PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah
yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-
hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa
sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan
akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber
sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat
sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al’urf), Istihsan, Istishlah dan
Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses
interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang
masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa
dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan
hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh
penjelasan lebih lanjut.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun al-
hadits. Al sunnah menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam
dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena
itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang al sunnah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Sunnah
Secara etimologi kata “Sunnah” ( سنة ) berasal dari kata سن yang berarti cara yang bisa
dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik maupun yang buruk. Pengertian Sunnah dalam arti
ini terlihat dalam sabda Nabi :
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر
من عمل بها إلى يوم القيامة
Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang
mengerjakannya, dan siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta
siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
Didalam al-Qur’an terdapat 16 tempat kata “Sunnah”, yang tersebar pada beberapa surat
dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya firman Allah dalam
surat al-‘imran (3): 137:)
ْ َقَ ْد َخل......
ِ ْت ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ُسن ٌَن فَ ِسيرُوا فِي األر
ض
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi.
Adapun Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan
yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan perngertian
diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang tidak
melakukannya.
Dalam memberikan pengertian pada “Sunnah” di kalangan ulama ushul dan ulama fiqh
terdapat perbedaan pendapat. Di karenakan perbedaan sudut pandang dalam peninjauannya
diantara mereka terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu
sumber atau dalil hukum fiqh. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu
dari hukum taklifi atau hukum syara’ yang lima, yang berlaku terhadap satu perbuatan.
Adapun Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya
baik itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.1
Jadi, dari urain tersebut dapat diambil kesimpulan, Sunnah adalah “apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan atau
1
Syarufuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2000, hal 80-82
2
sifat, atau bentuk prilaku atau akhlaqnya, baik itu sebelum maupun sesudah diangkat menjadi
asul”.2
Dari segi etimologi dikalangan ulama ada yang membedakan antara Sunnah dan Hadits, kata
“Hadits” lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangakan “Sunnah” lebih
banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi. Namun diantara ulama sepakat
mengatakan kata Sunnah atau Hadits hanya merujuk dan berlaku kepada Nabi saja. Karena
Nabi sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan).
3
Dalam Sunnah qauliyah para ulama memilah perbuatan Nabi menjadi tiga bentuk;
Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia
biasa atau berupa adat kebiasaan yang berlaku ditempat beliau separti cara makan,
minum, berdiri, cara berpakain dan memelihara jenggot.
Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan itu
khusus berlaku bagi Nabi. Misalnya: wajibnya shalat dhuha, salat witir, shalat
tahajud bagi Nabi, semua itu tidak wajib bagi umatnya.
Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum,
seperti shalat, puasa, cara nabi jual bali dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan agama.
4
a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an
Contoh dalam menjelaskan arti kata dalam al-Qur’an, misalnya kata “shalat” yang masih
samar atau ijmal artinya, karena bisa saja kata “shalat” itu secara umum berarti do’a
sebagaimana yang biasa difahami. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yang
terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dengan takbiratul ihram dan
diakhiri dengan salam. Setelah itu Nabi bersabda;
كما رايتموني اصلي صلوا
Salatlah kamu seagai mana kamu melihat saya melakukan salat (H.R. al-bukhori dan
muslim.
5
Contoh Sunnah memperluas apa yang dimaksud oleh al-Qur’an, firman Allah yang
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara, dalam surat al-
Nisa’ (4): 23:
Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau.
Ayat tersebut diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan hadits dari Abu Hurairah,
riwayat muttafaq ‘alaih, yaitu:
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tiak terdapat pada al_Qur’an.
Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya’. Misalnya: Allah SWT
telah mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam surat al-Maidah (5):
3:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.
Kemudian Nabi menjelaskan haramnya binatang buas dan burung buas dalam Hadits Abu
Hurairah menurut riwayat Muslim.
4
Opcit, Amir Syarufuddin, hal 92-96
6
1. Hadits Mutawatir
Adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW,seperti cara Nabi SAW melaksanakan
shalat, berpasa, haji, dan lain-lain. Hadits mutawatir adalah qath’I wurudnya(positif
benarnya ditinjau dari segi datngnya), yakni datng dari Rasulullah SAW, maka wajib
dianalkan karena diriwayatkan dengan cara yang mutawatir, yang menetapkan kebenarannya
dari Rasulullah SAW.
2. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Oleh para sahabat atau kelompok oarng
banyak yang tidak sampai batas mutawatir,kemudaian diriwayatkan pada masa tabi’in dan
masa tabi’it tabi’in oleh sejumlah orang yang sampai pada batas mutawatir. Hadits masyhur
menempati hukum hadits mutawatir dalam hal wajibnya mengamalkannya, t etapi Al-Jassas,
Ulama’ Fiqih dari golongan Hanafiyah menjadikan hadits masyhur masuk kedalam hadits
mutawatir.
3. Hadits ahad
Adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, oleh sejumlah orang yang tidak
sampai pada batas mutawatirdalam tiga masa. Hadits ini disebut khabar ahadatau khabar
hasan, sebagai nama yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i.
Hadits ahad menfaidahkan zhan yang kuat dalam hubungannya dengan Rasul, sebab
perawinya meskipun ahad telah memenuhi persyaraan yang menjamin periwayatan mereka.
Ia tidak meriwayatkan Ilmu qath’I, sebagai hadits mutawatir, karena persandarannya kepada
Rasulullah masih samara dan tidak menfaedahkan ilmu yang dekat dengan qath’I sebagai
hadits masyhur.
Oleh karena itu, tidak wajib berpegang kepada hadits ahad dalam hal I’tiqadiyah, yang
seharusnya berdasarkan pada nas yang qath’I dan yakin, tidsk berdasarkan pada nas yang
zhan.
7
Ayat al-Qur’an yang menyuruh umat beriman kepada Rasul. Firmn Allah dalam
surat al-A’raf (7): 158:
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)….
Ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya
berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah, sebagaimana terdapat dalam surat al-
Najm (53): 3-4:
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Dari penjelasan beberapa ayat tersebut bahwa Sunnah itu adalah wahyu yang diwahyukan.
Bila wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka Sunnah pun juga mempuyai
kekuatan hukum yang dipatuhi.
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu:
1. Dari segi kebenaran materinya (wurud-nya)
Kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaanya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, ahad.
2. Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau dilalahnya, Sunnah ada dua:
a) Penunjukan yang pasti atau qath’i yaitu Sunnah yang memberi penjelasan terhadap
hukum dalam al-Qur’an secara tegas, jelas dan terinci sehinga tidak mungkin dipahami
dengan maksud lain dan tidak ada alternative pemahaman lain. Contohnya penjelasan
Nabi tentang zakat perak, sebagaimana hadits dari Ali bin Abi Thalib riwayat Abu
Daud:
إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليه الحول ففيها خمسة دراهيم
Bila engakau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun, maka
diwajibkan zakatnya lima dirham.
b) Penunjukan yang tidak pasti (zanni) yaitu Sunnah atau hadits yang memberikan
penjelasan terhadap hukum dalam al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci, sehingga
dapat menimbulkan beberapa kemungkinan dalam memahaminya. Karena menimbulkan
perbedaan pendapat. Contohnya : Sabda Nabi yang menjelaskan kebaikan orang
bersedekah
8
…اليد العليا خير من اليد السفلى..
Tangan diatas (yang memberi) lebih baik dari pada tangan dibawah (yang
meminta).
Hadits tersebut mengandung maksud tidak pasti. Karena menurut arti sebenarnya
yaitu tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah, dan dapat pula bkan arti yang
sebenarnya, yaitu orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang meminta.5
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara etimologi kata “Sunnah” berarti cara atau jalan yang biasa dilakukan, apakah cara
itu sesuatu yang baik maupun yang buruk.
Secara istilah para ulama memberi pengertian yang berbeda-beda, namun yang tujuannya
tetap sama.
Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan
yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan perngertian
diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang tidak
melakukannya.
Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya baik itu
sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.
9
3.2 Saran
Saya menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, saya
mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syarufuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2000
Harun nasrun, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 1997
10