Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah
yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-
hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa
sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan
akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber
sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat
sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al’urf), Istihsan, Istishlah dan
Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses
interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang
masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa
dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan
hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh
penjelasan lebih lanjut.
            Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun al-
hadits. Al sunnah menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam
dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena
itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang al sunnah.

1.2 Rumusan Masalah


1.  Apa pengertian Al sunnah ?
2.  Apa sajakah pembagian Al sunnah ?
3. Bagaimana fungsi Al sunnah terhadap Al qur’an ?
4.  Bagaimana kehujjahan Al sunnah ?
5.  Apa sajakah dilalah hadits Al sunnah ?
6.  Bagaimana kedudukan Al sunnah ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.   Mengetahui pengertian Al sunnah
2.   Mengetahui pembagian Al sunnah
3. Mengetahui fungsi Al sunnah terhadap Al qur’an
4.   Mengetahui kehujjahan Al sunnah
5.   Mengetahui dilalah-dilalah Al sunnah
6. Mengetahui kedudukan Al sunnah

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Sunnah
Secara etimologi kata “Sunnah” ( ‫سنة‬ ) berasal dari kata ‫سن‬ yang berarti cara yang bisa
dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik maupun yang buruk. Pengertian Sunnah dalam arti
ini terlihat dalam sabda Nabi :
‫من سن سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر‬
 ‫من عمل بها إلى يوم القيامة‬

Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang
mengerjakannya, dan siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta
siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
Didalam al-Qur’an terdapat 16 tempat kata “Sunnah”, yang tersebar pada beberapa surat
dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya firman Allah dalam
surat  al-‘imran (3): 137:)

ْ َ‫قَ ْد َخل‬......
ِ ْ‫ت ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ُسن ٌَن فَ ِسيرُوا فِي األر‬
‫ض‬
 Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi.
 Adapun Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan
yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan perngertian
diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang tidak
melakukannya.
Dalam memberikan pengertian pada “Sunnah” di kalangan ulama ushul dan ulama fiqh
terdapat perbedaan pendapat. Di karenakan perbedaan sudut pandang dalam peninjauannya
diantara mereka terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu
sumber atau dalil hukum fiqh. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu
dari hukum taklifi atau hukum syara’ yang lima, yang berlaku terhadap satu perbuatan.
Adapun Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya
baik itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.1
Jadi, dari urain tersebut dapat diambil kesimpulan, Sunnah adalah “apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan atau

1
Syarufuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2000, hal 80-82

2
sifat, atau bentuk prilaku atau akhlaqnya, baik itu sebelum maupun sesudah diangkat menjadi
asul”.2
Dari segi etimologi dikalangan ulama ada yang membedakan antara Sunnah dan Hadits, kata
“Hadits” lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangakan “Sunnah” lebih
banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi. Namun diantara ulama sepakat
mengatakan kata Sunnah atau Hadits hanya merujuk dan berlaku kepada Nabi saja. Karena
Nabi sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan).

2.2 Pembagian Al Sunnah


Menurut ulama ushul Sunnah ada tiga macam :
A. Sunnah qauliyah ( ‫السنة القولية‬ )
Sunnah qauliyah yaitu ucapan Nabi muhammad SAW yang didengar oleh sahabat dan
disampaikan kepada orang lain. Misalnya: sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar
dari Nabi bersabda: “Siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah
ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat.”
Menurut lahirnya, al-Qur’an dan Sunnah qauliyah sama-sama muncul dari lisan Nabi,
namun para sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah- misahkan mana yang
wahyu dan mana yang hanya ucapan biasa dari Nabi. Perbedaan tersebut dapat dilihat
dengan beberapa cara, antara lain:
 Bila yang lahir dari lisan Nabi itu adalah wahyu al-Qur’an selalu mendapat perhatian
khusus dari Nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya
serta mengurutkannya sesuai petunjuk Allah. Bila yang muncul dari lisan Nabi itu
Sunnah qauliyah tidak ada perhatian khusus yang diminta Nabi, dan Nabi melarang
untuk menuliskannya karena kawatir akan bercampur dengan wahyu al-Qur’an.
 Penukilan al-Qur’an selalu dalam bentuk mutawatir , baik dalam bentuk hafalan
maupun tulisan, sedangkan Sunnah pada umumnya diriwayatkan secara perorangan.
 Penukilan al-Qur’an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan arti yang sesuai
dengan teks aslinya yang didengar dari Nabi. Sedangkan Sunnah sering dinukilkan
secara ma’nawi.
 Apa yang diucapkan Nabi dalam bentuk ayat al-Qur’an mempunyai daya pesona atau
mu’jizat bagi pendengarnya.

B. Sunnah fi’liyah ( ‫السنة الفعلية‬ )


Sunnah fi’liyah yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat
atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapan.
Misalnya sahabt berkata, “Saya melihat Nabi Muhammad SAW melakukan shalat sunat dua
raka’at setelah shalat zuhur.
2
Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran , Jakarta, 1997, hal 38

3
Dalam Sunnah qauliyah para ulama memilah perbuatan Nabi menjadi tiga bentuk;
 Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia
biasa atau berupa adat kebiasaan yang berlaku ditempat beliau separti cara makan,
minum, berdiri, cara berpakain dan memelihara jenggot.
 Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan itu
khusus berlaku bagi Nabi. Misalnya: wajibnya shalat dhuha, salat witir, shalat
tahajud bagi Nabi, semua itu tidak wajib bagi umatnya.
 Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum,
seperti shalat, puasa, cara nabi jual bali dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan agama. 

C. Sunnah taqririyah ( ‫السنة التقريرية‬ )


Sunnah taqririyah yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di
hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya
Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang  menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya.
Misalnya seorng sahabat memakan daging dhab didepan Nabi.
Keadaan diamnya Nabi dapat dibedakan dalam dua bentuk:
 Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi,
sahabat terus  melakukan perbuatan tesbut tapi nabi diam saja.
 Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumya dan tidak diketahui pula 
haramnya. Diamnya nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibadah.3

2.3 Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an


Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an
adalah masih dalam bentuk garis besar secara amaliyah, belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari Sunnah. Adapun fungsi utama sunnah adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Sebagaimana penjelasan Allah dalam surat al-nahl (16): (64):
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk
dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Jadi, bila al-Qur’an sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah
sebagai bayani (penjalas). Dalam kedudukanya sebagai bayani maka hubungannya dengan al-
Qur’an fungsi sunnah adalah;
1.  Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an, atau disebut
dengan fungsi ta’kid dan taqrir.
2.  Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an, dalam hal:
3
Opcit, Amir Syarufuddin, hal 83-89

4
a.  Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an
Contoh dalam menjelaskan arti kata dalam al-Qur’an, misalnya kata “shalat” yang masih
samar atau ijmal artinya, karena bisa saja kata “shalat” itu secara umum berarti do’a
sebagaimana yang biasa difahami. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yang
terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dengan takbiratul ihram dan
diakhiri dengan salam. Setelah itu Nabi bersabda;
‫كما رايتموني اصلي‬ ‫صلوا‬

Salatlah kamu seagai mana kamu melihat saya melakukan salat (H.R. al-bukhori dan
muslim.

b.  Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an  disebutkan secaragaris besar


Contoh Sunnah yang merinci ayat-ayat al-Qur’an yang masih secara garis besar dan umum,
misalnya tentang masalah waktu shalat. Firman allah dalam surat al-nisa’ (4): 103: 
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.
Ayat tersebut dirinci oleh hadits Nabi dari ‘Abdullah ibnu ‘Amru menurut riwayat muslim
Waktu zduhur adalah apabila matahari telah condong dan bangying-bayang orang 
yang  sama dengan panjangnya, sementara waktu asar  belum tiba, waktu asar adalah
selama matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang,
waktu shalat isya’ adalah sampai pertengahan malam , dan waktu shalat subuh adalah
sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit.

c.  Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum


Contoh Sunnah yang membatasi maksud ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum,
firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4): 11:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu :Bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
Ayat tersebut menjelaskan tentang hak waris anak laki-laki dan anak perempuan, ayat
tersebut dibatasi atau dikhususkan terhadap anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya,
sebagaimana hadits dari Amru ibn Syu’eb menurut riwayat al-Nasai’ dan al-daruqutni:
‫ليس للقاتل من الميراث شئ‬
Tiada harta warisan untuk si pembunuh

d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.

5
Contoh Sunnah memperluas apa yang dimaksud oleh al-Qur’an, firman Allah yang
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara, dalam surat al-
Nisa’ (4): 23:    
Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau.
Ayat tersebut diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan hadits dari Abu Hurairah,
riwayat muttafaq ‘alaih, yaitu:

‫اليجمع بين المرأة وععمتها والبين المرأة وخالتها‬


Tidak boleh memadu perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara
perempuan dengan saudara ibunya.

3.  Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tiak terdapat pada al_Qur’an.
Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya’. Misalnya: Allah SWT
telah mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam surat al-Maidah (5):
3: 
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.
Kemudian Nabi menjelaskan haramnya binatang buas dan burung buas dalam Hadits Abu
Hurairah menurut riwayat Muslim.

‫كل ذي ناب من السباع فأكله حرام‬


Setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan.4

2.4 Kehujjahan Al Sunnah


Tidak ada perbedaan antara jumhur Ulama’ tentang sunnah Rasul sebagai sumber hokum
kedua sesudah Al-Qur’an didalam menetapkan suatu keputusan hokum, seperti
menghalalkan dan megharamkan sesuatu kekatannya sama dengan Al-Qur’an, oleh karena
itu, wajib bagi umat islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang terkangdung
didalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW.

2.5 Dilalah-dlialah Hadits Al Sunnah


Menurut pembagian para Ulama Hanafiyah, hadits ditinjau dari periwayatannya dibagi
menjadi, Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur, dan Hadits Ahad.

4
Opcit, Amir Syarufuddin, hal 92-96

6
1. Hadits Mutawatir
Adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW,seperti cara Nabi SAW melaksanakan
shalat, berpasa, haji, dan lain-lain. Hadits mutawatir adalah qath’I wurudnya(positif
benarnya ditinjau dari segi datngnya), yakni datng dari Rasulullah SAW, maka wajib
dianalkan karena diriwayatkan dengan cara yang mutawatir, yang menetapkan kebenarannya
dari Rasulullah SAW.

2. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Oleh para sahabat atau kelompok oarng
banyak yang tidak sampai batas mutawatir,kemudaian diriwayatkan pada masa tabi’in dan
masa tabi’it tabi’in oleh sejumlah orang yang sampai pada batas mutawatir. Hadits masyhur
menempati hukum hadits mutawatir dalam hal wajibnya mengamalkannya, t etapi Al-Jassas,
Ulama’ Fiqih dari golongan Hanafiyah menjadikan hadits masyhur masuk kedalam hadits
mutawatir.

3. Hadits ahad
Adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, oleh sejumlah orang yang tidak
sampai pada batas mutawatirdalam tiga masa. Hadits ini disebut khabar ahadatau khabar
hasan, sebagai nama yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i.

Hadits ahad menfaidahkan zhan yang kuat dalam hubungannya dengan Rasul, sebab
perawinya meskipun ahad telah memenuhi persyaraan yang menjamin periwayatan mereka.
Ia tidak meriwayatkan Ilmu qath’I, sebagai hadits mutawatir, karena persandarannya kepada
Rasulullah masih samara dan tidak menfaedahkan ilmu yang dekat dengan qath’I sebagai
hadits masyhur.
Oleh karena itu, tidak wajib berpegang kepada hadits ahad dalam hal I’tiqadiyah, yang
seharusnya berdasarkan pada nas yang qath’I dan yakin, tidsk berdasarkan pada nas yang
zhan.

2.6  Kedudukan as-Sunnah sebagai sumber Hukum


            Kedudukan Sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum al-
Qur’an dan sudah tidak dapat diragukan lagi. Namun dalam kedudukan Sunnah sebagai dalil
yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat
islam. Dan jumhur ulama mengemukakan alasanya dengan beberapa dalil, diantaranya:
 Banyak ayat al-Qur’an yang menyuruh umat islam untuk mentaati Rasul.

7
 Ayat al-Qur’an yang menyuruh umat beriman kepada Rasul. Firmn Allah dalam
surat al-A’raf  (7): 158:
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)….

 Ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya
berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah, sebagaimana terdapat dalam surat al-
Najm (53): 3-4:
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Dari penjelasan beberapa ayat tersebut bahwa Sunnah itu adalah wahyu yang diwahyukan.
Bila wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka Sunnah pun juga mempuyai
kekuatan hukum yang dipatuhi.
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu:
1.      Dari segi kebenaran materinya (wurud-nya)
Kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaanya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, ahad.
2.      Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau dilalahnya, Sunnah ada dua:
a) Penunjukan yang pasti atau qath’i yaitu Sunnah yang memberi penjelasan terhadap
hukum dalam al-Qur’an secara tegas, jelas dan terinci sehinga tidak mungkin dipahami
dengan maksud lain dan tidak ada alternative pemahaman lain. Contohnya penjelasan
Nabi tentang zakat perak, sebagaimana hadits dari Ali bin Abi Thalib riwayat Abu
Daud:

‫إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليه الحول ففيها خمسة دراهيم‬
Bila engakau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun, maka
diwajibkan zakatnya lima dirham.

b) Penunjukan yang tidak pasti (zanni) yaitu Sunnah atau hadits yang memberikan
penjelasan terhadap hukum dalam al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci, sehingga
dapat menimbulkan beberapa kemungkinan dalam memahaminya. Karena menimbulkan
perbedaan pendapat. Contohnya : Sabda Nabi yang menjelaskan kebaikan orang
bersedekah

8
‫…اليد العليا خير من اليد السفلى‬..
Tangan diatas (yang memberi) lebih baik dari pada tangan dibawah (yang
meminta).

Hadits tersebut mengandung maksud tidak pasti. Karena menurut arti sebenarnya
yaitu tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah, dan dapat pula bkan arti yang
sebenarnya, yaitu orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang meminta.5

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara etimologi kata “Sunnah” berarti cara atau jalan yang biasa dilakukan, apakah cara
itu sesuatu yang baik maupun yang buruk.
Secara istilah para ulama memberi pengertian yang berbeda-beda, namun yang tujuannya
tetap sama.
Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan
yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan perngertian
diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang tidak
melakukannya.
Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya baik itu
sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.

Menurut ulama ushul Sunnah ada tiga macam :


1.      Sunnah qauliyah ( ‫السنة القولية‬ )
2.      Sunnah fi’liyah ( ‫السنة الفعلية‬ )
3.      Sunnah taqririyah ( ‫السنة التقريرية‬ )
5
Opcit, Amir Syarufuddin ,hal 103-111

9
3.2 Saran
Saya menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, saya
mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Syarufuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2000
 Harun nasrun, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 1997

10

Anda mungkin juga menyukai