formasi yang memiliki kecepatan suara rendah. Amplitudo sinyal sangat
rendah pada saat sinyal pipa datang yang mengindikasikan shear contact
yang baik antara pipa dan semen. Amplitudo sinyal formasi yang tinggi yang
datang setelah sinyal pipa memberikan petunjuk formasi memiliki kecepatan
suara rendah dan ikatan yang baik antara semen dan formasi.
Ikatan yang baik juga diasumsikan terjadi pada gambar 12.72c, namun sinyal
tersebut menunjukkan fast formation. Pada kasus ini, sinyal formasi datang
bersamaan atau bahkan lebih awal dari sinyal pipa. Pada gambar 12.72d,
ikatan yang baik terjadi antara casing dan semen, namun ikatan antara semen
dan formasi jelek. Amplitudo yang diukur pada saat sinyal pipa muncul kecil
disebabkan oleh ikatan yang baik dan demikian juga pada saat munculnya
sinyal formasi karena rangkaian acoustic terbatas antara semen dan pipa.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 535


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.72 Contoh Amplitudo pada Berbagai Kondisi Ikatan Semen

Variable Density Log dibuat dengan memberikan bayangan gelap untuk sinyal
positif yang kuat dan bayangan putih terang untuk sinyal negatif. Intensitas
gelap atau terang pada log tergantung pada harga amplitudonya. Interpretasi
gelombang ini selanjutnya direkam secara kontinyu terhadap kedalaman.
Sebagaimana terlukis pada gambar 12.73 VDL menampikan rangkaian
seluruh gelombang sinyal acoustic dimana amplitudonya diidentifikasikan
pada perbandingan antara pita gelap dan terang. Semakin tinggi
perbedaannya semakin tinggi pula amplitudonya. VDL dapat ditampilkan
secara kontinyu terhadap kedalaman sumur dan menyoroti perubahan
rangkaian gelombang terhadap kedalaman. Karena harga transit time
bervariasi tergantung perubahan litologi, penampilan VDL akan berombak
selama menerima respon sinyal formasi. Transit time, CBL juga menampilkan
waktu yang dicapai sinyal gelombang yang pertama kali muncul pada
receiver.
Penentuan transit time digunakan untuk mengecek tool centering dan untuk
menguatkan interpretasi amplitudo log. Apabila CBL dipasang di tengah-
tengah pipa, transit time sama dengan waktu yang dicapi sinyal pipa pada
saat pertama kali muncul. Pada free pipa (memiliki amplitudo tinggi), transit
time berharga konstan terhadap kedalaman, kecuali sedikit variasi karena
pengaruh ukuran pipe joint. Pada pipa yang disemen, transit time dipengaruhi
oleh fast formation, cycle skipping dan stretching.

Gambar 12.73 Contoh Rekaman CBL – VDL

Dengan membandingkan transit time yang diukur dengan transit time yang
diperkirakan, dapat digambarkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Transit time lebih pendek, merupakan indikasi terjadinya sentralisasi yang
jelek dari peralatan tersebut atau indikasi adanya fast formation di dalam
lapisan. Disamping transit time lebih pendek, jeleknya sentralisasi alat
ditandai juga dengan rendahnya harga amplitudo dan bergelombangnya
sinyal casing. Hal ini disebabkan oleh terjadinya interferensi sinyal akibat

536 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

perbedaan jarak yang ditempuhnya, seperti terlihat pada gambar 12.74.


Sedangkan bila terjadi fast formation, disamping transit time berkurang,
namun harga amplitudo bisa sangat tinggi. Munculnya fast formation
merupakan indikasi terjadinya Cement Bond yang baik akibat shear
coupling yang baik antara casing, semen dan formasi.

Gambar 12.74 Efek Posisi Alat Terhadap Amplitudo Suara

2. Transit time sedikit lebih panjang, merupakan indikasi terjadinya stretching


turunnya amplitudo E1. Terjadinya stretching merupakan indikasi adanya
Cement Bond yang baik. Perhatikan gambar 12.75.

Gambar 12.75 Amplitudo Cement-Bond yang Baik

3. Transit time lebih panjang, merupakan indikasi terjadinya cycle skipping.


Pada kasus ini harga E1 terlalu kecil untuk dideteksi (di bawah detection
level) sehingga ukuran transit time meloncat dan menggerakkan E3
(gambar 12.76). Kasus ini juga merupakan indikasi terjadinya ikatan
semen casing yang baik.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 537


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.76 Amplitudo Ikatan Semen - Casing yang Baik

Bond Log dipresentasikan dengan format log standar yang terdiri dari tiga
track dengan track kedalaman berada diantara track 1 dan 2.
Track 1 menggambarkan ukuran transit time dan kurva koreksi seperti GR
atau neutron. Skala yang dipakai untuk transit time 3 ft adalah 200 - 400
mS.
Track 2 menggambarkan kurva amplitudo dan atau attenuation rate. Kurva
rate atenuasi dipresentasikan dalam skala 20 - 0 dB/ft. Sedangkan kurva
amplitudo umumnya dalam skala 0 - 100 atau 0 - 50 mV dengan kurva
penguat antara 0 - 20 atau 0 - 10 mV. Skala ganda sangat penting karena
pembacaan pada free pipe dapat mencapai 100 mV bahkan lebih,
sedangkan ikatan yang baik bisa mencapai 1 mV atau kurang.
Track 3 menggambarkan display seluruh rangkaian gelombang baik dalam
bentuk x-y presentation maupun VDL. Skala yang digunakan antara 200 -
1200 mS.

Berikut ini adalah contoh format CBL - VDL - x - y presentation. Beberapa


contoh berikut merupakan ilustrasi tentang response CBL untuk berbagai
kondisi penyemenan sumur.
1. Free Pipe. Suatu hal yang penting untuk melakukan logging pada daerah
free pipe pada saat CBL dijalankan. Logging pada free pipe memberi
kalibrasi alat untuk lingkungan tertentu di bawah kondisi logging. Pada
casing yang tidak disemen, aplitudo log memperlihatkan nilai amplitudo
yang tinggi dan transit time dapat disamakan dengan waktu munculnya
sinyal casing. VDL menampilkan adanya perbedaan yang jelas pada garis-
garis vertikal yang sejajar tanpa indikasi adanya sinyal formasi. Casing
collar memberi tampilan khusus pada kondisi free pipe ini. Pantulan casing
collar, seperti terlihat pada gambar 12.77 akan mengakibatkan penurunan
harga amplitudo dan kenaikkan transit time.

538 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.77 Amplitudo Free-Pipe

2. Formasi dan Casing Terikat Baik. Apabila formasi dan casing terikat baik,
harga amplitudo rendah. CBL - VDL (gambar 12. 78) akan menampilkan
sinyal casing yang lemah atau bahkan tidak ada dan menampilkan sinyal
fornasi kuat kecuali bila atenuasi formasi tinggi, seperti formasi gas-sand,
shale yang lunak atau formasi lain yang memiliki kecepatan rendah.

Gambar 12.78 Amplitudo Formasi dan Casing Baik

3. Ikatan Casing Baik, Ikatan Formasi Jelek. Kondisi ini dapat diakibatkan
karena pembentukan mud cake yang tidak dapat dipindahkan oleh bubur

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 539


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

semen. Situasi ini ditandai oleh lemahnya sinyal casing yang datang yang
diindikasikan oleh lemahnya amplitudo dan kurang jelasnya perbedaan
waktu datangnya sinyal casing pada VDL serta lemahnya sinyal formasi
yang ditunjukkan pada tampilan rangkaian gelombang seluruhnya (gambar
12.79). Namun kondisi seperti di atas dapat diakibatkan oleh faktor-faktor
lain, seperti karena besarnya atenuasi acoustic formasi dan karena
pengaruh tool eccentricity.

Gambar 12.79. Amplitudo Ikatan Casing Baik Ikatan Formasi Jelek

4. Microannulus. Pada CBL, mocroannulus memperlihatkan ikatan dengan


kualitas sedang hingga jelek. Keadaan ini diindikasikan dengan harga
amplitudo sedang hingga tinggi dan tampilan seluruh rangkaian
gelombang akan memperlihatkan sinyal casing yang lemah hingga agak
kuat dan sinyal formasi yang datang lemah. Salah satu cara untuk
membedakan antara microannulus dari kondisi ikatan sebnarnya adalah
dengan mengurangi CBL pada tekanan tertentu yang ditambahkan (1000 -
1500 psi) yang akan menurunkan ukuran microannulus. Bila tekanan
tersebut sanggup menutup microannulus, maka CBL yang dijalankan pada
tekanan tersebut akan menampilkan amplitudo yang lebih kecil, sinyal
casing lebih lemah dan sinyal formasi lebih kuat dibandinglkan pada CBL
yang dijalankan tanpa penambahan tekanan permukaan. Gambar 12.80
memperlihatkan pengaruh microannulus sebelum dan setelah
penambahan tekanan.

540 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.80. Amplitudo Micro Annulus

5. Channeling. Channeling di dalam semen sulit diidentifikasikan dalam CBL.


Channeling akan menghasilkan harga amplitudo dari sedang hingga kuat,
harga sinyal casing sedang hingga kuat dan sinyal formasi sedang.
Gambar 12.81 melukiskan response CBL sebelum dan sesudah squeeze
cementing pada daerah Channeling. Sebelum squeeze VDL
memperlihatkan sinyal pipa kuat, namun sinyal formasi juga jelas dan
menunjukkan terjadi sedikit ikatan pada formasi. Harga amplitudonya
sedang hingga kuat. Setelah squeeze, karakteristik ikatan yang baik
terlihat jelas (amplitudo rendah dan sinyal formasi kuat).

Gambar 12.81. Amplitudo Channeling

6. Eccentric Tool. Suatu hal yang sangat penting untuk menempatkan


peralatan CBL di tengah pipa casing. Bila tidak, jarak jalur perjalanan

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 541


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

gelombang acoustic berbeda dan amplitudo yang dihasilkan kecil.


Peralatan yang kurang terpusat menyebabkan penampilan VDL
bergelombang pada daerah munculnya sinyal pipa, menyebabkan
amplitudo rendah dan transit time lebih kecil dari waktu munculnya sinyal
casing yang telah diperkirakan. Gambar 12.82 melukiskan response
Eccentric Tool pada CBL.

Gambar 12.82. Amplitudo Akibat Eccentric Tool

7. Eccentric Casing Atau Semen Tipis. Menurut MORRIS, bila tebal selubung
semen kurang dari 3/4 in (1.9 cm), atenuasi sinyal pipa menjadi sangat
berkurang, dan mengakibatkan amplitudo tinggi. bila casing tidak terpusat,
lapisan semen tipis diluar casing tidak terlalu melemahkan sinyal casing.
Hal yang sama bila pipa diletakkan terpusat namun lubang sumur terlalu
kecil, maka harga amplitudo menjadi tinggi. Gambar 12.83 memperlihatkan
kasus tersebut.

542 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.83. Amplitudo Eccentric Casing atau Semen Tipis

8. Fast Formation. Gambar 12.84 melukiskan interval yang mengandung fast


formation ( B, D dan E ). Seperti terlihat pada VDL, pada interval tersebut
sinyal formasi datang lebih awal dari sinyal pipa. Bandingkan data VDL
dengan kurva gamma ray. Hal ini menunjukan pipa secara acoustic
bergabung pada batuan dan semen terikat pada pipa dan formasi. Pada
interval fast formation, harga amplitudo sangat tinggi yaitu antara 60-80
mV. Sedangkan pada interval C dan D harga amplitudo sangat rendah
( sekitar 1 mV ). Besarnya harga amplitudo disini disebabkan karena
adanya fast formation.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 543


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.84. Amplitudo Fast Formation


9. Cycle Skipping. Pada log cycle ditandai dengan rendahnya harga
amplitudo dan membesarnya harga transit time dari yang telah
diperkirakan.
10. Transit Time StretchTransit Time Stretch adalah kenaikkan harga transit
time akibat penurunan harga amplitudo E1. Stretch sring terjadi pada
bagian awal sumur yang disemen. Stretch dapat dikenali pada log dengan
rendahnya amplitudo dan meningkatnya harga transit time.

12.11.5.2. Cement Bond Tool


A. Peralatan dan Prinsip Pengukuran
Cement Bond Tool (CBT) merupakan metode evaluasi kualitas semen yang
merupakan pengembangan dari CBL. CBT dikenal juga sebagai Ratio Bond
Tool (RBT) atau attenuation - ratio log. Peralatan CBT didisain dengan 3
receiver yang dipasang di antara dua transmitter atas dan di bawah. Selain itu
juga dilengkapi dengan centralizer.
Prinsip pengukuran CBT hampir sama dengan prinsip pengukuran CBL, yakni
merekam harga transit time dan gelombang/attenuation dari gelombang
acoustic 20 kHz yang dipancarkan oleh transmitter setelah merambat melalui
dinding casing dan fluida lubang bor. Namun karena CBT memiliki 2 receiver
utama R2 dan R3 di antara transmitter T1 dan T2, terdapat perbedaan dalam
perhitungan respon yang diterima CBT.

B. Interpretasi CBT
Seperti juga pada CBL, Bond Log pada CBT dipresentasikan dalam 3 track.
Track 1 berisi informasi tentang transit time yang diukur baik oleh receiver 2.4
ft (TT1), maupun oleh receiver 3.4 ft (TT2). Ditambah dengan informasi GR
dan CCLU. Track 2 berisi kurva amplitudo SA2N (mV) sebagai output dari
receiver 2.4 ft dan kurva attenuation rate dalam dB/ft (CATT dan BATT). Dan
track 3 berisi display rangkaian gelombang baik dengan x - y presentation
maupun VDL. Gambar 12.85 melukiskan satu contoh CBT.

544 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.85. Prinsip Peralatan CBT

12.11.5.3. Cement Evaluation Tool


A. Peralatan dan Prinsip
PengukuranCement Evaluation Tool atau CET merupakan metoda yang telah
dikembangkan dalam upaya memperbaiki kekurangan yang terdapat pada
metode sebelumnya. Metode ini dikenal pula sebagai Ultrasonic-Pulse-Echo
Log atau Pulse Echo Tool.
Alat ini terdiri atas rangkaian delapan tranducer ultrasonic yang dipasang
disekeliling alat secara helik dengan spasi antar tranducer 4500 (gambar
12.86). Selain itu ditempatkan transducer kesembilan yang digabungkan
secara aksial dan diarahkan pada cermin acoustic yang ditempatkan pada
jarak tertentu didepan transducer sehingga dapat digunakan sebagai referensi
ukuran kecepatan suara pada setiap waktu di dalam fluida pemboran. Seperti
pada metode yang lain, pada alat ini juga dilengkapi centralizer.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 545


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.86. Prinsip Peralatan CET

Respon impulse yang diukur oleh transducer berupa rangkaian impulse yang
dipisahkan oleh dua travel time pada casing. masing-masing amplitudo
impulse merupakan fungsi impedansi acoustic fluida sumur bor, casing dan
material yang berhubungan dengan bagian luar casing. Tinggi puncak
pertama kurang lebih sepuluh kali lebih besar dari yang lainnya. Impulse yang
mengikutinya hilang secara eksponensial, dengan rate kehilangannya
tergantung pada material yang berhubungan dengan bagian luar casing.
Casing yang dikelilingi air (tidak ada semen) akan bebas bergetar secara
radial dan impulse hilang dengan lambat. Sedangkan pada casing yang terikat
impulse semen hilang dengan cepat karena terjadi coupling acoustic yang
baik terhadap media disekelilingnya. Respon yang diterima transducer
dilukiskan oleh gambar 12.87.

Gambar 12.87. Amplitudo CET

B. Interpretasi
CET Respon tool yang telah dinormalkan akan dipengaruhi oleh perubahan
impedansi akustik di belakang casing. Pada free pipe, dengan impedansi
akustik rendah (fresh water = 1.5) menghasilkan koefisien refleksi yang cukup
tinggi. Kehilangan resonansinya berlangsung secara eksponensial dengan
nilai W2 dan W3 sama dengan satu. Sedangkan bila casing disemen, dengan
impedansi akustik semen yang tinggi menghasilkan koefisien refleksi yang
rendah. Dan jika kehilangan resonansi (resonance decay) akan berlangsung
secara eksponensial dan nilai W2 dan W3 relatif kecil. Hal ini dapat dilihat
pada gambar 12.88.

546 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.88. Interpretasi Hasil CET

Beberapa contoh berikut merupakan interpretasi CET pada beberapa kondisi


penyemenan sumur.
1. Kualitas semen baik dan jelek. Kualitas semen yang baik diindikasikan
dengan bayangan hitam pekat oleh seluruh transducer dan dengan
tingginya harga minimum compressive strenght (diatas 1000 psi).
Sedangkan kualitas semen diinterpretasikan jelek bila bayangan yang
dihasilkan oleh sebagian atau seluruh transducer terang (putih). Gambar
12.89 melukiskan hasil log CET yang menampilkan ikatan semen yang
baik yang dipisahkan oleh beberapa ikatan semen yang jelek.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 547


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.89. Contoh Semen yang Baik dan Jelek Hasil CET

2. Channeling. CET mampu menampilkan pengaruh channeling dalam


semen disekeliling pipa casing yang diperoleh dari kedelapan transducer
yang diarahkan secara radial ke sekeliling pipa. Gambar 12.90 melukiskan
pengaruh channeling yang seolah-olah membentuk spiral mengelilingi pipa
casing. Namun bila melihat rotasi Relatif Bearing (RB), maka
sesungguhnya channel tersebut terdapat dalam satu lajur.

548 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.90. Contoh Chanelling Hasil CET

3. Microannulus. CET log kurang sensitif terhadap pengaruh microannulus


terutama bila lebar microannulus kecil dan terisi fluida. Bila panjang
gelombang pulsa lebih besar dibanding ukuran microannulus dan
perbedaan antara impedansi fluida di dalam celah dengan impedansi
padatan disekitarnya terlalu tinggi maka microannulus tidak mempengaruhi
respon peralatan. Teori dan aksperimen (Schlumberger) menunjukkan
bahwa untuk microannulus yang terisi air, gap microannulus kecil
pengaruhnya terhadap respon hingga 0.005 in ( 0.1 mm ). Dengan
demikian untuk gap dibawah 0.1 mm akan tetap menampilkan adanya
semen. Gambar 12.91 memperlihatkan pengaruh tersebut. Sedangkan
gambar 12.92 memperlihatkan pengaruh microannulus pada interfal 2060
sampai 2110 ft. Penambahan tekanan pada 1500 psi pada sumur tersebut
menjadikan VDL-CET memperlihatkan ikatan semen yang sangat baik
(bayangan hitam penuh). Bila microannulus terisi gas, maka koefisien
refleksi casing/gas menjadi besar dan CET akan menampilkan bayangan
putih abu-abu seperti pada pengaruh free pipe dengan bendera dikibarkan
pada track kanan, sedangkan nilai WWM berada pada interval gas (1.2).
LEIGH menyatakan bahwa microannulus yang terisi gas akan mulai
mempengaruhi sinyal CET pada gap sebesar 0.5 um. Gambar 12.93
memperlihatkan pengaruh microannulus yang terisi gas pada respon CET.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 549


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.91. Respon Micro Annulus Hasil Teori dan Eksperimen

Gambar 12.92. Contoh Micro Annulus pada CET

550 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.93. Micro Annulus yang Terisi Gas Hasil CET

4. Fast Formation. CET log tidak dipengaruhi oleh fast formation, kecuali bila
lapisan semen sangat tipis. Pada gambar 12.94 berikut CET menampilkan
pengaruh fast formation pada daerah interval perforasi (50 ft) dengan
munculnya pengaruh ikatan semen yang baik disertai bayangan putih
seperti pada channel dan diiringi dengan bendera pada track kanan.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 551


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.94. Fast Formation pada CET

552 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.95. Chart CBL Untuk Penentuan Kualiatas Semen


12.12. Perhitungan Pada Penyemenan
12.12.1. Pendahuluan
Performansi dari perhitungan merupakan bagian yang integral dari perhitungan
pada penyemenan (cement job design). Perhitungan-perhitungan ini perlu
dilaksanakan untuk menentukan karakteristik dari sistem sluri semen (seperti
densitas, yield, volume air pencampur serta jumlah additive yang harus
ditambahkan). Selain itu perhitungan juga tergantung pada tipe penyemenan yang

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 553


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

akan dilakukan, juga untuk menenetukan volume slurry, tekanan dan lain-lain.
Dalam bab ini akan dijelaskan lima macam dari perhitungan yang biasa dilakukan,
yaitu :
 Cement Slurry Properties
 Primary Cement Job Design
 Squeeze Cement Job Design
 Cement Plug Design

12.12.2. Karakteristik Suspensi Semen


API Spec. 10 (1988) secara khusus membahas jumlah air yang harus
ditambahkan kedalam bubuk semen. API Spec. ini berhubungan dengan densitas
suspensi semen (umumnya spesific gravity 3.14 gr/cc untuk semen Portland),
tergantung pada klas semen (lihat tabel 12.22) dan umumnya merupakan fungsi
dari luas permukaan semen. Dan bila additive hadir dalam suspensi, jumlah air
yang sudah ditambahkan dengan tepat (untuk mencapai densitas yang diinginkan)
akan berubah.
Tabel 12.22. Densitas Suspensi Semen terhadap Kelas Semen
Class Mix Water Slurry Density Yield
(% BWOC) (lb/gal) (g/cm3) (ft3/sk)
A 46 15.6 1.87 1.18
B 46 15.6 1.87 1.18
C 56 14.8 1.77 1.32
D 38 16.45 1.97 1.05
E 38 16.45 1.97 1.05
F 38 16.45 1.97 1.05
G 44 15.8 1.89 1.15
H 38 16.45 1.97 1.05

12.12.2.1. Specific Gravity Semen


Spesific semen Portland berkisar antara 3.10 dan 3.25, tergantung kepada
material dasar yang digunakan dalam pembuatannya. Untuk perhitungan
selanjutnya asumsi spesific gravity digunakan harga 4.13 gr/cc.

12.12.2.2. Volume Absolut dan Volumen Bulk


Volume absolut suatu material adalah volume yang mencakup hanya volume
material itu sendiri (tidak termasuk volume udara yang terdapat di sekeliling
partikel). Volume yang mencakup volume material kering ditambah udara
disekitarnya disebut dengan volume bulk. Semen Portland umumnya mempunyai
volume bulk 1 cuft untuk 94 lb, yang sering disebut dengan "sack". Volume
absolut untuk semen 94 lb semen adalah 3.59 US gal. atau 0.48 cuft. Untuk
semen-semen yang lain akan memiliki absolute dan bulk volume yang berbeda.
Tabel 12.23 memperlihatkan beberapa absolute dan bulk volume dari berbagai
semen, yang disajikan dalam English unit dan SI unit.

554 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 12.23. Absolute Volume dan Bulk Volume dari Berbagai Semen
Material Sack Weght Bulk Volume Absolute Volume
(lb) (ft3/sk) Gal/lb) (m3/T)
API Classes
A through H 94 1.0 0.0382 0.317
Class J 94 1.0 0.0409 0.341
Trinity Lite Wate 75 1.0 0.0409 0.375
TXI Lightweight 75 1.0 0.0425 0.355
Ciment fondu 87.5 1.0 0.0373 0.312
Lumnite 94 1.0 0.0380 0.317

Volume absolute dan bulk untuk berbagai material untuk semen additive,
biasanya diberikan oleh masing pabrik pembuatnya. Tabel 12.24 memperlihatkan
informasi mengenai volume absolute dan spesific gravity beberapa jenis additive
yang sering digunakan.

Tabel 12.24. Volume Absolute dan Spesific Gravity Beberapa Jenis Additive
Material Absolute Volume Specific
(gal/lb) (m3/T) Gravity
Barite 0.0278 0.231 4.33
Bentonite 0.0454 0.377 2.65
Coal (ground) 0.0925 0.769 1.30
Gilsonite 0.1123 0.202 1.06
Hermatite 0.0244 0.935 4.95
Ilmenite 0.0270 0.225 4.44
Silica Sand 0.0454 0.377 2.65
NaCl (above 0.0556 0.463 2.15
saturation)
Fresh Water 0.1202 1.000 1.00

12.12.2.3. Konsentrasi Additive


Konsentrasi dari sebagian besar additive yang ditambahkan ke dalam semen
dinyatakan dalam persen berat semen (BWOC). Metoda ini juga digunakan
dalam penambahan air.
Contoh,Jika 35% (BWOC) pasir silika digunakan dalam pembuatan semen,
jumlah silika untuk tiap sack semen adalah 94 lb x 0.35 = 032.9 lb silika. Jumlah
ini sama dengan 94 + 32.9 = 126.9 lb untuk total campuran keseluruhan. Jadi
persentase silika sebenarnya dalam campuran adalah 32.9 : 126.9 = 25.9%.
Konsentrasi additive cair umumnya menggunakan istilah gallon per sack
semen. Sebagai contoh, berdasarkan Tabel 3, cairan sodium silicate mempunyai
volume absolute 0.00859 gal/lb. Jika ditambahkan 0.4 gal/sk sodium silicate
tentukan berat material tersebut adalah (0.4 gal/sk) / (0.0859 gal/lb) = 4.66 lb/sk.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 555


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.12.2.4. Densitas Suspensi Semen dan Yield


Densitas suspensi dihitung dengan menambahkan massa dari komponen
suspensi semen dan dibagi dengan total absolute volume. Dengan kata lain untuk
menentukan densitas (lb/gal), total pounds dibagi dengan total gallon.
lbcement  lbwater  lbadditives
 slurry ( lb / gal ) 
gal cement  gal water  gal additives

Yield semen adalah volume yang mencakup satu unit semen ditambah semua
additive dan air pencampur. Untuk semen sering dinyatakan dalam sack, yield
dinyatakan dalam cuft/sk. Kemudian harga ini untuk menghitung jumlah sack
semen yang diperlukan untuk mencapai keperluan di annulus. Hampir semua
perhitungan densitas berdasarkan harga satu sack semen (94 lb).
Untuk additive yang jumlahnya kurang dari 1 % biasanya dalam perhitungan
diabaikan.

Contoh 1 :
Semen klas G (volume absolute = 0.0382) + 35 % sillica flour (volume absolute =
0.0454) + 1 % solid cellulosic fluid-loss additive (volume absolute = 0.0932) + 0.2
gal/sk cairan PNS dispersant (volume absolute = 0.1014) + 44 % air (volume
absolute = 0.1202). Tentukan :
a. Densitas suspensi
b. Yield suspensi

12.12.3. Perhitungan Pada Operasi Penyemenan


12.12.3.1. Penentuan Densitas dan Yield Suspensi Semen
Densitas semen didefinisikan sebagai perbandingan antara berat suspensi
semen terhadap volume suspensi semen yang dirumuskan sebagai berikut:

G bk  G w  G a 
Dbs  .................................................................................(12-5)
Vbk  Vw  Va 
Dimana :
Dbs = densitas suspensi semen, ppg
Gbk = Berat bubuk semen, lbs
Gw = berat air, lbs Ga
Ga = berat additive, lbs
Vbk = volume bubuk semen, gallon
Vw = volume air, gallon
Va = volume additive, gallon

556 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.96. Menunjukkan Diagram Alir Perhitungan Densitas dan Yield Suspensi
Semen

Vs
Yield  ...............................................................................................(12-5)
7.48
Dimana:
Yield = volume yang mencakup satu unit semen ditambah
semua additive dan air pencampur, ft 3/sak
Vs = volume suspensi semen, gallon
3
Vs (ft ) = yield x sak semen

Vs  yield x sak semen ..............................................................................(12-7)

12.12.4. Primary Cementing


Pada primary cementing perhitungan yang dilakukan antara lain:
12.12.4.1. Volume annulus
Perhitungan volume annulus digunakan untuk menentukan jumlah semen
yang diperlukan untuk melakukan operasi penyemenan. Perhitungan ini biasanya
berdasarkan ukuran bit ditambah volume tambahan yang besarnya berdasarkan
pengalaman di lapangan tersebut. Perhitungan ini memungkinkan service
company menentukan total waktu yang diperlukan mencampur dan

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 557


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

memompakan semen serta mendorongnya ke dalam sumur. Volume annulus


dapat dihitung sebagai berikut

Van 
144 x 4
 dh 2

 odc 2 x H ..................................................................(12-8)
Dimana:
Van = volume annulus , ft3
dh = diameter lubang bor, in
odc = diameter luar casing, in
H = tinggi annulus yang akan disemen, ft

12.12.4.2. Volume pendorong plug


Volume pendorong plug dapat dihitung dengan mudah, yaitu berdasarkan
kapasitas dari pipa atau casing. Umumnya dilakukan dengan mengalikan panjang
pipa (atau segmen pipa bila string yang digunakan tidak memiliki ukuran dan
berat) dengan kapasitas dari pipa atau casing. Volume ini biasanya digunakan
pompa dan landing collar.

Vd  idc x H ..................................................................(12-9)
144 x 4 x 5.615
Dimana:
Vd = volume pendorong plug, bbl
idc = diameter dalam casing, in
H = tinggi casing, ft
12.12.4.3. Tekanan pompa untuk mendorong plug
Tekanan pompa yang diperlukan untuk mendorong plug dihitung dengan
perberdaan tekanan antara hidrostatik fluida dalam annulus dan pipa/casing.
Berdasarkan laju pemompaan, tambahan tekanan diperlukan untuk mengatasi
beban gesekan yang terjadi. Tekanan ini dihitung untuk menentukan type (jenis)
pompa yang diperlukan untuk menyakinkan cementing head cukup mendapat
daya dorong dan tidak terjadi bahaya bursting pada casing.
Plp = Pho - Phi .............................................................................................(12-10)
Dimana:
Plp = tekanan untuk mendorong plug, psi
Pho = tekanan hidrostatik fluida di annulus, psi
Phi = tekanan hidrostatik fluida di dalam casing, psi

12.12.4.4.Tekanan hidrostatik formasi (Tekanan pori dan rekahan)


Untuk menyakinkan keamanan operasi penyemenan, maka perlu diketahui
tekanan formasi, dan tekanan rekah batuan formasi pada titik terlemahnya. Untuk
menentukan tekanan hidrostatik dapat menggunakan persamaan berikut:
Ph = 0.052 x  x H ....................................................................................(12-11)
Dimana;
Ph = tekanan hidrostatik, psi
r = densitas fluida, ppg
H = tinggi kolom fluida, ft

558 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Bila terdapat berbagai macam fluida dalam lubang bor, maka perhitungan
dilakukan untuk masing-masing jenis dan ketinggian fluida tersebut. Maka
tekanan total hidrostatik adalah jumlah dari tekanan masing-masing fluida.

Gambar 12.97 diagram alir pada primary cementing

Contoh
Bila volume semen = 43,34 cuft, faktor volume tambahan = 1.10, sehingga
volume total = 47,7 cuft. Bila diketahui yield semen 1.18 cuft/sk, maka semen
yang dibutuhkan sekitar 47.7 / 1.18 = 40.4 sk.

12.12.4.5. Contoh Soal


Lihat gambar Gambar 12.98 serta data tambahan sebagai berikut :

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 559


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.98. Data Tambahan


Surface Casing = 13 3/8 " (54.50 lb/ft) sampai 1700 ft
Openhole = 12 1/4 " sampai 4950 ft
Intermediate = 9 5/8" (36.00 lb/ft)
Tambahan volume = 25 %
Shoe Joint = 42 ft
Top of Cement = 1400 ft
Top of Tail = 4450 ft
Lead Cement = 13.0 lb/gal (yield = 1.50 cuft/sk)
Tail Cement = 16.4 lb/gal (yield = 1.05 cuft/sk)
Displacement fluid = 11.5 lb/gal (lumpur)
Formasi lemah = 3125 psi (di 4320 ft)
Tekanan tertinggi = 3150 psi (di 4800 ft)
Volume Spacer = 40 bbl (r = 12.5 lb/gal)

Tentukan :
a. Volume semen
b. Volume displacement
c. Tekanan pompa untuk mendudukan plug
d. Tekanan hidrostatik pada formasi

12.12.5. Plug Balancing


Untuk dapat melaksanakan plug balancing, tekanan hidrostatik di dalam pipa
atau casing dan annulus seimbang. Untuk mencapai kondisi ini fluida pendorong
semen harus sama dengan semen, dan ketinggian masing-masing fluida juga
harus sama. Untuk menyakinkan top dari semen berada pada posisi yang telah
diset atau ditentukan, volume yang diinjeksikan harus tepat dengan volume yang
diperlukan ditambah faktor keamanan. Bila terjadi kelebihan semen, maka semen
yang berlebihan tersebut disedot secara reserved sampai mencapai ketinggian
yang diinginkan.
Perhitungan yang dilakukan pada plug balancing ini antara lain:
Volume suspensi Semen, didefinisikan :

560 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Vcmt = L x Ch ..................................................................................................(12-12)
Dimana:
Vcmt = volume suspensi semen, ft3
L = panjang kolom semen di open hole, ft
Ch = kapasitas open hole, ft3/ft

12.12.5.1. Volume spacer di belakang semen


Vsp2 = Vspl x Ctbg / Can ...........................................................................(12-13)
Dimana :
Vsp2 = volume spacer di belakang semen, bbl
Ctbg = kapasitas tubing atau drillpipe, bbl/ft
Can = kapasitas annulus diantara tubing atau drillpipe dan
open hole, bbl/ft
Vspl = volume spacer di depan semen, bbl

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 561


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.12.5.2. Panjang dari Plug Balancing ketika workstring bekerja


Vcmt
Lcmt 
 C an  Ctbg  ......................................................................................(10)
Dimana:
Lcmt = panjang dari plug balancing, ft
Vcmt = volume suspensi semen, ft3
Can = kapasitas annulus diantara tubing atau drillpipe dan
open hole, ft3/ft
Ctbg = kapasitas tubing atau drillpipe, ft3/ft

12.12.5.3. Volume displacement (volume penempatan)


Vd = Ctbg x [D-(Lcmt + Lsp2)] ...................................................................(12-15)
Dimana:
Vd = volume displacement, bbl
D =kedalaman dari work string atau bagian bawah
cement plug, ft
Lcmt= panjang dari plug balancing, ft
Lsp2= panjang spacer di belakang (ft), (Lsp2=Vsp2 / Ctbg)

Gambar 4.99. Diagram Alir Pada Plug Balancing

562 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.12.6. Squeeze Cementing


Perhitungan squeeze cementing mencakup dua bagian perhitungan, yaitu:
perhitungan volume selama pelaksanaan operasi dan tekanan pada beberapa titik
di lubang bor di berbagai tingkat operasi. Perhitungan squeeze cementing meliputi:
Kapasitas tubing
 idt 2
Ct  ...............................................................................................(12-16)
4 x 144
Dimana:
Ct = kapasitas tubing, ft3
idt = diameter dalam tubing, in
Tinggi kolom semen
L
  Gr H  SF    0.052 H  c  
..............................................................(12-17)
0.052     c 
Dimana:
L = tinggi kolom semen, ft
Gr = gradien rekah formasi, psi/ft
H = kedalaman perforasi, ft
SF = safety factor, psi
rs = densitas semen, ppg
rc = densitas fluida pendorong, ppg
Volume semen
Vs = Ct xL.................................................................................................(12-18)
Dimana:
Vs = volume semen, ft3
Ct = kapasitas tubing, ft3/ft
L = tinggi kolom semen, ft

Semen yang dibutuhkan


S = Vs / yield..........................................................................................(12-19)
Dimana:
S = jumlah semen yang diperlukan, sak
Vs = volume semen, ft3

Tekanan eksternal
Pe = Psq + (0.052 x D1 x rs) - (0.052 x D2 x rc) ....................................(12-20)
Dimana:
Pe = tekanan eksternal, psi
Psq = tekanan squeeze, psi
D1 = kedalaman packer, ft
D2 = selisih kedalaman perforasi dengan kedalaman packer ft
rs = densitas semen, ppg
rc = densitas fluida pendorong, ppg

Tekanan hidrostatik fluida


Ph = 0.052 x D1 x rc ...............................................................................(12-21)
Dimana:
Ph = tekanan hidrostatik fluida, psi

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 563


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

D1 = kedalaman packer, ft
rc = densitas fluida pendorong, ppg

Gambar 12.100. diagram alir pada squeeze cementing

12.12.7. Perhitungan Aliran Fluida (Semen dan Water flush)


12.12.7.1. Aliran semen
Untuk perhitungan aliran semen ini menggunakan metode Bingham plastic
terdiri dari tiga jenis aliran yaitu : plug, laminar, dan turbulen.
12.12.7.1.1. Aliran semen di dalam casing

Aliran plug
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V ......................................................................................(12-22)
idc 2
Dimana:
V = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = laju alir pompa, gpm
idc = diameter dalam casing, in

 Reynold Number <100


15.46  v idc
N re  ..........................................................................(12-23)
a
Dimana:

564 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Nre = reynold number


r = densitas semen, ppg
idc = diameter dalam casing, in
v = kecepatan rata-rata, ft/min
μa = viskositas apparent (=μp + 400 y (idc/v)), cp

 Kecepatan kritik
Dengan reynold number 100 maka dapat mencari kecepatan kritik yang
merupakan batas aliran plug. Apabila kecepatan rata-rata lebih kecil dari
kecepatan kritik plug maka aliran yang terjadi aliran plug.
Vc  100 

3.23 p  3.23 p 2  247.37  idc 2  y  0.5

...........................(12-24)
 idc
Dimana:
Vc(100) = kecepatan kritik plug, ft/min
mp = viskositas plastik, cp
r = densitas semen, ppg
idc = diameter dalam casing, in
ty = yield point, lb/100 ft2

 Fanning friction factor


f =16/NRe........................................................................................(12-25)
Dimana:
f = fanning friction factor
NRe = Reynold number

 Kehilangan tekanan akibat friksi


 L v2 f
Pf  ..........................................................................(.4-26)
9.3 x 10 4 idc
Dimana:
Pf = Kehilangan tekanan akibat friksi, psi
r = densitas semen, ppg
L = panjang kolom fluida, ft
v = kecepatan rata-rata, ft/sec
f = fanning friction factor
idc = diameter dalam casing, in

Aliran laminer:
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V ...................................................................................(12-27)
idc 2
Dimana:
v = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = pump rate, gpm
idc = diameter dalam casing, in
 Reynold Number < 2000

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 565


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

15.46  v idc
N re  ........................................................................(12-28)
a
Dimana:
NRe = reynold number
r = densitas semen, ppg
idc = diameter dalam casing, in
v = kecepatan rata-rata, ft/min
ma = viskositas apparent (=mp + 400 ty (idc/v)), cp

 Kecepatan kritik
Dengan reynold number 2000 maka dapat mencari kecepatan kritiknya yang
merupakan batas aliran laminer. Apabila kecepatan rata-rata lebih besar dari
kecepatan kritik plug ( Vc (100)) dan lebih kecil dari kecepatan kritik laminer
(Vc(2000)) maka aliran yang terjadi aliran laminer.
Vc  2000  

65 p  65 p 2  12.3  idc 2  y  0 .5

.................................(12-29)
 idc
Dimana:
Vc (2000) = kecepatan kritik laminer, ft/min
mp = viskositas plastik, cp
r = densitas semen, ppg
idc = diameter dalam casing, in
ty = yield point, lb/100 ft2

 Fanning friction factor


f =16/NRe ........................................................................................(12-30)
Dimana:
f = fanning friction factor
NRe = Reynold number

 Kehilangan tekanan akibat friksi


 L v2 f
Pf  .........................................................................(3-31)
9.3 x 10 4 idc
Dimana:
Pf = kehilangan tekanan akibat friksi, psi
r = densitas semen (ppg)
L = panjang kolom fluida (ft)
v = kecepatan rata-rata (ft/min)
f = fanning friction factor
idc = diameter dalam casing (in)

Aliran turbulen
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V ....................................................................................(12-32)
idc 2
Dimana:

566 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

V = kecepatan rata-rata, ft/min


Q = pump rate, gpm
idc = diameter dalam casing, in

 Reynold Number > 3000


15.46  v idc
N re  .......................................................................(12-33)
a

Dimana:
NRe = Reynold number
ρ = densitas semen, ppg
idc = diameter dalam casing, in
v = kecepatan rata-rata, ft/min
μa = viskositas apparent (=mp + 400 ty (idc/v)), cp

 Kecepatan kritik
Dengan reynold number 3000 maka dapat mencari kecepatan kritiknya yang
merupakan batas aliran laminer. Apabila kecepatan rata-rata lebih besar dari
kecepatan kritik turbulen ( Vc (3000) ) maka aliran yang terjadi aliran
turbulen.
Vc  3000 

97 p  97 p 2  8.2  idc 2  y  0.5

..................................(12-35)
 idc
Dimana:
Vc(3000) = kecepatan kritik turbulen, ft/min
μp = viskositas plastik, cp
ρ = densitas semen, ppg
idc = diameter dalam casing, in
y = yield point, lb/100 ft2

 Fanning friction factor


f = 0.05 NRe-0.2 .................................................................................(12-36)
Dimana:
f = fanning friction factor
NRe = Reynold number

 Kehilangan tekanan friksi


 L v2 f
Pf  ..........................................................................(12-37)
9.3 x 10 4 idc
Dimana:
Pf = Kehilangan tekanan akibat friksi, psi
r = densitas semen (ppg)
L = panjang kolom fluida (ft)
v = kecepatan rata-rata (ft/min)
f = fanning friction factor
idc = diameter dalam casing (in)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 567


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12.12.7.1.2. Aliran semen di luar casing

Aliran plug
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V
 dh 2  odc 2  ............................................................................(12-38)
Dimana:
V = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = laju alir pompa, gpm
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in

 Reynold Number <100


15.46  Vc  dh  odc 
N re  ..........................................................(12-39)
a
Dimana:
NRe = Reynold number
ρ = densitas semen, ppg
Vc = kecepatan kritik, ft/min
dh = diameter open hole, in
odc = diameter dalam casing, in
μa = viskositas apparent (=mp + 300 ty ((dh-odc)/v)), cp

 Kecepatan kritik

Vc  100  

3.23 p  3.23 p 2  185.52   dh  odc  y
2
 0.5

...............(12-40)
  dh  odc 
Dimana:
Vc(100) = kecepatan kritik plug, ft/min
μp = viskositas plastik, cp
dh = diameter open hole, in
idc = diameter dalam casing, in
ρ = densitas semen, ppg
y = yield point, lb/100 ft2

 Fanning friction factor


f =16/NRe ...............................................................................(12-41)
Dimana:
f = fanning friction factor
NRe = Reynold number

 Kehilangan tekanan akibat friksi


 L v2 f
Pf  ...............................................................(12-42)
4
9.3 x 10  dh  odc 
Dimana:
Pf = kehilangan tekanan akibat friksi, psi

568 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

ρ = densitas semen, ft
L = panjang kolom fluida, ft
v = kecepatan rata-rata, ft/sec
f = fanning friction factor
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in

Aliran laminer:
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V
 dh 2  odc 2  ............................................................................(12-43)
Dimana:
V = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = laju alir pompa, gpm
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in

 Reynold Number < 2000


15.46  V  dh  odc 
N re  ............................................................(12-44)
a
Dimana:
NRe = Reynold number
ρ = densitas semen, ppg
v = kecepatan kritik, ft/min
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in
μa = viskositas apparent (=mp + 300 ty ((dh-odc)/v)), cp

 Kecepatan kritik

Vc  2000  

65 p  65  2  9.2   dh  odc   y
2
 2

.............................(12-45)
  dh  odc 
Dimana:
Vc (2000)= kecepatan kritik plug, ft/min
μp = viskositas plastik, cp
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in
ρ = densitas semen, ppg
y = yield point, lb/100 ft2

 Fanning friction factor


f =16/NRe ........................................................................................(12-46)
Dimana:
f = fanning friction factor
NRe = Reynold number

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 569


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

 Kehilangan tekanan akibat friksi


 L v2 f
Pf  ..............................................................(12-47)
4
9.3 x 10  dh  odc 
Dimana:
Pf = kehilangan tekanan akibat friksi, psi
ρ = densitas semen (ppg)
L = panjang kolom fluida (ft)
v = kecepatan rata-rata (ft/min)
f = fanning friction factor
dh = diameter open hole (in)
odc = diameter luar casing, in

Aliran turbulen
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V
 dh 2  odc 2  ............................................................................(12-8)
Dimana:
V = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = laju alir pompa, gpm
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in

 Reynold Number > 3000


15.46  V  dh  odc 
N re  ............................................................(12-49)
a
Dimana:
NRe = Reynold number
ρ = densitas semen, ppg
v = kecepatan rata-rata, ft/min
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in
μa = viskositas apparent (=μp + 300 y ((dh-odc)/v)), cp

 Kecepatan kritik

Vc 3000 

97 p  97 p 2  6.2   dh  odc   y
2
 2

............................. (12-50)
  dh  odc 
Dimana:
Vc(3000) = kecepatan kritik plug, ft/min
mp = viskositas plastik, cp
dh = diameter open hole, ino
dc = diameter luar casing, in
r = densitas semen, ppg
ty = yield point, lb/100 ft2

 Fanning friction factor


f = 0.05 NRe-0.2......................................................................(12-51)

570 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Dimana:
f = Fanning friction factor
NRe = Reynold number

 Kehilangan tekanan akibat friksi


 L v2 f
Pf  ...............................................................(12-42)
4
9.3 x 10  dh  odc 
Dimana:
Pf = kehilangan tekanan akibat friksi, psi
r = densitas semen (ppg)
L = panjang kolom fluida (ft)
v = kecepatan rata-rata (ft/sec)
f = Fanning friction factor
dh = diameter open hole (in)
odc = diameter luar casing, in

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 571


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.101. diagram alir pada perhitungan aliran semen


12.12.7.2. Aliran water flush
Untuk aliran ini menggunakan model newtonian yang hanya terdiri dari dua
jenis aliran yaitu: aliran laminer dan turbulen. Aliran laminer jika Nre < 2100 dan
aliran turbulen jika Nre > 2100.

12.14.7.2.1. Aliran water flush di dalam casing

Aliran laminer
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V ....................................................................................(12-53)
idc 2
Dimana:
v = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = pump rate, gpm
idc = diameter dalam casing (in)

 Reynold number < 2100


15.46  V idc
N re  ......................................................................(12-54)

Dimana:
Nre = reynold number
μ = viskositas, cp
ρ = densitas water flushes (ppg)
idc = diameter dalam casing (in)

 Fanning friction factor


f =16/Nre .................................................................................(12-55)
Dimana:
f = Fanning friction factor
Nre = reynold number

 Kehilangan tekanan friksi


 L v2 f
Pf  ..........................................................................(12-56)
9.3 x 10 4 idc
Dimana:
ρ = densitas water flushes (ppg)
L = panjang kolom fluida (ft)
v = kecepatan rata-rata (ft/min)
f = Fanning friction factor
idc = diameter dalam casing (in)

Aliran turbulen
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V ....................................................................................(12-57)
idc 2

572 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Dimana:
v = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = pump rate, gpm
idc = diameter dalam casing (in)
 Reynold Number > 2100
15.46  V idc
N re  ......................................................................(12-58)

Dimana:
Nre = reynold number
V = kecepatan rata-rata, ft/min
μ = viskositas, cp
ρ = densitas (ppg)
idc = diameter dalam casing (in)

 Fanning friction factor


f = 0.057 (Nre)-0.2 .............................................................................(12-59)
Dimana:
f = Fanning friction factor
Nre = reynold number

 Kehilangan tekanan akibat friksi


 L v2 f
Pf  ..........................................................................(12-60)
9.3 x 10 4 idc
Dimana:
ρ = densitas water flushes, ppg
L = panjang kolom fluida, ft
v = kecepatan rata-rata, ft/min
f = Fanning friction factor
idc = diameter dalam casing (in)

12.12.7.2.2. Aliran water flush di luar casing

Aliran laminer
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V ..............................................................................(12-61)
dh 2  odc 2
Dimana:
v = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = pump rate, gpm
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in

 Reynold number < 2100


15.46  V  dh  odc 
N re  .............................................................(12-62)

Dimana:

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 573


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Nre = reynold number


μ = viskositas, cp
ρ = densitas (ppg)
v = viskositas rata-rata (ft/sec)
dh = diameter open hole (in)
odc = diameter luar casing (in)

 Fanning friction factor


f =16/Nre ..........................................................................................(12-63)
Dimana:
f = Fanning friction factor
Nre = reynold number

 Kehilangan tekanan akibat friksi


 L v2 f
Pf  ...............................................................(12-64)
4
9.3 x 10  dh  odc 
Dimana:
ρ = densitas, ppg
L = panjang kolom fluida, ft
v = kecepatan rata-rata, ft/min
f = Fanning friction factor
dh = diameter open hole, in
odc = diameter dalam casing, in

Aliran turbulen
 Kecepatan rata-rata
24.5 Q
V
 dh 2  odc 2  ............................................................................(12-65)
Dimana:
v = kecepatan rata-rata, ft/min
Q = pump rate, gpm
dh = diameter open hole, in
odc = diameter luar casing, in

 Reynold Number > 2100


15.46  V  dh  odc 
N re  ...........................................................(12-66)

Dimana:
Nre = reynold number
ρ = densitas (ppg)
v = viskositas rata-rata (ft/sec)
μ = viskositas, cp
odc = diameter dalam casing (in)
dh = diameter open hole (in)

574 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

 Fanning friction factor


f = 0.057 (Nre)-0.2 ...........................................................................(12-67)
Dimana:
f = Fanning friction factor
Nre = reynold number

 Kehilangan tekanan friksi


 L v2 f
Pf  ...............................................................(12-68)
9.3 x 10 4  dh  odc 
Dimana:
ρ = densitas semen, ppg
L = panjang kolom fluida, ft
v = kecepatan rata-rata, ft/min
f = Fanning friction factor
dh = diameter open hole, in
odc = diameter dalam casing, in

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 575


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.102. diagram alir untuk perhitungan aliran water flush


12.8. Foamed Cementing

Tekanan rekah minimum


PFmin = ( GF x DGF ) - SF ........................................................................(12-69)
Dimana:
PFmin = tekanan rekah minimun, psi
GF = gradien fracture (rekah), psi/ft
DGF = kedalaman formasi rekah, ft

Tekanan hidrostatik fluida di atas foamed semen (Pha)


Pha = 0.052 x [(Lm x  m)+(Lsx  s)] ......................................................(12-70)
Dimana:
Lm = ketinggian lumpur, ft
 m = densitas lumpur, ppg
Ls = ketinggian spacer, ft
 s = densitas fluida di spacer, ppg

Densitas rata-rata dari foamed semen (rFC)


 FC = (PFmin - Pha) / (0.052 x LFC) .......................................................(12-71)
Dimana:
PFmin = tekanan rekah minimun, psi
Pha = tekanan hidrostatik di atas foamed semen, psi
LFC = ketinggian foamed semen di atas formasi terlemah

Penentuan tekanan hidrostatik dan temperatur di tengah interval kedalaman.


Tekanan hidrostatik untuk tiap interval atau stage dianggap sama, yaitu tekanan
yang dihitung pada titik tengah untuk setiap interval.
Ph = Pha + ( 0.052 x Dtgh x  FC ) ..........................................................(12-72)
Dimana:
Pha = tekanan hidrostatik di atas foamed semen, psi
Dtgh = ketinggian foamed semen di tengah interval, ft
 FC = densitas foamed semen, ppg

Sedangkan temperatur untuk tiap interval ditentukan dengan data-data yang sudah
ada sebelumnya.

Penentuan densitas nitrogen


Densitas nitrogen dapat ditentukan sebagai berikut:
 N2 = 1.724 103 x Vf ...............................................................................(12-73)
Dimana:
 N2 = densitas nitrogen, ppg
Vf = volume factor nitrogen, scf/bbl

Volume factor nitrogen dapat diketahui dari Field Data Handbook Dowell
Schlumberger untuk tiap tekanan dan temperatur.

576 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Menentukan kualitas foamed cement


   Fc   N 2  
Q 1    ...........................................................................(12-74)
  rho BS  N 2  
Dimana:
Q = kualitas foamed semen
rFC = densitas foamed cement, ppg
rN2 = densitas nitrogen, ppg
rBS = densitas slurry semen, ppg

Menentukan yield foamed cement


Bs yield
Fc yield  ..........................................................................................(12-75)
1 Q
Dimana:
Fcyield = yield foamed semen, cu-ft/sak
Bsyield = yield semen dasar, cu-ft/sak
Q = kualitas

Menentukan volume annulus


Volume annulus untuk tiap interval (stage) dapat ditentukan sebagai berikut:
V = L x Can .................................................................................................(12-76)
Dimana:
V = volume annulus, cu –ft
L = panjang interval, ft
Can = kapasitas annulus, ft3/ft

Menentukan jumlah semen yang diperlukan


V
Vs  ...............................................................................................(12-77)
Fc yield
Dimana:
Vs = volume semen, sak
V = volume annulus, cu-ft
Fcyield = yield foamed semen, cu-ft/sak

Menentukan volume N2 yang diperlukan


VN2 = V x Q ...............................................................................................(12-78)
Dimana:
VN2 = volume nitrogen, cu-ft/sak
Q = kualitas

Menentukan volume N2 keadaan standar


VN2 = V x Vf x 0.17 ...................................................................................(12-79)
Dimana:
VN2 = volume nitrogen, cu-ft
Vf = volume factor N2, scf/bbl

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 577


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Menentukan waktu pemompaan


Vs
t ........................................................................................................(12-80)
vp
Dimana
t = waktu pemompaan, menit
Vs = volume semen, bbl
vp = laju pemompaan, bpm

Menentukan laju nitrogen


VN 2
Laju N 2  .........................................................................................(12-81)
t
Dimana:
VN2 = volume nitrogen, scf
t = waktu, menit

Menentukan volume foamer


Vfm = t x vfmd ............................................................................................(12-82)
Dimana:
Vfm = volume foamer, gallon
t = waktu pemompaan, menit
vfmd = laju pemompaan foamed, gallon/menit

578 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 12.103. diagram alir pada foamed cementing

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 579


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN

Dbs = Densitas suspensi semen, ppg


Gbs = Berat bubuk semen
Gw = Berat air, lbs
Ga = Berat additive, lbs
Vbk = Volume bubuk semen, gallon
Vw = Volume air, gallon
Va = Volume additive, gallon
Bc = Konsistensi suspensi semen
T = Harga torsi yang terbaca, gr-Cm
Ft = Volume filtrat pada t menit, cc
t = Waktu pengukuran, menitk
k = Permeabilitas, D
Q = Laju alir, cc/sec
 = Viskositas, cp
L = Panjang sampel, Cm
A = Luas permukaan sampel, Cm2
P = Perbedaan tekanan, atm
Dbs = densitas suspensi semen
Gbk = berat bubuk semen
Gw = berat airGa = berat additive
Vbk = volume bubuk semen
Vw = volume air
Va = volume additive
BC = konsistensi suspensi semen,
UcT = pembacaan harga torsi, g-cm
Dbs = densitas suspensi semen, ppg
Gbk = Berat bubuk semen, lbs
Gw = berat air, lbs
Ga = berat additive, lbs
Vbk = volume bubuk semen, gallon
Vw = volume air, gallon
Va = volume additive, gallon
Yield = volume yang mencakup satu unit semen ditambah
semua additive dan air pencampur, ft3/sak
Vs = volume suspensi semen ,gallon
Van = volume annulus , ft3
dh = diameter lubang bor, in
odc = diameter luar casing, in
H = tinggi annulus yang akan disemen, ft
Vd = volume pendorong plug, bbl
idc = diameter dalam casing, in
H = tinggi casing, ft
Plp = tekanan untuk mendorong plug, psi
Pho = tekanan hidrostatik fluida di annulus, psi

580 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Phi = tekanan hidrostatik fluida di dalam casing, psi


Ph = tekanan hidrostatik, psi
r = densitas fluida, ppg
Vcmt = volume suspensi semen, ft3
L = panjang kolom semen di open hole, ft
Ch = kapasitas open hole, ft3/ft
Vsp2 = volume spacer di belakang semen, bbl
Ctbg = kapasitas tubing atau drillpipe, bbl/ft
Can = kapasitas annulus diantara tubing atau drillpipe
dan open hole, bbl/ft
Vspl = volume spacer di depan semen, bbl
Lcmt = panjang dari plug balancing, ft
Vcmt = volume suspensi semen, ft3
Can = kapasitas annulus diantara tubing atau drillpipe dan
open hole, ft3/ft
D = kedalaman dari work string atau bagian bawah cement plug, ft
Lsp2 = panjang spacer di belakang (ft), (Lsp2=Vsp2 / Ctbg)
Ct = kapasitas tubing, ft3
idt = diameter dalam tubing, in
Gr = gradien rekah formasi, psi/ft
SF = safety factor, psi
rs = densitas semen, ppg
rc = densitas fluida pendorong, ppg
Ph = tekanan hidrostatik fluida, psi
Q = laju alir pompa, gpm
idc = diameter dalam casing, in
Nre = reynold number
mp = viskositas plastik, cpi
dc = diameter dalam casing, in
Pf = Kehilangan tekanan akibat friksi, psi
r = densitas semen, ppg
v = kecepatan rata-rata (ft/min)

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 581


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

DAFTAR PUSTAKA

1. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher


Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984
2. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas,
1990.
3. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum
Institute (API), Johston Printing Company, 1991.
4. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981.
5. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service,
Texas, 1982.
6. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976.
7. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984.
8. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher
Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984
9. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas,
1990.
10. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum
Institute (API), Johston Printing Company, 1991.
11. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981.
12. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service,
Texas, 1982.
13. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976.
14. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984.
15. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher
Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984
16. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas,
1990.
17. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum
Institute (API), Johston Printing Company, 1991.
18. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981.
19. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service,
Texas, 1982.
20. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976.
21. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984.
22. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher
Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984
23. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas,
1990.
24. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum
Institute (API), Johston Printing Company, 1991.
25. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981.
26. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service,
Texas, 1982.
27. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976.
28. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984.
29. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher
Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984

582 Teori Umum Semen dan Penyemenan


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

30. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas,


1990.
31. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum
Institute (API), Johston Printing Company, 1991.
32. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981.
33. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service,
Texas, 1982.
34. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976.
35. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984.
36. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher
Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984
37. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas,
1990.
38. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum
Institute (API), Johston Printing Company, 1991.
39. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981.
40. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service,
Texas, 1982.
41. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976.
42. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984.

Teori Umum Semen dan Pernyemenan 583


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

584 Teori Umum Semen dan Penyemenan

Anda mungkin juga menyukai