Anda di halaman 1dari 91

LAPORAN STUDI KASUS

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


BIDANG FARMASI RUMAH SAKIT
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
(25 Maret - 14 Juni 2019)

1. Diare Akut Dehidarasi Ringan Sedang + Hipotiroid + Laringomalasia +


Atrial Septal Defect (ASD) Secundum Kecil
2. Cancer Cerviks IIIB + Pro Cisplatin I + Anemia (5,5)
3. Fournier Gangrene Debridement Necrotomi
4. Chronic Kidney Disease (CKD) V + Pro HD Cito + Hiperkalemia + Lupus
Nefritis + Asidosis Metabolik + Anemia

Nina Sapti Humida, S.Farm.


051813143012

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER PERIODE 106


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

KASUS I
DIARE AKUT DEHIDARASI RINGAN SEDANG +
HIPOTIROID + LARINGOMALASIA + ATRIAL
SEPTAL DEFECT (ASD) SECUNDUM KECIL
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Diare
1.1.1 Definisi
Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses tidak
berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali
dalam 24 jam. Diare yang berat dapat menyebabkan dehidrasi dan bisa
membahayakan jiwa. Normalnya, feses mengandung 60-85% air yang
dikeluarkan tubuh setiap hari selama defekasi. Pada kondisi diare, tubuh
kehilangan lebih dari empat kali volume air yang dikeluarkan bersama feses.
Garam, natrium dan kalium dieksresikan bersama dengan air dan
menyebabkan penurunan pH (asidosis). Kehilangan cairan juga bisa
meningkat bila diare disertai dengan muntah. Kondisi kehilangan cairan
tersebut dapat disebut dengan dehidrasi yang menjadi berbahaya bila terjadi
khususnya pada bayi dan anak-anak (Nathan, 2010). Diare dibagi menjadi 3
yatu diare akut, persistent dan kronik (Berardi et al, 2009):
 Diare akut pada umumnya terjadi kurang dari 14 hari dan dapat diatasi
dengan penggunaan larutan pengganti cairan dan pengobatan secara
swamedikasi.
 Diare persistent adalah diare yang terjadi antara 14 hari-4 minggu dan
harus segera di rujuk ke dokter
 Diare kronis adalah diare yang terjadi lebih dari 4 minggu dan harus
segera dirujuk ke dokter.
1.1.2 Etiologi
Diare akut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
 Bakteri
Beberapa bakteri seperi Escherchia coli dan Staphylococcos aureus yang
dapat menghasilkan toksin dan terikat di mukosa usus halus sehingga
mengakibatkan hipersekresi cairan. Pada keadaan ini terkadang tidak
disertai demam atau gejala lain. Bakteri Salmonella sp dan Shigella sp
secara langsung mengenai pada bagian sel epitel mukosa dan
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

menyebabkan reaksi inflamasi, diare dengan sedikit cairan namun dsertai


mual, muntah, kram dan demam (Nathan, 2010).
 Virus
Virus merupakan salah satu penyebab diare yang sering terjadi pada bayi
dan anak-anak (Nathan, 2010). Virus yang menyebabkan diare yaitu
Rotavirus, Norwalk, dan adenovirus (Sweetman, 2009).
 Parasit
Parasit yang dapat menyebabkan diare yaitu Entamoeba histolytica,
Microsporidium, Giardia lambia dan Cryptosporidium parvum. Parasit
tersebut dapat menyebabkan infeksi yang disebut traveler’s diarrhea.
Traveler’s diarrhea dapat terjadi pada semua orang yang hanya terjadi
selama perjalanan setelah mengkonsumsi makanan atau air yang
terkontaminasi parasit tersebut. Traveler’s diarrhea terjadi secara tiba-
tiba dan dapat mereda setelah 2-3 hari.
 Makanan
Karbohidrat mengandung laktosa disakarida dan sukrosa yang akan
terhidrolisis menjadi monosakarida melalui enzim lactase. Ketika
disakarida tidak terhidrolisis akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan cairan dan perubahan pH. Akibatnya terjadi
hiperosmolaritas pada usus yang menyebabkan diare. Enzim lactase
dapat berkurang disebabkan karena adanya penyakit pada usus seperti
diare spesifik dan alergi pada GIT. Pada beberapa orang yang mengalami
penurunan enzim lactase sering kali mengalami intoleran dengan susu
sehingga dapat menyebabkan diare (Berardi, 2009).
Berikut merupakan beberapa penyebab diare kronis yaitu :
 Penyakit tertentu Penyakit yang dapat menyebabkan diare kronis yaitu
adanya inflamasi pada saluran pencernaan, penyakit pada endokrin,
malabsorption syndrome, obat (termasuk efek penggunaan obat laksatif)
(Mims dan Curry, 2015).
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.1.3 Klasifikasi dan Patofisiologi


Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat
diklasifikasikan menurut mekanisme patofisiologi yaitu osmotik,
sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas (Mims dan Curry, 2015).
a) Osmotik

Retensi cairan yang tidak dapat diserap


Mekanisme terjadinya diare yang akut
maupun yang kronik dapat
diklasifikasikan
Tekanan menurutusus
osmotik dirongga mekanisme
meningkat
patofisiologi yaitu osmotik, sekretorik,
eksudatif dan gangguan motilitas (Mims
dan
Isi rongga usus Curry, (bahan
berlebih 2015) osmotik sulit
diserap ex. Larutan istonotik dan hipertonik)

Usus terangsang untuk mengeluarkan isinya

Diare

Gambar 1 Gangguan Osmotik (WHO, 2012)


Pada umumnya, diare jenis ini disebakan karena retensi cairan
oleh larutan yang tidak dapat diabsorbsi pada lumen perut. Gerakan
peristaltik distimulasi oleh peningkatan volume cairan pada lumen,
menghasilkan peningkatan transit bahan fecal oleh kolon. Karena kolon
sangat efesien dalam mereabsorbsi natrium klorida dan air, peningkatan
transit melalui kolon menstimulasi terjadinya diare. Kondisi ini bisa
terjadi saat mangalami sindrom malabsorbsi, intoleran laktosa,
penggunaan ion divalen (contoh magnesium yang merupakan
komponen pada antasida) atau mengkonsumsi karbohidrat yang susah
larut (contoh laktulosa) (Mims dan Curry, 2015).
b) Sekretori
Diare sekretorik terjadi apabila terdapat stimulasi bahan yang
dapat meningkatan sekresi atau menurunkan absorb sejumlah besar air
elektrolit. Bahan– bahan yang dapat menyebabkan sekresi berlebih
meliputi Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) dari tumor pankreas, tidak
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

terabsorbsinya makanan yang mengandung lemak pada stertorhe,


laksatif, hormon (seperti sekretin), toksin bakteri, serta produksi asam
empedu yang berlebihan. Bahan-bahan tersebut juga menstimulasi
intracellular cyclic adenosin monofasfe dan menghambat Na+/K+
ATPase yang menyebabkan peningkatan sekresi. Banyak dari mediator
menghambat absorb ion secara stimulan. Secara klinik, diare sekretorik
ditentukan oleh besarnya volume feses (>1L/hari) dengan mengandung
ion normal dan osmolaritas mendekati sama dengan plasma (Mims dan
Curry, 2015).
c) Eksudatif (Inflamasi)
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan perubahan
mukosa baik usus halus maupun usus besar yang akan merusak proses
penyerapan untuk meningkatkan protein dan produk lainnya di lumen
usus dengan retensi cairan. Adanya leukosit dan darah pada feses
menunjukan adanya proses inflamasi (Mims dan Curry, 2015).
Inflamasi (eksudasi) dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat
non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel
disease (IBD) atau akibat radiasi. Pada dasarnya mekanisme terjadinya
diare akibat kuman endopatogen meliputi penempelan bakteri pada sel
epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan
produksi enterotoksin atau sitotoksin dengan manifestasi sindrom
disentri dengan diare disertai lendir dan darah atau adanya leukosit
dalam feses (Farthing M., et al., 2013).
d) Peningkatan Motilitas
Perubahan pergerakan motilitas menimbulkan diare melalui tiga
mekanisme yaitu, mengurangi waktu kontak pada usus halus,
mempercepat pengosongan kolon, dan peningkatan pertumbuhan
bakteri. Chime harus dibongkar ke epithelium intestinal dalam waktu
yang cukup untuk mendapatkan absorbs normal dan terjadi proses
sekresi. Jika waktu kontak ini dikurangi, maka diare dapat terjadi.
Metoklopramid dapat menyebabkan diare tipe ini. Di lain pihak,
peningkatan waktu kontak akan diikuti peningkatan pertumbuhan
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

bakteri fekal. Karakteri stik dari diare di usus halus adalah: polanya
cepat, kecil, dan merupakan pasangan ledakan dari gelombang.
Gelombang ini tidak efisien, tidak mengikuti absorbsi, dan dengan
cepat memompa chime ke dalam kolon. Di kolon chime melampaui
kapasitas absorbs kolon (Mims dan Curry, 2015).
1.1.4 Gejala Klinis
Gejala diare meliputi :
 Frekuensi buang air besar melebihi normal
 Feses encer/cair dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus
 Pada beberapa kasus ditandai sakit/kejang perut serta mual dan muntah
 Demam (> 38 ◦C)
 Gejala pada anak yaitu terjadi dehidrasi.
Dehidrasi terdiri dari 2 macam yaitu dehidrasi ringan/sedang dan berat.
a. Dehidrasi ringan/sedang ditandai dengan rasa gelisah, mata cekung,
mulut kering, terasa sangat haus, ketika kulit dicubit akan kembali
dengan lambat
b. Dehidrasi berat ditandai dengan lesu, tak sadar, mata sangat cekung,
mulut sangat kering, malas/tidak bisa minum, ketika kulit dicubit akan
kembali sangat lambat (Mims dan Curry, 2015; Simadibrata M., et al.,
2010).
1.1.5 Manifestasi Klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah dan/atau
demam, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang berlangsung beberapa
saat tanpa penanggulangan medis adekuat dapat menyebabkan kematian
karena kekurangan cairan tubuh yang mengakibatkan renjatan
hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
lanjut.
Kehilangan cairan menyebabkan haus, berat badan berkurang, mata
cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun, serta
suara serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Kehilangan bikarbonat akan menurunkan pH darah. Penurunan ini
akan merangsang pusat pernapasan, sehingga frekuensi napas lebih cepat
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

dan lebih dalam (Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk
mengeluarkan asam karbonat agar pH dapat naik kembali normal. Pada
keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standar
juga rendah, pCO2 normal, dan base excess sangat negatif.
1.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang diakibatkan oleh diare akut meliputi :
a) Infeksi menyebar
b) Ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi
c) Intoleran laktosa
d) Irritable bowel syndrome
1.1.7 Diagnosis
Diagnosis pasien diare akut infeksi bakteri memerlukan pemeriksaan
sistematik dan cermat. Perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang
dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik,
riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Riwayat pasien meliputi onset, durasi, frekuensi, konsistensi, penampilan,
adanya buang air besar (BAB) disertai darah, dan muntah. Selain itu, perlu
diketahui riwayat penggunaan obat, riwayat penyakit dahulu, penyakit
komorbid, dan petunjuk epidemiologis. Pemeriksaan fisik meliputi berat
badan, suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi napas, tekanan darah, dan
pemeriksaan fisik lengkap.
Evaluasi laboratorium pasien diare infeksi dimulai dari pemeriksaan feses.
Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada, dianggap sebagai
penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non-infeksi. Sampel harus
diperiksa sesegera mungkin karena neutrofil cepat berubah. Sensitivitas
leukosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella, dan
Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% -
95% tergantung pada jenis patogennya.
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah
laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan
neutrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon.
Positif palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.1.8 Penatalaksanaan Terapi


Tujuan terapi diare akut (WHO, 2012) :
- Memberikan terapi rehidrasi oral sebagai pengganti cairan dan elektrolit
yang hilang sampai diare berhenti dan sebagai penjagaan terapi
- Memberikan zinc sulfat untuk anak usia dibawah 5 tahun
- Mencegah malnutrisi
- Antibiotika digunakan apabila diare disebabkan karena bakteri
- Memberikan probiotik guna memperpendek durasi diare
Terapi utama diare akut yaitu penggantian cairan dan elektrolit,
modifikasi diet, dan terapi obat.
1. Terapi Non-farmakologi
a. Terapi Dehidrasi
Larutan pengganti cairan atau oralit merupakan terapi pertama yang
diberikan ketika terjadi diare. Pemberian oralit sangat penting diberikan
bila terjadi pada bayi dan anak-anak (Nathan, 2010).
Larutan pengganti cairan bekerja dengan menggantikan cairan dan
elektrolit yang hilang selama diare dan muntah. Larutan tersebut berisi
garam sodium dan potasium yang menggantikan ion-ion tubuh. Glukosa
juga merupakan komponen dalam larutan tersebut yang bekerja sebagai
transporter yang membawa ion sodium ke tubuh. Oralit tidak
menghentikan diare namun diare akut pada umumnya bisa berhenti dengan
sednirinya sleama 24-48 jam (Nathan, 2010).
Dehidrasi dapat terjadi ketika diare berat dan asupan oral terbatas
terutama pada orang tua dan bayi. Penggantian cairan bukanlah perawatan
untuk meredakan diare tetapi upaya mengembalikan keseimbangan cairan.
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan larutan
rehidrasi oral (Oral Rehidration Solution), yang harus dilakukan pada
semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum atau diare hebat
membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena. Idealnya, cairan
rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium
bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah
disiapkan dengan dicampur air (Farthing M., et al., 2013).
Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½
sendok teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua
pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien
harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak merasa haus
pertama kalinya (Farthing M., et al., 2013).
Jika terapi intravena diperlukan, dapat diberikan cairan
normotonik, seperti cairan salin normal atau ringer laktat, suplemen
kalium diberikan sesuai panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dipantau dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, serta penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian
harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin (Farthing M., et
al., 2013).
b. Modifikasi diet
Pada pasien diare biasanya nafsu makan menurun. Pasien diare
seharusnya tetap menjaga nutrisi karena makanan akan membantu
memulihkan hilangnya nutrisi dan volume cairan. Mungkin beberapa
makanan dapat mengiritasi saluran cerna, bahkan ada yang terlibat sebagai
penyebab diare. Berikut makanan yang dapat membantu meningkatkan
nafsu makan yaitu beras, pisang, gandum, dan dedak (Mims and Curry,
2015).
2. Terapi Farmakologi
a. Suplemen Zink
Zink merupakan komponen nutrisi yang banyak terdapat pada
semua jaringan tubuh. Adanya zink dapat membantu dalam perkembangan
jaringan dan sistem imun. Pemberian zink khususnya untuk bayi dan anak-
anak bertujuan untuk membantu dalam perkembangan jaringan sehingga
sistem perncernaan dapat terbentuk sempurna. Dosis 10-20 mg per hari
sampai diare berhenti. Pada penelitian juga menyebutkan bahwa
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

pemberian suplemen zink 10-20 mg selama 10-14hari dapat mengurangi


diare selama 2-3 bulan (WHO, 2005).
b. Antimotilitas
Antimotilitas bekerja dengan menurunkan motilitas usus dengan
memperpanjang waktu transit di usus sehingga mengurangi jumlah cairan
yang hilang dalam feses. Peningkatan reabsorbsi cairan ini dapat
memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi diare.
Penggunaan diare akut diatasi dengan loperamid tablet untuk dewasa dan
anak-anak lebih dari 12 tahun yaitu 4 mg untuk awal kemudian diikuti 2
mg setiap setelah BAB. Dosis maksimum 16mg dalam 24 jam. Jika diare
masih terus terjadi segera dirujuk ke dokter. Pada .diare kronik untuk dosis
awal diberikan 4-8 mg untuk sehari dalam dosis terbagi kemudian
ditingkatkan sampai 16 mg sehari (Sweetman, 2009).
c. Adsorben
Dalam mengatasi diare, salah satu obat yang dapat digunakan yaitu
obat yang bekerja dengan mekanisme menyerap racun pada saluran
pencernaan. Obat yang termasuk dalam golongan adsorbent yaitu kaolin,
pectin dan attalpugit. Kaolin merupakan alumunium silikat alami yang
digunakan untuk mengatasi diare. Kaolin tidak diabsorbsi di GIT dan 90%
dieksresikan melalui feses (Nathan, 2010). Pektin adalah karbohidrat
murni yang diperoleh dari buah sitrus atau pomace. Mekanisme kerja dari
pectin belum diketahui (Nathan, 2010). Attalpugit adalah magnesium
silikat alami yang telah dimurnikan dan diaktifkan dengan cara pemanasan
untuk meningatkan kemampuan adsorbsinya (Nathan, 2010). Dosis
pemberian Attalpugit 1,2-1,5 mg setelah BAB atau setiap 2 jam. dosis
maksimum 8 g/hari dalam dosis terbagi (Sweetman, 2009).
d. Probiotik
Probiotik merupakan suplemen yang mengandung bakteri
(Lactobacillus species, Bifidobacterium species dan lain-lain). Mekanisme
kerja dari probiotik yaitu meningkatkan jumlah mikrofloral dalam saluran
pencernaan. Probiotik menekan respon imun dan menekan supresi
inflamasi. Probiotik dapat diberikan dalam bentuk tablet, kasul, serbuk dan
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

cairan. Yogurt dapat digunakan untuk mengatasi diare pada pasien yang
intoleran dengan laktosa. Lactobacillus acidophilus pada yogurt dan keju
dapat membantu dalam mencerna laktosa dan dapat untuk mencegah atau
mengurangi frekuensi diare yang berhubungan dengan kekurangan enzim
lactose dan peningkatan konsumsi susu. Meskipun lactase bukan termasuk
probiotik, tablet lactase dapat digunakan untuk mencegah diare pada
pasien yang mudah mengalami diare (Mims and Curry, 2015).
e. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada diare yang disebabkan karena infeksi
secara terusmenerus dapat menyebabkan resisten. Pemberian antibiotik
spektrum luas sebaiknya dipertimgbankan untuk diare akut yang
disebabkan oleh Campylobacter, Salmonella, dan Shigella yang dapat
menyebabkan demam sedang sampai berat dan pendarahan pada feses
(Mims and Curry, 2015).
1.2 Dehidrasi
1.2.1 Definisi
Dehidrasi adalah suatu kondisi tubuh yang abnormal di mana sel-sel
tubuh kekurangan cairan. Otot, organ, dan jaringan di dalam tubuh terdiri
dari 70% air, dan air juga sangat penting untuk berbagai proses
metabolisme tubuh (Mims dan Curry, 2015). Berdasarkan pada derajat
dehidrasi dan hilangnya cairan terus menerus, maka cairan dan elektrolit
perlu diganti baik secaraintavena maupun secara oral. Dehidrasi bisa
ringan, sedang, atau berat, berdasarkan pada seberapa banyak cairan tubuh
yang hilang. Dehidrasi berat adalah keadaan darurat yang mengancam jiwa
(Itokazu, et al., 2009).
1.2.2 Klasifikasi Dehidrasi
Pada pasien anak dengan diare perlu diperiksa apakah mengalami
dehidrasi yang kemudian diklasifikasikan status dehidrasinya untuk
mendapatkan terapi obat yang tepat.
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Dehidrasi Anak dengan Diare (WHO, 2005)
Klasifikasi Tanda dan Gejala
Degidrasi Berat Terdapat 2 atau lebih dari tanda :
letargi/tidak sadar, mata cekung, tidak
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

bisa minum atau malas minum, cubitan


kulit perut kembali sangat lambat (> 2
detik)
Dehidrasi Ringam/Sedang Terdapat 2 atau lebih tanda : rewel,
gelisah, mata cekung, minum dengan
lahap, haus, cubitan kulit kembali lambat
Tanpa Dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda untuk
diklasifikasikan sebagai dehidrasi
ringan/sedang
1.2.3 Etiologi
Dehidrasi disebabkan karena kurangnya minum atau cairan atau karena
kehilangan cairan tubuh. Tubuh bisa kehilangan banyak cairan dari
berkeringat berlebihan karena aktivitas pada cuaca panas, demam, muntah,
dan diare (Itokazu, et al., 2009).
1.2.4 Penatalaksaan Terapi
a) Terapi dehidrasi ringan
Dehidrasi ringan dapat diatasi dengan minum cairan sedikit-sedikit
namun dengan interval yang pendek (sering). Untuk bayi dan anak-anak
yang muntah atau diare, berikan rehidrasi oral seperti oralit, yang mana
oralit juga sangat dianjurkan ketika terjadi muntah dan diare. Semua
minuman yang mengandung kafein, seperti kopi dan minuman soda harus
dihindari. Kafein akan memperburuk dehidrasi karena menyebabkan
peningkatan potensi buang air kecil.
b) Terapi dehidrasi sedang hingga berat
Dehidrasi sedang hingga berat biasanya membutuhkan rawat inap
dan perawatan intensif di rumah sakit. Cairan intravena diberikan berikut
penggantian cairan elektrolit. Elektrolit dan parameter penting lainnya,
seperti tanda-tanda vital harus dipantau secara kontinyu. Untuk kasus
dehidrasi yang komplikasinya sampai mengancam jiwa seperti gagal ginjal
dan syok hipovolemik, maka diperlukan tindakan-tindakan penunjang
kehidupan.
1.3 Hipotiroid
1.3.1 Definisi
Hipotiroid merupakan sindrom klinik yang diakibatkan dari tidak
cukupnya sekresi hormon tiroid dari kelenjar tiroid karena kelenjar tiroid
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

mengalami kerusakan atau kegagalan hipotalamus (Chisholm-Burns et al.,


2016). Hipotiroidisme juga dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma
klinis akibat penurunan produksi dan sekresi hormon tiroid. Hal tersebut
akan mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh dan penurunan
glukosaminoglikan di interstisial terutama dikulit dan otot (Suwondono,
2008). Hipotiroid congenital merupakan kekurangan hormone tiroid pada
bayi baru lahir. Hormon ini berfungsi untuk mengatur produksi panas
tubuh, metabolisme, pertumbuhan tulang, syaraf, serta pertumbuan dan
perkembangan otak. Kekurangan hormon tiroid pada bayi dan masa awal
kehidupan, bisa mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan retardasi
mental. Hipotiroid kongenital (HK) adalah salah satu penyebab retardasi
mental pada anak yang dapat dicegah jika diketahui dan diterapi sejak dini.
1.3.2 Etiologi
Hipotiroid dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Hipotiroidisme primer terjadi akibat kegagalan tiroid memproduksi
hormon tiroid.
2. Hipotiroidisme sekunder adalah akibat defisiensi hormon TSH yang
dihasilkan oleh hipofisis.
3. Hipotiroidisme tersier disebabkan oleh defisiensi TRH yang dihasilkan
oleh hipotalamus.
4. Resistensi jaringan tubuh terhadap hormon tiroid
Penyebab terbanyak hipotiroidisme adalah akibat kegagalan produksi
hormon tiroid oleh tiroid (hipotiroidisme primer) (Devdhar, 2007;
Soewondo, 2008).
1.3.3 Patofisiologi
Sebagian besar hipotiroidisme primer dikarenakan kegagalan kelenjar
tiroid akibat tiroiditis autoimun kronis (penyakit Hashimoto). Defisit dari
limfosit T-supresor menyebabkan Limfosit T-helper yang tersisa
bermutasi dan menyerang antigen pada membran tiroid yang akan
merangsang limfosit B untuk menghasilkan antibodi tiroid. Hipotiroidisme
iatrogenik dikarenakan paparan radiasi yang merusak, setelah tiroidektomi
total, atau dengan dosis thionamide berlebihan yang digunakan untuk
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

mengobati hipertiroidisme. Penyebab lain hipotiroidisme primer meliputi


defisiensi iodium, defisiensi enzimatik di dalam tiroid, hipoplasia tiroid,
dan goitrogen. Hipotiroidisme sekunder dikarenakan kegagalan kelenjar
pituitari dan hipofisis. Kegagalan kelenjar pituitari jarang terjadi,
Insufisiensi hipofisis mungkin disebabkan oleh penghancuran tirotrof oleh
tumor hipofisis, terapi bedah, radiasi pituitari eksternal, nekrosis hipofisis
pascapartum (sindrom Sheehan), trauma, dan proses infiltratif kelenjar
pituitari (misalnya tumor metastatik, tuberkulosis).
1.3.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis hipotiroid seperti kelelahan, kehilangan energi, lesu, nafsu
makan turun, intoleransi dingin, kulit kering, rambut rontok, nyeri otot,
nyeri sendi, kelemahan pada ekstremitas, depresi, sembelit, penglihatan
kabur, penurunan pendengaran (Emedicine.medscape.com, 2017).
Gambaran klinis hipotiroid dapat melebar, mulai dari cepat lelah atau
mudah lupa, tidak tahan dingin, berat badan naik, konstipasi, kejang otot
sampai dengan gangguan kesadaran berat (koma miksedema) (Suwondo,
2008).
1.3.5 Penatalaksanaan terapi
Rekomendasi terapi hipotiroid adalah L-T4 (levotiroksin) merupakan satu-
satunya obat untuk hipotiroid koningetal.Levotiroksin diberikan sesegera
mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Terapi terbaik dimulai sebelum
bayi berusia 2 minggu. Dosis awal levotiroksin adalah 0-15μg/kgBB/hari.
Dosis selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan TSH dan T4
berkala dengan dosis perkiraan sesuai umur (Suwondo, 2008).
Tabel 2. Dosis Awal Euthyrox berdasarkan Umur dan Berat Badan
(Devdhar, 2007)
Umur Dosis (mcg/kg/hari)
0-3 bulan 10-15
4-6 bulan 8-10
7-12 bulan 6-8
1-5 tahun 5-6
6-12 tahun 4-5
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

>12 tahun (remaja awal) 2-3


>12 tahun (remaja akhir) 1,7

Monitoring serum total atau serum bebas T4 dan TSH harus di pantai
secara rutin pada pediatri yang memakai levothyroxine. Penyesuaian dosis
harus dilakukan jika terjadi perubahan berat badan yang signifikan serta
bertambahnya umur. Penilaian TSH harus dilakukan 4-6 minggu setelah
perubahan dosis.
1.4 Laringomalasia
Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa flaksiditas
dan tidak ada koordinasi antara kartilago supraglotik, mukosa aritenoid, plika
ariepiglotika dan epiglotis. Akibatnya terjadi kolaps dan obstruksi saluran
napas yang menimbulkan gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada
bayi dan anak.
Penyebab laringomalasia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti,
namun terdapat tiga teori yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia yaitu
teori anatomi, teori kartilago dan teori neurogenik.6 Teori anatomi
menyatakan anatomi laring pada neonatus memiliki bentuk yang khusus yaitu
(a) epiglotis dapat berbentuk tubular, atau omega dan relatif lebih panjang
dibandingkan dengan panjang laring, (b) epiglotis dapat jatuh ke bagian
posterior dan ikut serta dalam flasid supraglotis tersebut, (c) lipatan
ariepiglotika yang panjang, relatif lebih besar, dan memiliki mukosa yang
lunak, dan (d) lipatan ariepiglotika pada bagian medial dan inferior dari
supraglotis dapat menyebabkan penyempitan lumen.7 Teori kartilago
menyatakan kartilago laring yang belum matang memiliki kelenturan
abnormal. Teori neurogenik menyatakan tidak berkembangnya atau integritas
yang abnormal dari sistem saraf pusat dan inti batang otak yang bertanggung
jawab untuk bernafas dan patensi jalan nafas.
Klasifikasi gambaran penyakit laringomalasia berdasarkan beratnya stridor
dan gejala makan, terdiri dari ringan, sedang dan berat. Laringomalasia ringan
terjadi pada 40% kasus dimana tidak berhubungan dengan gangguan makan.
Laringomalasia sedang terjadi pada 40% kasus, terdapat stridor dengan gejala
gangguan makan dan saturasi oksigen ≤96%. Laringomalasia berat terjadi
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

pada 20% kasus, terdapat stridor, gejala yang berhubungan


dengan gangguan makan, sianosis, aspirasi, gagal tumbuh dan saturasi oksigen
≤86%.
Penanganan bayi dengan gejala stridor yang lebih keras dan mengganggu
tidur dapat diatasi dengan memperbaiki posisi bayi. Bayi hipoksemia berat
(saturasi oksigen <90%) dapat diberikan oksigen. Laringomalasia yang
berhubungan dengan refluks asam lambung diberikan terapi empiris reflux
berupa reseptor histamine H2 antagonis (ranitidin 3 mg/kg tiga kali sehari)
atau PPI (1–2 mg/kg perhari). Terapi lain adalah pemberian modifikasi
makanan. Laringomalasia dapat sembuh spontan pada sebagian besar kasus
dan terjadi pada usia 12 sampai 24 bulan. Lesi sembuh secara berkala, dan
stridor rata-rata hilang setelah usia 2 tahun. Stridor dapat menetap hingga
dewasa pada beberapa kasus (Saputri dkk, 2016).
1.5 Atrial Septal Defect (ASD)
Atrium Septal Defect (ASD) merupakan sistem perhubungan atau bukaan
antara atrium yang menghasilkan aliran darah yang tidak semestinya antara dua
ruang. Dikarenakan tekanan pada atrium kiri lebih besar, darah selalu mengalir
dari atrium kiri melewati ASD dan masuk ke atrium kanan, ASD terbatas
ketika ASD cukup kecil untuk menyediakan resistensi aliran melewati septum,
ASD tidak terbatas ketika terbuka cukup lebar sehingga mengimbangi tekanan
yang terjadi pada kedua atrium. Ketika anak memiliki cacat jantung bawaan
sianotik, ASD dapat memberikan atau menyediakan aliran darah yang penting
yang dapat membebaskan campuran darah arteri dan vena dikedua atrium
(UCSF, 2018).
Selama kehidupan janin, sebagian besar darah yang mencapai atrium kiri
datang melalui foramen ovale karena aliran minimal ke paru-paru. Setelah
lahir, paru – paru mengembang dan aliran darah pulmonal meningkat.
Peningkatan aliran balik pulmonal ke atrium kiri menyebabkan tekanan atrium
kiri melebihi tekanan atrium kanan yang menyebabkan penutupan fungsional
foramen ovale. Fisiologi intrauterin tidak berubah dengan adanya ASD, tetapi
tidak seperti PFO, ASD tidak menutup dengan perubahan hemodinamik yang
terjadi setelah kelahiran. Konsekuensi fisiologis ASD bergantung pada besar
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

dan lamanya aliran yang tidak normal dan interaksinya dengan vaskular
pulmonal. Penentu utama dari besarnya dan arah aliran yang tidak normal
adalah kepatuhan yang relatif dari ventrikel. Selama periode transisi neonatal
ketika terjadi resistensi pembuluh darah paru menurun dan dinding ventrikel
kanan menjadi lebih tipis dan karenanya lebih sesuai dibandingkan dengan
ventrikel kiri, ada peningkatan pirau kiri ke kanan. Studi berbasis kateter pada
dinamika aliran di ASD memberikan wawasan tentang pola sirkulasi selama
berbagai fase siklus jantung. Aliran tidak normal dari pirau kiri ke kanan
maksimum terjadi selama diastole ketika keempat ruang jantung saling
berhubungan. Kontraksi atrium lebih lanjut menambah aliran semakin tidak
normal. terjadinya pirau kanan-ke-kiri yang kecil, terutama dari darah IVC
dapat terjadi selama diastole awal atau selama permulaan sistol. Besar dan
jumlah aliran tidak normal bervariasi dengan siklus pernafasan. Selama
inspirasi, ketika tekanan intratoraks menurun, ada penurunan pirau kiri ke
kanan di ASD. Sebaliknya, selama ekspirasi, ketika tekanan intratoraks
meningkat, ada peningkatan pirau kiri ke kanan (Allen, H.D., 2013).
Manajemen terapi ASD yaitu sebagai berikut :
 Batasan latihan tidak diperlukan, kecuali simtomatik.
 Penutupan non bedah dari defek menggunakan penutupan kateter yang
diberikan perangkat telah menjadi metode yang disukai, asalkan indikasi
tepat.
 Perangkat ini hanya berlaku untuk ASD sekundum. Penggunaan dari
perangkat penutup dapat diindikasikan untuk cacat dengan diameter
berukuran ≥5 mm (tetapi kurang dari 32 mm untuk perangkat Amplatzer
dan kurang dari 18 mm untuk perangkat Helex) dengan bukti volume RA
dan RV kelebihan beban.
 Di Amerika Serikat, saat ini Amplatzer septal occluder (AGA Medis) dan
Helex septum oklusi (W. L. Gore dan Associates) disetujui untuk penutupan
ASD sekundum.
 Harus ada cukup rim (4 mm) jaringan septum di sekitar defek untuk
penempatan perangkat yang tepat.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

 Ukuran lingkaran di sekitar ASD dapat diperkirakan dengan 2D echo


sebagai diagram yang ditunjukkan pada Gambar 1-4. Ukuran pelek
diperkirakan dalam empat arah: anterosuperior, anteroinferior,
posterosuperior, dan posteroinferior.
 Perangkat ASD dapat ditanamkan dengan sempurna pada anak usia kurang
dari 2 tahun, meskipun berat> 15 kg lebih.
 Setelah penutupan perangkat, pasien diberikan aspirin 81 mg per hari
selama 6 bulan.
 Keuntungan penutupan non bedah mencakup kurang dari 24 jam rawat inap
di rumah sakit, pemulihannya cepat, dan tidak ada bekas luka torakotomi
 Tingkat penutupan sangat baik dengan sisa aliran tidak normal sangat kecil
yang terlihat kurang dari 5% setelah dilakukan followup 1 tahun. (Park,
M.K., 2016)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB II
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Inisial pasien: An. AA Berat Badan: 8,8 kg Ginjal : -


Umur : 2 tahun Tinggi Badan: 82 cm Hepar : -

Keluhan utama :
Diare berlendir, berampas, batuk, dan sesak nafas

Diagnosis :
Diare akut dehidrasi ringan sedang + Hipotiroid + Laringomalasia + ASD
Secundum Kecil

Alasan MRS :
Diare, batuk, dan sesak nafas

Riwayat penyakit : Laringomalasia

Riwayat pengobatan :-

Alergi : - Obat-obat tradisional : -


Kepatuhan : - OTC : -
Alkohol : - Lain-lain : -
Merokok : -
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Catatan Perkembangan Pasien Inisial pasien: An. AA


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
7/4/2019 Keluhan : Pasien mengalami diare sejak kemarin (7x), hari
ini (4x), BAB berlendir dan berampas, batuk dan sesak
nafas. Pasien memiliki riwayat penyakit laringomalasia.
Pemeriksaan : T : 36,8oC; nadi 100x/menit; RR 28x/menit,
SPO2: 98%, GCS : 456
Laboratorium : Hb : 12,0 g/dL; Leu: 14.800/mm3,
Trombosit: 48.000/mm3; K: 3,7 mEq, Na: 107 mEq, Cl: 78
mEq; Ca: 8,8 mEq
Terapi : KAEN 3B 450ml/jam
8/4/2019 Keluhan : Pasien megalami diare (7x) berlendir dan
berampas, batuk, nafas grok-grok, dan tidak sesak.
Pemeriksaan : T : 36,8oC; nadi 102x/menit; RR 28x/menit,
SPO2: 98%, GCS : 456
Terapi : NaCl 0,9% 90 ml dalam 1 jam; Zinc 20 mg/ 24 jam
po; euthyrox 37,5 mcg/ 24 jam po; spironolakton 6,25 mg/
12 jam; lisinopril 0,8 mg/ 24 jam
9/4/2019 Keluhan : Diare sudah berkurang, batuk dan nafas grok-
grok
Pemeriksaan : T : 37,8oC; nadi 102x/menit; RR 30x/menit,
SPO2: 98%, GCS : 456
Terapi : Zinc 20 mg/ 24 jam po; euthyrox 37,5 mcg/ 24 jam
po; spironolakton 6,25 mg/ 12 jam; lisinopril 0,8 mg/ 24 jam
10/4/2019 Pasien KRS
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DATA PENGOBATAN PASIEN

No. RM : 12.58.xx.xx Ruang asal IGD Diagnosis : Diare Akut Dehidarasi Ringan Tgl. MRS / KRS : 7 April 2019/ 9 April 2019
Nama / umur : An. AA/ L Sedang + Hipotiroid + Keterangan : Sembuh / Pulang Paksa /
BB / TB / : 8,8 kg / 82 cm / - m2 Laringomalasia + ASD KRS Meninggal
LPT Secundum Kecil Pindah : 8 April 2019
Alamat : Bulak Setro Alasan MRS / : Diare berlendir, ada ampas, ruangan/Tgl
Riwayat : Tidak ada batuk, nafas sesak Nama Dokter : Prof. Dr. H. S. MS., dr.,
Alergi Riwayat : - SpA(K)
penyakit Nama Apoteker : Nina Sapti H., S. Farm.

N Tanggal Pemberian Obat


Nama Obat dan Dosis Regimen
o 7/4 8/4 9/4
1 KAEN 3B 450 ml / jam √ - -
2 NaCl 0,9% 90 ml dalam 1 jam - √ //
3 Zinc 20 mg / 24 jam po - √ √
4 Probiotik 1 sachet / 24 jam po - √ √
5 Euthyrox 37,5 mcg / 24 jam po - √ √
6 Spironolakton 6,25 mg / 12 jam po - √ √
7 Lisinopril 0,8 mg / 24 jam po - √ √
Catatan :
 Riwayat pengobatan : Zinc, L-Bio, Sanmol
 Hasil photo thirax :-
 Riwayat operasi :-
 Hasil Kultur :
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Nama Pasien : An. AA No. RM : 12.58.xx.xx


Tanggal  RR meningkat adalah kompensaai dari sesak
No DATA KLINIK
7/4 8/4 9/4 napas
 Sesak napas merupakan tanda dari hipotiroid
1 Suhu (36-37,5oC) 36,8 36,8 37,8  Dari tanda klinis tersebut, dapat diketahui terdapat
2 Nadi (60 – 100x/menit) 100 102 102 tanda-tanda SIRS yiatu RR>2o bpm dan nadi>90
3 RR (18-20 x /menit) 28 28 30 bpm. Munculnya tanda-tanda SIRS pada pasien
4 Tekanan Darah (120/80 x/menit) - - - dapat dimungkinkan karena adanya infeksi oleh
5 SPO2 98% 98% - bakteri
6 KU / GCS 456 456 456  Diare yang dialami pasien konsistensi cair
7 Kejang / MS - - - bercampur ampas dan berlendir
8 Rh / Wh - - -
9 Mual - - -
10 Batuk batuk batuk batuk
11 Produksi Urin - - -
12 Produksi Drain - - -
13 BAB diare diare -
DATA LABORATORIUM Tanggal Komentar
No
(yang penting) 7/4 8/4  Penurunan kadar serum elektrolit (7/4) menunjukkan adanya
1 DL : Hb (13,3-16,6) 12,0 terdapat penurunan elektrolit akibat diare
2 Leukosit (3,37–10) x 103 14,8  Peningkatan jumlah leukosit menunjukkan adanya infeksi
3 Trombosit (150-450) x 103 480
4 RBC 4,56
5 Diff. Count : eo/baso/btg/seg/limf/mono
6 ANC
7 SE : K (3,8 – 5) 3,7 4,4
8 Na (136 – 144) 107 138
9 Cl / Phospat (97-103) Cl = 78 Cl=101
10 Ca / Mg Ca = 8,8 Ca=8,6
11 HCT (41,3-52,1) 35,9 %
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ANALISA TERAPI
Tanggal Regimen Indikasi pada Pemantauan
Terapi Rute Komentar
Pemberian Dosis pasien Kefarmasian
Pada kasus diare anak, elektrolit yang paling banyak hilang
adalah Natrium, Kalium, dan Klorid sehingga dibutuhkan
terapi cairan yang dapat menggantikan. KAEN 3B
Rehidrasi dan merupakan terapi cairan rumatan untuk menggantikan
Kadar elektrolit
7/4/2019 KAEN 3B IV 450ml/jam replacement cairan elektrolit tubuh pasien yang hilang akibat diare atau
tubuh
cairan muntah (Agro, 2013). KAEN 3B juga mempunyai
komposisi dextrose sehingga dapat digunakan sebagai
support nutrisi. Infus KAEN 3B digunakan sebagai
rehidrasi terapi untuk rehidrasi 4 jam pertama diare
Rehidrasi Kadar elektrolit ORT yang direkomendasikan untuk diare akut adalah NS
8/4/2019 NaCl 0,9% IV 90ml/jam
cairan tubuh 0,9 % atau Ringer Laktat.
Zinc merupakan terapi tambahan untuk mengurangi
keparahan diare (WHO,2012). Hal ini dikarenakan zinc
dapat meningkatkan penyerapan air dan elektroit,
meningkatkan regenerasi epitel usus, dan meningkatkan
Mengurangi kekebalan tubuh, dan memungkinkan untuk pembersihan
20mg/ 24 Frekuensi dan yang lebih baik dari patogen. Dosis yang
8/4/2019 Zinc PO keparahan
jam lamanya diare direkomendasikan untuk anak yaitu 1 tablet (20 mg) tiap
diare
24 jam, diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc aman
dikonsumsi bersamaan dengan oralit. Zinc diberikan satu
kali sehari sampai semua tablet habis (selama 10 hari)
sedangkan oralit diberikan tiap kali pasien BAB sampai
diare berhenti.
1 sachet/ Membantu Frekuensi dan Pada kondisi diare banyak bakteri patogen sehingga dapat
8/4/2019 Probiotik PO
24 jam memperbaiki lamanya diare memicu toksin yang menyebabkan diare. Bakteri patogen
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

keseimbangan ini juga termasuk dalam flora normal di usus. Untuk


flora normal mengembalikan keseimbangan flora normal di usus maka
usus perlu probiotik. Komposisi probiotik mirip dengan flora
normal sehingga jika probiotik ini ditambahkan dapat
membantu menyeimbangkan bakteri yang menguntungkan
dan bakteri yang merugikan. Probiotik sebaiknya
digunakan selama 5 hari (Grouzard, 2010)
Rekomendasi terapi hipotiroid adalah L-T4 (levotiroksin)
merupakan satu-satunya obat untuk HK. – Levotiroksin
diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan.
Terapi
Mengatasi terbaik dimulai sebelum bayi berusia 2 minggu. Dosis awal
8/4/2019 Euthyrox PO 37,5 mcg Hormon TSH
hipotiroid levotiroksin adalah 10-15 μg/kgBB/hari. Dosis selanjutnya
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan TSH dan FT4
berkala dengan dosis perkiraan sesuai umur (Suwondo,
2008). Dosis Euthyrox pada pasien=(5–6 µg/kgBB) x 8,8
kg = 44-52,8 mcg
Urin output,
Urin output, geala klinis (dilakukan selama pemberian
Terapi CHD gejala klinis,
terapi furosemid)  untuk melihat respon terapi.
(VSD, ASD, keseimbangan
6,25 mg/ Keseimbangan cairan, serum elektrolit, bikarbonat, fungsi
8/4/2019 Spironolakton PO PDA) dan cairan, serum
12 jam renal dan TD (dilakukan secara periodik)  Keseimbangan
Terapi Gagal elektrolit,
cairan harus dikontrol dengan hati-hati, gangguan elektrolit
Jantung bikarbonat, fungsi
dan alkalosis metabolik dapat terjadi
renal
Pemberian terapi golongan ACEI dapat memperbaiki
Gejala klinis
0,8mg/24 Terapi Gagal fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
8/4/2019 Lisinopril PO sesak, nyeri dada,
jam Jantung rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
batuk, edema.
meningkatkan angka kelangsungan hidup. (PERKI, 2015).
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ASUHAN KEFARMASIAN
Masalah :

Hari /
No Kode Masalah Uraian Masalah Rekomendasi
Tanggal
1. Senin, 3b. Kurang dosis obat Pasien (BB 8,8 kg) mendapatkan Dosis euthyrox : usia 1-5 tahun = 5-6 mcg/kg/hari
8/4/2019 mendapat terapi euthyrox dengan Perhitungan dosis : (5-6) mcg x 8.8 kg = 44 -52.8
dosis 37,5 mcg / 24 jam

mcg/hari

2. Senin, 8a. Interaksi obat- Pemberian terapi spironolakton dan P : Penggunaan deuretik hemat kalium dan ACE-I dapat
8/4/2019 obat lisinopril menimbulkan hiperkalemi

MONITORING

No Parameter Tujuan Monitoring


 Perubahan fungsi ginjal mungkin memerlukan dosis atau tingkat infus yang berbeda pada
1 Fungsi Ginjal (Cr, SCr) penggunaan spironolakton
 Penggunaan lisinopril dapat memperburuk fungsi ginjal sehingga perlu dimonitoring
Konsistensi feses dan Mengetahui efektifitas pemberian Zinc, dan probiotik untuk memperpendek dan
2
frekuensi BAB memperbaiki diare yang dialami pasien
3 Kadar TSH dan T4 Monitoring efektivitas penggunaan Euthyrox
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

PEMBERIAN KONSELING DAN INFORMASI OBAT

Informasi Obat kepada Pasien/Keluarga Pasien


No. Obat Materi Konseling
1. Zinc 20 mg/ 24 jam PO Zinc digunakan untuk mengurangi keluhan diare . Cara penggunaan : Zinc diminum satu kali sehari 1 tablet (20
mg) setelah makan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada saluran cerna. Cara melarutkan tablet Zinc yaitu
letakkan tablet dengan air secukupnya pada sendok makan → biarkan sebentar hingga tablet larut sempurna
(sekitar 30 detik) → Segera minumkan pada anak.
2. Probiotik 1 sachet/24 jam Probiotik digunakan sebagai probiotik untuk memelihara kesehatan pencernaan. Cara penggunaan : Probiotik
PO diminum satu kali sehari dapat setelah atau sebelum makan. Stabilitas : simpan pada suhu 2-8◦C (dalam lemari
es) (WHO, 2012)
3. Euthyrox 37,5 mcg/ 24 Euthyrox merupakan obat untuk mengatasi hipotiroid dimana penggunaanya saat perut kosong yaitu ½ - 1 jam
jam PO sebelum sarapan atau 2 jam setelah sarapan. Sebaiknya membatasii/ menghindari konsumsi makanan/minuman
mengandung kedelai (bila tetap mengkonsumsi sebaiknya diberi jarak dari penggunaan euthyrox) (Devdhar M,
2007)
4. Spironolakton 6,25 mg/12 Spironolakton digunakan untuk terapi gagal jantung, diminum dua kali sehari setelah makan.
jam PO
5. Lisinopril 0,8 mg/ 24 jam Lisinopril digunakan untuk terapi gagal jantung, diminum sekali sehari setelah makan. (PERKI, 2015)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DAFTAR PUSTAKA

Allen, H.D., Driscoll, D.J., Shaddy, R.E., Feltes, T.F. 2013. Heart Disease In
Infacts, Children, and Adolescents Including the Fetus and Young Adult. 8th
ed. Volume 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p.672-959.
Berardi, R. R., Ferreri,, S. P., Hume, A. L., Kroon, L. A., Newton, G. D.,
Popovich, N. G., Remington, T. L., Rollins, C. J., Shmp, L. A., Tieze, K. J.
2009. Diarrhea. Handbook of Nonprescripton Drugs. Washington :
Americn Pharmacist Association. pp 289-301.
Chisholm-Burns, M. A., et al., 2016. Pharmacotherapy Principles & Practice. 4th
Editio. New York: McGraw-Hill Education
Devdhar M, Ousman YH, Burman KD. 2007. Hypothyroidism. Washington.
Endocrinol Metab Clin N Am. 36: 595-615
Mims, B.C. and Curry, C.E., 2015. Section 21: Constipation, Diarrhea, and
Irritable Bowel Syndrome in Pharmacotherapy Principle and Practice.
USA: The Mac Graw Hill Companies. p. 338-341.
Nathan, A. 2010. Diarrhea. Non-prescription Medicines 4th edition. London :
Pharmaceutical Press. pp.85-92
Park, M.K., & Salamat M. 2016. Park’s The Pediatric Cardiology Handbook. 5th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. p.3-10; 99-204
Saputri, R. Ayu Hardianti, Melati Sudiro, Sinta Sari Ratunanda, Wijana. 2016.
Gambaran Klinis Pasien Laringomalasia di Poliklinik Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Periode Januari 2012-Maret 2015. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Suwondono P, Cahyanur R. 2008. Hipotiroidisme dan gangguan akibat
kekurangan yodium. Dalam: Penatalaksanaan penyakit penyakit tiroid bagi
dokter. Departemen ilmu penyakit dalam FKUI/RSUPNCM. Jakarta:
Interna publishing.
Sweetman, S.C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference 36th ed. New
York: Pharmaceutical Press.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

UCSF & Mt Zion Nursing Services. 2018. Congenital Heart Defect. Cardiac
Defects Book. NursePub: p.3-26.
WHO. 2012. Acute Diarrhea in Adults and Children : A Global Prespective.
World Gastroenterology Organisation.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

KASUS II
CANCER CERVIKS IIIB + PRO CISPLATIN I
+ ANEMIA (5,5)

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya


Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kanker Serviks


1.1.1 Definisi
Kanker serviks adalah keganasan yang berawal dari serviks. Serviks berada
pada sepertiga bawah uterus berbentuk silindris, menonjol dan terhubung dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum (Kemenkes RI). Gejala yang dialami di
antaranya pendarahan abnormal sesaat setelah berhubungan seks, di antara
periode menstruasi dan setelah menopaus, perubahan kondisi vagina abnormal
seperti vagina berbau, kelelahan, berat badan menurun, nyeri perut dan panggul
serta nyeri saat buang air kecil (IQWiG, 2017).
1.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Kanker serviks disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV) subtipe
onkogonik terutama subtipe 16 dan subtipe 18 (Kemenkes RI, 2105). Beberapa
faktor resiko yang dapat menyebabkan kanker serviks di antaranya:
1. Umur
Infeksi HPV menyerang usia 18-30 tahun (30-50%) beberapa tahun setelah
melakukan aktivitas seksual, menurun tajam setelah usia 30 tahun (Suwiyoga,
2006)
2. Hubungan seksual
Sel kolumner serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa,
sehingga wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun beresiko
terserang kanker serviks lima kali lipat (Suwiyoga, 2006)
3. Karakteristik pasangan
Kanker serviks lebih sering menyerang wanita dengan pasangan yang
menjalani seks aktif, memiliki kanker penis atau dari pasangan yang
sebelumnya memiliki istri yang meninggal karena kanker serviks
4. Riwayat ginekologi
Hamil di usia muda, jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak
tepat dapat meningkatkan resiko
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

5. Agen infeksius
Virus HPV (Human Papiloma Virus) sub tipe 16 dan 18 menjadi penyebab
kanker serviks (Kemenkes RI, 2015)
6. Berhubungan seksual multipartner, merokok, mempunyai anak banyak, sosial
ekonomi rendah, pil KB (dengan HPV negatif atau positif), penyakit menular
seksual dan gangguan imunitas (Kemenkes RI, 2015)
1.1.3 Patofisiologi
Lesi neoplastik sel kanker berkembang menjadi kanker invasif pada lapisan
epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau
karsinoma in situ (KIS), menembus membran basalis dan berkembang menjadi
karsinoma mikroinvasif dan invasif (Kemenkes RI, 2015). Kanker serviks
awalnya asimptomatis berlanjut menjadi pendarahan vagina abnormal, nyeri
panggul dan dyspareunia. Berdasarkan WHO, epitel tumor terbagi menjadi
squamosa, glandular (adenokarsinoma), adenosquamosa karsinoma,
neuroendokrin dan karsinoma undiferensiasi (Marth, et al, 2017).
1.1.4 Klasifikasi Lesi Prakanker hingga Karsinoma Invasif
Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining dan pemeriksaan
histopatologi sebagai konfirmasi diasnostik.
Tabel 1.1 Klasifikasi Lesi Prakanker hingga Karsinoma Invasif
Klasifikasi Sitologi Bathesda (2015) Klasifikasi Histopatologi WHO (2014)
Squamous Lesion Squamous cell tumors and precursor
A. Atypical squamous cells (ASC) A. Squamous intraepithelial lesions
 Atypical squamous cells – - Low grade Squamous
undetermined significance (ASC- intraepithelial lesions (LSIL)
US) - High grade Squamous
 Atypical squamous cells cannot intraepithelial lesions (HSIL)
exclude a high grade squamous B. Squamous cell carcinoma
intraepithelial lesion (ASC-H)
B. Squamous intraepithelial lesion
(SIL)
 Low grade Squamous
intraepithelial lesion (SIL)
 high grade Squamous
intraepithelial lesion (SIL)
- with features suspicious for
invasion
C. Squamous cell carcinoma
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Glandular lesion Glandular tumours and precursor


A. Atypical A. Adenocarcinoma in situ
 Endocervical cells B. adenocarcinoma
 Endometrial cells
 Glandular cells
B. Atypical
 Endocervical cells, favor
neoplastic
 Glandular cells, favor neoplastic
C. Endocervical adenocarcinoma in
situ (AIS)
D. Adenocarcinoma
 Endocervical
 Endometrial
 Extrauterine
 Not otherwise specified (NOS)
Other epithelial tumors
A. Adenosquamous carcinoma
B. Adenoid basal carcinoma
C. Adenoid cystic carcinoma
D. Undifferentiated carcinoma
Neuroendocrine tumors
A. Low-grade neuroendocrine tumor
B. High-grade neuroendrocrine
carcinoma

1.1.5 Diagnosis
 Deteksi dini
1. Papsmear (konvensional atau liquid-base cytology /LBC )
2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
3. Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI)
4. Test DNA HPV (genotyping / hybrid capture)
 Diagnosa
1. Anamnesis
Umumnya lesi prakanker tidak memberikan gejala. Gejala kanker
invasif adalah pendarahan dan keputihan. Gejala stadium lanjut berkembang
menjadi nyeri pinggul atau perut bawah karena desakan tumor sampai oligo
atau anuria. Gejala lanjutan sesuai infiltrasi tumor ke organ yang terkena
seperti fistula vesikovaginal, rektovaginal dan edema tungkai.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks,
sistoskopi, rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan , CT scan
atau MRI, PET scan (Kemenkes RI, 2015)
1.1.6 Klasifikasi Stadium Kanker Serviks
Tabel 1.2 Klasifikasi Stadium Kanker Serviks menurut FIGO (Kemenkes RI, 2015)
0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif)
I Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus
dapat diabaikan)
IA Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop.
Semua lesi yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi
hanya superfisial, dimasukkan ke dalam stadium IB
IA1 Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0
mm atau kurang pada ukuran secara horizontal
IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0 mm
dengan penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di seviks atau secara
mikroskopik lesi lebih besar dari IA2
IB1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar
4,0 cm atau kurang
IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar
lebih dari 4,0 cm
II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding
panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIA1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar
4,0 cm atau kurang
IIA2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar
lebih dari 4,0 cm
IIB Tumor dengan invasi ke parametrium
III Tumor meluas ke dinding panggul/ atau mencapai 1/3 bawah
vagina dan/ atau menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai
dinding panggul
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan/ atau
menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/
atau meluas keluar panggul kecil (true pelvis)
IVB Metastasis jauh (termasuk penyebaran pada peritoneal,
keterlibatan dari kelenjar getah bening supraklavikula,
mediastinal, atau para aorta, paru, hati atau tulang)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.1.7 Penatalaksanaan Terapi


- Penatalaksanaan lesi prakanker
Deteksi dini dilakukan skrining tes Pap smear dan tes IVA dengan single visit
approach atau see and treat program. Metode terapi lesi prakanker serviks:
1. Terapi NIS dengan destruksi lokal
a. Krioterapi
b. Elektrokauter
c. Diatermi elektrokoagulasi
d. Laser
- Penatalaksanaan kanker serviks invasif
Tabel 1.3 Penatalaksanaan kanker serviks invasif (Kemenkes RI, 2015)
No. Stadium Metode
1 0 / KIS Konisasi (Cold Knife Conization) Bila margin bebas,
konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan
fertilitas. Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-
konisasi.
Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total. Bila
hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai tatalaksana
kanker invasif.
2 IA1 (LVSI Konisasi Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat)
negatif) apabila fertilitas dipertahankan.(Tingkat evidens B).
Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple
histerektomi. Histerektomi Total apabila fertilitas tidak
dipertahankan
3 IA1 (LSVI Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik
positif) apabila fertilitas dipertahankan. Bila operasi tidak dapat
dilakukan karena kontraindikasi medik dapat dilakukan
Brakhiterapi
4 IA2, IB1, IIA1 a. Operatif : histerektomi radikal dengan
limfadenektomi pelvik, ajuvan radioterapi (RT) atau
kemoradiasi, ajuvan radiasi eksterna (EBRT)
b. Non operatif : radiasi (EBRT dan brakiterapi),
kemoradiasi (EBRT dengan kemoterapi konkuren
dan brakiterapi)
5 IB2 dan IIA2 a. Operatif (Rekomendasi A) : histerektomi radikal
dan pelvik limfadenektomi
b. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
6 IIB a. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
b. Radiasi (Rekomendasi B)
c. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
d. Histerektomi ultraradikal, laterally extended
parametrectomy
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

7 IIIA → IIB a. Kemoradiasi (Rekomendasi A)


b. Radiasi (Rekomendasi B)
8 IIIB dengan a. Nefrostomi/hemodialisa
CKD b. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin
c. Radiasi
9 IVA tanpa CKD a. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal,
direkomendasi terlebih dahulu dilakukan kolostomi,
dilanjutkan :
b. Kemoradiasi Paliatif, atau
c. Radiasi Paliatif
10 IVA dengan a. Paliatif
CKD, IVB b. Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif /
radiasi paliatif dapat dipertimbangkan.

- Dukungan nutrisi
Tatalaksana nutrisi umum mencakup kebutuhan nutrisi umum (termasuk
penentuan jalur pemberian nutrisi), farmakoterapi, aktivitas fisik, dan terapi
nutrisi operatif (lihat lampiran). Pasien kanker serviks dapat mengalami gangguan
saluran cerna, berupa diare, konstipasi, atau mual-muntah akibat tindakan
pembedahan serta kemo- dan atau radio-terapi. Pada kondisi-kondisi tersebut,
dokter SpGK perlu memberikan terapi nutrisi khusus, meliputi edukasi dan terapi
gizi serta medikamentosa, sesuai dengan masalah dan kondisi gizi pada pasien.
1. Nutrisi umum
Rumus Rule of Thumbs
a. Pasien ambulatory : 30-35 kkal/kgBB/hari
b. Pasien bedridden : 20-25 kkal/kgBB/hari
c. Pasien obesitas : menggunakan BB ideal
Direkomendasikan kebutuhan energi total pasien kanker sekitar 25-30
kkal/kgBB/hari
2. Makronutrien
a. Protein : 1,2-2,0 g/kgBB/hari, disesuaikan dengan fungsi ginjal dan
hati
b. Lemak : 25-30% dari energi total pasien kanker umum. 35-50% dari
energi total pasien kanker stadium lanjut dengan penurunan
BB
c. Karbohidrat : sisa perhitungan protein dan lemak
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

3. Mikronutrien, direkomendasikan vitamin dan mineral sebesar satu kali


AKG
4. Cairan
a. <55 tahun : 30-40 ml/kgBB/hari
b. 55-65 tahun : 30 ml/kgBB/hari
c. >65 tahun : 25 ml/kgBB/hari
5. Nutrien spesifik, diberikan pada pasien dengan kondisi tertentu
1.1.8 Regimen Terapi
1. Kanker serviks lanjutan lokal
a. Lini pertama dengan radioterapi
Tabel 1.4 Regimen kanker serviks lanjutan lokal (NCCN, 2014)
Regimen Dosis
Cisplatin 40 mg/m2 IV sekali seminggu sampai 6 dosis (dosis total tidak
melebihi 70 mg tiap minggu)
Cisplatin + 5FU Hari ke1 dan 29 : cisplatin 50 mg/m2 IV infus (4 jam sebelum sinar
eksternal radioterapi) pada 1 mg/menit dengan hidrasi standar
Hari ke2-5, dan 30-33 : 5FU 1000 mg/m2 IV kontinu selama 24
jam (total dosis 4000 mg/m2 setiap rangkaian)
Cisplatin + 5FU Hari ke1-5 radioterapi : cisplatin 75 mg/m2 IV selama 4 jam diikuti
5FU 4000 mg/m2 IV selama 96 jam (dimulai kemoterapi dalam 16
jam setelah radioterapi). Siklus diulangi setiap 3 minggu untuk 2
siklus tambahan
Cisplatin + 5FU + Hari ke1 dan 29 : cisplatin 50 mg/m2 IV diikuti 4000 mg/m2 5FU
hidroksiurea selama 96 jam dan hidroksiurea 2000 mg po dua kali seminggu
selama 6 minggu
Cisplatin + Terapi induksi : cisplatin 40 mg/m2 IV selama 1 jam diikuti
gemcitabine + gemcitabin 125 mg/m2 IV selama 30-60 menit. Siklus diulangi
radioterapi + setiap minggu selama 6 minggu (kedua obat diberikan 1-2 jam
brankiterapi sebelum sinar eksternal radioterapi 50.4Gy dalam 28 fraksi).
Jadwal kemoterapi lengkap tersebut harus langsung diikuti
brankiterapi 30-35Gy dalam 96 jam.
Terapi ajuvan (diikuti 2 minggu istirahat) : hari 1 cisplatin 50
mg/m2 dan hari ke1 dan 8 gemcitabin 1000 mg/m2. Ulangi siklus
setiap 3 minggu untuk 2 siklus
2. Kanker serviks metastasis atau kekambuhan
Tabel 1.5 Regimen kanker serviks metastasis atau kekambuhan (NCCN, 2014)
Regimen Dosis
Lini pertama dengan radioterapi
Paclitaxel + Hari 1 : paclitaxel 135 mg/m2 IV selama 1 jam
cisplatin Hari 2 : cisplatin 50 mg/m2 IV dengan kecepatan 1 mg/menit
Ulangi siklus setiap tiga minggu untuk 6 siklus
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Carboplatin + Hari 1 : paclitaxel 175 mg/m2 IV selama 3 jam diikuti


paclitaxel carboplatin dalam 500 ml 5% dextrosa/air selama 1 jam. Siklus
diulangi setiap 3 minggu selama 6-9 siklus sampai progres
penyakit atau toksisitas tidak bisa diterima
Cisplatin + Hari 1-3 : topotecan 0,75 mg/m2 IV selama 30 menit diikuti
topotecan hari 1 cisplatin 50 mg/m2 IV. Ulangi siklus setiap 3 minggu
Cisplatin + Hari 1 dan 8 : ciplatin 30 mg/m2 diikuti gemcitabine 800
gemcitabine mg/m2. Ulangi siklus setiap 4 minggu
Lini pertama monoterapi
Cisplatin Hari 1 : cisplatin 50 mg/m2 dengan kecepatan 1 mg/menit.
Ulangi siklus setiap 3 minggu untuk total 6 siklus
Lini kedua
Bevacizumab Hari 1 : bevazicumab 15 mg.kg IV. Ulangi sikus setiap 3
minggu
Docetaxel Hari 1 : docetaxel 100 mg/m2 IV selama 1 jam. Ulangi siklus
setiap 3 minggu
Gemcitabine Hari 1, 8 dan 15 : gemcitabine 800 mg/m2 IV selama 30 menit
dengan 1 minggu istirahat sampai progres atau efek samping
melarang terapi lebih lanjut (NCCN, 2014

2.1 Anemia
Anemia adalah suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (RBC) yang menghasilkan penurunan
kapasitas darah pembawa oksigen. Berdasarkan WHO, anemia didefinisikan
apabila Hb <13 g/dl pada pria dan <12 g/dl pada wanita (Dipiro, 2015). Pada
kasus ALL, anak biasanya akan mengalami anemia (lebih dari 50%) baik
disebabkan oleh keganasan atau kanker dan terapinya (Rouli and Amalia, 2005).
1.1.1 Definisi
Gejala dan tanda anemia tergantung kecepatan perkembangan, umur dan
status kardiovaskular pasien. Anemia akut ditandai dengan gejala
kardiorespiratori seperti takikardia, sakit kepala, dan kesulitan bernapas. Anemia
kronis ditandai dengan kelemahan, kelelahan, sakit kepala, gejala gagal jantung,
vertigo, dingin, warna kulit memudar, dan pucat (Dipiro, 2015).
1.1.2 Gejala Klinis dan Penyebab Anemia
a. Penyebab umum
- Infeksi kronis : tuberkulosis, infeksi paru, HIV, endokarditis bakterial
subakut, osteomyelitis, infeksi saluran kemih
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

- Inflamasi kronis : reumatoid artitis, SLE, inflamatory bowel disease,


osteoartitis, gout, penyakit vaskular dan hepar
- Malignan : karsinoma, limfoma, leukemia, myeloma
b. Penyebab jarang terjadi
- Penyakit hepar akibat alkohol
- Gagal jantung kongestive
- Tromboplebitis
- PPOK
- Penyakit jantung iskemi (Dipiro, 2015).
1.1.3 Etiologi
Penyebab anemia pada penyakit keganasan atau kanker bersifat
multifaktorial. Anemia akibat hiploplasi sumsum tulang akan terlihat penurunan
jumlah retikulosit. Nilai MCV dapat digunakan untuk memperkirakan etiologi
anemia. Peningkatan nilai MCV menggambarkan suatu defisiensi nutrisi seperti
vitamin B12 dan asam folat atau efek kemoterapi seperti metotreksat atau
hidroksiurea. Penurunan nilai MCV umumnya menunjukkan defisiensi besi atau
anemia karena keadaan inflamasi kronik. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang
dapat membantu untuk mengevaluasi anemia dengan karena hipoplasi sumsum
tulang, membuktikan kurangnya produksi besi atau adanya maturasi
megaloblastik, mengungkapkan adanya atropi lemak serous, hemofagositosis,
aplasia eritrosit, mielodisplasia, limfoma, leukemia dan anemia sideroblastik
(Rouli and Amalia, 2005).
1.1.4 Patofisiologi
a. Eritropoeiesis
Eritropoiesis adalah proses yang dimulai dengan pluripotent sel stem di
sumsum tulang belakang yang berdiferensiasi menjadi Erythroid Colony-Forming
Unit (CFU-E). Perkembangan sel tergantung stimulasi faktor pertumbuhan yang
tepat, terutama eritropoietin. Sitokin lain yang terlibat termasuk Granulocyte-
monocyte Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan Interleukin-3 (IL-3). CFU-
Es berdiferensiasi menjadi retikulosit dan menyeberang dari sumsum tulang ke
dalam darah perifer. Retikulosit matang menjadi eritrosit setelah 1 sampai 2 hari
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

di dalam aliran darah. Sepanjang proses ini, sel bertahap mengumpulkan banyak
Hemoglobin dan kehilangan inti nukleus mereka (Li and Hoffman, 2008).
b. Hipopoliferatif atau anemia penurunan produksi
- Nutrisional
Maturasi eritrosit dipengaruhi oleh nutrisi seperti asam folat dan vitamin B12
yang berfungsi dalam pembentukan DNA. Besi berfungsi dalam perkembangan
fungsi eritrosit dan pembentukan Hb.
- Hipopoliferatif sumsum tulang
Beberapa pasien dengan pasien kronis memiliki mekanisme patofisiologis
tersendiri pada anemia. Pasien dengan penyakit kanker mengalami anemia
akibat kemoterapi atau efek dari kanker sendiri. Kemoterapi dapat menurunkan
produksi eritrosit matang. Pendarahan dapat mengganti sumsum tulang normal
dengan sel malignant, merilis sitokin yang memicu penurunan produksi
eritropoietin. Selain itu, hemolisis juga dapat berpengaruh.
- Penurunan produksi dan respon eritropietin
Pasien dengan CKD mengalami penurunan produksi eritropoietin karena
eritropoietin banyak diproduksi di ginjal (Li and Hoffman, 2008).
1.1.5 Penatalaksanaan Terapi
1. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi anemia adalah menaikkan kadar hemoglobin sehingga
meningkatkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen, mengurangi alergi
dan mencegah komplikasi anemia. Penentuan tanda dan gejala klinis perlu
dilakukan. Pasien yang mengalami takikardi, kelelahan, pusing dan edema
mungkin tidak membutuhkan terapi agresif untuk mempertahankan nilai
hemoglobin dalam batas normal. Pencegahan komplikasi anemia seperti
hipoksia dan kardiovaskular dapat dihindari apabila kadar hemoglobin lebih
dari 7g/dl. Anemia tertentu (kehilangan darah, besi, asam folat, defisiensi
vitamin B12 atau penyakit kronis) harus ditentukan kemudian digunakan untuk
memandu terapi (Li and Hoffman, 2008).
a. Anemia defisiensi besi
- Besi oral dengan dosis harian 200 mg dalam 2-3 dosis terbagi
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

- Pemberian besi minimal 1 jam sebelum makan karena makanan


mempengaruhi penyerapan besi
- Besi parenteral untuk pasien dengan malabsopsi. Dosis pemberian
tergantung etiologi anemia dan kadar Hb
- Besi dextran, sodium ferri glukonat, ferumoxytol dan besi sukrosa
adalah sediaan besi parenteral dengan efikasi sama namun berbeda
ukuran molekul, farmakokinetik, bioavailabilitas dan efek samping
b. Anemia defisiensi vitamin B12
- Vitamin B12 oral dengan dosis awal 1-2 mg/hari selama 1-2 minggu
diikuti 1 mg/hari
- Terapi parenteral lebih efektif dan disarankan apabila ada gejala
neurologi. Regimen dosis IM 1000 mcg/hari selama 1 minggu,
kemudian setiap minggu untuk sebulan, dilanjutkan tiap bulan.
c. Anemia defisiensi folat
- Folat oral 1 mg/hari selama 4 bulan. Dosis malabsorpsi 1-5 mg/hari
d. Anemia inflamasi
- Pemberian besi tidak efektif apabila terjadi inflamasi. Transfusi RBC
efektif namun perlu dibatasi apabila transport oksigen tidak adekuat
dan kadar Hb 8-10 g/dl
- ESAs (Eritropoiesis-stimulating agents). Epoetin alfa dapat diberikan
50 – 100 unit/kg BB 3 kali seminggu, darbepoetin alfa 0,45 mcg/kgBB
sekali seminggu. Efek samping ESAs adalah peningkatan tekanan
darah, mual, sakit kepala, demam, nyeri tulang dan kelelahan.
Monitoring Hb secara seksama. Apabila kadar Hb >12 g/dl dengan
terapi dan peningkatannya >1 g/dl setiap 2 minggu maka akan beresiko
kematian dan kejadian kardiovaskular
e. Anemia pediatri
- Pada bayi premature biasa digunakan transfusi RBC
- Bayi 9-12 bulan diberikan besi sulfat 3 mg/kg sekali atau 2 kali sehari
di antara makan selama 4 minggu. Dosis dan jadwal pemberian
vitamin B12 perlu dititrasi. Dosis harian folat 1-3 mg
-
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

2. Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi paling penting pada anemia adalah transfusi sel
darah merah. Namun karena resiko infeksi, imunosupresi dan komplikasi
mikrosirkulasi maka hanya pasien yang segera membutuhkan yang menerima
transfusi koreksi sel darah merah, biasanya dengan kadar hemoglobin 7-8 g/dl.
Selain itu, managemen nutrisi pasien yang rendah besi, asam folat atau vitamin
B12 dapar dilakukan (Li and Hoffman, 2008).
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB II
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Inisial pasien: Ny. J Berat Badan: 35 kg Ginjal : -


Umur : 52 tahun Tinggi Badan: 150 cm Hepar : -

Keluhan utama :
Pasien mengalami pendarahan pervagina, BAB tidak lancar terasa panas dan
nyeri, BAK keluar sedikit- sedikit pada bulan Januari 2019

Diagnosis :
Ca. Cervix IIIB + pro cisplatin I + anemia (5,5)

Alasan MRS :
Kemoterapi dan transfusi darah

Riwayat penyakit :-

Riwayat pengobatan :-

Alergi : - Obat-obat tradisional : -


Kepatuhan : - OTC : -
Alkohol : - Lain-lain : -
Merokok : -
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Catatan Perkembangan Pasien Inisial pasien: Ny.J


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
15/4/2019 Keluhan : Pasien MRS melalui IRJ, tidak ada keluhan,
keadaan umum baik
Pemeriksaan : Suhu : 37oC, nadi 88x/menit, RR: 20x/
menit; TD: 124/70; SaO2: 98%; GCS: 456
Laboratorium : tanggal 12/4/2019 Hb: 5,5 g/dL, K: 3,2
mEq, Na: 131 mEq, Cl: 97mEq, Albumin= 2,8
Terapi : pasien belum menerima obat
16/4/2019 Keluhan : tidak ada keluhan, pasien mengalami anemia
(5,5)
Pemeriksaan : Suhu : 37oC, nadi 88x/menit, RR: 20x/
menit; TD: 120/60; SaO2: 98%; GCS: 456
Terapi : Transfusi PRC 1 kolf
17/4/2019 Keluhan : tidak ada keluhan, pasien mengalami anemia
(5,5)
Pemeriksaan : Suhu : 36,7oC, nadi 88x/menit, RR: 18x/
menit; TD: 110/70; SaO2: 98%; GCS: 456
Laboratorium :
- (17/4/2019) Hb: 9,7 g/dL; leukosit: 19.740 mm3
Trombosit: 616.000 mm3
- (17/4/2019) Hb: 10,3 g/dL; leukosit: 17.300 mm3
Trombosit: 482.000 mm3
Terapi : Transfusi PRC 1 kolf
18/4/2019 Keluhan : Tidak ada keluhan. Pasien melakukan
kemoterapi
Pemeriksaan : Suhu : 36,7oC, nadi 82x/menit, RR: 20x/
menit; TD: 110/70; SaO2: 98%; GCS: 456
Terapi : Dexamethason 10 mg iv, Ondancetron 8 mg iv,
Cisplatin 60,38 mg
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DATA PENGOBATAN PASIEN


No. RM : 12.71.xx.xx Ruang asal : IRJ Diagnosis : Ca. Cerviks IIIB + pro cisplatin I Tgl. MRS / KRS : 15/4/2019
Nama / umur : Ny. J / 52 tahun / P + anemia (5,5) Keterangan : Sembuh / Pulang Paksa /
BB / TB / LPT : 35 kg / 150 cm /1,208 m2 Alasan MRS / : Transfusi darah dan Kemoterapi KRS Meninggal
Alamat : Lamongan Riwayat : Tidak ada Tgl. Pindah : 15/4/2019
Riwayat Alergi : Tidak ada penyakit ruangan
Nama Dokter : dr. W., Sp., OG
Nama Apoteker : Nina Sapti H., S. Farm.
Tanggal Pemberian Obat
No Nama Obat dan Dosis Regimen
16/4 17/4 18/4
1 Transfusi PRC √ √ -
2 NaCl 0,9 % 500 ml/ 24 jam √ √ √
Cisplatin 60,38 mg dalam 250 ml NaCl
3 - - √
0,9 % iv drip
4 Inj. Dexamethason 10 mg iv bolus - - √
5 Inj. Ondansetron 8 mg iv bolus - - √

Paraf Apoteker

CATATAN :
-Riwayat pengobatan : Tidak ada
- Hasil : USG abdomen atas bawah : suspek massa solid endometrium (uk 6,03 x 6,95 x 5,96 cm), kista ovarium
USG/Photo/Thorax dextra, hidronephrosis sedang kanan disertai hydrouretes proximal kanan, multipel nephrolithiasis sinistra

- Riwayat operasi : Tidak ada


- Hasil Kultur : Tidak ada
- Hasil PA : Moderately differentiated squamous cell carcinoma
- Rencana ER :
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Data Klinik
Nama Pasien : Ny. J No. RM : 12.72.XX.XX
Tanggal
No DATA KLINIK
15/4 16/4 17/4 18/4 Pasien didiagnosa Ca Cervix IIIB +
1 Suhu (36-37,5oC) 37 37 36,7 36,7 anemia. Pasien MRS untuk kemoterapi.
2 Nadi (60 – 100x/menit) 88 88 88 82
3 RR (18-20 x /menit) 20 20 18 20 Data klinik pasien dipantau untuk melihat
Tekanan Darah (120/80 124/ 120/ 110/ 110/ efektivitas terapi.
4
x/menit) 70 60 70 70
5 SaO2 98 98 98 98
6 KU / GCS 456 456 456 456

Data Laboratorium
DATA LABORATORIUM Tanggal Komentar
No
(yang penting) 12/4 17/4 17/4 DATA LAB. 12/4 Pasien mengalami anemia (5,5).
1 DL : Hb (11 – 14,7) 5,5 9,7 10,3 LFT : SGOT < 41 16 Dilakukan transfusi PRC untuk
2 Leukosit (3,37–10) x 103 19,74 17,3 SGPT < 38 13 menormalkan Hb sehingga dapat
3 Trombosit (150-450) x 103 616 482 Bili Total dilakukan kemoterapi
Diff. Count :
5 Lain-lain:
eo/baso/btg/seg/limf/mono
6 ANC Uric Acid
7 SE : K (3,8 – 5) 3,2 Albumin (3,4 -5) 2,8
8 Na (136 – 144) 131,0 GDA
9 Cl / Phospat (97-103) Cl=97 GDP < 37 80
10 Ca / Mg 2 jam PP 85
11 RFT : BUN (10-20) 7,0 BASO %
12 SCr (0,5 – 1,2) 0,53 Mono %
13 LDH (125 – 220) Neut %
14 CA (19 – 90) EO %
15 CRP Kimia( < 10) MCV (86,7 – 102,3)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Analisa Terapi
Tanggal Regimen Indikasi pada Pemantauan
Terapi Rute Komentar
Pemberian Dosis pasien Kefarmasian
16/4/2019 Tranfusi PRC IV I kolf/hari Mengatasi Darah lengkap Rekomendasi tranfusi PRC dilakukan apabila Hb
anemia ≤8 g/dl dan dijaga kadarnya sampai 10 g/dl. Setiap
pemberian 1 unit transfusi PRC dapat menaikkan
1 g/dl Hb. (Carson, et al, 2016). Kadar Hb pasien
(10/3) 7,5 g/dl, untuk menaikkan Hb minimal 10
g/dl dibutuhkan 3 unit PRC.
17/4/2019 NaCl 0,9% IV 500 ml/24 Keseimbangan Data elektrolit Pada pasien kanker, gangguan keseimbangan
jam elektrolit KU Kadar Na+ elektrolit yang sangat sering terjadi terutama
hiponatremia. Hiponatremia berkontribusi
terhadap
kualitas hidup yang buruk, sehingga perlu
diberikan terapi cairan secara parenteral (Rosner
and Dalkin, 2014 ; Shirali, 2016)
18/4/2019 Cisplatin IV 60,38 mg Kemoterapi Ukuran sel dan Pasien didiagnosa kanker serviks stadium IIIB,
metastase pasien menerima tindakan kemoterapi dengan
pemberian Cisplatin 60,38 mg dengan tujuan
untuk memperkecil ukuran sel kanker dan
mencegah terjadinya metastase sel kanker.

Cisplatin adalah antikanker golongan senyawa


pengalkilasi dengan mekanisme kerja berikatan
dengan DNA secara kovalen dan dengan demikian
dapat mengganggu fungsi DNA, akibatnya proses
sintesis protein terganggu. Cisplatin memiliki sifat
imunosupresif, radiosensitizing, dan antimikrobial
(BCCA, 2011)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Dexamethason IV 10 mg Pasien akan menjalani kemoterapi dengan


diberikan Cisplatin, yang mana Efek samping
potensial cisplatin adalah mual dan muntah
(>90%), oleh karena itu pasien diberikan
Deksametason 1 x 10 mg IV dan Ondansetron 1 x
8 mg IV sebagai terapi premedikasi mual-muntah
yang diberikan 30 menit sebelum pemberian
cisplatin (BCCA, 2011).
Premedikasi
mual-muntah Selain itu,pasien juga menerima terapi
18/4/2019 Mual-muntah Dexametason dan Ondansetron post kemoterapi
Ondancetron IV 8 mg karena
Cisplatin yang diberikan secara oral karena obat kemoterapi
Cisplatin memiliki efek samping delayed nausea
and vomiting.

Efek emetogenik yang sering terjadi pada terapi


cisplatin diperantarai oleh serotonin. Mual dan
muntah dapat terjadi segera setelah pemberian
cisplatin (biasanya 2-3 jam setelah pemberian
cisplatin) dan/atau tertunda pada 24 jam atau lebih
setelah pemberian cisplatin.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ASUHAN KEFARMASIAN
Masalah :

Hari /
No Kode Masalah Uraian Masalah Rekomendasi / Saran
Tanggal
1. 18 April 9. Efek Samping Pasien menjalani kemoterpai dengan terapi Pemberian premedikasi mual-muntah yang
2019 Obat cisplatain 60,38 mg. Pemberian cisplatin diberikan sebelum kemoterapi
dapat menimbulkan efek samping mual-
muntah (75%-100%)

2. 18 April 9. Efek Samping Pemberian cisplatin dapat menimbulkan efek Pemberian terapi mual-muntah ondansetron po
2019 Obat samping delayed nausea and vomiting saat KRS
(DIH, 2009)
3. 18 April - Data pasien Perhitungan terapi sesuai
2019 BB = 52 kg, TB = 150 cm, Sk = 0,53, luas
tubuh = 1,208 m2, IMT = 15,56
GFR = 0,85 x [ (140 – 52) x 35] = 68,6
72 x 0,53 =
Pasien mendapat terapi kemoterapi Cisplatin
60,38 mg
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

MONITORING
Parameter Tujuan
Ukuran sel kanker Status metastase sel kanker Mengetahui efektifitas pemberian cisplatin
Mual-muntah Mengetahui efektifitas premedikasi pemberian cisplatin sebagai antiemetik
Mual-muntah Mengetahui efektifitas premedikasi pemberian cisplatin sebagai antiemetik
Data darah lengkap Mengetahui efektifitas pemberian transfusi PRC dan monitoring anemia

KONSELING
Informasi Obat kepada Perawat
No. Uraian Konseling
1. Memberikan informasi kepada perawat terkait Transfusi PRC digunakan untuk memenuhi kebutuhan darah untuk
pemberian transfusi PRC 1 kolf/hari meningkatkan hemoglobin dan mengatasi anemia. Transfusi PRC berikan
selama 4 jam/hari (Carson, et al, 2016)
2. Memberikan informasi kepada perawat terkait cara Deksametason diberikan sebanyak 2 ampul (10 mg) secara IV bolus pelan untuk
pemberian Deksametason IV menghindari terjadinya efek samping obat dan diberikan selama 30 menit
sebelum pemberian Cisplatin. (BC Cancer Agency, 2011)
3. Memberikan informasi kepada perawat terkait cara Ondansetron diberikan sebanyak 1 ampul (8 mg) IV dan diinjeksikan secara
pemberian Ondancetron IV lambat selama sekitar 2 – 5 menit. (BC Cancer Agency, 2011)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Informasi Obat kepada Pasien


No. Uraian Konseling
1. Memberikan informasi kepada pasien terkait Indikasi Deksametason diberikan sebagai terapi premedikasi reaksi alergi (Mencegah
pemberian Deksametason IV terjadinya reaksi alergi), sehingga diberikan 30 menit sebelum pemberian
Cisplatin.
(BC Cancer Agency, 2011)
2. Memberikan informasi kepada pasien terkait Indikasi Ondansetron diberikan sebagai terapi premedikasi mual muntah (Mencegah
pemberian Ondancetron IV terjadinya mual muntah), sehingga diberikan 30 menit sebelum pemberian
Cisplatin.
(BC Cancer Agency, 2011)
3. Memberikan informasi kepada pasien terkait efek Pasien menerima obat kemoterapi Cisplatin, yang dapat menimbulkan efek
samping kemoterapi cisplatin samping seperti :
1. Mual-muntah  diatasi dengan pemberian premedikasi mual-muntah, minum
banyak air, makan dan minum sering dalam jumlah sedikit
2. Diare  diatasi dengan minum banyak air, makan makanan tinggi serat
3. Penurunan sel darah putih  selalu mencuci tangan setelah dari toilet, segera
menghubungi dokter jika terjadi tanda-tanda infeksi
(BC Cancer Agency, 2011)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DAFTAR PUSTAKA

British Columbia Cancer Agency. 2011. BC Cancer Drug Manual


Carson, J.L., Guyatt, G., Heddle, N.M., Grossman, B.J., et al. 2016. Clinical
Practice Guidelines from the AABB Red Blood Cell Transfusion
Thresholds and Storage. JAMA, 316(19):2025–2035.
IQWiG (Institute for Quality and Efficiency in Health Care). 2017. Cervical
Cancer: Overview
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0072443/
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Panduan Penatalaksanaan
Kanker Serviks. Komite Penanggulangan Kanker Nasional: Jakarta
Marth, C., Landoni, F., Mahrer, S., McCormack, M., Gonzalez-Martin, A.,
Colombo, N. 2017. Cervical Cancer: ESMO Clinical Practice Guideline
for diagnosis, treatment, and follow-up. Annals of Oncology, vol. 28 (4), p.
72-83.
NCCN. 2014. Cervical Cancer Treatment Regimens (Part 1 of 2). Haymarket
Media, Inc.
Rosner M.H. and Alan, C.D. 2014. Electrolyte Disoerders Associated with
Cancer. Advances in Chronic Kidney Disease, Vol 21, No 1 (January),
2014: pp 7-17
Shirali, A.C. 2016. Electrolyte and Acid–Base Disorders in Malignancy.
American Society of Nephrology
Suwiyoga, I Ketut. 2003. Penanganan Nyeri pada Kanker Serviks Stadium Lanjut.
Jurnal Studi Jender SRIKANDI, vol. 3 (1).
Suwiyoga, I Ketut. 2006. Tes Human Papiloma Virus sebagai Skrining Alternatif
Kanker Serviks. Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 151: 29-30.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

KASUS III
FOURNIER GANGRENE DEBRIDEMENT
NECROTOMI

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya


Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Fourier Gangrene


1.1.1 Definisi
Penyakit fournier adalah bentuk dari fascitis nekrotikan yang terdapat di
sekitar genitalia eksterna pria (IAUI, 2015). Fournier gangrene mengambarkan
penyakit pada jaringan lunak yang infektif, destruktif, dan fatal (Ahmed dkk,
2016).
1.1.2 Etiologi
Fournier gangrene menggambarkan kondisi sebagai proses idiopatik. asciitis
nekrotikans sering berasal dari infeksi ano-rektum, uro-genitalia atau kulit genital.
Fournier gangrene mempunyai keterkaitan dengan diabetes, alkoholisme kronis,
virus human immunodeficiency virus (HIV), penyakit lympho-proliferative,
penyalahgunaan steroid kronis dan obat sitotoksik. Prinsip yang mendasari
kondisi trsebut adanya kompromi imunitas inang yang memunculkann lingkungan
terjadinya infeksi. Malnutrisi dan status sosial ekonomi yang lebih rendah juga
terbukti terkait dengan perkembangan forunier gangrene.
1.1.3 Faktor redisposisi
Faktor predisposisi dari gangren Fournier termasuk diabetes mellitus,
trauma lokal, parafimosis, ekstravasasi periuretheral atau urin, infeksi perirektal
atau perianal. Pasien dengan riwayat trauma perineal, instrumentasi, striktur uretra
yang berhubungan dengan PMS atau fistula uretrokutan. Nyeri, perdarahan
rektum dan riwayat fissura anal ditengarai sebagai sumber infeksi (IAUI, 2015).
a. Diabetes
Hiperglikemia berkelanjutan dapat merusak efek pada imunitas inang
melalui efek buruknya pada seluler kepatuhan, kemotaksis, dan aktivitas fagosit.
Fournier pada penderita diabetes telah menunjukkan bahwa kondisi komorbid ini
berdampak pada perjalanan klinis infeksi jaringan lunak. Terutama, itu profil
pasien cenderung berusia lebih muda dan luka kultur mengungkapkan koloni
bakteri yang berbeda. Candida albicans telah diidentifikasi dalam kultur pasien
diabetes (Ahmed dkk, 2016)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

b. Human Immunodeficiency Virus (HIV)


HIV adalah retrovirus itu menginfeksi dan menghancurkan sistem
kekebalan tubuh inang dengan menginvasi sel CD4 +, yang merupakan inti dari
respon imun. Oleh karena itu tidak mengherankan pasien-pasien ini lebih rentan
terhadap infeksi oportunistik.
1.1.4 Patofisiologi
Adanya infeksi lokal yang berdekatan dengan portal entri, memungkinkan
masuknya bakteri komensal yang normal, seperti Staphylococcus spp., dan
Escherichia coli, ke dalam perineum. Pada dasarnya organisme menular memicu
respons peradangan yang mengakibatkan endarteritis obliteratif pembuluh darah
di sekitarnya. Trombosis pembuluh nutrisi dan penurunan aliran darah ke daerah
ini menyebabkan iskemia jaringan. Berkurangnya tekanan oksigen pada jaringan
meningkatkan proliferasi bakteri anaerob dan nekrosis serta pencernaan fasia
(Ahmed dkk, 2016)
1.1.5 Manajemen Terapi
Manajemen terapi dalam kondisi yang mengancam jiwa adalah resusitasi
pasien yang mendesak, terapi antibiotik spektrum luas dan debridemen bedah.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi toksisitas sistemik, menghentikan
perkembangan infeksi dan menghilangkan mikroorganisme penyebab (Ahmed
dkk, 2016).
a. Antibiotik
Hidrasi antibiotik spektrum luas intravena diperlukan dalam penatalaksanaan
forurnier gangrene. Penggunaan antibiotik spektrum luas termasuk kombinasi
ampicillin dan sulbaktam atau generasi ketiga sefalosporin seperti ceftriaxone,
gentamicin dan clyndamicin. Apabila tidak ada respon terhadap clindamycin,
chloramphenicol dapat digunakan. . Antibiotika dapat disesuaikan berdasarkan
hasil kultur dan sensitivitas selanjutnya dapat memodifikasi pilihan antibiotik.
Saat ini tidak ada rekomendasi untuk antibiotik yang optimal terapi dalam
manajemen gangren dan pasien Fournier tergantung pada pedoman rumah sakit
setempat.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

b. Surgical Debridement
Debridement yang segera (<24 jam) diperlukan pada pasien yang sudah
jelas dicurigai Fournier gangrene untuk menyelamatkan pasien. Debridement
dilakukan untuk menghentikan perkembangan infeksi. Insisi yang panjang dibuat
melalui kulit dan jaringan subkutan, diperdalam hingga area yang sehat hingga
fasia ditemukan. Lemak dan fasia yang mengalami nekrosis harus dieksisi dan
luka dibiarkan terbuka. Prosedur kedua diindikasikan 24 hingga 48 jam kemudian
apabila ada keraguan tentang cukup tidaknya debridement awal. Orchiectomy
hampir tidak pernah diperlukan, karena testis memiliki sumber pendarahan yang
bebas dari fasia yang terinfeksi dan sirkulasi kutaneous dari skrotum. Diversi
suprapubik harus dilakukan jika ditakutkan adanya trauma uretra atau ekstravasasi
urin. Kolostomi dilakukan apabila ada perforasi kolon ataupun rektum atau
kontaminasi feses terhadap luka debridement.
c. Terapi oksigen
Terapi oksigen hiperbarik dapat dipertimbangkan pada fasilitas yang tersedia.
Penutupan luka baik secara primer atau memerlukan teknik rekonstruksi
dilakukan setelah tanda-tanda infeksi lokal telah diatasi.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB II
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Inisial pasien: Tn. Y Berat Badan: 60 kg Ginjal : -


Umur : 51 tahun Tinggi Badan: 160 cm Hepar : -

Keluhan utama :
Pasien datang dengan keluhan bengkak dan nyeri pada penis dan scrotum,
demam, mual

Diagnosis :
Fournier gangrene debridement necrotomi

Alasan MRS :
Bengkak pada scrotum

Riwayat penyakit :-

Riwayat pengobatan :-

Alergi : Ikan bandeng Obat-obat tradisional : -


Kepatuhan : - OTC : -
Alkohol : - Lain-lain : -
Merokok : Merokok
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Catatan Perkembangan Pasien Inisial pasien: Tn. Y


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
16/4/2019 Keluhan : pasien datang ke IGD dengan keluhan bengkak
dan nyeri pada penis dan skrotum, demam, mual,
Pemeriksaan : pukul 21.30 Suhu : 37oC; Nadi: 98x/menit;
RR: 20x/menit, TD: 120/90mmHg, skala nyeri: 2
Laboratorium : Hb: 13,2 g/dL; Leukosit: 18.430 mm3;
trombosit 150.000 mm3, K: 3,2 mEq; Na: 127 mEq; Cl: 91
mEq; Albumin: 3,1
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam
17/4/2019 Keluhan : pasien mengalam bengkak dan nyeri pada penis
dan skrotum, pasien dilakukan debridemen necrotomi
Pemeriksaan : pukul 16.00 Suhu : 37oC; Nadi: 98x/menit;
RR: 20x/menit, TD: 140/90mmHg, skala nyeri: 2
Laboratorium : K: 3,0 mEq; Na: 129 mEq; Cl: 95 mEq;
Ca: 7,5 mEq
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam,
Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
18/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Pemeriksaan : skala nyeri: 3
Laboratorium : Hb: 8,7 g/dL; Leukosit: 12.150 mm3;
trombosit 137.000 mm3,
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam,
Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
19/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Pemeriksaan : skala nyeri: 4
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam,
Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
20/4/2019 Keluhan :
Pemeriksaan :
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam,
Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
21/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Pemeriksaan : skala nyeri: 2
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam,
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Metronidazole 500 mg iv / 8 jam


22/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Pemeriksaan : skala nyeri: 2
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam,
Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
23/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Terapi : Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam, Metamizole
(antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam,
Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
24/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Terapi : Metamizole (antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g
iv / 12 jam, Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
25/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Terapi : Metamizole (antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g
iv / 12 jam, Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
26/4/2019 Keluhan : pasien mengeluh nyeri post operasi
Terapi : Metamizole (antrain) 1 g / 8 jam, Ceftriaxone 1 g
iv / 12 jam, Metronidazole 500 mg iv / 8 jam
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DOKUMEN FARMASI PASIEN

No. RM : 12.74.XX.XX Ruang asal IGD Diagnosis : Fournier Gangrene Tgl. MRS / KRS : 16/04/2019
Nama / umur : Tn . Y / 51 tahun / L Debridement Necrotomi Keterangan KRS : Sembuh / Pulang Paksa /
BB / TB / : 60 kg / 160 cm / - m2 Alasan MRS : Bengkak pada scrotum Meninggal
LPT Riwayat : Tidak ada Pindah : 18/04/2019
Alamat : Lamongan penyakit ruangan/Tgl
Riwayat : Tidak ada Nama Dokter : Prod. Dr. dr. D., Sp.U.
Alergi Nama Apoteker : Nina Sapti H., S.Farm.
Tanggal Pemberian Obat
No Nama Obat dan Dosis Regimen
16/4 17/4 18/4 19/4 20/4 21/4 22/4 23/4 24/4 25/4 26/4
1 Infus NS 0,9% 1000 ml / 24 jam √ √ √ √ √ √ √ √ //
2 Ceftriaxone 1 g iv / 12 jam - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Metronidazole 500 mg iv / 8 jam - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4 Metamizole (antrain) 1 g / 8 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Paraf Apoteker
CATATAN :
-Riwayat pengobatan : Ceftriaxone, dexamethasone, paracetamol, minyak tawon
- Hasil Photo Thorax : Pemeriksaan umum :
 Genetalia, anus, dan rectum : Genetalia  pus (+), gangrene (+), jaringan nekrotik (+) ; Skrotum : edema (+), eritema
- Riwayat operasi (+), hangat (+)
: Diagnosa pra bedah : Fournier gangrene; diagnosa pasca bedah : Fournier gangrene post debridement necrotum
Tindakan operasi : debridement nekrotomi; Tgl. OP : 17/04/2019; Sign in : 16.30; Time out : 17.00; Selesai OP : 19.00;
Sign out : 19.15
Anestesi : naropine, Jenis OP: Besar/ Kotor/ darurat
- Hasil Kultur :-
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Tanggal
16/04/2019 17/04/2019 18/4 19/4 20/4 21/4 22/4
No DATA KLINIK

21.30

21.40

22.10

23.10

16.00

20.00

07.00

08.00
17.00
22.00
08.00

14.15

07.00

09.30

17.05

15.10
pagi
1 Suhu (36-37,5oC) 37 36 36,1 36,1 38,7 37 36,7 37
Nadi (60 – 90
2 98 80 80 80 88 98 90 76
100x/menit)
RR (18-20 x 20
3 20 20 20 20 20 20
/menit)
12 12 14 11 140/
Tekanan Darah 120/ 120/ 130/ 140/
4 0/9 0/9 0/9 0/9 90
(120/80 x/menit) 90 90 80 90
0 0 0 0
5 SaO2 99 99 99 98 98 96
45 45 45 45 45 456
6 KU / GCS 456 456 456
6 6 6 6 6
7 Kejang / MS
8 Rh / Wh
9 Mual
10 Batuk
11 Produksi Urin 1600
12 Skala Nyeri 2 3 3 4 3 3 3 3 2 2
Komentar :
 Pada pasien dilakukan operasi debridement necrotomi pada tanggal 17/4/2019 (16.30)
 Pasien mengalami nyeri, dengan skala nyeri 2-4 selama MRS
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Data Laboratorium
DATA Tanggal Komentar :
No LABORATORIUM
16/4 17/4 18/4 DATA LAB. 16/4 18/4
(yang penting)  Leukosit pasien ntercatat
1 DL : Hb (11 – 14,7) 13,2 8,7 LFT : SGOT < 41 28 lebih dari normal
Leukosit (3,37–10) x menandakan pasien
2 18,43 12,15 SGPT < 38 24
103
mengalami infeksi
Trombosit (150-450) x
3
103
150 137 Bili Total  Albumin pasien tercatat
4 RBC Bili Dir/Indir dibawah normal tetapi tidak
Diff. Count : berbeda jauh dengan nilai
5 eo/baso/btg/seg/limf/mon Lain-lain: normal
o  Nilai Natrium
6 ANC Uric Acid dan kalium pasien sedikit
7 SE : K (3,8 – 5) 3,2 3,0 Albumin (3,4 -5) 3,1 3,1 dibawah nilai normal, oleh
8 Na (136 – 144) 127 129 GDA 180 180 karena itu dilakukan
Cl / Phospat (97- pemantauan untuk menilai
9 Cl = 91 Cl = 95 GDP < 37
103) efektivitas terapi yang
Ca diberikan.
10 Ca / Mg 2 jam PP
=7,5
11 RFT : BUN (10-20) 19 BASO %
12 SCr (0,5 – 1,2) 1,08 Mono %
13 LDH (125 – 220) Neut %
14 CA (19 – 90) 29 EO %
15 CRP Kimia( < 10) 90 MCV (86,7 – 102,3)
16 CEA ( < 5) 23,7 HCT (35,2 – 46,7)
17 CA – 125 (<35) APTT (23-33)
18 HbsAG Rapid Test PPT (9 – 12)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ANALISA TERAPI
Tanggal Regimen Indikasi pada Pemantauan
Terapi Rute Komentar
Pemberian Dosis pasien Kefarmasian
16/4/2019 Infus NS 0,9% IV 1500 ml/ Cairan elektrolit Kadar elektrolit Infus NS mengandung NaCl 0,9% yang setara
24 jam dengan ion Na+ 154 mEq/L dan Cl- 154
mEq/L. Infus NaCl 0,9% diberikan
sebagai rumatan cairan harian. Natrium
mengontrol distribusi air, keseimbangan
cairan dan tekanan osmotik cairan tubuh.
Klorida memiliki aksi buffering saat
pertukaran O2 dan CO2 di sel darah merah
(McEvoy, 2011).
16/4/2019 Metamizole IV 1 g/ 8 jam Mengatasi nyeri Skala nyeri Metamizol meruapakan golongan NSAID
pasca operasi, dengan mekanisme menghambat enzim COX-
sebagai anti- 1 dan COX-2 yang mengakibatkan penurunan
inflamasi sintesis prostalglandin. Pasien mengalami
nyeri perut karena adanya inflamasi di luka
sehingga penggunaan Metamizol selain
mengatasi nyeri juga digunakan untuk
antiinflamasi. Dosis Metamizole untuk
dewasa adalah 500 mg tiap 6-8 jam, dapat
diinjeksikan secara IV maupun IM.
17/4/2019 Ceftriaxone IV 1 g/ 8 jam Antibiotik Suhu, nadi, RR, Ceftriaxone merupakan antibiotik gram
(Sepalosporin leukosit negative spectrum luas, dengan aktivitas
generasi 3) bakteriosida. Dosis 1-2 gram/12-24 jam. IV
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

18/4/2019 Metronidazole IV 500 mg/ Antibiotik Suhu, nadi, RR, intermiten diberikan selama 30 menit,
12 jam leukosit sedangkan untuk IV diberikan 1-4 menit
(AphA, 2014).

Menurut Pedoman Penggunaan Antibiotik RS


Dr Soetomo untuk infeksi saluran kemih
direkomendasikan Ceftriaxone dengan dosis
1-2 gram tiap 12 jam.

Metronidazole digunakan sebagai antibiotik


untuk bakteri anaerob pada Fournier gangrene
(Ahmed, 2016).
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ASUHAN KEFARMASIAN
Masalah :

Hari / Kode
No Uraian Masalah Rekomendasi / Saran
Tanggal Masalah
1. 16/4/ 2019 2 Pasien mengeluh nyeri hilang timbul post operasi. Pasien Monitoring skala nyeri pasien hingga nyeri pasien
mendapatkan terapi metamizole 1 g/ 8 jam iv sebagai terkontrol
terapi megatasi nyeri post operasi (WHO, 2009)
2. 16/4/ 2019 1b Pasien mengalami hipokalemia. K+= 3,2 mEq/L Kadar kalium pasien rendah, termasuk dalam hipokalemi
Kebutuhan K+ = 0,6 x 60 x (3,6-3,2) + 40 mEq/L = 54,4 ringan. Pasien dapat diberikan terapi oral KSR 600 mg
mEq/L tiap 8 jam dan pemberian asupan makan yang
mengandung kalium seperti pisang dan alpukat untuk
intake kalium.
3. 16/4/ 2019 1b Kadar albumin pasien rendah yaitu 3,1. Pasien belum Kadar albumin pasien rendah sehingga perlu penambahan
mendapatkan terapi untuk mengatasi hipoalbumin terapi untuk intake albumin seperti pemberian terapi
vipalbumin
4. 17/4/ 2019 2 Pasien mengeluh nyeri dengan tanda vital Suhu: 38,7o; Melakukan monitoring tanda-tanda infeksi dan dilakukan
nadi= 88x/menit; RR=22x/menit, skala nyeri 3; leukosit kultur pus untuk mengetahui penyebab infeksi
18,43; pus (+)
Pasien mendapatkan terapi antibiotik empiris ceftriaxone
untuk mengatasi infeksi
5. 17/4/ 2019 7 Pasien mengalami demam, dan mengeluh nyeri Melakukan monitoring tanda-tanda infeksi karena lama
Suhu: 38,7o; nadi= 88x/menit; RR=22x/menit, skala nyeri penggunaan antibiotik empiris terbatas dan tetap
3; leukosit 18,43; pus (+) diberikan sampai hasil kultur keluar
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Pasien mendapatkan terapi antibiotik empiris ceftriaxone


untuk mengatasi infeksi

MONITORING
No. Parameter Tujuan
1. Tanda-tanda SIRS (Suhu, nadi, RR, Leukosit), luka Memonitoring efektifitas penggunaan kombinasi antibiotik ceftriaxone dan
operasi metronidazole.
2. Kadar elektrolit Memonitoring efektifitas penggunaan infus NaCl 0,9%
3. Skala nyeri Memonitoring efektifitas penggunaan metamizole

KONSELING
Informasi Obat kepada Perawat
No. Uraian Konseling
1. Menginformasikan cara  IM: larutkan 1 gram ceftriakson dalam 3,6 ml NaCl 0,9% untuk konsentrasi 250 mg/ ml dan dengan
pemberian Inj. Ceftriaxone 2,1 ml NaCl 0,9% untuk konsentrasi 350mg/ml digunakan untuk
1gram/12 jam  IV intermitten: larutkan 1 gram dengan 9,6 ml NaCl 0,9% dan berikan selama 15-30 menit untuk
pasien dewasa dan 10-30 menit untuk pasien anak.
 Penyimpanan : pada suhu <25°C, hindarkan dari cahaya.
 BUD dalam NaCl 0,9% : 24 jam pada suhu <25°C (Trissel, 2009)
2. Menginformasikan cara  Metronidazole yang siap digunakan bening, cairan tidak berwarna yang harus disimpan di ruangan
pemberian Inj. Metronidazole 500 suhu terkontrol dan terlindung dari sinar matahari jangan disimpan di kulkas.
mg/8 jam.  Metronidazole diadministrasikan melalui iv kontinyus atau bisa juga iv intermiten dengan dinfuskan
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

selama 1 jam (Trissel,2009).


3. Menginformasikan cara Metamizole diencerkan pada 10 ml WFI kemudian diencerkan dalam infus NaCl 0,9% diberikan secara IV
pemberian Inj. Metamizole 1g/8 drip (Injectable Drug Guide, 2011)
jam.

Informasi Obat kepada Pasien


No. Uraian Konseling
1. Menginformasikan pasien mendapatkan terapi Memberikan konseling pada pasien bahwa pasien mendapatkan 2
antibiotik yaitu ceftriaxone 1g/ 12 jam iv dan antibiotik yaitu ceftriaxone dan metronidazole untuk mengatasi infeksi
metronidazole 500 mg/ 8 jam iv dan diberikan secara injeksi
2. Menginformasikan kepada pasien luka didaerah Memberikan konseling kepada pasien agar menjaga kebersihan daerah
genitalia pasien disebabkan infeksi luka dan menjaga agar tetap kering, tidak lembab untuk mencegah
terjadinya infeksi
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DAFTAR PUSTAKA

European Association of Urology. 2017. Guideline on Urological Infection.


European: European Association of Urology.
K. Ahmed, A. Singh, A. Aydin, M.S. Khan, P. Dasgupta. Fournier’s gangrene. A
clinical review. MRC Centre for Transplantation, King’s College London;
UK
IAUI. 2015. Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia
Pria 2015. Ikatan Ahli Urologi Indonesia: Jakarta
Micromedex. Drug Reference. 2018. Metamizol
Rumah Sakit Daerah Umum Dr. Soetomo. 2018. Panduan Penggunaan Antibiotik
Profilaksis dan Terapi. Surabaya: Rumah Sakit Dokter Soetomo
Trissel,LA. 2009. Hanbook on injectable drug 15th ed, American society of
healtsystem pharmacist ASHP
World Health Organization.2009. WHO Three Step Analgesic Ladder: WHO
KASUS IV
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) V + PRO HD
CITO + HIPERKALEMIA + LUPUS NEFRITIS +
ASIDOSIS METABOLIK + ANEMIA
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Chronic Kidney Disease (CKD) stage V


1.1.1 Batasan
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan kerusakan ginjal yang persisten
(progresif) dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal. Hal ini didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration
Rate (GFR) <60 ml/ menit/ 1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Kerusakan ginjal
dapat berupa abnormalitas patologis, adanya marker kerusakan ginjal, termasuk
abnormalitas hasil lab darah, urine, ataupun imaging test (Watnick dan Dirkx,
2017).
1.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi CKD dibagi berdasarkan penurunan fungsi ginjal terjadi sesuai
dengan penurunan jumlah dari massa ginjal yang masih berfungsi. Fungsi ginjal
dinyatakan dalam laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR)
sebagai berikut :
Tabel I. Klasifikasi CKD (Watnick dan Dirkx, 2017)
Stage1 Deskripsi2 GFR (mL/min/1,73m2) Tatalaksana
I Kerusakan ginjal > 90 Diagnosis dan terapi terhadap
dengan GFR normal underlying etiology jika bisa
atau meningkat dilakukan. Terapi komorbid.
II Kerusakan ginjal 60-89 Estimasi progresifitas
dengan penurunan penyakit. Kurangi resiko
GFR ringan penyakit kardiovaskular
IIIa Penurunan GFR 45-59 Sama dengan yang di atas,
ringansedang disertai evaluasi dan terapi
IIIb Penurunan GFR 30-44 komplikasi
sedang parah
IV Penurunan GFR parah 15-29 Persiapkan jika terjadi ESRD
V End Stage Renal < 15 Lakukan dialisis,
Disease (ESRD) (atau menjalani dialisis) transplantasi, atau palliative
care
1
Klasifikasi berdasarkan National Kidney Foundation, KDOQI, dan KDIGO CKD Guidelines
2
Pada semua stage, adanya albuminuria yang persisten menunjukkan adanya peningkatan resiko
progresifitas CKD dan penyakit kardiovaskular, dengan tingkatan sebagai berikut :
<30 mg/hari : resiko renda
30-300 mg/hari : peningkatan resiko ringan
>300-1000 mg/hari : peningkatan resiko sedang
>1000 mg/hari : peningkatan resiko parah
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkcmbangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhi rnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tcrsisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasamya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis reninangiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor 
(Suwitra, 2014).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi. hiperglikemia, serta
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulointerstinal. Pada stadium paling dini penyakit
ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve) (Suwitra,
2014).
Pada keadaan basal GFR masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peniligkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah,
mual. nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di
bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti :
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

sepent infeksi saluran kemih infeksi safuran napas, maupun infeksi saluran cerna,
juga akan terjadi gangguan kescimbangan air seperli hipo atau hipervolemia,
gangguan keseim-bangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan satnpai pada
stadium gagal ginjal (Suwitra, 2014).
1.1.4 Komplikasi
Patogenesis penyakit ginjal kronis secara singkat dapat dilihat pada diagram
berikut:

Gambar 1. Patogenesis penyakit ginjal kronis, diagram 1 (Belleza, 2016)


Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Gambar 2. Patogenesis penyakit ginjal kronis, diagram 2 (Belleza, 2016)


Komplikasi yang terjadi pada penyakit ginjal kronis yang sering terjadi antara lain
adalah sebagai berikut :
a. Gangguan Keseimbangan Natrium dan air
Natrium merupakan salah satu dari uremic toxin yang paling berbahaya.
Ketidakseimbangan Natrium menyebabkan terjadinya akumulasi cairan pada
pasien CKD. Hal ini memicu vascular remodeling dan hipertensi (KDIGO, 2010).
Retensi Natrium pada CKD terjadi jika intake Natrium melebihi ekskresinya dan
mengakibatkan ekspansi volume cairan ekstraselular. Ekspansi volume cairan
ekstraselular juga dapat terjadi apabila intake Natrium sangat tinggi ataupun
penurunan GFR sangat parah, terutama pada CKD stage 4-5. Ekspansi volume
cairan ekstraselular umumnya terjadi pada CKD dan menyebabkan hipertensi.
Pada prinsipnya, mekanisme penurunan ekskresi Natrium pada CKD adalah
penurunan filtrasi glomerular Natrium, peningkatan reabsorpsi tubular Natrium,
atau keduanya. Mekanisme kompensasi dapat menjadi tidak adekuat, dan memicu
terjadinya peningkatan tinggi pada volume cairan ekstraselular (KDOQI, 2002).
b. Gangguan Keseimbangan Kalium
Ginjal pada fungsi normalnya, akan mengekskresi 98% dari intake Kalium
harian dan berperan penting dalam maintenance homeostasis Kalium. Pada pasien
CKD dan ESRD, akan terjadi gangguan eksresi Kalium sehingga beresiko terjadi
hiperkalemia. Hal ini juga menyebabkan peningkatan resiko cardiovascular
events dan mortalitas (Dhondup dan Qian, 2017). Hiperkalemi dapat diketahui
dengan tes laboratorium, terjadi saat serum Kalium pasien ≥ 5,5 mmol/L. Dapat
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

diklasifikasikan menjadi mild (5,5-5,9 mmol/L), moderate (6,0- 6,4 mmol/L), dan
severe (≥ 6,5mmol/L) (ACB, 2014). Terapi hiperkalemi pada pasien CKD antara
lain:
- Kalsium 6.8 mmol, setara 10 ml CaCl (10%) atau 30 ml larutan kalsium
glukonas (10%) secara iv + 10 unit regular insulin
- Furosemide 40 mg secara oral ataupun iv, namun pemberian diuretik tidak
efektif pada pasien dengan GFR rendah
- Dialisis, baik hemodialisis (HD) ataupun peritoneal dialysis (CAPD). Untuk
pasien CKD kronis dengan HD, keterlambatan terapi maupun 2 hari interval
interdialisis dapat berefek negatif pada hasil terapi (NKF, 2016).
c. Asidosi Metabolik
Pada kondisi fisiologis, tubulus ginjal mereabsorbsi bikarbonat yang telah
difiltrasi setiap harinya. Tubulus ginjal juga menetralisir pembentukan asam
harian dalam tubuh. Ginjal juga dapat mencegah terjadinya kelebihan (excess)
asam dalam tubuh dengan cara pembentukan NH3 dan ekskresi NH4+. Seiring
penurunan fungsi ginjal, kapasitas konservasi dan pembentukan bikarbonat
menurun, sedangkan produksi asam endogen pada CKD relatif tidak berubah, hal
ini memicu terjadinya asidosis (Dhondup dan Qian, 2017). Menurut KDIGO
(2014), pasien CKD dengan kadar serum bikarbonat <22 mmol/L disarankan
untuk diterapi dengan suplemen oral bikarbonate untuk menjaga kadar serum
bikarbonat tetap pada kondisi normal, kecuali jika ada kontraindikasi.
d. Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD yaitu defisiensi
eritropoeitin. Faktor penyebab lainnya yaitu kehilangan darah, kekurangan zat
besi, asam folat dan vitamin BI2, osteosis fibrosa, infeksi sistemik dan
peradangan. Anemia mulai terjadi apabila GFR menurun di bawah 50 mL/menit
dan konsentrasi hematokrit mencapai 30% saat GFR mencapai 20-30 mL/menit
(Hudson, 2011). Menurut Pernefri (2011), pada pasien CKD dapat diberikan
terapi terapi ESA (Erythropoietin Stimulating Agents) dengan indikasi Hb <10
g/dL dan penyebab anemia lainnya sudah disingkirkan (target Hb : 10-12 g/dL).
Pada anemia kronis, disarankan untuk menghindari transfusi packed red cell
(PRC) untuk meminimalisir resiko penggunaannya. Pada kondisi klinis tertentu,
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

dapat diberikan transfusi PRC apabila dibutuhkan perdarahan akut, unstable


coronary artery disease, atau pada kondisi pre-operatif) (KDIGO, 2012). koreksi
anemia secara cepat untuk menstabilkan kondisi pasien (misal pada perdarahan
akut, unstable coronary artery disease, atau pada kondisi pre-operatif) (KDIGO,
2012).
1.2 Lupus Nefritis
1.1.1 Definisi
Lupus Nefritis merupakan komplikasi sistemik lupus erythematosus (SLE)
pad organ ginjal, dimana SLE adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
adany inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Walaupun etiologi SLE tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga
mempuny hubungan dengan beberapa faktor perdisposisi seperti kelainan
genetika, infeksi viru maupun kelainan hormonal (Dharmeizar et al., 2014). SLE
lebih banyak terjadi pad wanita daripada pria di semua kelompok umur dan
populasi (Almaani et al., 2016).
1.1.2 Etiologi
Keterlibatan ginjal pada lupus sistemik, paling sering disebabkan oleh
akumulasi kompleks imun glomerulus, yang menyebabkan peradangan
glomerulus dan, jika tidak terkendali, juga melibatkan interstitium ginjal.
(KDIGO, 2012) Penyebab terjadinya penyakit SLE ini belum diketahui, namun
diduga melibatkan interaksi yang komplek dan multifactorial antara variasi
genetik dan faktor lingkungan. Beberapa faktor pencetus SLE (NKF, 2016) :
 Faktor genetik
 Faktor Hormonal
 Infeksi virus : Retrovirus dan DNA bakteri/endotoksin
 Faktor Lingkungan
 Faktor fisik /kimia (polutan, obat-obatan, asap rokok).
1.1.3 Patofisiologi
Pada lupus nefritis terdapat peningkatan respon imun dan peningkatan T dan
sel B sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi. Autoantibodi ini membentuk
kompleks imun intravaskular, yang kemudian akan membentuk deposit (endapan)
sehingga terjadi kerusakan jaringan. Autoantibodi juga dapat mengikat antigen
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

yang sudah berada di membran basal glomerulus, membentuk kompleks imun


in situ. Kompleks imun mendorong respon inflamasi dengan mengaktifkan
komplemen dan menarik sel-sel inflamasi, termasuk limfosit, makrofag, dan
neutrofil (Davidson et.al., 2013).
Deposit (endapan) kompleks imun, baik yang terbentuk di sirkulasi atau in
situ, dapat ditemukan di berbagai daerah glomerulus, serta interstitium peritubulus
dan pembuluh darah di luar glomerulus.Ukuran dan lokasi kompleks imun di
glomerulus berkorelasi dengan sifat dan keparahan kerusakan ginjal. Deposisi
(endapan) sejumlah kecil kompleks imun ukuran menengah di mesangium
cenderung menghasilkan peradangan yang tidak parah di glomerulus. Penyerapan
kompleks imun di mesangium mencegah pengaktifkan mediator inflamasi. Oleh
karena itu, lesi bersifat noninflamasi. Sebaliknya, sejumlah besar kompleks imun
berukuran menengah atau besar menghasilkan infiltrasi sel-sel inflamasi dan
pelepasan enzim nekrotikan (Dipiro et al., 2017)
1.1.4 Klasifikasi
Semua pasien dengan bukti klinis Lupus nefritis aktif dan pasien tidak
dalam kondisi kontraindikasi untuk dilakukan biopsi maka direkomendasikan
pasien dilakukan biopsi untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi aktifitas penyakit,
klasifikasi kelainan histopatologik, dan menentukan prognosis dan terapi yang
tepat (Hahn et al., 2012). Klasifikasi lupus nefritis berdasarkan WHO dinilai
berdasarkan pola histologi dan lokasi dari kompleks imun, sedangkan klasifikasi
berdasarkan International Society of Nephrology/Renal Pathology Society juga
membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011).
Tabel 1.1 Klasifikasi Lupus Nefritis Menurut ISN/RPS
Klasifikasi Keterangan
Kelas 1 Minimal mesangial lupus nefritis
Kelas 2 Mesangial proliferatif lupus nefritis
Kelas 3 Deposit imun pada daerah subendotel dan perubahan
proliferati < 50% glomerulus
Kelas 4 Deposit imun pada daerah subendotel dan perubahan
proliferati > 50% glomerulus
Kelas 5 Deposit imun pada daerah subepitel dan penebalan membra
kapiler glomerulus
Kelas 6 Sklerosis > 90% glomerulus.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.1.5 Manifestasi Klinik


Pada fase awal lupus nefritis tidak menampakkan gejala yang signifikan,
atau dapat dikatakan tidak ada gejala. Pada tingkatan yang lebih serius akan
didapatkan gejala sebagai berikut : a. Protenuria, yaitu suatu keadaan dimana
dijumpai adanya protein pada urin. Seseorang dikatakan mengalami proteinuria
bila hasil pemeriksaan dengan dipstick didapatkan hasil 3+ atau jumlah protein
dalm urin > 0,5 g per hari yang menetap. b. Hematuria, yaitu keadaan dimana
pada urin seseorang dijumpai adanya eritrosit. Hal ini dapat dilihat secara
mikroskopis atau bila hematuria cukup parah maka akan didapatkan urin yang
berwarna kemerahan. c. Klirens kreatinin menurun, pada pasien sindroma nefritis,
karena terjadi inflamasi dibagian ginjal maka fungsi ginjal akan mennurun. d.
Edema,hal ini terjadi karena ginjal tidak dapat mengeluarkan cairan sebagaimana
seharusnya yang disebabkan oleh terjadinya inflamasi. Hipertensi, pada pasien
dengan lupus nefritis biasaya terjadi hipertensi karena terjadi retensi cairan dan
aktivasi sistem RAAS (Dooley et.al, 2004).
1.1.6 Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan Terapi Lupus Nefritis (LN) berdasarkan KDIGO, 2012 :
1. Klas I LN (minimal-mesangial LN) Untuk pasien LN klas 1 tidak memerlukan
terapi khusus, hanya diberi pengobatan untuk mengobati manifestasi klinis dari
LN saja.
2. Klas II LN (mesanial-proliferative LN) Pasien LN klas II dengan proteinuria <
1 g/hari hanya diberi terapi untuk mengobati manifestasi klinisnya saja,
sedangkan bila proteinuria > 3 g/hari maka dapat diberi kortikosteroid.
3. Klas III LN (focal LN) dan Klas IV LN (diffuse LN)-initial terapi disarankan
untuk initial terapi dengan kortikosteroid kombinasi dengan siklofosfamid atau
MMF (mychophenolate mophetil). Jika pasien disertai dengan peningkatan
serum kreatinin atau bertambah buruknya proteinuria selama 3 bulan
pengobatan, ganti obat yang digunakan untuk initial terapi atau lakukan biopsi
ginjal ulang untuk mengetahui pengobatan yang lebih tepat.
4. Klas III LN (focal LN) dan klas IV LN (diffuse LN)-maintanance terapi
Setelah initial terapi selesai, disarankan pasien dengan klas III dan IV
menerima terapi lanjutan/penjagaan dengan azathioprin (1,5-2,5 mg/kg/hari)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

atau MMF (1-2 g/hari dalam dosis terbagi) dan dosis oral kortikosteroid ≤10
mg/hari prednisone atau equivalent nya) Untuk pasien yang intolerant dengan
MMF atau azathioprin dapat diterapi dengan kortikosteroid dosis rendah.
Setelah remisis lengkap telah diterima, maka maintanance terapi dapat
dilanjutkan minimal 1 tahun sebelum dilakukan tapering imunosupresan.
5. Klas V LN (membranous LN) Pasien dengan klas V LN, fungsi ginjal normal
dan tidak dalam kondisi nefrotik proteinuria dapat diberi terai antiproteinuria
dan antihipertensi, dan hanya menerima kortikostreroid dan imunosupresan
untuk mengatasi manifestasi dari lupus. Sedangkan pasien dengan klas V
namun memiliki nefrotik proteinuria yang persisten dapat diterapi dengan
kortikosteroid dan tambahan imunosupresan yang lain seperti siklofosfamid,
azatioprin, atau MMF.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB II
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Inisial pasien: Nn. DS Berat Badan: - Ginjal : -


Umur : 27 tahun Tinggi Badan: - Hepar : -

Keluhan utama :
Pasien mengalami bengkak pada seluruh tubuh dan badan lemas

Diagnosis :
CKD V + pro HD cito + Hiperkalemia + Lupus Nefritis + Asidosis Metabolik +
Anemia

Alasan MRS :
Bengkak seluruh tubuhm, badan lemas, sariawan, batuk berdahak, dan rambut
rontok

Riwayat penyakit :
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Riwayat pengobatan :-

Alergi : - Obat-obat tradisional : -


Kepatuhan : - OTC : -
Alkohol : - Lain-lain : -
Merokok : -
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Catatan Perkembangan Pasien Inisial pasien: Nn. DS


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
29/4/2019 Keluhan : Pasien datang ke IGD dengan keluhan bengkak pada
seluruh tubuh, badan lemas, sesak, sariawan, batuk berdahak, dan
rambut rontok. Diagnosis CKD V + pro HD cito + Hiperkalemia +
Lupus Nefritis + Asidosis Metabolik + Anemia. Pasien menjalani
HD cito
Pemeriksaan : Suhu : 37oC; Nadi: 87x/menit; RR: 26x/menit, TD:
110/73mmHg
Laboratorium : Hb: 6,12 g/Dl; Leukosit: 13.830 mm3; trombosit
57.000 mm3, K: 7 mEq; Na: 129,2 mEq; BUN: 254,4; SCr: 10,23
30/4/2019 Keluhan : KU pasien lemah, pasien demam, produksi urin 1000/24
jam, masih ada edema, mual, dan sesak berkurang
Pemeriksaan : Suhu : 37,8 oC; Nadi: 90x/menit
Laboratorium : Hb: 6,4 g/Dl; Leukosit: 8700 mm3;, K: 3,5 mEq;
Na: 134 mEq; BUN: 173; SCr: 7.88
Terapi : Kalitake 1 sachet tiap 8 jam, Paracetamol 500 mg tiap 8
jam, New antasida 2 tab tiap 8 jam, Ventolin Nebul tiap 8 jam,
Furosemid 20 mg iv tiap 8 jam, Na bic 500 mg tiap 8 jam, Transfusi
PRC 1 kolf
1/5/2019 Keluhan : KU pasien lemah, produksi urin 1000/24 jam, masih ada
edema, mual, dan sesak berkurang
Pemeriksaan : Suhu : 36,5oC; Nadi: 90x/menit; RR: 20x/menit, TD:
117/70mmHg
Laboratorium : Hb: 7,5 g/Dl; Leukosit: 4680 mm3;, K: 3,5 mEq;
Na: 132 mEq; BUN: 173; SCr: 7.88
Terapi :
Kalitake 1 sachet tiap 8 jam, Ventolin Nebul tiap 8 jam, Furosemid
20 mg iv tiap 8 jam, Na bic 500 mg tiap 8 jam, Transfusi PRC 1 kolf
2/5/2019 Keluhan : KU pasien lemah, masih ada edema, mual, batuk
Pemeriksaan : Suhu : 37,5oC; Nadi: 92x/menit; RR: 20x/menit, TD:
140/80mmHg
Terapi : Kalitake 1 sachet tiap 8 jam, Ventolin Nebul tiap 8 jam,
Furosemid 20 mg iv tiap 8 jam, Na bic 500 mg tiap 8 jam, Transfusi
PRC 1 kolf
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DATA PENGOBATAN PASIEN

No. RM : 12.74.xx.xx Ruang Asal : IGD Diagnosis : CKD V + Pro HD Cito + Hiperkalemia + Tgl. MRS / KRS : 29–04-2019
Nama / umur : Nn. DS / 27 tahnun / P Lupus Nefritis + Asidosis Metabolik + Keterangan KRS : Sembuh / Pulang Paksa /
BB/TB/LPT : - kg / - cm/ - m2 Anemia Meninggal
Alamat : Medokan Wonoayu Alasan MRS : Bengkak seluruh tubuh, badan lemas, Pindah ruangan/Tgl : 30-04-2019
Riwayat Alergi : Tidak ada sariawan batuk berdahak, dan rambut rontok Nama Dokter : dr. L, Sp. PD.
Riwayat : Systemic Lupus Erythematosus Nama Apoteker : Nina Sapti H.,S. Farm.
penyakit

Tanggal Pemberian Obat


No Nama Obat dan Dosis Regimen
29/4 30/4 1/5 2/5
1 NaCl 0,9 % 1000 ml √ √ //
2 Myfortic 180 mg tiap 12 jam √ //
3 Metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam √ //
4 Kalitake 1 sachet tiap 8 jam √ √ √ √
5 Transfusi PRC 1 kolf - √ √ √
6 Paracetamol 500 mg tiap 8 jam - √
7 New antasida 2 tab tiap 8 jam - √
8 Furosemid 20 mg iv tiap 8 jam - √ √ √
9 Ventolin Nebul tiap 8 jam - √ √ √
10 Na bic 500 mg tiap 8 jam - √ √ √
Paraf Apoteker
CATATAN :
- Riwayat pengobatan : Kalitake tiap 8 jam, metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam, ondancetron 8 mg tiap 12 jam, furosemide 40
mg tiap 24 jam, omeprazole 20 mg tiap 24 jam, vipalbumin
- Hasil ECG : diagnosis : diastolic disfungsi
- Riwayat operasi : insersi CDL nfr di v. subclavia pro HD (29/04/2019)

- Hasil Kultur :-
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Data Klinik
Tanggal
29/4/19 30/4/19 1/5/19 2/5/19 3/5
No DATA KLINIK

09.00

10.00

11.00

11.35

11.45

20.00

05.00

06.00

08.30

10.00

18.00

02.10

10.00

18.10

24.00

05.30

11.25

18.00

23.10

05.30
1 Suhu (36-37,5oC) 36.5 37 37.8 37.8 37 37 37.2 37 36.5 37 36.2 36.2 36.2 37.8 37.8 37.5
Nadi (60 – 100x
2 88 86 87 87 87 90 97 90 100 90 90 90 80 80 88 88 90 90 92
/menit)
RR (18-20 x
3 28 25 28 26 26 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
/menit)
Tekanan Darah 100/ 100/ 100/ 100/ 100/ 120/ 120/ 117/ 120/ 115/ 130/ 120/ 100/ 180/ 140/
4
(120/80 x/menit) 70 70 75 73 73 80 80 70 70 70 80 80 60 70 80
5 SaO2 99 99 99 99 99 97 97 97 99 98 98 99 99 96 98 98 98 96 98
6 KU / GCS 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456
7 Kejang / MS
8 Lemas Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
9 Mual Ada
10 Batuk Ada Ada
1000/
11 Produksi Urin
24 jam
12 Skala nyeri 2 0
13 Edema Ada Ada Ada Ada
14 Sesak Ada Ada berkurang Ada Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Komentar :
 Pasien MRS dengan kondisi klinis (suhu, nadi, TD) normal, namun RR pasien tinggi dapat diakibatkan karena pasien mengalami sesak dan
edema pada seluruh tubuh
 Pasien datang dilakukan hemodialisis karena pasien sudah CKD V sehingga perlu dilakukan hemodialisis untuk mengatasi edema
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Data Laboratorium
DATA Tanggal
No LABORATORIUM
29/4 29/4 30/4 1/5 DATA LAB. 29/4 29/4 30/2
(yang penting)
1 DL : Hb (11 – 14,7) 6,12 6,4 7,5 LFT : SGOT < 41 38
Leukosit (3,37–10) x
2 13,83 8,7 4,68 SGPT < 38 48
103
Trombosit (150-450) x
3 57 Bili Total
103
4 RBC Bili Dir/Indir
Diff. Count :
5 eo/baso/btg/seg/limf/mo Lain-lain:
no
6 ANC Uric Acid
7 SE : K (3,8 – 5) 5,98 7,0 3,5 5,1 Albumin (3,4 -5) 2.5 2.4
8 Na (136 – 144) 129,2 146 134 132 GDA 88
9 Cl / Phospat (97-103) Cl=105 Cl=93 Cl=99 Cl=93 GDP < 37
Ca =
10 Ca / Mg 2 jam PP
6,7
11 RFT : BUN (10-20) 254,4 173 183
12 SCr (0,5 – 1,2) 10,23 7,88 9,69
13 MCV (86,7 – 102,3) 91,88
14 HCT (35,2 – 46,7) 18,7
15 MCH (26-34) 30,1
16 MCHC (32-36) 32,8
Komentar :
 Kondisi anemia dan leukopeni dapat diakibatkan oleh manifestasi SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Kondisi leukopeni dapat
meningkatkan resiko infeksi, tetapi pada pasien tidak menunjukkan adanya gejala infeksi secara klinis.
 Pasien juga mengalami penurunan fungsi ginjal hal ini ditunjukkan dengan peningkatan nilai BUN, kondisi ini disebabkan lupus nefritis yang
dialami oleh pasien.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ANALISA TERAPI
Tanggal Regimen Indikasi pada Pemantauan
Terapi Rute Komentar
Pemberian Dosis pasien Kefarmasian
29/4/2019 NaCl 0,9% IV 1000 ml/ Menjaga Kadar elektrolit Infus NaCl 0,9% diberikan untuk menjaga
24 jam keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien
cairan dan
elektrolit
29/4/2019 Myfortic PO 180 mg/ Imunosupresan BUN, dan
12 jam Serum kreatinin,
Mual, muntah.
Darah lengkap,
urin lengkap, Pada Lupus nefritis terapi initial disarankan
tekanan darah dengan pemberian kortikosteroid kombinasi
29/4/2019 Metilprednisolon PO 16 mg/ Imunosupresan BUN, dan dengan siklofosfamid atau Mychophenolate
8 jam Serum kreatinin, mophetil (Myfortic) (KDIGO,2012)
Mual, muntah.
Darah lengkap,
urin lengkap,
tekanan darah
29/4/2019 Kalitake PO 1 sachet/ Mengatasi Kadar serum Penggunaan kalitake sudah tepat untuk mengatasi
8 jam hiperkalemia kalium hiperkalemia yg dialami pasien. Mekanisme
Melepaskan ion Ca2+ dan mengikat ion K+
melalui absorpsi. Terjadi proses pertukaran ion
dalam gastrointestinal
30/4/2019 Paracetamol PO 500 mg/ Antipiretik Suhu tubuh Pasien mengalami demam. Paracetamol bekerja
8 jam pada hipotalamus untuk menghasilkan antipiresis.
Dosis: 325-625 mg sekali pemakaian dan
diberikan jika perlu saja (jika pasien demam)
(APha, 2014).
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

30/4/2019 Antasida PO 2 tab/ Mengatasi Mual-muntah Antasida mengandung Mg hydroxide, Al


8 jam mual-muntah hydroxide, untuk menetralkan asam lambung
30/4/2019 Furosemid IV 20 mg/ Mengatasi Volume output Sebagai terapi tambahan untuk menurunkan
8 jam retensi cairan cairan kerusakan ginjal -> kelebihan cairan (Sinha and
Raut, 2014)
30/4/2019 Ventolin Nebul Inhalasi Tiap 8 jam Mengatasi Keluhan sesak Ventolin nebul mengandung salbutamol sulfat
sesak nafas diberikan untuk mengatasi sesak yang dialami
pasien dengan mekanisme kerja merelaksasi otot
halus bronkus dengan aksi pada reseptor beta 2
dengan sedikit efek pada kecepatan jantung (Lacy
et al., 2009).
30/4/2019 Na bicarbonat PO 500 mg/ Mengatasi BGA, pH, HCO3 Penggunaan Na bicarbonat sudah tepat untuk
8 jam asidosis mengatasi asidosis metabolit (data hasil lab BGA
metabolik di bawah normal). Bekerja dengan Menetralisir
konsentrasi ion H+ dan meningkatkan Ph darah
dan urin (DIH, 2015).
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ASUHAN KEFARMASIAN
Masalah :

Hari / Kode
No Uraian Masalah Rekomendasi / Saran
Tanggal Masalah
1. 29/4/19 9 Pasien memperoleh terapi kortikosteroid Melakukan monitoring efek samping obat dan tanda-tanda
metilprednisolon untuk terapi lupus nefritis. infeksi meliputi suhu tubuh, tekanan darah, RR dan nadi.
Penggunaan jangka panjang metilprednisolon dapat
meningkatkan resiko infeksi sekunder dan
memperpanjang atau memperburuk infeksi (DIH,
2015)
2. 29/4/19 2 Pasien mengalami hyperkalemia severe dan Pada pasien mengalami hyperkalemia dan hipokalsemi.
mendapatkan terapi D10 + 10 unit insulin 7 tpn Pilihan terapi untuk hyperkalemia yaitu Ca gluconate, insulin
+ dextrose, β2 adrenergic agonist, sodium polystyrene
sulfonate.
Pada pasien diberikan terapi infus D10 + 10 unit insulin untuk
menurunkan hiperglikemia segera. Namun pada pasien juga
mengalami hipokalsemi, sehingga untuk terapi hiperkalemi
dapat diberikan Ca Gluconate IV yang selain untuk
menurunkan kadar K+ juga dapat menaikkan kadar serum
Ca2+ (Dipiro 7th, 2008)
3. 30/4/2019 8a Pasien mendapat terapi antasida untuk mengatasi Pemberian antasida diberikan pada saat perut kosong
mual dan kalitake untuk mengatasi hyperkalemia. sedangkan kalitake diberikan 3 jam sebelum atau 3 jam
Penggunaan kalitake dan antasida dapat sesudah setelah makan
meningkatkan efek samping dari antasida dan
menyebabkan alkalosis metabolic (DIH, 2015)
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

4. 30/4/2019 9 Pasien mendapatkan terapi furosemide untuk Furosemid merupakan golongan diuretik yang dapat
mengatasi edema dan retensi cairan. Furosemide menyebabkan sindrom uremia sehingga perlu dilakukan
data menyebabkan sindroma uremia. pengecekan kadar asam urat (Sahu, 2011)
5. 30/4/2019 9 Pasien mendapat terapi furosemide untuk mengatasi Melakukan monitoring kadar serum K+ pada pasien
edema dan retensicauran. Pasien juga mendapatkan
terapi ventolin nebul untuk mengatasi sesak dan
kalitake untuk mengatasi hyperkalemia.
Furosemide, ventolin, dan kalitake dapat
menginduce terjadinya hipokalemi (Maggie, 2019)

MONITORING
No. Parameter Tujuan
1. BUN, SCr, UL / adanya cast seluler Efektivitas terapi lupus nefritis (Metilprednisolon, myfortic)
dalam urin (eritrosit, leukosit, dll), DL
2. Leukosit dan tanda vital ( suhu, nadi, Monitoring efek samping terapi imunosupresan (Metilprednisolon, myfortic)
RR, TD)
3. Kadar serum kalium Efektivitas terapi hiperkalemia (kalitake)
4. Fungsi ginjal (BUN, Kreatinin serum, Mengetahui efektivitas HD
Klirens kreatinin)
5. Serum elektrolit (K, Na) Mengetahui efektivitas D10 (+10 IU insulin), dan NaCl 0,9% serta mengontrol
keseimbangan kadar elektrolit serum agar tetap dalam batas normal
6. Hemoglobin (Hb) Mengetahui efektivitas transfusi PRC
7. BGA (terutama HCO3-) Mengetahui efektivitas Na bikarbonat dan menjaga keseimbangan asam-basa
dalam darah
8. Mual dan Muntah Mengetahui efektivitas Antasida dan perbaikan kondisi umum pasien
9. Sesak Mengetahui efektivitas nebul ventolin
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

KONSELING
Informasi Obat kepada Perawat
No. Uraian Konseling
1. Cara pemberian Furosemid 20 mg iv tiap 8 jam Furosemid tersedia dalam ampul 2 ml dengan konsentrasi 10mg/ml.
Diinjekasikan dengan cara IV bolus 1-2 menit atau bila dengan infus iv tidak
boleh melebihi 4 mg/menit (Trissel, 2009)
2. Cara pemberian NaCl 0,9% 1000mL Infus NaCl 0,9% diberikan dalam 24 jam dengan kecepatan 14 tetes/menit
(Trissel, 2013).
3. Cara ventolin nebulizer Sediaan dimasukkan ke dalam alat (nebulizer) untuk dihisap/dihirup oleh
pasien. Diberikan dengan kecepatan 1-2mg/jam

Informasi Obat kepada Pasien


No. Uraian Konseling
1. Paracetamol 500 mg tiap 8 jam PO Paracetamol digunakan untuk mengatasi demam. Diminum 3 kali sehari 1 tablet
tiap 8 jam, setelah makan.
2. Antasida 2 tab tiap 8 jam Antasida diberikan untuk mengatasi asam lambung. Diminum 3 kali sehari 2
tablet, sebelum makan
3. Kalitake 1 sachet 8 jam Kalitake diberikan untuk mengatasi hiperkalemia. Diminum 3 kali sehari 1
sachet.
4. Na bicarbonat 500 mg tiap 8 jam Na bicarbonat diberikan untuk mengatasi asidosis metabolik. Diminum 3 kali
sehari 1 tablet
5. Injeksi furosemide 20 mg/2 ml Furosemide memiliki efek samping potensial yaitu hiperkalemi yang ditandai
dengan konstipasi, kram pada kaki, dan jantung berdebar. Jika mengalami
gejala tersebut, laporkan pada tenaga kesehatan.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DAFTAR PUSTAKA

American Pharmacist Association. 2015. Drug Information Handbook 24th


Edition. Lexicomp, Inc.
Almaani, S., Meara, A., dan Rovin, Brad H., 2016. Update on Lupus Nephritis.
Clinical
Journal of the American Society of Nephrology. Hal. 1-11.
Dharmeizar dan Lucky AB. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
Dipiro, Joseph T. et al, 2017. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach
10th Edition. Mc Graw Hill.
Dooley MA, Aranow C, Ginzler EM. Review of ACR renal criteria in
systemiclupus
erythematosus. Lupus 2004;13:857–60
KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes). 2012. Guideline
KDIGO 2012 : Tata Laksana Anemia Pasien PGK. pp1-4.
KDOQI. 2002. Clinical Practice Gidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification. Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (National Kidney Foundation)
Lacy, C. F.,, Armstrong, L. L.,, Goldman, M. P., and Lance, L. L., 2009. Drug
Information Handbook: A Comprehensive Resource for all Clinicians and
Healthcare Professionals. 17th edn. New York: American Pharmacists
Association Lexi-Comp, Inc.
NKF (National Kidney Foundation). 2016. Best Practices in Managing
Hyperkalemia in Chronic Kidney Disease. Kidney.org
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik .Jakarta
Sinha, Rajiv and Raut, Sumantra. 2014. Pediatric Lupus Nephritis: Manajemen
Update. World Journal of Nephrology, 3 (2), p. 16-23
Suwitra, K. 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Setiati, S.,Alwi, I., Sudoyo,
A.W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., dan Syam, A.F. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi 4, jilid 2, Jakarta: Interna Publishing.
Laporan Studi Kasus Praktik Kerja Profesi Apoteker
Bidang Rumah Sakit Periode 108 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Trissel, LA. 2009. Hanbook on injectable drug 15th ed. American society of
healt system pharmacist ASHP.
Trissel, L.2013. Handbook on Injactable Drugs – 17th Ed. Maryland: American
Society of Healty-System Pharmacist
Watnick, S., Dirkx, T. C. 2017. Kidney Disease. Dalam Papadakis, M. A., &
McPhee, S. J. 2017. Current Medical Diagnosis and Treatment 2017 (56th
edition). New York: McGrawHill Medical Education. pp 913-952

Anda mungkin juga menyukai