Anda di halaman 1dari 20

FARMAKOTERAPI I

“INFEKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH”

Disusun oleh :

KELOMPOK III

Nurkhalis Bintang Astiasal (O1A118065)

La Ode Muh. Etrick Akbar Wahid (O1A118087)

Muhammad Ramadhan Amirullah (O1A118098)

Alfiandri Prasetyo (O1A118114)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami masih diberikan kesehatan dan kekuataan untuk
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Infeksi Saluran Pernapasan Bawah” ini
dapat terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
“Farmakoterapi I”. Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat membantu
meningkatkan pengetahuan kita tentang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Bawah
serta dapat memahami dan menyelesaikan permasalahan terkait penyakit yang
dimaksud dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dibidang kesehatan serta
meningkatkan mutu individu itu sendiri.
Kami sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang membangun dari dosen pengajar maupun
berbagai pihak sangat kami harapkan dalam rangka perbaikan makalah ini ke depannya.

Kendari, 10 Desember 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi
infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Umumnya, penyebab dari
infeksi saluran napas adalah berbagai mikroorganisme, namun yang terbanyak yakni
oleh karena infeksi virus dan bakteri (Amelinda, 2014).
Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dan terbanyak
menimbulkan akibat dan kematian (Gouzali, 2011). ISPA merupakan salah satu
penyakit pernafasan terberat dimana penderita yang terkena serangan infeksi ini sangat
menderita, apa lagi bila udara lembab, dingin atau cuaca terlalu panas. (Saydam, 2011).
Secara umum penyebab dari infeksisa luran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi saluran
nafas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih mudahterjadi pada
musim hujan. Faktor–faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi saluran nafas
antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang kur ang baik terhadap
kesehatan diri maupun publik, sertarendahnya gizi. Faktor lingkungan meliputibelum
terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban, pengelolaan sampah, limbah,
pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara. (Depkes RI., 2001).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Infeksi Saluran Pernapasan bawah
2. Apa penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Bawah
3. Bagaimana penatalaksanaan terapi Infeksi Saluran Pernapasan Bawah?

C. Tujuan
Untuk mengetahui tanda, gejala, penyebab dan penatalaksanaan Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Infeksi merupakan hal yang dapat menyerang bagian tubuh manapun termasuk
saluran pernapasan. Saluran pernapasan terbagi menjadi dua, yaitu saluran napas atas
dan saluran napas bawah. Infeksi saluran pernapasan bawah adalah penyakit yang
berbahaya.
ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan
oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala
biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya
meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas,
mengi, atau kesulitan bernapas. Contoh patogen yang menyebabkan ISPA yang
dimasukkan dalam pedoman ini adalah rhinovirus, respiratory syncytial virus,
paraininfluenzaenza virus, severe acute respiratory syndrome-associated coronavirus
(SARS-CoV), dan virus Influenza.
Infeksi saluran pernapasan adalah tiga penyebab utama kematian dan kecacatan
pada anak-anak dan orang dewasa. Infeksi saluran pernapasan bawah atau Lower
Respiratory Tract Infections (LRI/LRTI) menyerang beberapa organ meliputi trakea
(batang tenggorokan), bronkus, bronkiolus, dan paru-paru. Penyakit ini terdiri dari
beberapa penyakit, yaitu bronkitis, bronkiolitis, pneumonia, dan tuberkulosis.
ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di
dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya
disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah.

B. Infeksi Saluran Pernapasan Bawah


1. Bronkitis
Bronkitis merupakan salah satu penyakit yang tergolong ke dalam infeksi
saluran pernapasan bawah. Penyakit ini terjadi ketika saluran udara paru
membengkak dan menghasilkan lendir. Jenis bronkitis yang biasa terjadi adalah
bronkitis akut. Biasanya bronkitis akut ditandai dengan beberapa gejala, yaitu batuk
dengan dan tanpa lendir, sakit dada, fatigue (mudah kelelahan), sakit kepala ringan,
tubuh terasa ringan, mata berair dan sakit tenggorokan. Biasanya gejala tersebut
berlangsung kurang dari tiga minggu.
Bronkitis akut merupakan peradangan akut membran mukosa bronkus yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Penyakit ini sering melibatkan trakea
sehingga lebih tepat jika disebut trakeobronkitis akut. Sedangkan, Bronkitis kronis
didefinisikan sebagai adanya sekresi mukus yang berlebihan pada saluran pernapasan
(bronchial tree) secara terus-menerus (kronik) dengan disertai batuk. Pengertian
terus-menerus (kronik) adalah terjadi sepanjang hari selama tidak kurang dari tiga
bulan dalam setahun dan telah berlangsung selama dua tahun berturut-turut
(Djojodibroto, 2009).

a. Tanda, Diagnosis & Penyebab


Bronkhitis memiliki manifestasi klinik sebagai berikut :
 Batuk yang menetap yang bertambah parah pada malam hari serta biasanya
disertai sputum. Rhinorrhea sering pula menyertai batuk dan ini biasanya
disebabkan oleh rhinovirus.
 Sesak napas bila harus melakukan gerakan eksersi (naik tangga, mengangkat
beban berat)
 Lemah, lelah, lesu
 Nyeri telan (faringitis)
 Laringitis, biasanya bila penyebab adalah chlamydia
 Nyeri kepala
 Demam pada suhu tubuh yang rendah yang dapat disebabkan oleh virus
influenza, adenovirus ataupun infeksi bakteri.

Diagnosis bronkhitis dilakukan dengan cara: Tes C- reactive protein (CRP)


dengan sensitifitas sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan 60-70% spesifisitas
dalam mengidentifikasi infeksi bakteri. Metode diagnosis lainnya adalah
pemeriksaan sel darah putih, dimana dijumpai peningkatan pada sekitar 25% kasus.
Pulse oksimetri, gas darah arteri dan tes fungsi paru digunakan untuk mengevaluasi
saturasi oksigen di udara kamar. Pewarnaan Gram pada sputum tidak efektif dalam
menentukan etiologi maupun respon terhadap terapi antibiotika.
Bronkitis akut biasanya mengikuti gejala-gejala infeksi saluran respiratori
seperti rinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3–4 hari setelah rinitis. Batuk
pada mulanya keras dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk
lepas yang ringan dan produktif. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturutturut,tidak disebabkan oleh penyakit lainnya sedangkan
emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronchiolus terminalis, disertai kerusakan dinding alveoli (Dwi, 2017).
Penyebab bronkhitis akut umumnya virus seperti rhinovirus, influenza A dan
B, coronavirus, parainfluenza, dan respiratory synctial virus (RSV).Ada pula bakteri
atypical yang menjadi penyebab bronkhitis yaitu Chlamydia pneumoniae ataupun
Mycoplasma pneumoniae yang sering dijumpai pada anak-anak, remaja dan dewasa.
Bakteri atypical sulit terdiagnosis, tetapi mungkin menginvasi pada sindroma yang
lama yaitu lebih dari 10 hari. Penyebab bronkhitis kronik berkaitan dengan penyakit
paru obstruktif, merokok, paparan terhadap debu,polusi udara, infeksi bakteri.

b. Faktor Risiko
Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkhitis
adalah sebagai berikut:
 Merokok
 Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas dan
menimbulkan batuk kronik
 Bronkhiektasi
 Anomali saluran pernapasan
 Foreign bodies
 Aspirasi berulang.

c. Terapi
1. Outcome terapi
Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri, bronkhitis
akut akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tujuan penatalaksanaan hanya
memberikan kenyamanan pasien, terapi dehidrasi dan gangguan paru yang
ditimbulkannya. Namun pada bronkhitis kronik ada dua tujuan terapi yaitu:
pertama, mengurangi keganasan gejala kemudian yang kedua menghilangkan
eksaserbasi dan untuk mencapai interval bebas infeksi yang panjang.
2. Terapi Pokok
Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak dianjurkan kecuali bila
disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai
adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. Influenzae.
Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium
pneumoniae sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan
batuk > 4 minggu harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap
kemungkinan TBC, pertusis atau sinusitis. Tabel 1. Terapi Awal Pada
Bronkhitis
Antibiotika yang dapat digunakan lihat tabel 5.1, dengan lama terapi 5-14
hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hariPemberian
antiviral amantadine dapat berdampak memperpendek lama sakit bila diberikan
dalam 48 jam setelah terinfeksi virus influenza A.
d. Terapi Pendukung
 Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme pertahanan tubuh
 Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol.
 Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol, NSAID.
 Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk.

2. Pneumonia
Penyakit pneumonia merupakan salah satu penyakit yang dianggap serius di
Indonesia. Sebab, dari tahun ke tahun penyakit pneumonia selalu berada di peringkat
atas dalam daftar penyakit penyebab kematian bayi dan balita. Bahkan berdasarkan
hasil Riskesdas 2007, pneumonia menduduki peringkat kedua pada proporsi
penyebab kematian anak umur 1-4 tahun dan berada di bawah penyakit diare yang
menempati peringkat pertama. Oleh karena itu terlihat bahwa penyakit pneumonia
menjadi masalah kesehatan yang utama di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).
Menurut Erlien (2008), pneumonia dapat diartikan sebagai infeksi akut pada
jaringan paru. Namun secara umum, pneumonia lebih dikenal sebagai radang paru.
Pneumonia adalah peradangan paru yang menyebabkan nyeri saat bernafas
dan keterbatasan intake oksigen. Pneumonia dapat disebarkan dengan berbagai cara
antara lain pada saat batuk dan bersin (WHO, 2014).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan pertukaran gas setempat. Ditinjau dari
asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang berbeda
penatalaksanaannya. Community acquired pneumonia (CAP) merupakan pneumonia
yang didapat di luar rumah sakit. Nosokomial pneumonia merupakan pneumonia
yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit. Pneumonia aspirasi merupakan
pneumonia yang diakibatkan aspirasi secret oropharyngeal dan cairan lambung
(Virgo, 2017).
a. Tanda, Diagnosis & Penyebab
Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah demam,
tachypnea, takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan sputum baik dari jumlah
maupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan merasa nyeri dada seperti ditusuk
pisau, inspirasi yang tertinggal pada pengamatan naik-turunnya dada sebelah kanan
pada saat bernafas. Mikroorganisme penyebab pneumonia meliputi: bakteri, virus,
mycoplasma, chlamydia dan jamur. Pneumonia oleh karena virus banyak dijumpai
pada pasien immunocompromised, bayi dan anak. Virus-virus yang menginfeksi
adalah virus saluran napas seperti RSV, Influenza type A, parainfluenza, adenovirus.
Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang
berbeda penatalaksanaannya.
1. Community acquired pneumonia (CAP) Merupakan pneumonia yang didapat di
luar rumah sakit atau panti jompo. Patogen umum yang biasa menginfeksi
adalah Streptococcus pneumonia, H. influenzae, bakteri atypical, virus influenza,
respiratory syncytial virus (RSV). Pada anak-anak patogen yang biasa dijumpai
sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan Mycoplasmapneumoniae, Chlamydia
pneumoniae, di samping bakteri pada pasien dewasa.
2. Nosokomial Pneumonia Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di
rawat di rumah sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial
yang resisten terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah
bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp,
Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu mendapat terapi cefalosporin
generasi ke-tiga, biasanya dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel seperti
Citrobacter sp., Serratia sp., Enterobacter sp., Pseudomonas aeruginosa
merupakan pathogen yang kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai pada
pneumonia yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang resisten
terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.
3. Pneumonia Aspirasi Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret
oropharyngeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada
pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks
menelan. Patogen yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration
Pneumoniae adalah kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas,
yakni meliputi Streptococci anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration
Pneumoniae bakteri yang lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang
+ S. aureus+ anaerob.

Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil


pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada. Gambaran
adanya infiltrate dari foto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dengan “shift to
the left”. Sedangkan evaluasi mikrobiologis dilaksanakan dengan memeriksa kultur
sputum (hati-hati menginterpretasikan hasil kultur, karena ada kemungkinan
terkontaminasi dengan koloni saluran pernapasan bagian atas). Pemeriksaan
mikrobiologis lainnya yang lazim dipakai adalah kultur darah, khususnya pada
pasien dengan pneumonia yang fulminan, serta pemeriksaan Gas Darah Arteri
(Blood Gas Arterial) yang akan menentukan keparahan dari pneumonia dan apakah
perlu-tidaknya dirawat di ICU.

b. Faktor Risiko
 Usia tua atau anak-anak
 Merokok
 Adanya penyakit paru yang menyertai
 Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus
 Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia)
 Obstruksi Bronkhial
 Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive seperti -
kortikosteroid
 Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi)

c. Terapi
1. Terapi Pokok
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti
infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara
empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah
bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang
berspektrum sempit sesuai patogen.
Community-Acquired Pneumonia (CAP) Terapi CAP dapat dilaksanakan
secara rawat jalan. Namun pada kasus yang berat pasien dirawat di rumah sakit
dan mendapat antibiotika parenteral. Pilihan antibiotika yang disarankan pada
pasien dewasa adalah golongan makrolida atau doksisiklin atau fluoroquinolon
terbaru.1,19 Namun untuk dewasa muda yang berusia antara 17-40 tahun pilihan
doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup mikroorganisme atypical yang
mungkin menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten
terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivat
fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh aspirasi
cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat. Golongan makrolida
yang dapat dipilih mulai dari eritromisin, claritromisin serta azitromisin.
Eritromisin merupakan agen yang paling ekonomis, namun harus diberikan 4
kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan baik, efektif dan hanya diminum satu
kali sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan bagi pasien. Sedangkan
klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat menggunakan
eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14.
Tabel 2. Antibiotika pada terapi Pneumonia
Ket :
*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika yang
terletak di bawahnya dalam kolom yang sama
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat, gagal
ginjal

Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan
pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang lebih
luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya
terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab
pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan Mycoplasma
pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin. Beberapa pneumonia
masih menunjukkan demam dan konsistensi gambaran x-ray dada karena telah
terkomplikasi oleh adanya efusi pleura, empyema ataupun abses paru yang
kesemuanya memerlukan penanganan infasif yaitu dengan aspirasi. Pneumonia
Nosokomial Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan
kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in
vitromaupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan
tidak heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain. Namun
secara umum antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel.

2. Terapi Pendukung
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi :
 Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda
sesak, hipoksemia.
 Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
 Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
 Nutrisi
 Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
 Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam.

3. Bronkhiolitis
Bronkiolitis adalah infeksi sel epitel bronkial dan bronkiolus dengan
peradangan dan edema yang mengakibatkan obstruksi jalan napas (tersumbatnya
jalan napas). Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang lazim,
akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan oleh Virus
Sinsisium Respiratorik (VSR), Virus Para Influenzae, mikroplasma, dan Adenovirus.
Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan insiden puncak sekitar
umur 6 bulan (Behrman, 1999). Yang didahului oleh infeksi saluran bagian atas
disertai dengan batuk pilek beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas,
pernapasan dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).

a. Tanda, Diagnosis & Penyebab


Gejala awal yang mungkin timbul adalah tanda-tanda infeksi respiratorik atas
akut berupa demam, batuk, pilek, dan bersin. Setelah gejala di atas timbul biasanya
diikuti oleh adanya kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada saat ekspirasi.
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang
disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut ditandai obstruksi
bronkiolus yang disebabkan oleh edema, penimbunan lendir, serta debris-debris
seluler. Proses patologis yang terjadi akan mengganggu pertukaran gas normal di
dalam paru. Ventilasi yang makin menurun pada alveolus akan mengakibatkan
terjadinya hipoksemia dini.
Umumnya bronkiolitis bisa terdeteksi oleh dokter melalui konfirmasi gejala
yang dialami oleh anak-anak, misalnya batuk, pilek, dan demam. Selain itu, akan
dilakukan pemeriksaan fisik dengan melihat kondisi pernapasan anak yang bisa
didengar oleh dokter dengan menggunakan stetoskop.
Jika dokter tidak yakin dengan penyebab gejala yang terjadi (kondisi asma
dan cystic fibrosis juga bisa menyebabkan gejala yang serupa dengan bronkiolitis),
maka pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan. Contoh-contoh pemeriksaan lanjutan
tersebut adalah pemeriksaan virus melalui sampel lendir, pemeriksaan kadar oksigen
dalam darah menggunakan oksimeter, tes darah, dan tes urine. (Sari pediatri, 2006).
b. Faktor resiko
Faktor resiko terjadinya bronkiolitis:
• Usia kurang dari 6 bulan
• Tidak pernah mendapatkan ASI
• Prematur
• Menghirup asap rokok.
c. Terapi
Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga pengobatan
biasanya hanya suportif (WHO, 2005).
1. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres
pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal prolongs,
kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30-40 % (WHO,
2013). Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan
dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent) untuk
mencairkan sekret di tempat peradangan (WHO, 2005). Terapi oksigen
diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2 L/menit
dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan kebutuhan rawat di
Paediatrics Intensive Care Unit (PICU). Penggunaan kateter nasal serupa
efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat sedasi
(Mayfield S et al, 2014).
2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya
cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan
cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan
rumatan, bisa melalui intravena maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui
lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sesak, akibat tekanan
diafragma ke paru oleh lambung yang terisi cairan (WHO, 2005).
3. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih
kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The American Academy of
Pediatrics merekomendasikan penggunaan Ribavirin pada keadaan yang
diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan
kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik, imunodefisiensi dan pada
bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan sejak
awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan
dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3-7 hari (WHO,
2005).
4. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh virus,
kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering digunakan
berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi,
padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang
resisten terhadap antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya diusahakan hanya
berdasarkan indikasi (Ralston SL et al, 2014).

4. Tuberculosis
Tuberkulosis atau yang biasa disebut dengan penyakit TB atau TBC
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini paling sering
menyerang paru-paru. Namun, ada organ tubuh lain yang juga dapat terserang
penyakit TBC, yaitu tulang belakang, kelenjar getah bening, kulit, ginjal, dan selaput
otak.
a. Gejala
Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan
berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk
darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam, walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih
dari sebulan.
b. Faktor resiko
Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:
1. Jenis kelamin
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak ada
perbedaan di antara anak laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.
2. Status gizi
Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh
sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit
termasuk TB. (Croft, 2002).
3. Sosioekonomi
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari
kalangan sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan permukiman
yang terlampau padat sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB
(Croft, 2002).
4. Pendidikan
Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat mempengaruhi
seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa
penelitian yang menyimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai
pendidikan rendah akan berpeluang untuk mengalami ketidaksembuhan
5,5 kali lebih besar berbanding dengan orang yang mempunyai tingkat
pendidikan yang lebih tinggi (Croft, 2002).
5. Faktor-faktor toksis
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting dapat
menurunkan daya tahan tubuh (Nelson, 1995).

c. Terapi

6.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala
biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya
meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak
napas, mengi, atau kesulitan bernapas.
2. Secara umum penyebab dari infeksisa luran napas adalah berbagai mikroorganisme,
namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi saluran nafas dapat
terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih mudahterjadi pada musim
hujan.
3. Penatalaksanaan ISPB dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi serta edukasi yang tepat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Dian Eka Puspitasari, Fariani Syahrul. 2015. Faktor Risiko Pneumonia Pada Balita
Berdasarkan Status Imunisasi Campak Dan Status Asi Eksklusif. Jurnal
Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1.
Kemenkes RI/ Pneumonia Balita, Buletin Jendela Epidemiologi, September.
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN
%20PNEUMONIA.pdf (sitasi 30 Agustus 2014).
WHO. 2009.Guidelines on Hand Hygiene in Health Care. Library Cataloguing-in-
Publication Data.

Anda mungkin juga menyukai