Anda di halaman 1dari 19

ditinggalkan para penjaganya.

Maka, naluri militer Khalid pun langsung

memerintahkannya untuk segera menggerakkan pasukan mengitari

gunung dan menyerang pasukan Muslim dari belakang.

Pada saat itulah ketakutan mulai menyergap hati para prajurit

Muslim. Babak inilah yang dinyatakan dalam firman Allah Swt.,

“…sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu

dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan

kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang

menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki

akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk

menguji kamu …,” (QS Ali ‘Imran [3]: 152).

Lihatlah, betapa hebat malapetaka yang ditimbulkan kesalahan

segelintir prajurit muslim. Lihatlah pula, betapa kesalahan segelintir

orang justru menimpakan petaka pada seluruh anggota pasukan.

Ternyata, kesalahan beberapa oknum prajurit muslim dapat

mendatangkan dampak buruk bagi seluruh pasukan. Bahkan, Rasulullah

Saw. pun ikut menelan pil pahit karena perbuatan segelintir prajurit

tersebut. Itulah sunatullah yang berlaku di seluruh semesta, tak

terkecuali Rasulullah Saw. meskipun beliau makhluk paling dicintai

Allah Swt.

Sekarang, coba Anda bayangkan kesalahan para prajurit pemanah

itu, kemudian bandingkan kesalahan mereka dengan kesalahan yang

sekarang dilakukan sebagian dari kita.

Bayangkanlah! Dengan membayangkannya, kita akan mengetahui

betapa lembutnya Allah kepada kita semua. Sebab, meskipun saudara-


saudara kita sesama Muslim melakukan kesalahan dan dosa, ternyata

Allah Swt. tidak membinasakan kita semua. Padahal, kesalahan yang

mereka lakukan sudah sedemikian besar, termasuk melalaikan kewajiban

untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan melakukan kewajiban

untuk bergerak seirama dalam melakukan tugas itu.


Dengan merenungkan semua itu, Anda pasti dapat menemukan

jawaban dari sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan sebagian kita;

apa sebenarnya penyebab kelemahan bangsa-bangsa Muslim ketika

berhadapan dengan bangsa-bangsa lain? Bukankah bangsa-bangsa itu

jelas ingkar kepada Tuhan, sedangkan mereka tunduk patuh kepada-

Nya?

Kedelapan, sebagaimana kita ketahui, dalam Perang Uhud ini

Rasulullah Saw. mengalami luka yang cukup parah. Bagian wajah dan

kepala beliau berdarah, bahkan gigi beliau juga patah. Semua itu tak lain

adalah buah dari kesalahan segelintir pasuka Muslim yang melanggar

perintah pemimpin mereka. Apa sebenarnya hikmah di balik kabar

kematian Rasulullah Saw. di tengah barisan pasukan Muslim?

Jawabannya, ternyata ikatan batin antara Rasulullah Saw. dan umat

Islam, dan keberadaan beliau di tengah-tengah mereka pada saat itu

benar-benar telah menjadi kekuatan dahsyat yang dimiliki mereka.

Mereka sama sekali tidak berpikir kekuatan itu akan hilang dari umat

Islam. Bahkan, juga tidak terbayangkan mereka sanggup menjaga

kekuatan itu jika Rasulullah Saw. benar-benar meninggal dunia.

Umat islam sama sekali tidak menduga, bahwa Rasulullah Saw.

yang amat mereka cintai itu akan meninggal dunia, seperti manusia

lainnya. Jadi, wajar saja jika di tengah kealpaan mereka itu, berita

kematian Rasulullah Saw. membuat mereka kalang kabut. Bahkan,

menjadikan sendi-sendi keimanan dalam dada sebagian besar mereka


terguncang.

Jadi, salah satu hikmah terbesar dari tersiarnya berita kematian

Rasulullah Saw. pada saat itu adalah sebagai pelajaran berharga. Umat

Islam dibuat membuka mata agar melihat kenyataan yang sama sekali

tidak boleh mereka lalaikan. Dalam arti kata, agar mereka tidak “berbalik

ke belakang” (murtad) jika Rasulullah Saw. benar-benar meninggalkan

mereka.

Untuk menjelaskan pelajaran berharga yang satu inilah, kemudian

turun sebuah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan perasaan kalut sebagian

besar umat Islam ketika mendengar berita kematian Rasulullah Saw.


Allah Swt. Berfirman,

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah

berlalu sebelumnya sekian banyak rasul-rasul. Apakah jika dia wafat

atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang

berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat

kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada

ornag-orang yang bersyukur,” (QS Ali ‘Imran [3]: 144).

Kelak, dampak positif dari pelajaran yang amat berharga ini benar-

benar dapat diarasakan umat islam, yaitu ketika mereka benar-benar harus

kehilangan Rasulullah Saw. Ternyata, Perang Uhud dan beberapa ayat

yang turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, telah membuka mata

kaum muslimin sehingga mereka dapat melihat kenyataan secara lebih

jernih. Mereka memang berduka kehilangan Rasulullah Saw. Namun,

mereka harus tetap tegar melanjutkan amanat yang beliau tinggalkan,

yaitu menebar dakwah dan jihad fi sabilillah. Berbekal amanat agung

itulah bermunculan sekian banyak Muslim dengan keimanan yang kuat,

akidah yang teguh, dan kepasrahan yang penuh kepada Allah Swt.
Kesembilan, dalam Perang Uhud kita melihat pengorbanan luar

biasa yang dilakukan beberapa sahabat Rasulullah Saw. Para sahabat rela

mempertaruhkan raga mereka untuk melindungi Rasulullah Saw. dari

anak panah musuh. Satu per satu mereka gugur diterjang senjata pasukan

musyrik. Semua itu mereka lakukan demi melindungi Rasulullah Saw.,

sekalipun mengorbankan keselamatan sendiri.

Bagaimana pengorbanan yang menakjubkan seperti itu bisa

terjadi?

Itulah buah dari keimanan kepada Allah Swt. dan Rasulullah

Saw., juga kecintaan para sahabat terhadap beliau. Dua hal itulah yang

menjadi mata air bersumbernya pengorbanan yang menakjubkan.

Setiap Muslim seharusnya memiliki kedua hal penting ini. Sebab,

seorang Muslim tidak cukup mengaku beriman. Lebih dari itu, ia harus

dapat memenuhi seluruh lerung hatinya dengan kecintaan kepada Allah


Swt. dan Rasulullah Saw. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Saw.

pernah bersabda, “Tidaklah beriman seseorang dari kalian sampai aku

menjadi orang yang lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan

semua manusia lainnya,” (Muttafaq ‘alaih).

Allah Swt. menganugerahi manusia akal dan hati. Allah anugerahkan

akal agar manusia dapat berpikir. Selanjutnya, ia dapat mengimani hal-

hal yang wajib diimani. Dan, Allah juga anugerahkan hati agar manusia

dapat mencintai segala hal yang diperintahkan Allah untuk dicintai,

sekaligus membenci segala hal yang diperintahkan Allah untuk dibenci.

Jika hati manusia tidak diisi dengan kecintaan kepada Allah Swt. dan

Rasul-nya, ia akan dipenuhi kecintaan kepada syahwat dan hal hal

yang diharamkan. Ketika hati telah disesaki kecintaan terhadap hal-

hal yang dilarang, maka tidak mungkin akan melahirkan pengorbanan

yang luhur.

Inilah salah satu poin paling utama yang ditekankan para pakar
pendidikan dan moral, serta banyak dibuktikan oleh berbagai fakta

empiris. Sekarang, coba perhatikan pernyataan Jean Jacques Rosseau

dalam salah satu tulisannya:

“Berapa kali harus kutegaskan pernyataan tentang membangun

Molaritas hanya dengan mengandalkan rasionalitas belaka. Betapa

mendasarnya hal itu! Dasar seperti apakah itu?! Mereka katakana mo-

ralitas adalah keberaturan. Namun, apakah keyakinan terhadap system

dapat mengalahkan kesenangan yang khusus?... Sungguh prinsip ini

sebenarnya tak lebih dari sebuah permainan kata-kata, karena kehinaan

menyukai system dengan bentuk yang lain”.

Berdasarkan realitas inilah pemerintah Amerika Serikat tidak

pernah dapat benar-benar mewujudkan manfaat yang mereka yakini

dari larangan menenggak dan mendistribusikan minuman keras.

Padahal, aturan tentang itu sudah digulirkan pada tahun 1933. Namun,

beberapa saat setelah aturan itu dikeluarkan, para penegak hokum

ternyata kembali “membalikkan badan ke belakang”. Mereka melanggar

aturan yang dibuat sendiri. Tak pelak minuman keras tersebar di penjuru

negeri.
Coba sekarang bandingkan kejadian di Amerika Serikat itu dengan

apa yang dilakukan para sahabat Rasulullah Saw., yang peradaban,

kebudayaan, dan pengetahuan mereka tentang bahaya minuman keras

jauh lebih rendah dibandingkan penduduk Amerika Serikat yang

modern. Ketika Allah Swt. perintahkan mereka agar meninggalkan

minuman keras, seketika itu juga mereka langsung membuang semua

minuman keras yang ada. Bahkan, cawan dan botol yang biasa mereka

pakai dimusnahkan sembari berteriak lantang, “Kami tak kan minum

lagi, wahai Tuhan. Kami tak kan minum lagi.”

Perbedaan ini terjadi karena para sahabat Rasulullah telah mengisi

relung hati mereka dengan keimanan. Keinginan mereka pun selalu


sejalan dengan perintah dan hukum yang ditetapkan Allah Swt.

Cinta seperti inilah yang membuat mereka siap mengorbankan jiwa

dan raga demi menjaga keselamatan Rasulullah Saw. Bahkan, secara

suka rela mempersembahkan nyawa mereka untuk menyelamatkan

beliau. Berapa banyak adegan dahsyat terjadi dalam perang Uhud,

menunjukkan kepada kita betapa hebatnya kekuatan cinta pada

Rasulullah Saw.

Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah berkata

kepada para sahabat, “Adakah seseorang yang bersedia membantuku

melihat apa yang terjadi pad Sa’d ibn Rabi’? Apakah ia masih hidup

ataukah sudah mati?”

Salah seorang sahabat Anshar menjawab, “Aku akan melihatnya

untukmu, wahai Rasulullah Saw.”

Sahabat Anshar itu pun pergi mencari Sa’d. Ternyata, ia menemukan

Sa’d sekarat di antara para syuhada, karena luka yang dideritanya.

Sahabat Anshar itu berkata kepada Sa’d, “Sesungguhnya Rasulullah Saw.

memerintahkan aku untuk mencarimu; apakah engkau masih hidup

ataukah sudah mati.”

“Aku akan mati,” jawab Sa’d, “Sampaikanlah salamku kepada

Rasulullah Saw. Tolong katakan padanya bahwa Sa’d ibn Rabi’ berkata

kepada Rasulullah Saw., ‘Semoga Allah memberi pahala untukmu dari

kita semua dengan segala kebaikan, sebagaimana Dia memberi pahala.


kepada Nabi dari umatnya.’ Sampaikan juga salamku utnuk kaummu dan

katakana kepada mereka, ‘Sungguh tak ada maaf bagi kalian di sisi Allah

jika sampai Nabi kalian mati, sedanhgkan kalian masih bernapas.”’

Selanjutnya, sahabat Anshar itu berkata, “Maka, aku tidak meninggal-

kan Sa’d sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir.”

Jika saja akan kelak datang suatu hari ketika umat Islam dapat

memiliki kecintaan yang besar seperti yang dimiliki Sa’d, kecintaan


yang dapat menjauhkan mereka dari syahwat dan sifat egois yang

selama ini melekat pada diri mereka, tentulah pada hari ketika hati

mereka dipenuhi cinta seperti itu mereka akan menjadi makhluk yang

sama sekali baru. Kemenangan yang gemilang akan dapat mereka raih

dan semua musuh akan dapat mereka taklukkan, seberat apapun aral

merintangi jalan mereka.

Jika ada yang bertanya, Bagaimana mencapai kecintaan seperti itu?

Jawabannya, dengan banyak berzikir, bersalawat kepada Rasululah

Saw., banyak mengkaji dan merenungi nikmat Allah Swt., serta tekun

menggali pelajaran yang terkandung di dalam samudra sirah Rasulullah

Saw. berikut seluk-beluk budi pekerti dan akhlaknya. Namun, semua

itu seyogianya dilakukan setelah beristikamah melakukan ibadah dan

tunduk kepada Allah Swt. dari waktu ke waktu.

Kesepuluh, dari hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari kita

mengetahui bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan agar jenazah

para syuhada Uhud langsung dimakamkan. Darah mereka tidak perlu

dibersihkan, bahkan tidak usah dimandikan dan di shalat kan. Beliau

juga memerintahkan agar dua jenazah disatukan dalam satu liang.

Berdasarkan hadis ini para ulama menyatakan bahwa jenazah para

syuhada perang tidak perlu dimandikan dan di shalat kan, melainkan

langsung dimakamkan berikut bercak darah yang masih melekat di

tubuh meraka.

Imam Al-Syafi’I rahimahullah menyatakan: Terdapat banyak hadis

mutawatir yang menyatakan bahwa mereka (para syuhada) tidak perlu

di shalat kan. Adapaun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah

Saw. menyalatkan mereka sepuluh jenazah demi sepuluh jenazah,


dan Hamzah ra. selalu disertakan dalam setiap “rombongan” sehingga

jenazah pamanda Rasulullah Saw. tersebut berarti di shalati tujuh kali,

status hadis tersebut dhaif dan salah.


Dari hadis ini pula para ulama menyatakan bahwa menyatukan

lebih dari satu jenazah dalam satu lubang di dalam kondisi darurat

hukumnya boleh. Tetapi, hal itu tidak berlaku dalam kondisi normal.

Kesebelas, memerhatikan tindakan Rasulullah Saw. bersama para

sahabat sesaat setelah kembali ke Madinah, yaitu keberanian mereka

untuk kembali ke medan perang guna mengejar pasukan musuh, kita

dapat memetik sebuah pelajaran lain dari peristiwa Uhud ini, bahwa

kemenangan hanya dapat diraih dengan kesabaran dan ketaatan kepada

pemimpin yang saleh, dan dengan menetapkan tujuan yang benar-benar

tulus untuk membela agama.

Selain itu, kita juga dapat melihat, betapa Rasulullah Saw. tidak

bersedia mengerahkan pasukan untuk mengejar musuh, kecuali setelah

yakin bahwa para sahabat yang sehari sebelumnya bertempur di Uhud

kembali berangkat bersama beliau, meskipun masih menyisakan luka

dan rasa sakit di tubuh mereka. Kala itu, taka da satu pun sahabat yang

beristirahat meskipun sejenak, bahkan sekadar untuk memeriksa

luka yang mereka derita. Dengan gagah berani, mereka kembali

merapatkan barisan ke di belakang Rasulullah Saw. untuk menyerang

pasukan musyrik yang dilenakan kemenangan di saat-saat terakhir

Perang Uhud. Keberangkatan mereka kali ini dilandasi niat yang lulus

dan tidak dikotori oknum-oknum prajurit yang tamak akan harta

rampasan perang. Tujuan mereka saat itu hanya satu di antara dua

pilihan: memenangkan peperangan atau syahid di jalan Allah Swt.

Ternyata, apa hasil tindakan mereka?

Dengan adanya serangan kedua, pasukan musyrik tak sempat lagi

berlama-lama menikmati kemenangan. Serangan itu membuktikan

bahwa kekalahan dan luka-luka yang di derita prajurit Muslim sama


sekali tidak dapat mermadamkan semangat mereka.

Lalu, bagaimana selanjutnya?


Kelanjutan dari peristiwa ini sudah kita ketahui bersama, yaitu

ketika Allah Swt. memunjukkan kuasa-Nya untuk menunjukkan sebuah

pelajaran berharga bagi kita semua. ketika pasukan Muslim kembali

bergerak, perasaan takut dan gentar pun langsung menyergap pasukan

musyrik. Apalagi setelah mereka mendengar berita yang disampaikan

salah seorang dari mereka yang sempat melihat konsentrasi pasukan

Islam dari kejauhan, kemudian menyatakan bahwa Muhammad Saw.

dan para shabatnya akan segera menyergap mereka dengan kekuatan

yang mematikan. Orang-orang musyrik itu pun langsung balik arah;

semula hendak ke Madinah, tetapi kembali bergerak menuju Mekah

tanpa sempat menoleh ke belakang lagi.

Jika ada yang bertanya, mengapa ketakutan menyergap hati pasukan

musyrik? Bukankah beberapa saat sebelumnya mereka hampir berhasil

menghancurkan para sahabat Rasulullah Saw.? jawabannya, Allah Swt.

hendak menjadikan rangkaian peristiwa ini sebagai pelajaran berharga

bagi umat Islam, meliputi aspek positif dan negatifnya.

Di penghujung pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa Uhud,

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an.

“(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya

sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi

orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang

bertakwa adalah pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang menaati

Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang

mengataka, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan

untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka. ‘Maka,


perkataan itu menambah keimanan mereka. Dan mereka menjawab,

‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-

baik Pelindung.’ Maka, mereka kembali dengan nikmat dan karunia

(yang besar) dari Allah. Mereka tidak mendapat bencana apa-apa.

mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia

yang besar,” (QS Ali ‘Imran [3]: 172-174).


Peristiwa Raji’ dan Bi’r Ma’unah

Peristiwa Raji’ (Tahun 3 H)

Pada tahun ke-3 Hijriah, utusan dari Kabilah ‘udhal dan Qarah datang

menemui Rasulullah Saw. Kepada beliau disampaikan bahwa suku mereka telah

mendengar berita tentang agama Islam. Sebab itu, mereka mengundang beberapa

orang untuk belajar agama yang baru itu. Rasulullah pun mengirimkan beberapa

sahabat, antara lain: Martsad ibn Abi Martsad, Khalid ibn Bakir, Ashim ibn Tsabit,

Khubaib ibn Adi, Zaid ubn Datsnah, dan Abdullah ibn Thariq radhiallahu anhum.

Ashim ibn Tsabit ra. ditunjuk sebagai pimpinan delegasi Rasulullah Saw.

Melalui jalur sanad yang berhulu pada Abu Hurairah ra., Iman Al-Bukhari

meriwayatkan sebuah hadis sebagai berikut.

Mereka pun berangkat. Setibanya di sebuah tempat antara Asfan dan Mekah,

yang lebih dikenal khalayak sebagai kawasan Hudzail yang bernama Bani Lihyan,

kelompok kecil itu dibuntuti oleh hampir seratus orang prajurit pemanah. Para

prajurit kafir itu mengejar sahabat-sahabat Rasulullah Saw. Akhirnya, mereka

berhasil menemukan beberapa butir kurma Madinah yang dibawa para sahabat

di sebuah tempat yang disinggahi mereka.

Orang-orang kafir itu berkata, “Ini adalah kurma Yastrib.”

Mereka terus melakukan pengejaran. Akhirnnya, mereka berhasil menmyergap

delegasi Rasulullah Saw. yang sempat berlindung di sebuah tempat bernama


Fadfad. Para prajurit itu mengepung mereka dan berkata, “Jika kalian bersedia ikut

kami, kami berjanji tidak akan membunuh seorang pun di anatar kalian.”

Ashim ra. menyahut, “Aku tidak sudi berada di bawah jaminan orang kafir. Ya

Allah, beritahukan kepada Nabi-Mu apa yang terjadi pada kami semua.”

Kelompok kecil itu pun melakukan perlawanan terhadap hamper seratus orang

prajurit. Dalam peristiwa itu, Ashim ra. dan beberapa sahabt yang lain terbunuh.

Di antara mereka yang selamat hanya tiga orang, yaitu Khuabaib, Zaid, dan seorang

sahabat lagi. Mereka pun menyerah.

Anda mungkin juga menyukai