Anda di halaman 1dari 29

A.

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN

Pencernaan makanan merupakan proses merubah makanan dari ukuran besar menjadi
ukuran yang lebih kecil dan halus. Zat makanan yang dicerna akan diserap oleh tubuh
dalam bentuk yang lebih sederhana. Saluran pencernaan makanan pada manusia terdiri
dari beberapa organ berturut-turut dimulai dari mulut (cavum oris), kerongkongan
(esophagus), lambung (ventrikulus), usus halus(intestinum), usus besar (colon), dan anus.

a. Mulut
Mulut merupakan organ pertama pada proses
pencernaan. Proses pencernaan di mulai dari
masuknya ke dalam mulut. Di dalam rongga
mulut terdapat alat-alat yang membantu
dalam proses pencernaan, yaitu gigi, lidah,
dan kelenjar ludah (air liur). Beberapa organ
didalam mulut, yaitu :
(Sasrawan, 2014).
1. Gigi
Gigi berfungsi untuk mengunyah makanan sehingga makanan menjadi halus.
keadaan ini memungkinkan enzim-enzim pencernaan mencerna makanan lebih
cepat dan efisien. Gigi dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu gigi seri,
gigi taring, gigi geraham depan, dan gigi geraham belakang. Gigi seri terbentuk
seperti pahat, gigi taring berbentuk seperti pahat runcing, dan gigi geraham
berbentuk agak silindris dengan permukaan lebar dan datar berlekuk-lekuk. Gigi
seri berfungsi untuk memotong dan mengigit makanan. Gigi taring berfungsi
untuk merobek makanan. Sedangkan gigi geraham berfungsi untuk mengunyah
makanan.
2. Lidah
Lidah berfungsi untuk mengaduk makanan di dalam rongga mulut dan membantu
mendorong makanan (proses penelanan). Lidah juga berfungsi sebagai alat
pengecap yang dapat merasakan manis, asin, pahit, dan asam. Setiap rasa pada zat
yang masuk ke dalam rongga mulut akan diproses oleh lidah di tempat yang
berbeda-beda.

1
Letak setiap rasa, yaitu :
1) Rasa asin : lidah bagian tepi depan
2) Rasa manis : lidah bagian ujung
3) Rasa asam : lidah bagian samping
4) Rasa pahit : lidah bagian belakang/ pangkal lidah

3. Kelenjar ludah (air liur)


Kelenjar ludah menghasilkan ludah atau air liur (saliva). Kelenjar ludah dalam
rongga mulut ada 3 pasang, yaitu :
1) Kelenjar parotis, terletak di bawah telinga.
2) Kelenjar submandibularis, terletak di rahang bawah.
3) Kelenjar sublingualis, terletak di bawah lidah.
Jadi, ludah berfungsi untuk membasahi dan melumasi makanan sehingga mudah
ditelan. Selain itu, ludah juga melindungi selaput mulut terhadap panas, dingin,
asam, dan basa. Di dalam ludah terdapat enzim ptyalin (amylase), Enzim ptyalin
berfungsi mengubah makanan dalam mulut yang mengandung zat karbohidrat
(amilum) menjadi gula sederhana (maltosa). Maltosa mudah dicerna oleh organ
pencernaan selanjutnya.

b. Kerongkongan
Kerongkongan (esofagus) merupakan saluran
penghubung antara rongga mulut dengan
lambung. Kerongkongan berfungsi sebagai jalan
bagi makanan yang telah dikunyah dari mulut
menuju lambung. Otot kerongkongan dapat
(Sasrawan, 2014). berkontraksi secara bergelombang sehingga
mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Gerakan kerongkongan ini disebut
gerak peristalsik. Gerak ini terjadi karena otot yang memanjang dan melingkari
dinding kerongkongan mengkerut secara bergantian. Jadi, gerak peristalsik merupakan
gerakan kembang kempis kerongkongan untuk mendorong makanan masuk ke dalam
lambung. Makanan berada didalam kerongkongan hanya sekitar 6 detik. Bagian
pangkal kerongkongan (faring) berotot lurik. Otot lurik pada kerongkongan bekerja
secara sadar menurut kehendak kita dalam proses menelan. Artinya, kita menelan jika
makanan telah dikunyah sesuai kehendak kita.

2
c. Lambung
Lambung (ventrikulus) merupakan kantung besar
yang terletak di sebelah kiri rongga perut sebagai
tempat terjadinya sejumlah proses pencernaan.
Lambung terdiri dari tiga bagian, yaitu :
1. Kardiak adalah bagian lambung yang paling
pertama untuk tempat masuknya makanan dari
kerongkongan (esophagus).
(Setiadi, 2007)
2. Fundus adalah bagian lambung tengah yang berfungsi sebagai penampung
makanan serta proses pencernaan secara kimiawi dengan bantuan enzim.
3. Pilorus adalah bagian lambung terakhir yang berfungsi sebagai jalan keluar
makanan menuju usus halus.
Di dalam lambung terjadi pencernaan secara kimiawi yang disekresikan dalam bentuk
getah lambung. Sekresi getah dipacu oleh hormon gastrin. Getah ini tersusun dari:

1. HCl : Membunuh mikroorganisme dan mengktifkan


pepsinogen
menjadi pepsin.
2. Pepsin : Merubah protein menjadi molekul yang lebih kecil (pepton).
3. Rennin : Merubah kaseinogen pada susu menjadi kasein.
Selanjutnya kasein digumpalkan oleh I Ca2+.
4. Lipase : Merubah lemak menjadi asam lemak dam gliserol.
5. Musin : Protein yang berfungsi untuk melicinkan makanan.
Setelah makanan dicerna di dalam lambung, makanan ini berubah menjadi bentuk
seperti bubur atau disebut kim (chyme) (Stanley, 2007).

d. Usus Halus
Usus halus (intestinum) merupakan tempat penyerapan sari makanan dan tempat
terjadinya proses pencernaan yang paling panjang.
Usus halus terdiri dari :
1. Usus dua belas jari (duodenum)
2. Usus kosong (jejunum)
(Sasrawan, 2014).
3. Usus penyerapan (ileum)

3
Pada usus dua belas jari bermuara saluran getah pancreas dan saluran empedu.
Pancreas menghasilkan getah pancreas yang mengandung enzim-enzim sebagai
berikut :

1. Amylopsin (amylase pancreas) yaitu enzim yang mengandung zat tepung (amilum)
menjadi gula lebih sederhana (maltose).
2. Steapsin (lipase pancreas) yaitu enzim yang mengubah lemak menjadi asam lemak
dan gliserol.
3. Tripsinogenjika belum aktif, maka akan diaktifkan menjadi tripsin, yaitu enzim
yang mengubah protein dan peptonmenjadi dipeptida dan asam amino yang siap
diserap oleh usus halus.
Di usus halus juga diproduksi enzim enterokinase dan erepsinogen. Enterokinase
adalah enzim yang mengubah tripsinogen menjadi tripsin dan mengubah erepsinogen
menjadi erepsin. Tripsin dan erepsin berfungsi untuk mencerna protein menjadi asam
amino.
Hasil pencernaan selanjutnya akan menuju ke usus penyerapan (ileum). Di dalam usus
ini, sari-sari makanan akan diserap melalui jonjot-jonjot usus atau vili dan selanjutnya
akan diedarkan ke seluruh tubuh. Khusus untuk hasil pencernaan lemak tidak
diangkut lewat pembuluh darah melainkan melalui pembuluh getah bening.

e. Usus Besar
Usus besar merupakan kelanjutan dari usus halus
yang memiliki tambahan usus yang berupa
umbai cacing (appedix). Usus besar terdiri dari
tiga bagian yaitu bagian naik (ascending),
mendatar (tranverse),dan menurun (descending). (Sasrawan, 2014).
Di usus besar tidak terjadi pencernaan. Semua sisa makanan akan dibusukkan dengan
bantuan bakteri E. coli dan diperoleh vitamin K. Di bagian akhir usus besar terdapat
rektum yang bermuara ke anus untuk membuang sisa makanan.
Usus besar berfungsi mengatur kadar air pada sisa makanan. Bila kadar air pada sisa
makanan terlalu banyak, maka dinding usus besar akan menyerap kelebihan air
tersebut. Sebaliknya bila sisa makanan kekurangan air, maka dinding usus besar akan
mengeluarkan air dan mengirimnya ke sisa makanan. Hal ini bertujuan agar feses
(kotoran) tidak cair dan juga tidak padat.

4
f. Anus
Anus merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat
anus, feses ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila feses sudah siap
dibuang maka otot spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot
spinkter yang menyususn rectum ada 2, yaitu otot polos dan otot lurik. Jadi, proses
defekasi (buang air besar) dilakukan dengan sadar, yaitu dengan adanya kontraksi otot
dinding perut yang diikuti dengan mengendurnya otot sfingter anus dan kontraksi
kolon serta rectum. Akibatnya feses dapat terdorong ke luar anus (Artana, 2017).

B. KONSEP DASAR PENYAKIT APENDIKSITIS

1. Pengertian Apendiksitis
 Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu sebernarnya adalah sekum. Infeksi ini bisa mengakibatkan
peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya (Sugiono, 2011).
 Apendisitis adalah peradangan dari apendik vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik
laki laki maupun perempuan. Tetapi lebih sering menyerang laki-laki yang berusia
antara 10-30 tahun (Masjoer, 2012).
 Apendisitis adalah inflamasi apendik. Penyebabnya biasanya tidak diketahui, tetapi
sering mengikuti sumbatan lumen (Gibson, 2011).
Jadi apendisitis adalah peradangan atau inflamasi pada apendiks yang dapat terjadi
tanpa sebab yang jelas dan merupakan penyebab paling umum untuk dilakukannya
bedah abdomen.

2. Epidemiologi Apendiksitis
Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak dari suatu akut abdomen.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi paling banyak ditemukan pada usia
20-30 tahun, walaupun jarang ditemui diatas 65 tahun tetapi sering berakibat pada
apendisitis perforasi. Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya
sekitar 6-9% (Anderson, 2012), dimana di negara barat 7% dari penduduknya
menderita apendisitis akut dan memerlukan intervensi bedah. Kasus apendisitis akut
paling banyak dijumpai di Amerika Utara, Inggris, Australia, dan lebih jarang ditemui

5
di Asia, Afrika Tengah dan masyarakat Eskimo. Jika penduduk dari negara-negara ini
bermigrasi ke negara barat atau merubah pola diet seperti masyarakat barat, kejadian
apendisitis akan meningkat, oleh karena diperkirakan distribusi penyakit ini
dipengaruhi oleh lingkungan dan bukan genetik. Apendisitis akut lebih banyak
ditemukan pada mereka yang lebih banyak mengkonsumsi daging dibandingkan
dengan masyarakat yang mengkonsumsi tinggi serat (Bachoo, 2009).
Apendisitis akut sering terjadi pada usia 20–30 tahun, dengan ratio laki- laki
dibandingkan dengan perempuan 1,4:1, resiko 7 8 terjadi angka kekambuhan pada
laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7 % di USA (Humes dan Simpson, 2006). Simpson
dan Scholefied, (2008) mengatakan insiden terjadinya apendisitis akut di UK pada
laki-laki 1,5% dan 1,9% pada perempuan per 1000 populasi setiap tahunnya dengan
angka kekambuhan 6-20%. Di USA 7- 9% dari penduduknya menderita apendisitis
akut dan memerlukan intervensi bedah (Simpson, 2010).

3. Etiologi Apendiksitis
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang
diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit
seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2010).

4. Patofisiologi Apendiksitis
Kurangnya makan makanan yang berserat, adanya fekalit (timbunan
tinja/feses yang keras) dalam lumen appendiks, benda asing seperti cacing askaris ,
dan ulserasi mukosa appendiks oleh parasit E.histolytica ini bisa menyebabkan
ulserasi atau iritasi mukosa yang mengakibatkan inflamasi appendiks dan terjadilah
Apendicitis. Apendicitis biasanya disebabkan juga oleh penyumbatan lumen
appendiks.Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
appendiks mengalami bendungan.Semakin lama mucus tersebut semakin banyak,

6
namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi yaitu
interleukin-1 terjadilah termoregulasi start di hipotalamus yang akan meningkatkan
suhu tubuh, biasanya seseorang akan mengalami demam dan terjadilah masalah
keperawatan yaitu hipetermia. Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan
bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah dan
terjadilah masalah keperawatan yaitu nyeri akut. Apendicitis juga menyebabkan
distensi abdomen yang akan menekan gaster dan mengakibatkan peningkatan
produksi HCL menyebabkan seseorang mengalami mual dan muntah yang bisa
menyebabkan masalah keperawatan yaitu resiko kekurangan volume cairan dan bisa
juga membuat seseorang tidak nafsu makan/anoreksia, intake nutrisi juga akan
berkurang menyebabkanlah masalah keperawatan yaitu ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh. Intake nutrisi yang kurang menyebabkan metabolisme
menurun, ATP juga akan menurun seseorang akan mengalami kelemahan dan
terjadilah masalah keperawatan yaitu intoleransi aktivitas. Selain itu intake nutrisi
yang kurang bisa juga menyebakan konsistensi feces di lumen usus menurun, feces
akan lama di lumen kolon menyebabkan masalah keperawatan yaitu konstipasi.
Pasien yang mengalami appendicitis akan dilakukan pembedahan yang akan
menyebabkan seseorang menjadi cemas dan timbul masalah keperawatan yaitu
ansietas.

7
5. Pathway Apendiksitis

8
Kurangnya makan Fekalit Massa Benda asing seperti
makanan berserat Feses keras cacing askaris
6. Klasifikasi Apendiksitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidayat, 2011).
Ulserasi / iritasi
a. Apendisitis akut. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
mukosa
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah
Inflamasi
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
appendiksnyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Apendicitis
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
Oedema Area
sehingga merupakan nyeri somatikPengeluaran
Pembedahan setempat mediator
Inflamasi
inflamasi (histmain,
b. Apendisitis kronik. Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika
Perubahan status bradikinin)
ditemukan adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kesehatan Distansi abdomen Pelepasan Mediator
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
Merangsang nociceptor Inflamasi
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial
Ancaman kematian (reseptor nyeri)
Menekan
atau total lumen gasteradanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
apendiks,
Pelepasan
Krisis situasional
adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. interleukin
Medulla Spinalis
Peningkatan
7. Ansietas
Tanda dan Gejala produksi HCL
Apendiksitis Corteks cerebri Thermoregulasi start
di hipotalamus
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
Resiko
radang mendadakMual,umbaimuntah
cacing yang memberikan
Nyeri Akut tanda setempat. nyeri kuadran
kekurangan Meningkatkan
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya
volume cairan suhu tubuh
nafsu makan. PadaAnoreksia
apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada
kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis
Konsistensi Demam
iliaka superior anterior. Metabolisme
feces dilumen Intake nutrisiDerajat
kurang nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat
menurun
usus menurun
konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila
Hipertermi
apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal.
Ketidakseimbangan nutrisi ATP ↓
Feces lama
Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada
kurang dari kebutuhan tubuh
dilumen
pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat
Kelemahan
kolon
rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian
Intoleransi bawah otot rektus kanan
Aktivitas
Konstipasi
dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah

9
kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah.
Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi
akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-
tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses
penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur
apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari
pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien
yang lebih muda (Smeltzer, 2009).

8. Pencegahan Apendiksitis
Pencegahan bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian
apendiksitis. Upaya pencegahan dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan antara lain:
1. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insiden timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan
bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan. Serat dan makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,
dan pektin yang membantu mempercepat sisa-sisa makanan untuk disekresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada
dinding kolon.
2. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feses. Makanan
yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feses dan makanan
yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang
sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feses yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikan tekanan intracaecal
sehingga terjadi sumbatan fungsional apendik dan mengikatnya pertumbuhan
flora normal kolon. Pengerasan feses memungkinkan adanya bagian yang terselip
masuk ke saluran apendik dan menjadi media kuman atau bakteri berkembang
biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada apendik.

10
3. Minum Air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga
akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

9. Pemeriksaan Fisik Apendiksitis


Temuan fisik di tentukan terutama oleh posisi anatomis apendiks vermiformis yang
mengalami inflamasi, serta organ yang telah mengalami ruptur ketika pasien pertama
kali di periksa. Tanda vital seperti peningkata suhu jarang >1 0C (1.80F) dan denyut
nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi perubahan yang signifikan dari
biasanya menunjukkan bahwa komplikasi atau perforasi telah terjadi atau diagnosis
lain harus di pertimbangkan. Perforasi apendiks vermikularis akan menyebabkan
peritonitis purulenta yang di tandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat berupa
nyeri tekan dan defans muskuler yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum
maksimum di regio iliaka kanan, dan perut menjadi tegang dan kembung. Peristalsis
usus dapat menurun sampai menghilagakibat adanya ileus paralitik.
Pasien dengan apendicitis bisanya berbaring dengan terlentang, karena gerak apasaja
dapat meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk menggerakkan paha terutama paha
kanan pasien akan melakukan dengan perlahan-lahan dan hati-hati.
Jika dilakukan palpasi akan didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka
kanan,biasanya disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan parietal. Tanda rovsing adalah apabila melakukan penekanan pada perut
kiri bawah maka akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Peristaltis usus sering
di dapatkan normal tetapi dapat menghilangkan akibat adanya ileus paralitik yang
disebbkan oleh apendisitis perforata.
Uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih di tujukan untuk
mengetahui letak apendiks. Cara melakukan uji psoas yaitu dengan rangsangan otot
psoas melalui hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan di tahan. Tindakan ini akan menimbulkan nyeri apabila
apendiks yang meradang menempel menempel di otot psoas mayor. Pada
pemeriksaan uji obturator untuk melihat bila mana apendiks yang meradang
bersentuhan dengan otot oburator internus. Ketika peradangan apendiks vermoformis
telah mencapai panggul, nyeri perut kemungkinan tidak di temukan sama sekali, yaitu
misalnya pada apendicitis pelvika. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan colok dubur.
Dengan melakukan pemeriksaan colok dubur nyeri akan di rasakan daerah pada lokal

11
suprapubik dan rektum. Tanda- tanda iritasi lokal otot pelvis juga dapat otot pelvis
juga dapat dirsakan penderita.

10. Pemeriksaan Penunjang Apendiksitis


a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
2) Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit
dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada
ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis
untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada
apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi.
Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada
keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat
infeksi pada ginjal.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04 serbuk halus
yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum
sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam
untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
2) Ultrasonografi (USG) dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah.
Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal,
atau efusi pleura (Penfold, 2008).

11. Penatalaksanaan Apendiksitis


Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan (yayan, 2008). Analgetik dapat diberikan setelah
diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks)
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat
dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan
cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila
apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi

12
masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik
pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak
(Smeltzer, 2013).

12. Komplikasi Apendiksitis


Menurut Mansjoer, 2012 komplikasi apendisitis yaitu :
a) Perforasi
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut
kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas.
b) Peritonitis
Peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah dengan menutup asal
perforasi. Tindakan lain yang menunjang dengan tirah baring, pemasangan NGT,
puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian antibiotik berspektrum luas.
c) Abses Apendiks
Abses akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung
menggelembung kea rah rectum atau vagina.
d) Pileflebitis (tromboplebitis septik vena portal) Komplikasi ini dapat menyebabkan
demam yang tinggi, panas dingin menggigil dan ikterus.

13. Prognosis Apendiksitis


Jika apendisitis didiagnosis dan ditangani secara dini, maka prognosisnya akan baik
namun penanganan yang terlambat akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian.
Tindakan apendiktomi sendiri memiliki angka komplikasi sekitar 4-15%.

13
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN APENDIKSITIS


1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan melalui kegiatan
pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dapat pasien guna mengetahui
berbagai permasalahan yang ada (Aziz Alimul. 2009).
a) Identitas klien dan keluarga
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku
bangsa, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor registrasi.
2. Identitas penanggung jawab.
Meliputi nama, jenis kelamin, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b) Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya pasien dengan apendiksitis mengeluh adanya nyeri pada bagian perut
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adakah riwayat penyakit keturunan, kecendrungan alergi dalam satu
keluarga dan kemungkinan penularan penyakit akibat kontak langsung droplet
antar anggota keluarga.
5. Struktur keluarga
Menggambarkan kedudukan klien dalam keluarga.
c) Pola Gordon
1. Pola persepsi manajemen kesehatan
Menjelaskan tentang persepsi atau pandangan klien terhadap sakit yang
dideritanya, tindakan atau usaha apa yang dilakukan klien sebelum datang
kerumah sakit, obat apa yang telah dikonsumsi pada saat akan datang kerumah
sakit. Pada Px apendiksitis terjadi perubahan persepsi manajemen kesehatan
karena kurangnya pengetahuan tentang dampak apendiksitis sehingga
menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk

14
tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu
perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2. Pola nutrisi dan metabolik
Menggambarkan asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kondisi
rambut, kuku dan kulit, kebiasaan makan, frekuensi makan, nafsu makan,
makanan pantangan, makanan yang disukai dan banyaknya minum dan apakah
terjadi penurunan/peningkatan BB yang dikaji sebelum dan sesudah masuk RS.
3. Pola eliminasi
Menggambarkan pola eliminasi klien yang terdiri dari frekuensi, volume,
adakah disertai rasa nyeri, warna dan bau.
4. Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan kemampuan beraktivitas sehari-hari, rutin melakukan olahraga
atau tidak, serta fungsi pernapasan dan fungsi sirkulasi. Pada kasus Campak
menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara
maksimal.
5. Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan penggunaan waktu istirahat atau waktu senggang, kesulitan
dan hambatan dalam tidur. Selain itu, situasi rumah sakit yang ramai akan
mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan
waktu tidur penderita mengalami perubahan.
6. Pola hubungan dan peran
Menggambarkan tentang hubungan klien dengan lingkungan disekitar serta
hubungannya dengan keluarga dan orang lain.
7. Pola kognitif perseptual
Menggambarkan pola kemampuan klien untuk proses berpikir, pola penglihatan,
pendengaran, pengecapan, penciuman dan persepsi sensasi nyeri serta
kemampuan berkomunikasi dan mengerti akan penyakitnya.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan citra diri, identitas diri, harga diri dan ideal diri seseorang,
lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan
pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga.
9. Pola reproduksi dan seksual
Menggambarkan tentang seksual klien sebelum dan sesudah pasien sakit.

15
10. Pola penanggulangan stress
Menggambarkan kemampuan koping pasien terhadap masalah yang dialami dan
dapat menimbulkan ansietas. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit
yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi
psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain–
lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif atau adaptif.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan sejauh mana keyakinan pasien terhadap kepercayaan yang
dianut dan bagaimana dia menjalankannya. Adanya perubahan status kesehatan
dan penurunan fungsi tubuh tidak menghambat penderita dalam melaksanakan
ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.
d) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
 Kaji tingkat kesadaran (GCS).
2. Mengkaji Tanda-Tanda Vital dengan monitor suhu tubuh
3. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa
tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan
berdarah, apakah penglihatan kabur/ganda, diplopia, lensa mata keruh.
4. Pemeriksaan pada kulit, rambut dan kuku.
Inspeksi: warna kulit, jaringan parut, lesi, kondisi vaskularisasi superfsial,
warna dan bentuk kuku, distribusi rambut dan warna dan tekstur
rambut.
Palpasi: suhu kulit/kelembaban, tekstur (halus/kasar), turgor (elastis atau
tidak), edema.
5. Pemeriksaan Kepala
Inspeksi: bentuk kepala, kesimetrisan wajah, warna dan distribusi rambut, dan
tengkorak, kulit kepala.
Palpasi: massa, pembengkakan, Nyeri tekan, keadaan tengkorak, kulit kepala.

16
6. Pemeriksaan Mata
Inspeksi: bentuk bola mata, kelopak mata, konjungtiva, sclera, kornea, warna
iris, ukuran dan bentuk pupil, gerakan bola mata, lapang pandang,
visus.
Palpasi: palpasi tekanan bola mata.
7. Pemeriksaan Telinga
Inspeksi: daun telinga (ukuran, bentuk, warna, lesi, massa).
Palpasi : kartilago, uji pendengaran.
8. Pemeriksaan Hidung
Inspeksi: warna dan pembengkakan hidung luar, secret, perdarahan dan
penyumbatan.
Palpasi: tekan di samping daerah hidung untuk mengetahui ada sinusitis
maksilaris, frontalis dan etmoidalis, septum.
9. Pemeriksaan Mulut
Inspeksi: bibir, gigi, kebersihan mulut dan bau mulut, lidah (kesimetrisan,
kelurusan, warna, ulkus), selaput lender.
Palpasi: pipi palatum dan dasar mulut.
Perkusi: gigi.
10. Pemeriksaan Dada
Inspeksi: bentuk dada, warna kulit, retraksi dada, apakah ada ruam pada daerah
dada dan punggung.
Palpasi: nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi dada, taktil
fremitus.
Perkusi: Perkusi paru-paru anterior dengan posisi px terlentang, perkusi paru-
paru posterior dengan posisi px duduk/berdiri, perkusi paru-paru
posterior untuk menentukan gerakan diafragma.
Auskultasi: auskultasi paru-paru kanan dan kiri.
11. Pemerksaan Jantung
Inspeksi dan palpasi: palpasi pada daerah apikal dan pulsasi aorta.
Perkusi: ukuran dan bentuk jantung secara kasar.
Auskultasi: auskultasi suara jantung S1, S2 dan suara jantung tambahan.

17
12. Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
Inspeksi: ukuran, bentuk, kesimetrisan payudara, warna, lesi, vaskularisasi,
edema.
Palpasi: daerah klavikula dan ketiak, payudara kanan dan kiri.
13. Pemeriksaan Perut
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita
takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala
lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C tetapi jika suhu
lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu :
- Pada inspeksi di dapat penderita berjalan membungkuk sambil memegangi
perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut
bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah
UGM, 2010).
- Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi 15 kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar
bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)
akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).
- Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. 14 Status lokalis
abdomen kuadran kanan bawah adalah :
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness
(nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah
saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
3. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.

18
4. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
5. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
6. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif,
hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).
- Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
14. Pemeriksaan alat kelamin
Inspeksi: rambut, pubis, kulit, ukuran, skrotum, penis.
Palpasi: adakah nyeri tekan pd penis/vagina, ukuran, konsistensi, massa.
15. Pemeriksaan muskuluskeletal
Inspeksi: Otot (ukuran, kontraktur, kontraksi, kekuatan)
Palpasi: Kelemahan, kontraksi, gerakan.
Inspeksi: Tulang (susunan tulang, pembengkakan)
Palpasi: Odema, nyeri tekan.
Inspeksi: Persendian (Kaku, ROM, nyeri tekan, bengkak, krepitasi).

2. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
2. Hipertermi berhubungan dengan penyakit
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
6. Kontipasi berhubungan dengan asupan cairan tidak cukup
7. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi

19
3. Intervensi

No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


1. Kekurangan volume NOC : NIC :
cairan berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan Manajemen cairan
kehilangan cairan aktif keperawatan diharapkan a. Pertahankan catatan
1. Keseimbangan nutrisi intake dan output
Kriteria Hasil : yang akurat
a. Tekanan darah tidak b. Monitor status
terganggu hidrasi (misalnya:
b. Kesimbangan intake membrane mukosa
dan output tidak lembab, denyut
terganggu nadi adekuat, dan
c. Berat badan stabil tekanan darah)
tidak terganggu c. Monitor vital sign
d. Turgor kulit tidak d. Monitor masukan
terganggu atau cairan dan
e. Hematrokrit sedikit hitung intake kalori
terganggu harian
f. Berat jenis urin e. Monitor status
sedikit terganggu nutrisi
2. Hidrasi tidak terjadi f. Dorong pasien
Kriteria Hasil : untuk menambah
a. Turgor kulit tidak asupan oral
terganggu misalnya :
b. Membrane mukosa memberikan
lembab tidak sedotan,
terganggu menawarkan cairan
c. Intake cairan tidak diantara waktu
terganggu makan
d. Output urin tidak g. Tawari makanan
terganggu ringan
e. Perfusi jaringan h. Kolaborasi
tidak terganggu pemberian cairanIV

20
f. Tidak ada haus i. Monitor hasil lab
g. Tidak ada
peningkatan
hematocrit
h. Tidak ada nadi cepat
dan lemah

2. Hipertermi berhubungan NOC : NIC :


dengan penyakit Setelah dilakukan asuhan Perawatan demam
keperawatan diharapkan a. Pantau suhu dan
1. Termoregulasi normal TTV lainnya
Kriteria Hasil: b. Monitor warna kulit
a. Tidak ada dan suhu
peningkatan suhu c. Berikan obat atau
tubuh cairan iv
b. Tidak ada d. Monitor penurunan
hipertermia tingkatkesadaran
c. Tidak ada sakit e. Tutup pasien
kepala dengan
d. Tidak ada sakit otot selimutataupakaian
e. Tidak ada perubahan ringan tergantung
warna kulit pada fase demam
f. Tidak ada dehidrasi f. Dorong konsumsi
cairan
g. Fasilitasi istirahat
h. Kompres hangat
pasien pada lipat
paha dan aksila

3. Nyeri Akut berhubungan NOC : NIC :


dengan agen cidera Setelah dilakukan asuhan Manajmen nyeri
biologis keperawatan diharapkan: a. Lakukan pengkajian
1. Tingkat nyeri nyeri secara
berkurang komperhensif

21
Kriteria Hasil : termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
a. Tidak ada nyeri yang
frekuensi, kualitas
dilaporkan
dan factor
b. Tidak ada
persipitasi.
mengerang dan
b. Observasi reaksi
menangis
nonverbal dari
c. Tidak ada
ketidak nyamanan.
menyeringit
c. Gunakan teknik
d. Tidak ada
komunikasi
ketegangan otot
terapiutik untuk
e. Tidak ada
mengetahui
kehilangan nafsu
pengalaman nyeri
makan
pasien.
f. Tidak ada ekspresi
d. Kaji kultur yang
wajah nyeri.
mempengaruhi
respon nyeri.
2. Kontrol nyeri teratasi
e. Evaluasi
Kriteria Hasil :
pengalaman nyeri
a. Sering menunjukan
masa lampau.
mengenali kapan nyeri
f. Evaluasi bersama
terjadi
pasien dan tim
b. Secara konsisten
kesehatan lain
menunjukan
tentang ketidak
menggambarkan factor
efektifan control
nyeri
nyeri masa lampau.
c. Sering menunjukan
g. Bantu pasien
menggunakan tindakan
keluarga untuk
pengurangan (nyeri
mencari dan
tanpa analgetik).
menunjukkan
d. Sering menunjukan
dukungan.
melaporkan perubahan
h. Control lingkungan
terhadap gejala nyeri
yang dapat
pada professional
mempengaruhi

22
kesehatan. nyeri seperti suhu
3. Status kenyamanan ruangan,
meningkat pencahayaan, dan
Kriteria Hasil : kebisingan.
a. Tidak terganggu i. Kurangi factor
kesejahteraan fisik presipitasi nyeri.
b. Tidak terganggu j. Pilih & lakukan
control terhadap penanganan nyeri
gejala (farmakologi, non
c. Tidak terganggu farmakologi &
kesejahteraan interpersonal).
fisikologis k. Kaji tipe dan
d. Tidak terganggu sumber nyeri untuk
lingkungan fisik menentukan
e. Tidak terganggu intervensi
suhu ruangan l. Berikan analgetik
f. Tidak terganggu untuk mengurangi
dukungan social dari nyeri.
keluarga. m. Evaluasi keefektifan
control nyeri.
n. Dukung tingkatan
istirahat atau tidur
yang adekuat untuk
membantu
penurunan nyeri.
o. Kolaborasi dengan
dokter jika ada
keluhan dan
tindakan nyeri yang
tidak berhasil.

Pemberian Analgetik
a. Tentukan lokasi,
karakteristik,

23
kualitas, dan derajat
nyeri sebelum
pemberian obat.

b. Cek intruksi dokter


tentang jenis obat,
dosis, dan
frekuensi.

c. Cek riwayat alergi.

d. Pilih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih
dari satu.

e. Tentukan pilihan
analgesik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri.

f. Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan
dosis optimal.

g. Pilih rute
pemberian secara
IV, IM untuk
mengobati nyeri
secara teratur.

h. Monitor vital sign


sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama

24
kali.

i. Berikan analgesik
tepat waktu
terutama saat nyeri
hebat.

j. Evaluasi efeltifitas
analgesik, tanda
dan gejala (efek
samping).

4. Ketidakseimbangan nutrisi NOC : NIC :


kurang dari kebutuhan Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
tubuh berhubungan dengan asuhan keperawatan a. Kaji adanya alergi
anoreksia, mual dan diharapkan. makanan
muntah 1. Status Nutrisi asupan b. Kolaborasi dengan
makanan dan cairan ahli gizi untuk
teratasi menentukan jumlah
Kriteria Hasil: kalori dan nutrisi
a. Asupan makanan yang dibutuhkan
secara peroral pasien
sepenuhnya adekuat c. Berikan informasi
b. Asupan cairan tentang kebutuhan
secara peroral nutrisi.
sepenuhnya adekuat Monitor Nutrisi
c. Asupan cairan IV a. Monitor adanya
sepenuhnya adekuat penurunan berat
d. Asupan nutrisi badan
parental sepenuhnya b. Monitor lingkungan
adekuat. selama makan
c. Monitor monitor
kulit kering dan
perubahan
pigmentasi

25
d. Monitor
kekeringan, rambut
kusam, dan mudah
patah
e. Monitor muntah
mual
f. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb, Ht
g. Catat adanya
edema, hiperemik,
hipertonik, papilla
lidah dan cavitas
oral.
5. Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan
a. Bantu klien memilih
kelemahan keperawatan diharapkan:
aktifitas yang sesuai
1. Kondisi klien stabil
dengan kondisi
saat aktivitas
b. Monitor intake
Kriteria Hasil :
nutrisi yang adekuat
1. Pasien tidak nampak
sebagai sumber
kelelahan
energy
2. Pasien tidak ada
c. Anjurkan klien
penurunan nafsu makan
untuk membatasi
3. Mampu melakukan
aktifitas yang berat
aktifitas sehari-hari
d. Bantu klien untuk
melakukan aktifitas
atau latihan fisik
secara teratur
e. Batasi stimuli
lingkungan untuk
relaksasi klien
6. Kontipasi berhubungan NOC : NIC :

26
dengan asupan cairan tidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen
cukup keperawatan diharapkan konstipasi
konstipasi pasien teratasi
a. Identifikasi faktor-
Kriteria Hasil:
faktor yang
a. Pola BAB dalam batas
menyebabkan
normal
konstipasi
b. Feses lunak
b. Monitor tanda-
c. Cairan dan serat adekuat
tanda ruktur bowel
d. Aktifitas adekuat
atau peritonitis
e. Hidrasi adekuat
c. Jelaskan penyebab
1.
dan rasionalisasi
K
tindakan pada
pasien
d. Konsultasikan
dengan dokter
tentang
peningkatan dan
penurunan bising
usus
e. Kolaborasi jika ada
tanda dan gejala
konstipasi yang
menetap.

7. Ansietas berhubungan NOC : NIC :


dengan kurangnya Setelah dilakukan asuhan Pengurangan
informasi keperawatan diharapkan: kecemasan
1. Tingkat kecemasan a. Dorong keluarga
berkurang untuk mendampingi
Kriteria Hasil : pasien dengancara

27
a. Dapat beristirahat yang tepat
dengan cukup b. Berada di sisi
b. Dapat mengatasi pasien untuk
perasaan gelisah mengatakan rasa
c. Wajah tegang aman dan
b. Gangguan tidur mengurangi
kecemasan
Terapi relaksasi
a. Dapatkan perilaku
yang menunjukan
terjadinya relaksasi
b. Ciptakan lingkung
yang terang
Monitor tanda-tanda
vital
a. Monitor tekanan
darah, nadi, suhu,
dan respirasi

5. Implementasi

28
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh perawat
maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan dan
perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam
rencana keperawatan. (Nursalam, 2011).

6. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
melakukan evaluasi perawat harusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
memahami respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan
keperawatan pada kriteria hasil (Hidayat, 2008).

1) Evaluasi formatif disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai
dengan tujuan tercapai.
2) Evaluasi somatif merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP.

29

Anda mungkin juga menyukai