Anda di halaman 1dari 22

Kelompok XIII

PENYELESAIAN SANGKETA PERBANKAN SYARIAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah: Hukum Perbankan
Dosen Pengampuh: Fitri Faa’izah, M. A.

Disusun Oleh:

Ahmad Rony Al-Hidayat


NIM: 1804120806
Noor Aqmarina
NIM: 1804120861
Winda
NIM: 1804120859

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2020 M / 1442 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr.........Wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat ALLAH SWT , atas berkat


rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan salah satu tugas
kuliah Hukum Perbankan dengan judul Penyelesaian Sangketa Perbankan
Syariah. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah kuliah ini. Walaupun penyusun masih menyadari
kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, namun penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun, agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Penyusun
menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan . Walau demikian tidak
ada hal yang sia-sia jika kita senantiasa ikhlas menjalaninya. Semoga makalah yang
disusun ini dapat memberikan tambahan ilmu bagi pembaca dan penyusun pula Amin,
Mohon maaf apabila ada kesalahan yang terdapat pada penyusunan makalah ini karena
segala sesuatu yang benar itu datangnya dari ALLAH dan salah berasal dari kami
sendiri.

Wassalamu’alaikumWr....Wb....

Palangka Raya, September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

A. Konsep Dasar Perbankan Syariah ........................................................................ 3

B. Metode Penyelesaian Sangketa .............................................................................. 6

C. Penyelesaian Sangketa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-


X/2012 ..................................................................................................................... 15

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 18

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 18

B. Saran ...................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang
beroperasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam, secara yuridis
baru mulai diatur dalam undang-undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Dalam undang-undang tersebut eksistensi bank Islam atau perbankan syariah
belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan baru disebutkan dengan istilah
“bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Pasal 6 maupun pasal 13 UU tersebut
yang menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya
berupa sisipan, belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur
beroperasinya bank Islam di Indonesia.
Upaya terus menerus dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan
hukum beroperasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah
disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal
16 Juli 2008. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka semakin
mantaplah keberadaan bank syariah di Indonesia sebagai lembaga perantara
keuangan dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara optimal,
konkrit dan seutuhnya.
Seperti diketahui, prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah
bukan hanya sebatas landasan ideologis saja, melainkan juga sebagai landasan
operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan
aktivitasnya tidak hanya kegiatan usahanya atau produknya saja yang harus
sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi hubungan hukum yang
tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi
sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang digunakan untuk pembahasan makalah
ini adalah sebagai berikut :

1
1. Apa konsep dasar perbankan syariah?
2. Bagaimana metode penyelesaian sangketa pada perbankan syariah?
3. Bagaimana penyelesaian sangketa pasca putusan Mahkamah Konstitusi
No.93/X/2012?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, berdasarkan pada rumusan
masalah diatas adalah :
1. Untuk mengetahui konsep dasar perbankan syariah.
2. Untuk mengetahui metode penyelesaian sangketa pada perbankan syariah.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sangketa pasca putusan Mahkamah
Konstitusi No.93/X/2012.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Perbankan Syariah


Konsep perbankan syariah relatif baru bagi masyarakat Indonesia
termasuk bagi masyarakat muslim itu sendiri. walaupun pemikiran konsep dasar
perbankan syariah itu telah berjalan lama dalam kenyataannya praktek bank
syariah baru dimulai pada tahun 1992 berdasarkan kenyataan bahwa praktek
perbankan syariah baru pada tahap awal adalah wajar bila Sistem perbankan
syariah itu masih kurang dimengerti masyarakat. Dengan begitu perlu diuraikan
secara singkat beberapa aspek menyangkut prinsip-prinsip syariah yang
berkaitan dengan perbankan perbankan1
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip
Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama
dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu
kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan
Hadist.Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan
manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang
Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia
(Hablumminannas).
Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu :
Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas
keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang
muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata
untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah
dari Allah.
Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang
muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang
muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang

1
Veithzal Rivai & antoni Nizar Usman, Islamic Economics and Finance ekonomi dan
keuangan islam, (PT Gramedia : Jakarta 2012) hlm 369

3
menjadi keyakinannya. Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang
kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan
disebut muamalah maliyah
Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya
sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi
pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana
hadis nabi yang menyatakan “Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk
menjadikan akhlaqul karimah”
1. prinsip-prinsip perbankan syariah
a) Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai
kontribusi dan resiko masing-masing pihak
b) Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan
pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra
usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan
c) Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan
keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor
dapat mengetahui kondisi dananya
d) Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan
golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai
rahmatan lil alamin.
2. Prinsip-Prinsip syariah yang dilarang dalam operasional perbankan syariah
a) Maisir: Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah
maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir
sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian
seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam
perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.Judi
dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan
dalam firman Allah sebagai berikut:”Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-
Maaidah : 90) Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek

4
negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan
kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika
seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar
ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung
seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak
sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan
dalam sistem keuangan Islam.
b) Gharar : Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Menurut istilah
gharar berarti seduatu yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau
perjudian. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak
berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar.
Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli
ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi
yang bersifat gharar. Pelarangan ghararkarena memberikan efek
negative dalam kehidupan karena gharar merupakan praktik
pengambilan keuntungan secara bathil. Ayat dan hadits yang melarang
gharar diantaranya :“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah :
188)
c) Riba: Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan,
pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang
melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda.
Sangatlah penting bagi kita sejak awal pembahasan bahwa tidak terdapat
perbedaan pendapat di antara umat Muslim mengenai pengharaman
Riba dan bahwa semua mazhab Muslim berpendapat keterlibatan dalam
transaksi yang mengandung riba adalah dosa besar. Hal ini dikarenakan

5
sumber utama syariah, yaitu Al-Qur’an dan Sunah benar-benar
mengutuk riba. Akan tetapi, ada perbedaan terkait dengan makna dari
riba atau apa saja yang merupakan riba harus dihindari untuk kesesuaian
aktivitas-aktivitas perekonomian dengan ajaran Syariah
 Konsep bagi hasil
Bagi hasil adalah pembagian atas hasil usaha yang telah dilakukan
oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian yaitu pihak nasabah dan pihak
bank syariah. Dalam hal terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian
usaha, maka hasil atas usaha yang dilakukan oleh kedua pihak atau salah
satu pihak, akan dibagi sesuai dengan porsi masing masing pihak yang
melakukan akad perjanjian. Pembagian hasil usaha dalam perbankan
syariah ditetapkan dengan menggunakan nisbah. Nisbah yaitu persentase
yang disetujui oleh kedua pihak dalam me nentukan bagi hasil atas usaha
yang dikerjasamakan.2

B. Metode Penyelesaian Sangketa


1. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaiakan Sengketa
Perbankan Syariah
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan
kehakiman (judicial power) yang secara konstitusional disebut badan
yudikatif sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah
Mahkamah konstitusi”. Sedangkan di dalam pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman secara tegas menyatakan
bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya
badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 yang

2
Ismail, MBA., Ak, Perbankan Syariah, Jakarta: Perenadamedia Group, 2017, hlm: 75.

6
diperuntukan bagi masyarakat pencari keadilan yang beragama islam untuk
menyelesaiakan perkara-perkara tertentu. Dalam penjelasan pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1970, bahwa peradilan agama disebut
peradilan khusus. Dikatakan peradilan khusus adalah pihak (subjek) serta
objek perkaranya tertentu. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo,
Bahwa Peradilan Agama sebagai Peradilan Khusus yaitu peradilan dengan
yurisdiksi khusus atau terbatas, karena mengadili perkara tertentu dan
golongan rakyat tertentu . Hal ini sesuai dengan salah satu asas dalam
beracara di peradilan agama yakni asas Personalitas Keislaman bahwa yang
tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan peradilan
agama hanya mereka yang mengaku pemeluk agama islam. Bagi penganut
agama lain tidak tunduk atau tidak dapat dipaksakan untuk tunduk pada
Pengadilan Agama, kecuali bagi yang non muslim atas kerelaan mereka
sendiri tunduk pada hukum islam . Asas personalitas keislaman diatur dalam
pasal 2 Undang-Un dang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa
“peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Selanjutnya masalah perkara perdata tertentu yang dimaksud oleh pasal 2
tersebut dijelaskan dalam pasal 49 Undang-Undang No 7 tahun 1989 yakni
perkara-perkara di bidang: (1). Perkawinan, (2). Kewarisan, (3). Wasiat, (4).
Hibah, (5). Wakaf, (6). Zakat, (7). Infaq, dan (8). Shadaqah. Dengan melihat
pada asas personalitas keislaman tersebut maka penyelesaian sengketa di
pengadilan agama hanya dapat dilakukan oleh: (1). Pihak-pihak yang
bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam (2). Perkara perdata
yang disengketakan terbatas mengenai perkara di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah.( 3). Hubungan
hukum yang melandasinya berdasarkan pada hukum Islam. Untuk
menentukan suatu perkara masuk kewenangan Pengadilan Agama atau
tidak adalah dengan melihat subjek, objek dan perbuatan hukumnya. Subjek
hukumnya orang-orang yang beragama islam dan mereka yang
menundukan diri terhadap hukum Islam, objeknya adalah perkara perdata

7
Islam dan perbuatan hukumnya adalah menggunakan hukum Islam. Ketiga
aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang wajib terpenuhi.
Pengkualifikasin suatu perbuatan menggunakan hukum Islam apabila sudah
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur
dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, bahwa: (1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 19,
pasal 20, dan pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah wajib tunduk pada
prinsip syariah; (2) Prinisp syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difatwakan oleh Majelis Ulama di Indonesia (3) Fatwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. (4)
Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia membentukan Komite Perbankan
Syariah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pembentukan,
keanggotaan dan tugas Komite Perbankan Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) di atur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Tahapan yang dilalui oleh Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
perkara perbankan syari’ah dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa
apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi
perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya
perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera
sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan
ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim
menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak
dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh
hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Hakim memeriksa syarat
formil perkara yang meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat,
kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun
relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat (tidak salah menentukan
tergugat), surat gugatan tidak obscuur (gelap), perkara yang akan diperiksa
belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap, tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak
dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan.

8
Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk
memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama
hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang tata cara mediasi oleh Pengadilan.
Mendamaikan pihak bersengketa tersebut merupakan suatu kewajiban bagi
Hakim, apabila hal tersebut tidak ditempuh maka segala putusan hakim atas
perkara tersebut dapat dianggap batal demi hukum. Apabila tercapai
perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat
dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Yakni pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik dan
pembuktian. Apabila sudah dilalui semua tahapan tersebut maka terakhir
majelis Hakim berdasarkan kesimpulannya akan membacakan putusannya.
Putusan tersebut dapat berupa memenangkan. Memenangkan sebagian atau
menolak semua gugatan penggugat. Terhadap putusan Pengadilan tingkat
pertama tersebut, maka apabila ada pihak yang tidak puas dapat mengajukan
upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama yang ada ditiap-tiap
Provinsi. Upaya mencari keadilan selanjutnya adalah melakukan kasasi ke
Mahkamah Agung dan terakhir adalah upaya hukum luar biasa yakni
Peninjauan Kembali (PK) dengan syarat harus adanya bukti baru (novum).
2. Penyelesian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Non Litigasi
Dari penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-undang hanya
memberikan pilihan penyelesaian sengketa di luar peradilan yang akan
dituangkan dalam akad yaitu Musyawarah, Mediasi Perbankan dan melalui
Badan Arbitrase Syarian Nasional.
a. Dalam penyelesaian sengketa secara Musyawarah mufakat tidak pihak

yang mengambil keputusan. Keterlibatan pihak ketiga dalam rangka

mengusahakan agar para pihak mencapai sepakat untuk menyelesaikan

sengketa yang timbul. Dewasa ini penyelesaian sengketa secara

Musyawarah dalam kegiatan bisnis/ekonomi sudah merupakan suatu hal

yang biasa. Karena dalam setiap perjanjian/akad selalu dicantumkan

9
klausul yang menyatakan bahwa “Semua sengketa yang mungkin timbul

antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian/akad ini, akan

diselesaikan dengan musyawarah oleh para pihak dan hasilnya akan

dibuat secara tertulis. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan dengan

musyawarah, maka para pihak sepakat untuk membawa perkaranya ke

pengadilan”.

b. Mediasi Perbankan

Mediasi perbankan merupakan salah satu alternative

penyelesaian sengketa yang diatur dalam penjelasan pasal 55 ayat (2)

UU nomor 21 tahun 2008. Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan

mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh

mediator. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian mediasi yang

atur dalam pasal 1 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/

PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan bahwa Mediasi adalah proses

penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para

pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk

kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan

yang disengketakan. Mediasi perbankan dilakukan oleh lembaga

Mediasi Perbankan independen yang dibentuk oleh Asosiasi Perbankan.

Sepanjang belum terbentuk lembaga tersebut maka fungsi mediasi

perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Apabila terjadi sengketa

antara nasabah dan bank maka Bank Indonesia akan menunjuk mediator.

10
c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Penyelesaian sengketa melalui non litigasi di samping dapat

dilakukan dengan cara musyawarah dan mediasi perbankan juga dapat

dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Pada

dasarnya ketiga system penyelesaian sengketa ini sama-sama

merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar persidangan

Pengadilan, tetapi penyelesaian sengketa melalui Basyarnas, Arbiter

atau pihak ketiga yang di tunjuk dapat mengambil suatu keputusan atas

sengketa yang terjadi dan keputusan tersebut bersifat final dan mengikat.

Penyelesaian sengketa di luar peng - adilan pada lembaga perbankan

konvensional dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI). Sedangakan Basyarnas merupakan lembaga Arbitrase yang

menyelesaian sengketa perdata islam (muamalat) lembaga-lembaga eko

nomi syariah dengan nasabahnya atau antara lembaga ekonomi syariah

yang satu dengan lembaga ekonomi yang lainnya. 3

Perbankan syariah di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat.

Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan yang dimuat dalam Laporan

Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2013 jumlah bank yang melakukan

kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah semakin bertambah. Saat ini

terdapat 11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS), dan 163

bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Hal ini tentu sangat menggembirakan,

meskipun total aset perbankan syariah secara nasional masih sangat kecil

dibandingkan dengan perbankan konvensional, yakni dalam kisaran 5%.

3
Fatahullah, “Plurality Of Shariah Banking Dispute Settlement Method In Indonesia”,
Jurnal IUS | Vol II | Nomor 6 | Desember 2014, hlm. 542-550.

11
Untuk mempertahankan perkembangan perbankan syariah ke depan,

dukungan hukum (legal support) terhadap perbankan syariah dari berbagai

aspek sangat diperlukan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan

adalah mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah yang mungkin

terjadi antara bank syariah, nasabah, dan pemangku kepentingan (stakeholders).

Seperti bisnis lainnya, sengketa di perbankan syariah juga tidak dapat

dihindarkan. Oleh karena perbankan syariah didasarkan pada prinsip syariah

(syariah based), maka mekanisme penyelesaian sengketanya juga harus

berdasarkan syariah (in compliance with shariah).

Di Indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa

perbankan syariah adalah Pengadilan Agama. Semenjak tahun 2006, dengan

diamendemennya UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, kewenangan Peradilan Agama diperluas. Di samping

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawaninan,

waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Pengadilan Agama juga

berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang

ekonomi syariah [Pasal 49 ayat [i] UU No. 3 Tahun 2006]. Dalam

penjelasannya, yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah ‘perbuatan

atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain

meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syari’ah; (c) asuransi

syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan

surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h)

12
pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiunan lembaga

keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama

berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut

tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang

ekonomi syariah lainnya. Kemudian, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat

kembali dalam Pasal 55 [1] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan

oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun, Pasal 55 [2] UU

ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan

perkara mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati bersama dalam isi

akad. Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui musyawarah, mediasi

perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga

arbitrase lain dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme

penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah,

mediasi, dan arbitrase syariah merupakan langkah yang tepat dan layak untuk

diapresasi. Akan tetapi, masalah muncul ketika Pengadilan Negeri juga

diberikan kewenangan yang sama dalam menyelesaikan sengketa perbankan

syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa dan ketidakpastian hukum

serta tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan suatu perkara yang

sama oleh dua lembaga peradilan yang berbeda. Padahal, kewenangan ini jelas

merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49

(i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

13
Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka Dadang

Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant, pernah mengajukan

judicial review ke Mahkamah Konstitusi, memohon pembatalan Pasal 55 ayat

[2]&[3] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah dengan alasan

bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. Pada tanggal 29 Agustus 2013,

Majelis Mahkamah Konstitusi membuat putusan atas perkara Nomor 93/PUU-

X/2012, mengabulkan sebagian permohonan Dadang Achmad, menyatakan

bahwa penjelasan Pasal 55 ayat [2] UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Lebih lanjut dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwa adanya pilihan tempat penyelesaian sengketa

(choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah

sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008

pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk

mengadili, karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa perbankan syariah, padahal dalam UU 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama yang

berwenang menyelesaikan tersebut.

Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak ada

lagi dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan

Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan

sengketa Perbankan syariah. Hal ini semakin mengokohkan eksistensi

Pengadilan Agama di Indonesia, akan tetapi di sisi lain menjadi tantangan

tersendiri, karena bidang perbankan syariah secara khusus dan ekonomi secara

14
umum merupakan bidang baru yang sangat kompleks permasalahannya.

Keraguan banyak pihak akan kemampuan Peradilan Agama dalam

menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus dihilangkan dengan

membuktikan kecakapan para hakim di lingkungan peradilan agama dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa yang diputuskanya. Para hakim harus

memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu ekonomi syariah, baik dari

segi teori maupun praktik. Apabila diperlukan, di setiap pengadilan dibentuk

hakim khusus dalam menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah.

Penandatangan Surat Keputusan Bersama [SKB] yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tentang

Kerjasama Pelatihan Hakim di Bidang Kebanksentralan dan Sektor Jasa

Keuangan pada bulan Juli 2014 lalu adalah langkah yang patut diapresiasi dan

harus ditindaklanjuti.4

C. Penyelesaian Sangketa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-


X/2012
Pada tanggal 29 Agustus 2013, Mahkamah Konstitusi membuat Putusan
Nomor 93/PUU-X/2012, mengabulkan sebagian permohonan pemohon,
menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD NRI 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Lebih lanjut dalam salah satu
pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa adanya pilihan
tempat penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 akan menyebabkan adanya tumpang
tindih kewenangan untuk mengadili, karena ada dua peradilan yang diberikan

4
Abdul Rasyid, Penyelesaian Sangketa Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Binus
University, 2015. Hlm: 67

15
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Padahal dalam
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama secara tegas
dinyatakan bahwa peradilan agamalah yang berwenang menyelesaikan
tersebut.Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka permasalahan
dualisme dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dianggap telah
selesai. Pengadilan agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, akan tetapi pada
kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut masih menimbulkan
masalah. Terdapat argumentasi yang mengatakan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut hanya menghapuskan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008, tapi tidak menghapus pasalnya, sehingga pasal
tersebut masih tetap berlaku. Oleh karena itu, para pihak yang bersengketa tetap
mempunyai kebebasan untuk memilih tempat yang mereka sepakati dalam
menyelesaikan sengketanya.5
Pada tanggal 29 Agustus 2013, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan
Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review Pengujian Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UUDNRI
1945 yang diajukan oleh DA. Putusan ini secara umum terkait dengan Pasal 55
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang mengatur tentang penyelesaian sengketa. Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berbunyi sebagai
berikut:
1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama.
2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad.
3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah. Pasal 55 ayat (2) dalam penjelasannya
dijabarkan sebagai berikut: “yang dimaksud dengan ‘penyelesaian sengketa

5
Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri, Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah, Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 – 177, hlm: 161

16
dilakukan sesuai dengan isi akad’ adalah upaya sebagai berikut:
a.musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.” Menurut pemohon, Pasal 55 ayat (2) dan (3)
menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD NRI 1945 yang secara tegas mengatur bahwa undang-undang
harus menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Lebih lanjut
menurutnya, terdapat kontradiksi antara Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3). Ayat
(1) secara tegas mengatur apabila terjadi perselisihan atau sengketa
perbankan syariah maka harus dilaksanakan di pengadilan dalam ruang
lingkup peradilan agama.6

6
Ibid, hlm: 168.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip
Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama
dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu
kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan
Hadist.Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan
manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang
Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia
(Hablumminannas).
Terdapat berbagai metode dalam mengatasi sangketa yang terjadi dalam
perbankan syariah. Mengatasinya dapat menggunakan jalur litigasi ataupun
juga dapat melalui jalur nonlitigasi dalam penyelesaian sangketa perbankan
syariah.
Terdapat argumentasi yang mengatakan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut hanya menghapuskan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008, tapi tidak menghapus pasalnya, sehingga pasal
tersebut masih tetap berlaku.

B. Saran
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih
mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika
menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis
dan persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga
hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan
biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak
dapat menempuh upaya lain, yaitu melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase,
serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh
para pihak dalam menyelesaikan sengketa.

18
DAFTAR PUSTAKA

Fatahullah. (2014). “Plurality Of Shariah Banking Dispute Settlement Method In


Indonesia”. Jurnal IUS. Vol II. Nomor 6.

Ismail, MBA., Ak. (2017). Perbankan Syariah. Jakarta: Perenadamedia Group.

Rasyid., A. (2015). Penyelesaian Sangketa Perbankan Syariah di Indonesia.


Jakarta: Binus University.

Rasyid, A., & Putri, TA. (2019). Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah, Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2.

Rivai, V., & Antoni, UN. (2012) Islamic Economics and Finance Ekonomi dan
Keuangan Islam. PT Gramedia : Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai