Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Tetes Mata
Tetes mata adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi yang
digunakan pada mata dengan cara meneteskan obat pada selaput lender mata
sekitar kelopak mata atau bola mata (FI III, 1979). Tetes mata digunakan untuk
menghasilkan efek diagnosik dan terapeutik lokal dan yang lain untuk
merealisasikan kerja farmakologis yang terjadi setelah berlangsungnya penetrasi
bahan obat, dalam jaringan yang umumnya terdapat disekitar mata (Voight,
1994).
Pembuatan tetes mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas
bahan obat, sterilisasi dan kemasan yang tepat. Beberapa tetes mata perlu
hipertonik untuk meningkatkan daya serap dan menyediakan kadar bahan aktif
yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat yang cepat dan efektif. Apabila
tetes mata seperi ini digunakan dalam jumlah kecil, pengenceran dengan air mata
cepat terjadi sehingga rasa perih akibat hipertonisitas hanya sementara, tetapi
penyesuaian isotonisitas oleh pengenceran dengan air mata tidak berarti, jika
digunakan larutan hipertonik dalam jumlah besar sebagai koliria untuk
membasahi mata. Jadi yang paling penting adalah tetes mata harus mendekati
isotonic (Puspitasari, 2009).
Beberapa syarat tetes mata adalah jernih, steril, isotonik, isohidris, dam
stabilitas. Pemberian etiket pada sediaan tetes mata harus tertera tidak boleh
digunakan lebih dari 1 bulan setelah tutup dibuka (Puspitasari, 2009).
Obat mata ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga macam :
a. Obat cuci mata (collyria)
b. Obat tetes mata (guttae opthalmicae)
c. Salep mata
Pada dasarnya sebagai obat mata biasanya dipakai :

3
1.        Bahan-bahan yang bersifat antiseptika (dapat memusnahkan kuman-kuman
pada selaput lender mata), misalnya asam borat, protargol, kloramfenikol,
basitrasina, dan sebagainya.
2.        Bahan-bahan yang bersifat mengecutkan selaput lendir mata
(adstringentia), misalnya seng sulfat.
Pembuatan tetes mata pada dasarnya dilakukan pada kondisi kerja aseptik dimana
penggunaan air yang sempurna serta material wadah dan penutup yang diproses
dulu dengan anti bakterial menjadi sangat penting artinya (Voight, 1995). Tetes
mata kloramfenikol adalah larutan steril kloramfenikol. Mengandung
kloramfenikol, C11H12Cl2N2O5, tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari
130,0% dar jumlah yang tertera pada etiket (Depkes, 1995).
Faktor-faktor dibawah ini sangat penting dalam sediaan larutan mata :
1. Ketelitian dan kebersihan dalam penyiapan larutan;
2. Sterilitas akhir dari collyrium dan kehadiran bahan antimikroba yang
efektif untuk menghambat pertumbuhan dari banyak mikroorganisme
selama penggunaan dari sediaan;
3. Isotonisitas dari larutan
4.        pH yang pantas dalam pembawa untuk menghasilkan stabilitas yang
optimum.
Untuk pembuatan obat mata ini perlu diperhatikan mengenai
kebersihannya, pH yang stabil, dan mempunyai tekanan osmose yang sama
dengan tekanan osmose darah. Pada pembuatan obat cuci mata tak perlu
disterilkan, sedangkan pada pembuatan obat tetes mata harus disterilkan. (Anief,
2000)
2.1.1 Guttae Ophthalmicae
Tetes mata adalah sediaan steril berupa larutan atau suspense yang
digunakan dengan cara meneteskan obat pada selaput lender mata di sekitar
kelopak mata dan bola mata.
Tetes mata harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu :
1. Steril
2. Sedapat mungkin isohidris

4
3. Sedapat mungkin isotonis
Bila obatnya tidak tahan pemanasan, maka sterilitas dicapai dengan
menggunakan pelarut steril, dilarutkan obatnya secara aseptis, dan menggunakan
penambahan zat pengawet dan botol atau wadah yang steril. Isotonis dan pH yang
dikehendaki diperoleh dengan menggunakan pelarut yang cocok.
Pelarut yang sering digunakan adalah :
1. Larutan 2% Asam Borat (pH = 5)
2. Larutan Boraks – Asam Borat (pH = 6,5)
3. Larutan basa lemah Boraks – Asam Borat (pH = 8)
4. Aquadestillata
5. Larutan NaCl 0,9% (Ansel, Howard C. 1989)
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
Obat tetes mata yang digunakan harus diserap masuk ke dalam mata untuk
dapat member efek. Larutan obat tetes mata segera campur dengan cairan lakrimal
dan meluas di permukaan kornea dan konjungtiva, dan obatnya harus masuk
melalui kornea menembus mata. Mata terdiri dari kornea yang bening dan sclera
yang tertutup oleh salut pelindung dan berserabut, berwarna putih, rapat, dan tidak
ada saluran darah. Permukaan luas dari salut sclera terdapat membrane
konjungtiva, membrane mukosa yang tipis ini merupakan exterior coating yang
kontinu pada bagian yang putih dari mata dan aspek dalam dari penutup. Jaringan
konjungtiva mengandung banyak glandula mukosa yang uniseluler dan berguna
untuk pemeliharaan mata umumnya.
Jaringan ini mengandung banyak saluran darah dan terutama kaya akan
saluran limfe. Saluran darah ini kolap, dan melebar bila ada iritasi oleh zat asing,
infeksi mikrobial atau lainnya. Obat yang menembus ke dalam konjungtiva,
sebagian dihilangkan oleh aliran cairan melalui konjungtiva darah, sistem limfe.
Di bawah ini terletak sclera yang berserabut dan rapat. Bagian kornea merupakan
jaringan vaskuler, transparan, dan sangat tipis. Sel-sel epitel pada permukaannya
mengandung komponen lipoid. Pada kornea ini banyak sekali urat syarat sensoris
yang bebas dan berakhir antara sel-sel epitel dan permukaan. Karena itu sangat
peka terhadap stimuli dan penjamahan. (Anief, 2000).

5
2.1.3 Stabilitas Obat
Efek teraupetik suatu obat tergantung dari banyaknya faktor antara lain
cara dan bentuk pemberian, efek fisikokimiawi yang menentukan reabsorbsi,
biotransformasi, dan ekskresinya dalam tubuh. Selain itu, faktor individu serta
kondisi fisiologi pengguna juga sangat berpengaruh. Hal yang juga penting adalah
stabilitas dari obat itu sendiri. Suatu obat akan memberikan efek terapeutik yang
baik jika obat tersebut dalam keadaan baik (Luawo et al, 2012).
Stabilitas obat yang baik mempengaruhi mutu obat, sediaan farmasi yang
bermutu adalah sediaan farmasi yang memenuhi kriteria tersebut. Obat
diformulasikan dalam bentuk sediaan tertentu sehingga dapat mencapai tempat
aksinya, memberikan efek samping yang minimal, stabilitas sedian yang optimal
serta nyaman dalam pemakaian, mutu semua obat yang boleh beredar harus
terjamin baik da diharapkan obat akan sampai ke pasien dalam keadaan baik.
Penyimpanan obat yang kurang baik merupakan salah satu masalah dalam upaya
peningkatan mutu obat (Luawo et al, 2012).
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yangharus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu obat
atau sediaan farmasi biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan
memerlukan waktu yang lama sampai ketangan pasien yang membutuhkannya.
Obat yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian
dan mengakibatkan hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat
membahayakan dan dampak negatif bagi jiwa pasien (Luawo et al, 2012).
Uji stabilitas dimaksudkan untuk menjamin kualitas produk yang telah
diluluskan dan beredar di pasaran. Uji stabilitas yang dilakukan bermanfaat untuk
mengetahui pengaruh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban terhadap
parameter-parameter stabilitas produk seperti kadar zat aktif (Luawo et al, 20102).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain
adalah panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme, dan lain-lain
yang digunakan dalam formula sediaan obat tersebut (Anief, 2005).
Stabilitas suatu obat adalah suatu pengertian yang mencakup masalah kaar
obat yang berkhasiat. Bila suatu obat stabil artinya dalam waktu relatif lama, obat

6
akan berada dalam keadaan semula, tidak berubah atau bila berubah masih dalam
batas yang diperbolehkan oleh persyaratan tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anief,M.(2000). Ilmu Meracik Obat Teori Dan Praktek. Cetakan ke-9. Yogyakarta:
Gajah Mada University-Press,Halaman 32–80.

Depkes RI, 1995. Farmakope Indonesia. Edisi keempat.Jakarta: Departemen Kesehaan


RI.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi keempat. Jakarta : UI-
Press.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III . DepKes RI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai