Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HUKUM ISLAM

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam
Dosen : Dr. Hj. Suriani BT Tolo, S.H.,M.H

Disusun oleh :
RAHMAN MONGKITO
201830063/Kelas c

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA
2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan


semesta alam, karena dengan petunjuk-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan.
Salawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW. Pembimbing
sekalian umat, Bahwa penulis telah menyelesaikan Tugas Mata Hukum Islam.
Makalah ini disusun melalui berbagai sumber yang aktual dari beberapa
media serta beberapa referensi yang kami dapatkan, dan perturan perundang
undangan yang tentunya menjadi subjek dalam penyusunan makalah ini. Tujuan
penulisan makalah ini ialah untuk memberikan pengertian kepada kita tentang
tinjauan kondisi serta mengenal lebih dalam tentang aturan yang secara jelas
mengatur tentang mekanisme proses Hukum Acara Pidana.
Karena dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka segala
masukan, kritik dan saran yang bertujuan membangun makalah ini sangat diharapkan
dan diterima secara terbuka. Akhir kata, saya mengucapkan banyak terima kasih.
kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum islam, ibu Dr. Hj.Suriani BT Tolo,
S.H.,MH atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan. 
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita semua.

Raha, 4 Agustus 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................. 1


KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 3
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
C. Tujuan ........................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 3
A. Pengertian Hukum Islam................................................................................ 2
B. Ruang Lingkup Hukum Islam........................................................................ 2
C. Tujuan Hukum islam ..................................................................................... 19
D. Sumber Hukum Islam ................................................................................... 8

BAB I11 PENUTUP ...................................................................................................... 19


A. Kesimpulan ................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTA

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah komponen yang sangat erat hubungannya
dengan masyarakat, dan pada dasarnya hukum itu adalah masyarakat
itu sendiri. Setiap tingkah laku masyarakat selalu di monitor oleh
hukum, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki penduduk
mayoritas beragama islam, secara sengaja maupun tidak sengaja hal
tersebut mempengaruhi terbentuknya suatu aturan hukum yang
berlandaskan atas agama Islam.
Walaupun  merupakan  bagian  integral  syari’ah  Islam  dan  
memiliki  peran
signifikan,  kompetensi dasar  yang  dimiliki  hukum  Islam.
Tidak  banyak  dipahami
secara  benar  dan  mendalam  oleh  masyarakat, bahkan  oleh  kalanga
n  ahli  hukum itu sendiri.
Sebagian  besar  kalangan  beranggapan,  tidak  kurang diantaranya
kalangan muslim,  menancapkan  kesan  kejam,
incompatible  dan  off  to  date dalam  konsep hukum Islam.
Ketakutan  ini  akan  semakin  jelas  adanya  apabila  mereka  membin
cangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam,
salab dan qisas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusian.
Sedikit kita tilik, pada hakikatnya hukum islam sangat adil
(terutama hukum pidana) dan hukumannya pun dapat menimbulkan
efek jera bagi pelaku dan dapat menjadi pelajaran  bagi yang lain.

4
Tetapi untuk pelaksanaan hukuman untuk si pelaku cukup sulit,
semisal pidana potong tangan bagi yang mencuri, eksekusi tidak bisa
dilaksanakan sebelum mendatangkan 4 saksi, 4 saksi harus disumpah
untuk membuktikan kebenarannya. Jadi salah apabila ada orang yang
mengatakan bahwasanya hukum islam itu sangat kejam dan tidak
pantas diterapkan karena tidak manusiawi. Hal ini disebabkan  ia
belum memahami benar hukum islam secara menyeluruh. Bila kita
memahami benar prinsip hukum islam, kita akan mengetahui betapa
adil dan membawa kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat,
karena tidak memandang jabatan atau pangkat sekalipun itu raja
apabila bersalah wajib menerima hukuman sesuai ketentuan yang
berlaku

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hukum Islam ?
2. Apa saja ruang lingkup Hukup Islam ?
3. Apa tujuan Hukum Islam ?
4. Apa saja sumber-sumber Hukum Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hukum Islam
2. Untuk mengetahui ruang lingkup Hukum Islam
3. Untuk mengetahui tujuan Hukum Islam
4. Untuk mengetahui sumber-sumber Hukum islam

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertin Hukum Islam


Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama islam. Dalam konsepsi hukum Islam , dasar dan kerangka hukumnya
ditetapkan oleh Allah SWT. yang diatur tidak hanya hubungan manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri dan benda
serta alam semesta,tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam
sistem hukum Islam terdapat lima kaidah yang dipergunakan untuk mengukur
perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di bidang mu’amalah.
Kelima jenis kaidah tersebut dinamakan al-ahkam al-khamsah atau
penggolongan hukum yang lima yakni jaiz atau mubah atau ibahah, sunnah,
makruh, wajib, dan haram. Dalam pembahasan kerangka dasar agama islam
disebutkan bahwa komponen kedua agama Islam adalah syari’at yang terdiri
dari dua bagian yakni ibadah dan mu’amalah. Adapun ilmu yang membahas
tentang syari’at disebut dengan ilmu fikih.

B. Ruang Lingkup Hukum Islam


Dalam hukum Islam di bidang mu’amalah tidak dibedakan antara
hukum privat(hukum Perdata) dengan hukum publik, hal ini disebabkan
karena menurut sistem hukum islam pada hukum perdata terdapat segi-segi
publik dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdatanya
Dalam hukum Islam yang disebutkan hanyalah bagian-bagiannya saja,
yakni sebagai berikut :
1. Munakahat : mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya

6
2. Wirasah : mengatur segala masalah yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta
pembagian warisan. Hukum kewarisan ini sering disebut juga hukum
Faraid
3. mu’amalah dalam arti khusus : mengatur masalah kebendaan dan hak-
hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jula beli, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.
4. jinayat atau ‘ukubah : memuat aturan-aturan mengenai
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah
hudud(perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumnya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. dimana
hudud merupakan jamak dari had yang berarti batas) maupun jarimah
ta’zir(perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya
ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya sedangkan
ta’zir berarti ajaran atau pengajaran). Yang dimaksud dengan jarimah
adalah perbuatan pidana.
5. al-ahkam al-Sultaniyah(khilafah): membicarakan soal-soal yang
berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan baik pemerintah pusat
maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.
6. Siyar : mengatur urusan perang dan damai,
tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain
7. Mukhassamat : mengatur soal peradilan, kehakiman
dan hukum acara Sedangkan Fathi Osman mengemukakan sitematika
hukum Islam sebagai berikut :
8. Al-Ahkam al- Ahwal Al-Syakhsiyah(hukum Perorangan)
9. Al-Ahkam al-Madaniyah(hukum Kebendaan)
10. Al-Ahkam Al-Jinaiyah(hukum Pidana)
11. Al-Ahkam al-Murafaat(hukum Acara Perdata, Pidana dan Peradilan Tata
Usaha Negara)

7
12. Al-Ahkam al-Dusturiyah(hukum Tata Negara)
13. Al-Ahkam al-Dawliyah(hukum Internasional)
14. Al-Ahkam al-Ightisadiyah al-Maliyah(hukum Ekonomi dan Keuangan)

C. Sumber Hukum Islam


1. Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang melahirkan
atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
mengikat, yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan
sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum Islam dalam Ushul Fiqh diistilahkan dengan
Mashadiru al-Ahkam(Sumber-sumber Hukum), Adillah al-Ahkam(Dalil-
dalil Hukum), dan Ushul al-Ahkam(Dasar-dasar Hukum).
Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan
pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan
Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SWA). Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama
hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Dalil-dalil di luar al-qur’an adalah sunnah, ijma’ dan qiyas yang
kesemuanya sebenarnya terbit juga dari al-qur’an. Ketiganya merupakan
sumber dari hukum Islam sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’
ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah swt.
dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah(al-qur’an) dan Rasul(sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” Perkataan “taatilah Allah dan taatilah Rasul”
pada ayat tersebut menunjuk pada al-qur’an dan sunnah sebagai sumber
hukum Islam. Perkataan “Ulil Amri diantara kamu” menunjuk kepada

8
ijma’ sebagai sumber hukum Islam. Sedangkan kata-kata “kembalikanlah
ia kepada Allah(al-qur’an) dan Rasul(sunnahnya)” menunjuk kepada
qiyas sebagai sumber hukum Islam.
Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing sumber
hukum Islam.

a. Al-Qur’an atau Al-Kitab


1) Pengertian
Al-qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama, semua
ketetapan hukum harus ditetapkan berdasarkan pada al-qur’an,
sebagaimana telah diterangkan dalam al-qur’an sendiri:
َ‫اس بِ َمآأَ َرىك آهللُ َواَل تَ ُك ْن لِّ ْلخَآئِنِ ْين‬ ِّ ‫َب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ آلن‬ َ ‫ك ْآل ِكت‬
َ ‫إِنَّآ أَ ْن َز ْلنَآ إِلَ ْي‬
ِ َ‫خ‬
)105(‫ص ْي ًما‬
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang(orang yang tidak bersalah)
karena (membela) orang-orang yang khianat.(an-Nisa:4(105))
Al-qur’an adalah firman Allah swt. yang memiliki
kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang
terakhir(Nabi Muhammad saw.), melalui al-Amin(Malaikat
Jibril) yang ditulis pada mushaf, diriwayatkan kepada kita secara
mutawatir, membacanya bernilai ibadah, dimulai dengan surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
2) Tahap diturunkannya Al-Qur’an
Turunnya al-qur’an melalui beberapa tahapan. Pertama, dari
Allah swt. ke lauh mahfudh(suatu tempat yang merupakan
catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah swt.) secara

9
sekaligus. Kedua, dari lauh mahfudh ke baitul izzah(tempat yang
berada di langit dunia) secara sekaligus, tahapan kedua ini yang
dinamakan dengan lailah al-qadr. Ketiga, dari baitul izzah ke
dalam hati Nabi melalui malaikat jibril dengan cara berangsur-
angsur sesuai dengan kebutuhan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari
di dua kota(13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah) yaitu
mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi,
bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M sampai 9 Dzulhijjah haji
wada’ tahun ke 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijriyah,
adakalanya satu ayat, dua ayat, bahkan kadang-kadang satu surat.
3) Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
Beberapa hukum yang diatur dalam al-qur’an sebagai berikut :
a) Hukum Ibadah
Yang termasuk dalam hukum Ibadah adalah shalat, puasa,
zakat, haji, nadzar dan sumpah. Contoh ayat dalam al-qur’an
yang mengatur tentang ibadah adalah surat al-Imron ayat 97
di bawah ini.
... ‫اع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياَل‬ ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
ِ َ‫ت َم ِن ا ْستَط‬ ِ َّ‫وهلِل ِ َعلَى الن‬...
َ
( 97)
Artinya :
... dan karena Allah(wajib) atas manusia berhaji ke Baitullah
bagi mereka yang sanggup pergi atau berjalan kesana...
b) Hukum Mu’amalah
Yang termasuk dalam hukum Mu’amalah adalah berbagai
transaksi jual beli, sewa menyewa dan pinjam meminjam.
Contoh ayat dalam al-qur’an yang mengatur tentang
mu’amalah adalah surat al-baqarah ayat 188 di bawah ini.
‫اس بآِإْل ِ ْث ِم‬ ْ ُ‫وا ْأ ْم َولَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْآلبَ ِط ِل َوتُ ْدلُوأبِهَآإِلَى ْآل ُح َّك ِام لِتَأْ ُكل‬
ِ َّ‫وافَ ِر ْيقًا ِّم ْن أَ ْم َو ِل آلن‬ ْ ُ‫َواَل تَأْ ُكل‬
)188( َ‫َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬

10
Artinya :
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.
c) Hukum Peradilan
Secara umum dapat dilihat pada surat an-Nahl ayat 90 mengenai
kewajiban untuk berlaku adil dalam peradilan.
‫َآئ ِذى ْآلقُرْ بَى َويَ ْنهَى ع َِن ْآلفَحْ َشآ ِء َو ْآل ُم ْن َك ِر َو ْآلبَ ْغ ِى‬
ِ ‫إِ َّن آهللَ يأمربِ ْآل َع ْد ِل َوآإْل ِ حْ َس ِن َوإِ ْيت‬
)90( َ‫يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pengajaran.
d) Hukum Tatanegara
Yaitu hukum yang berkaitan dengan sistem pemerintahan yang
salah satunya terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 83.
‫ف أَ َذا ُعوْ ابِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ إِلَى آل َّرسُوْ ُل َوإِلَى أُوْ لِى‬
ِ ْ‫َوإِ َذا َجآ َءهُ ْم أَ ْم ٌر ِّمنَ آأْل َ ْم ِن أَ ِو ْآل َخو‬
‫م‬žُ ُ‫آَل تَّبَ ْعت‬,ُ‫ ِم ْنهُ ْم َولَوْ اَل فَضْ ُل آهللِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُه‬,ُ‫آأْل َ ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ آلَّ ِذ ْينَ يَ ْستَ ْنبِطُوْ نَه‬
)83( ‫آل َّش ْيطَنَ إِاَل قَلِ ْياًل‬
Artinya :
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin

11
mengetahui kebenarannya(akan dapat) mengetahuinya dri
mereka(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia
dan berkah Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti
syaitan kecuali sebagia kecil saja(diantaramu).
b. Al-Hadits atau As-Sunnah
1) Pengertian
Al-hadits yang sering juga disebut as-sunnah adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik
perkataan, perbuatan maupun pengakuannya.
Diantara beberapa hadits Rasulullah yang memerintahkan
kepada kaum muslimin agar selalu berpegang kepada sunnahnya
adalah riwayat Imam Ahmad dan lainnya dari Abi Najih al-
Irbadh bin Sariyah ra. yang menceritakan bahwa Rasulullah
memberikan nasihat kepad kita dengan suatu nasihat yang
menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Maka kami
bertanya kepada beliau : “Hai Rasulullah, tampaknya nasihat itu
nasihat (pamitan) terakhir.” Lalu beliau menasehati kita,
sabdanya :
َ ‫ َوإِنَّهُ َم ْن يَ ِعي‬،‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َوآل َّس ْم ِع َوآلطَّا َع ِة َواِ ْن تَأ َ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم َع ْب ٌد‬
‫ْش ِم ْن ُك ْم‬ ِ ْ‫اُو‬
‫ْن عَضُّوْ ا َعلَ ْيهَا‬žَ ‫فَ َسيَ َرى ِإ ْختِاَل فًا َكثِ ْيرًافَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِى َو ُسنَّةَ ُخلَفَا ِءآلرَّا ِش ِد ْينَ ْآل ُم ْه ِديِّي‬
َ ُّ‫ضاَل لَةٌ َو ُكل‬
‫ضاَل لَ ٍة فِى‬ َ ‫ات آالُ ُموْ ِر فَإ ِ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُكلُّ بِ ْد َع ٍة‬
ُ َ‫بِالنَّ َوا ِج ِذ َوإِيَّا ُك ْم ُمحْ َدث‬

ِ َّ‫الن‬.
‫ار‬
Artinya :
Aku menasehatkan kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah,
taat dan patuh, biarpun seorang hamba sahaya memerintah kamu.
Sungguh orang hidup lama(berumur panjang) diantara kamu
nanti, bakal mengetahui adanya pertentangan-pertentangan yang
hebat. Oleh karena itu hendaklah kamu berpegang teguh kepada
sunnahku, sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk.

12
Gigitlah sunnahku dengan taringmu! Jauhilah mengada-adakan
perkara, sebab perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah.
Padahal setiap bid’ah itu tersesat dan setiap tersesat itu di neraka.
Al-qur’an tidak menjelaskan secara rinci baik mengenai cara-
cara melaksanakan maupun syarat dari beberapa perintah yang
dibebankannya kepada umat. Penjelasan yang lebih rinci
disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya. Hal ini karena
beliau telah diberikan kewenangan untuk itu oleh Allah swt.,
dengan firman-Nya pada ayat 44 surat an-Nahl:
...)44(. َ‫اس َمانُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َوأَ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْي‬
ِ َّ‫ِّن لِلن‬žَ ‫ك ال ِّذ ْك َرلِتُبَي‬
Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu al-qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
2) Pembagian Al-Hadits atau As-Sunnah
a) Berdasarkan dari Pengertiannya
 Sunnah qouliyah
Hadits yang diriwayatkan tentang ucapan(kata-kata)
Nabi saw.
ِ ‫إِنَّ َما أأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ت‬
Artinya:
Segala amalan itu mengikuti niat(orang yang
meniatkan).(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
 Sunnah fi’liyah atau amaliyah
Hadits yang diriwayatkan tentang perbuatan wudhu’
Nabi saw., shalatnya, hajinya, keputusannya terhadap
suatu perkara dengan seorang saksi dan sumpah yang

13
terdakwa, dipotongnya tangan kanan pencuri dan
sebagainya.
َ ُ‫صلُّوْ ا َك َما َرأَ ْيتُ ُموْ نِ ْي أ‬
‫صلِّ ْي‬ َ
Artinya:
Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Malik Ibn Hawairits).
 Sunnah taqririyah
Hadits yang diriwayatkan tentang pengakuan atau
pembenaran Nabi saw. terhadap perkataan atau
perbuatan yang bersumber dari sahabatnya, baik dengan
diamnya maupun dengan tidak diingkarinya ataupun
dengan menyatakan persetujuannya, baik perbuatan atau
perkataan sahabat itu dilakukan di depannya ataupun di
belakangnya.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim
bahwa sahabat Khalid bin Walid memakan
dabh(semacam biawak) yang kemudian dihidangkan
kepada Nabi saw., akan tetapi Nabi saw. enggan untuk
memakannya. Lalu, sebagian sahabat(Khalid) bertanya:
“Apakah kita diharamkan makan dabh, wahai
Rasulullah?” Nabi saw. menjawab:

ِ ْ‫ْس فِ ْي أَر‬
‫ ُكلُوْ ا فَإِنَّهُ َحاَل ٌل‬،‫ض قَوْ ِم ْي‬ َ ‫ َولَ ِكنَّهُ لَي‬، ‫اَل‬
Artinya:
Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di
negeriku(oleh karena itu aku tidak suka memakannya).
Makanlah, sesungguhnya dia(dabh) halal.(HR. Al-
Bukhari dan Muslim).
b) Menurut Sanadnya

14
 Sunnah Mutawatirah(Hadits Mutawattir)
Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul, sejak masa
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, oleh orang banyak
sehingga mustahil mereka sepakat berdusta menurut
adat karena banyak jumlahnya dan perbedaan
pandangan serta budayanya.
Contoh: Hadits tentang pelaksanaan shalat, puasa, haji,
adzan.
َّ ‫ْال َع ْه ُد الَّ ِذى بَ ْينَنَا َوبَ ْينَهُ ْم ال‬
‫صاَل ةُ فَ َم ْن تَ َر َكهَا فَقَ ْد َكفَ َر‬
Artinya:
Perjanjian antara kami dan mereka(orang kafir) adalah
shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah
kafir.(HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah)
 Sunnah Masyhurah(Hadits Masyhur)
Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh beberapa
orang sahabat kemudian di masa tabi’in dan tabi’ tabi’in
oleh orang banyak seperti dalam sunnah mutawatirah.
‫ْأل ُغ ْس ُل يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة َوا ِجبٌ َع َل ُك ِّل ُمحْ تَلِ ٍم‬
Artinya:
Mandi jum’at wajib atas setiap orang yang telah
ihtilam(mimpi basah).
 Sunnah Ahaad(Hadits Ahad)
Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh sejumlah
orang(dalam generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in)
yang tak mencapai batas dalam sunnah mutawatir.
‫إِ َّن ال ِّد ْينَ يُ ْس ٌر‬
Artinya:

15
Sesungguhnya agama itu mudah.(Hadits no.9 dari Abu
Hurairah ra.)
3) Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an
a) Menetapkan dan Menguatkan Hukum yang dibawa Al-Qur’an
Materi hukum sunnah sesuai dengan materi hukum al-qur’an,
seperti hadits-hadits yang menunjukkan kewajiban shalat,
puasa, zakat dan haji.
b) Menjelaskan dan memerinci hukum-hukum al-qur’an yang
masih global atau umum.
c) Membentuk hukum yang tidak dibentuk oleh al-qur’an.
c. Al-Ijma’
1) Pengertian
Ijma’ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu:
 Ittifaq(kesepakatan), seperti dikatakan: “suatu kaum ialah
berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila mereka
menyepakatinya.
 ‘azzam(cita-cita, hasrat) dan tasmin
Seperti dalam firman Allah:
)71( .‫فَأَجْ ِمعُوْ ا أَ ْم َر ُك ْم َو ُش َر َكا َء ُك ْم‬
Artinya:
Maka ijma’kanlah urusanmu dan sekutumu.(surat Yunus ayat
71)
Maksudnya, cita-citakanlah apa urusanmu.
Demikian juga terdapat dalam hadits Nabi saw.:
‫صيَ ِام ِل َم ْن لَ ْم يَجْ َم ِع الصَّوْ ِم لَ ْياًل‬
ِ ‫اَل‬.
Artinya:
Tidak sah puasa seseorang yang tidak mengijma’kan puasa itu
di malam hari.

16
Maksudnya, tidak mencita-citakannya.
Ijma’ menurut syara’(dalam pandangan jumhur) adalah
kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan
dengan masa setelah wafatnya Nabi saw. tentang suatu hukum
syara’ yang amali.
2) Unsur-unsur Al-Ijma’
Menurut Jumhur Ulama, Ijma’ hanya terwujud apabila dipenuhi
persyaratan atau unsur-unsur sebagai berikut.
a) Bersepakatnya para Mujtahid
Kesepakatan bukan mujtahid(orang awam) tidak diakui
sebagai ijma’. Demikian juga kesepakatan ulama yang
belum mencapai martabat ijtihad fiqhy, sekalipunmereka
tergolong Ulama besar dalam disiplin ilmu lain, karena
mereka ini tidak mampu mengadakan mazhar atau istidlal
tentang urusan penetapan hukum syara’. Imam Fakhrurazy
mengatakan bahwa seorang pembicara yang tidak
mengetahui cara Istinbath hukum dari nash, tidak diakui
perintah dan larangannya.
Berdasarkan prinsip ini,maka apabila pada suatu masa
tidak terdapat para mujtahid, tidaklah terwujud ijma’ syar’i.
Sekurang-kurangnya jumlah mujtahid yang diperlukan untuk
mewujudkan ijma’ itu adalah tiga orang karena itulah
sekurang-kurangnya jumlah jama’ah. Oleh karena itu, ijma’
tidak terwujud ijma’ tidak akan terwujud jika terdapat
seorang mujtahid saja atau dua orang. Sebagian ulama
mensyaratkan jumlah itu harus mencapai batas tawatur
sehingga aman dari terjadinya kesalahan.
b) Semua Mujtahid Bersepakat

17
Tidak ada seorang dari para mujtahid yang berpendapat
lain mengenai suatu permasalahan. Kalau satu orang saja
yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak tersimpul.
Beberapa kesepakatan yang tidak diakui sebagai ijma’
oleh sebagian jumhur ulama, yaitu:
 Kesepakatan berdasarkan jumlah suara terbanyak
 Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan
salaf
 Kesepakatan ulama salaf kota Madinah saja
 Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari kota
Basrah dan Kuffah, atau salah satunya saja
 Kesepakatan ahli bait Nabi saja
 Kesepakatan Khulafaurrasyidin saja
 Kesepakatan dua orang syekh: Abu Bakar dan Umar
karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain,
membuat kesepakatan mereka tidak qath’y(diyakini)
keabsahan dan kebenarannya.
c) Bahwa kesepakatan itu, diantara mujtahid yang ada ketika
masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan
dibahas, tidak selalu disepakati pula oleh mujtahid generasi
berikutnya, karena jika demikian, maka ijma’ takkan terjadi
sampai kiamat.
Tersimpulnya ijma’ tidak disyaratkan bahwa para
mujtahid yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Tetapi,
sebagian ulama mensyaratkan harus seluruh ulama yang
berijma’ itu meninggal barulah dilaksanakan(berlakunya),
karena selama mereka masih hidup, bisa terjadi penarikan
pendapat mereka.

18
d) Kesepakatan Mujtahid itu terjadi setelah wafatnya Nabi saw.
Jika dikala Nabi saw. masih hidup para sahabat
bersepakat tentang suatu masalah hukum, maka bukan
termasuk ijma’ syar’i melainkan merupakan pengakuan
Rasul(Sunnah Taqqririyah).
e) Para Mujtahid Mengeluarkan Masing-masing Pendapatnya
Masing-masing mujtahid memulai penyampaian
pendapatnya dengan jelas pada satu waktu,baik pernyataan
pendapat itu secara perorangan tanpa berkumpul bersama
kemudian semuanya dikumpulkan dan ternyata
sama,maupun masing-masing mereka mengeluarkan
pendapatnya di ruangan yang sama dalam suatu mu’tamar
yang berakhir dengan kebulatan pendapat dimana masing-
masingnya menyatakan pemufakatan dan persetujuan.
3) Macam-macam Ijma’
 Ijma’ sharih atau Ijma’ Bayaniy, yaitu masing-masing
mujtahid menyatakan dan menegaskan pendapatnya, baik
berupa ucapan ataupun tulisan.
 Ijma’ Sukuty, yaitu seorang mujtahid mengungkapkan
pendapatnya sedangkan mujtahid lain diam saja dan tak
seorangpun yang mengingkarinya.
4) Contoh-contoh Ijma’
 Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah Rasul
Wafat
 Pengkodifikasian al-qur’an pada masa pemerintahan Abu
Bakar dengan usulan khalifah Umar, sehingga Abu Bakar
mengumpulkan para ulama’ untuk bersepakat dalam
pembukuan al-qur’an.

19
 Penetapan tanggal 1 syawal atau 1 ramadhan, maka harus
disepakati oleh ulama’ di negerinya masing-masing.
d. Qiyas
1) Pengertian
 Manurut bahasa adalah mempersamakan
 Menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah mempersamakan
satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh
nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash
bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang
ditentukan nash.
 Al Baidhawy di dalam Kitabnya Al Minhaj mendefinisikan
qiyas dengan:
َ‫ت ُم َساواَ ِة ُح ْك ِم ْال ُم ْعلُوْ ِم فِ ْي َم ْعلُوْ ٍم آخَ َرلِ ُم َشا َر ِكتَ ِه لَهُ فِ ْي ِعلَّ ِة ْال ُح ْك ِم َعلَى ْال ُم ْثبِت‬
ِ ‫اِ ْثبَا‬.
Artinya:
Menetapkan samanya hukum yang sudah dimaklumi dengan
sesuatu peristiwa lain yang dimaklumi karena samanya ‘illat
hukumnya menurut pihak penetap.
2) Unsur-unsur Qiyas
a) Peristiwa hukum yang disebutkan hukumnya oleh nash,
disebut asal atau maqis ‘alaih
b) Peristiwa hukum baru yang tidak disebutkan hukumnya oleh
nash dan untuk mencari hukum tersebutlah sasaran qiyas,
disebut furu’ atau cabang dan maqis
c) Hukum asal, yaitu hukum yang dibawa oleh nash terhadap
peristiwanya.
d) ‘illat hukum, yaitu yang dijadikan syar’i sebagai landasan
hukum terhadap peristiwa hukum yang disebut nash.
3) Macam-macam Qiyas

20
a) Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan
adanya hukum dan yang disamakan(mulhaq) mempunyai
hukum yang lebih utama daripada tempat
menyamakannya(mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan
memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah”(cih,hus)
kepadanya yang terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 23.
...)23(... ٍّ‫فَاَل تَقُلْ لَهُ َما أُف‬
Artinya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah”...
b) Qiyas Musawi, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan
adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdapat dalam mulhaq-
nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada
mulhaq bih. Misalnya, haramnya membakar harta anak yatim
disamakan dengan memakan harta anak yatim(surat An-Nisa’
ayat 10).
‫إِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ أَ ْم َوا َل ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَأْ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا‬.
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala(neraka).
c) Qiyas Dilalah, yaitu suatu qiyas dimana ‘illat yang ada pada
mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum
padanya seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada
harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat,
dengan ‘illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang
mempunyai sifat bertambah.

21
d) Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat
diqiyaskan dengan dua mulhaq bih yang mengandung banyak
persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang budak yang
dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena sama-sama
keturunan Nabi Adam as. dan dapat diqiyaskan dengan harta
benda karena sama-sama dapat dimiliki. Tapi, budak tersebut
diqiyaskan dengan harta benda karena dapat diperjual belikan,
dihadiahkan, diwariskan dan lain sebagainya.
4) Contoh-contoh Qiyas
a) Minum khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan
kepadanya meminum perasan lain yang menjadi khamar dan
terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar, karena
samanya dalam ‘illat keharamannya yaitu memabukkan.
b) Jual beli waktu akan shalat Jum’at dilarang dengan nash.
Diqiyaskan kepadanya segala bentuk transaksi dan transfer
dalam waktu itu, karena sama-sama menghalangi ingat
kepada Allah.
c) Surat yang dibubuhi tanda tangan merupakan bukti terhadap
yang membubuhinya. Diqiyaskan kepadanya, surat yang
dicap jari, karena sama-sama menunjukkan identitas
pelakunya.

22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
 Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama islam.

 Ruang lingkup Hukum Islam diantaranya adalah munakahat,


wirasah, mu’amalah, jinayat atau ‘ukubah, al-ahkam al-
Sultaniyah(khilafah), Siyar, Mukhassamat

 Tujuan Hukum Islam adalah pertama, untuk memenuhi


keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan
tertier yang dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan
istilah daruriyyat, hajjihyat dan tahnissiyat. Kedua, untuk
ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Ketiga, supaya dapat ditaati dengan baik dan
benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya
memahami hukum Islam dengan mempelajari usul al-figh
yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam
sebagai metodologinya.

 Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan


pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-
Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah
SWA). Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat
bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-
Qur’an dan Hadist.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman.1995.Sumber Hukum Islam Permasalahan dan


Fleksibilitasnya.Jakarta:Sinar Grafika
Ali, M.Daud.1988.Islam untuk Disipln Ilmu Hukum, Sosial, dan Politik.Jakarta:Bulan
Bintang
Wailers, Erick.2015.Kumpulan Hadits Nabi Tentang Sholat,online,
(https://www.fiqihmuslim.com/2015/09/kumpulan-hadits-nabi-tentang-sholat.html?
=1) (diakses pada tanggal 2 Maret 2018)
Wikipedia.Sumber-sumber Hukum Islam, online,
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam#Dasar_hukum)
(diakses pada tanggal 5 Maret 2018)

24

Anda mungkin juga menyukai