Anda di halaman 1dari 16

PERITONITIS

LAPORAN KASUS

Atifa syofiza putri : 1610070100049


Nurhikmah : 1410070100050

Preseptor

dr. Ade Ariadi, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESI RSUD M. NATSIR SOLOK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2020

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................................i


BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................1
BAB 2 LAPORAN KASUS ...............................................................................................2
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................7
3.1 Definisi Laparotomi.......................................................................................................7
3.2 Epidemiologi Laparotomi..............................................................................................7
3.3 Indikasi Laparotomi.......................................................................................................7
3.4 Jenis Tindakan Laparotomi...........................................................................................8
3.5 Komplikasi Laparotomi.................................................................................................9
3.6 Proses Penyembuhan Luka Post Laparotomi...............................................................9
3.7 Perawatan Pasca Operasi...............................................................................................10
3.8 Anestesi Pada Laparotomi.............................................................................................11
BAB 4 PEMBAHASAN.....................................................................................................12
BAB 5 KESIMPULAN.......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB 1

PENDAHULUAN

Peritonitis adalah peradan%an ,an% disebabkan oleh infeksi pada selaput or%an perut

  Peritonieum Peritoneum adalah selaput tipis dan 'ernih ,an% membun%kus or%an perut

dandindin% perut sebelah dalam. )okasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse+ ri(a,at akut

ataukronik dan pato%enesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis

merupakan suatuke%a(at daruratan ,an% biasan,a disertai den%an bakterisemia atau sepsis

Peradan%an peritoneum merupakan komplikasi berbaha,a ,an% serin% ter'adi

akibat pen,ebaran infeksi dari or%an*or%an abdomen misaln,a apendisitis+ salpin

%itis+ perforasiu l k u s   % a s t r o d u o d e n a l  +   r u p t u r a   s a l u r a n    e r n a +   k o m p l i k a s i  

p o s t   o p e r a s i +   i r i t a s i   k i m i a ( i + ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan

normal+ peritoneum resisten terhadap infeksi  bakteri

seara inokulasi keil*keilan kontaminasi ,an%  terus 

2
menerus+

bakteri ,an

3
BAB 2
LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan, Ny. R 50 tahun, Didiagnosa saat masuk IGD RS


M.Natsir dengan colic abdomen ec suspek ca serviks + AKI, keluhan utama masuk
mengalami nyeri ulu hati sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri terus menerus, sesak
nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tekanan darah 70/40 mmhg, pasien
sebelumnya mempunyai riwayat ca serviks direncanakan tindakan operasi pada pasien
dengan kesadaran composmentis. Dilakukan tindakan operasi laparotomy kepada pasien dan
kemudian dirawat ke ICU untuk rawatan lebih lanjut.
Hasil pemeriksaan :

S : Nyeri ulu hati sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri terus menerus .

O :- Tampak sakit berat, GCS E4M5V6, TD 70/40, nadi : 104x/menit, nafas :28x/menit,
saturasi 95% , T : 36,5'C
- Mata : konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik, pupil isokor.

- Jantung : Irama reguler, mumur tidak ada, galop tidak ada

- Paru : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada

- Abdomen : supel bising usus (+) normal

- Ekstermitas : akral hangat, CRT>2 detik

- Laboratorium 04-11-2020, 00.45


- Hb : 13,5 g/dL
- Eritrosit : 4.82 106/mm3
- Trombosit 253 103/mm3
- Leukosit 11.0 103/mm3
- PT : 11.10 detik
- APTT : 25.90 detik

4
A : - Syok sepsis + Perikarditis + AKI

P : Acc perawat ICU


Selama 1 hari perawatan pasien di ICU, dengan kronologis sebagai berikut :

Hari 1 Hari 2

Tgl 3 nov 2020 Tgl 4 nov 2020

Pukul 00.30 Pukul 00:08

Subjektif Pasien mengalami Penuruan Penurunan kesadarn


kesadarn.

Objektif -KU : Samnolen - KU : koma


-TD : 70/40 mmHg
- TD : 114/73 mmHg
-HR : 104 x/menit
-RR :28 x/menit - HR : 155x/menit
-Spo2 : 95 % - RR: 41 x/menit
-Suhu: 36 °C - Spo2 : 90 %
- Suhu: 37,8 °C
Mata : konjungtiva tidak anemis
dan sklera tidak ikterik, pupil Mata : konjungtiva tidak anemis
isokor. dan sklera tidak ikterik, pupil
isokor.
Jantung : Irama reguler, mumur
tidak ada, galop tidak ada Jantung : Irama reguler, mumur
tidak ada, galop tidak ada
Paru : vesikuler, rhonki tidak ada,
wheezing tidak ada Paru : vesikuler, rhonki tidak
ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel bising , nyeri
tekan nyeri lepas (+). BU (+) Abdomen : sukar dinilai
normal
Ekstermitas : akral hangat,
Ekstermitas : akral hangat, CRT>2 detik
CRT>2 detik
- Hb : 13,5 g/dL

5
-Hb : 13,5 g/dL -Eritrosit : 4.82 106/mm3
-Eritrosit : 4.82 106/mm3 -Trombosit 253 103/mm3
-Trombosit 253 103/mm3 -Leukosit H 11.0 103/mm3
-Leukosit 11.0 103/mm3 - hematocrit 38,2 %
-PT : 11.10 detik - albumin L 2,87 g/dl
-APTT : 25.90 detik -kalsium L 7,79 mg/dl
- ALC L 605 - ureum H 89 mg/dl
- NLR H 7,55 - kreatinin H 1,66 mg/dl

Assessment Syok sepsis + peritonitis + AKI post operasi laparotomi Ai


peritonitis + CA serviks

Planning - Elevasi kepala 30’ Elevasi kepala 30’

- Pasang ventilator pc.simn - Pasang ventilator pc.simn

- Pasang DC , NGT - Pasang DC , NGT

-E1 metronidazile 1x1500 mg - IVFD aminopluit


1500cc/24 jam
- Syr ketamine 50 mg
- dobutamin 250 mg/ 50cc
- Inj morfin ( extra ) 2 mg
-NE 8 mg/50cc
- parasematamol infus 4x1 gr
-Vasopresin 0,04 unit / menit
- IVFD RL 500
cc/8aminofluid 150 cc/24 - ketamine 50 mg/jam
jam
- E2 metrinidazol 1x1500 mg
- Syr dobutamin
- paracematol infus 4x1 gr
- Syr NE 4 mg
-E2 injceftriaxon 3x2 gr
- E1 inj ceftriaxone 2x2 gr
- inj. Ranitidine 2x50 gr
- Inj dexametason 4x10 mg
- inj. Ondansentron 3x4 mg
- inj ranitidine 2x50 mg

6
-inj ondansentron 3x4 mg - E1 levofloxacin

- inj D40% ektra - syr hidrokortison 200mg

- gutur RL - syr morfin 2mg/jam

- inj dexametason 2 amp ektra - NAC granul 4x200 mg

- Ijn furosemid 10 mg - Nebu combivent : NAC 1:1 /


8 jam
- Nebu combivent 1:1/ 8 jam
- puasa  spooling
- NAC granul 4x200mg
-Diet : Mc 61200 cc
- puasa
- A.P
- Cek labor ulang

7
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Laparotomi


Laparotomi berasal dari kata lapara yang artinya adalah panggul dan kata tomy yang
artinya adalah memotong. Jadi laparotomi memiliki arti yaitu suatu tindakan berupa
pembedahan abdomen untuk melihat kelainan yang ada pada organ bagian dalam. Namun
dalam bahasa yunani laparotomi berasal dari bahasa laparos yang artinya tindakan
pembedahan yang dilakukan pada bagian lunak antara tulang rusuk dan panggul. Laparotomi
juga banyak didefinisikan sebagai eksplorasi abdomen. Laparotomi merupakan suatu
tindakan pembedahan yang bisa dilakukan elektif maupun emergensi.5

3.2 Epidemiologi Laparotomi


Tindakan laparotomi di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat
pada tahun 2005 debanyak 162 kasus, lalu pada tahun 2006 naik menjadi 983 kasus, dan pada
tahun 2007 melonjak hingga 1281 kasus.6 Sementara data dari Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada bulan Juli hingga Desember 2004 dikatakan bahwa
adanya tindakan laparotomi emergensi terhadap 83 orang penderita pasien tercatat 10,84%
mengalami kematian dan 44,19% mengalami komplikasi berupa infeksi pasca operasi.
Sementara di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta melaporkan sebanyak 82 operasi
laparotomi emergensi yang dilakukan dengan indikasi trauma abdomen tercatat tingkat
mortalitas sebesar 18,3%. Pada Rumah Sakit Umum Islam Faisal Makassar pada tahun 2017
didapatkan bahwa dari 79 kasus laparotomi, 300 kasus pada tahun 2010, dan 263 kasus pada
tahun 2011. Dari data yang didapatkan melalui rekam medis RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tahun 2013 tercatat sebanyak 300 tindakan bedah laparotomi yang dilakukan.4,7
3.3 Indikasi Laparotomi
Laparotomi dapat dilakukan untuk menangani setiap kasus yang memerlukan akses
langsung kedalam rongga abdomen. Ada beberapa keadaan yang memerlukan tindakan
laparotomi pada pasien dengan gawat abdomen, yaitu8:
1. Apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya defans muskular dan nyeri tekan
yang meluas, peningkatan tegangan distensi abdomen, terdapat masa yang nyeri

8
khususnya jika disertai suhu yang tinggi atau hipotensi, adanya tanda yang meragukan
seperti tanda perdarahan dan sepsis serta beberapa tanda iskemia.
2. Pada pemeriksaan radiologik menunjukkan tanda ekstravasasi bahan kontras, tumor

diserta suhu tinggi, pneumoperitoneum, oklusi vena atau arteri mesentrika.

3. Pada pemeriksaan endoskopi ditemukan perifirasi saluran cerna dan perdarahan

saluran cerna yang tidak teratasi

4. Hasil pemeriksaan laparoskopi ditemukan darah segar, empedu, nanah, isis usus, atau

urin

Kemudian ada beberapa indikasi lainnya seperti1:

1. Trauma abdomen (baik tajam atau tumpul) / Ruptur Hepar

2. Peritonitis

3. Perdarahan saluran pencernaan (Internal Bleeding)

4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar

5. Adanya masa pada abdomen

3.4 Jenis Tindakan Laparotomi


Ada beberapa cara insisi pada pembedahan yang dilakukan yaitu8:
1. Midline Incision
Metode insisi midline adalah metode yang paling sering digunakan. Metode ini paling
banyak digunakan karena perdarahannya sedikit, eksplorasi dapat lebih luas, cepat
dibuka dan ditutup, serta tidak memotong ligamen dan saraf. Tetapi kerugian teknik
ini adalah dapat terjadi hernia cikatrialis. Indikasi dilakukannya metode ini adalah
eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan lien serta dibawah umbilikus untuk eksplorasi
ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis.
2. Paramedian
Teknik ini terbagi atas dua yaitu paramedian kanan dan paramedian kiri. Biasanya
indikasi dilakukannya metode ini adalah jenis operasi untuk lambung, eksplorasi
pangkreas, organ pelvis, usus bagian bawah, serta plenoktomi. Keuntungan metode

9
ini adalah bentuk insisi anatomis dan fisiologi, tidak memotong ligamen dan saraf,
dan insisi mudah diperluas kearah atas maupun bawah.
3. Transverse Upper Abdomen Incision
Ini merupakan metode insisi laparotomi dengan insisi pada bagian atas. Misalnya,
pembedahan kolesistotomi dan splenoktomi
4. Transverse Lower Abdomen Incision
Metode ini merupakan insisi laparotomi dengan insisi melintang pada bagian bawah
sekitar lebih kurang 4 cm diatas anterior spina iliaa. Misalnya, pada operasi
appendiktomi.

3.5 Komplikasi Laparotomi


Komplikasi pada tindakan laparotomi sebenarnya tidak jauh berbeda dengn
komplikasi yang ditimbulkan dengan tindakan bedah lainnya. Komplikasi yang ditimbulkan
dapat berupa perdarahan, infeksi daerah luka operasi, hernia insisional, pembentukan abses,
ataupun komplikasi lain yang berhubungan dengan anestesi.9 Komplikasi lainnya yang dapat
terjadi bisa berupa sinus dan fistula. Sinus adalah terowongan yang terbentuk ke permukaan
kulit yang terbentuk karena adanya abses atau benda asing. Sementara fistula adalah saluran
abnormal yang menghubungkan satu organ dengan organ yang lainnya atau satu organ ke
permukaan kulit.9

3.6 Proses Penyembuhan Luka Post Laparotomi


Luka adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan tersebut bisa disebabkan oleh
trauma karenabenda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan
listrik,atau gigitan hewan. Atau hal tersebut juga bisa disebabkan akibat tindakan operatif
untuk terapi suatu penyakit. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak akibat
luka akan dibagi menjadi tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan remodelling.9
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka hingga kira-kira hari kelima. Pembuluh
darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha
untuk menghentikannya dengan pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus atau
retraksi dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari

10
pembuluh darah saling melengket dan bersamajala fibrin yang terbentuk, membekukan
darah yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit akan saling melekat dan membentuk
bekuan darah bersama benang fibrin. Perlekatan ini yang akan menarik sel radang dan
kemudian mengaktifkan fibroblast lokal dan sel endotel serta vasokonstriktor.9
2. Fase Proliferasi
Fase proliferatif terdiri dari proses destruktif (fase pembersihan), granulasi (pelepasan
sel-sel baru atau pertumbuhan) dan epitelisasi (migrasi sel atau penutupan). Sel polimorf
dan makrofag `membunuh bakteri dan terjadi proses debris (pembersihan) luka pada fase
destruktif. Makrofag juga berfungsi menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan kolagen
dan elastin lalu terjadi proses angiogenesis (pembentukan pembuluh darah). Kolagen dan
elastin yang dihasilkan menutup luka dengan membentuk jaringan baru yang disebut
proses granulasi. Fase epitelisasi terjadi setelah tumbuh jaringan granulasi. Fase ini
dimulai dari bagian tepi luka akan mengalami migrasi membentuk lapisan tipis yang
berwarna merah muda dan menutupi tepi luka. Kemudian sel akan mengalami kontraksi,
dan tepi luka akan menyatu serta ukuran luka akan mengecil.9
3. Fase Remodelling
Pada fase remodelling terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali
jaringan yang berlebih. Terjadi pengerutan sesuai gaya gravitasi dan akhirnya terjadi
penyempurnaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung lama
hingga berbulan-bulan bahkan tahunan dan dapat dinyatakan berakhir apabila tanda
radang sudah tidak ada.9

3.7 Perawatan Pasca Operasi


Penyembuhan pada insisi abdomen umumnya memakan waktu sekitar 10 hingga 14
hari. Setelah dilakukan laparotomi, jahitan harus ditutup dengan menggunakan pembalut
yang steril. Dilakukan pemberian infus intravena pada beberapa kasus. Pemberian infus
intarvena diberikan selama 24 jam pasca bedah dan kemudan dilanjutkan hingga pasien dapat
makan secara oral. Pemberian obat-obatan berupa opioid seperti morfin atau buprenorfin juga
digunakan dalam jangka waktu 48 jam pasca laparotomi dan kemudian dapat dilanjutkan
dengan analgetik oral setelah pasien dapat makan.10

3.8 Anestesi Pada Laparotomi


11
Sebelum melakukan tindakan laparotomi pasien harus di evaluasi dan dilakukan
persiapan. Evaluasi yang dilakukan daat berupa anmnesis dan pemeriksaan fisik. Setelh
dlakukannya evaluasi pasien dimasukkan kedalam klasifikasi praanestesia berdasarkan
American Society of Anesthesiologist (ASA) yang dibagi menjadi 5 klasifikasi11:
ASA I : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA II : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang.
ASA III : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa
secara langsung.
ASA IV : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehidupannya.
ASA V : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam
24 jam pasien akan meninggal.
Anestesi yang diberikan pada laparotomi merupakan anestesi umum (General
Anesthesi). Premedikasi diberikan secara intramuscular sekitar 30-45 menit pra
induksi dengan obat-obat sebagai berikut: Petidin 1,0 – 2,0 mg/kgBB, Midazolam
0.04 – 0,10 mg/kgBB, atau Atropin 0,01 mg/kgBB. Obat-obatan ini bertujuan agar
pasien merasa rileks dan nyaman, serta meningkatkan kerja saraf simpatis sehingga
motilitas usus berkurang selama pelaksanaan operasi. Selanjutnya diberikan obat-
obatan induksi bisa berupa propofol. Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya
anestesi dan pembedahan. Kemudian apabila pasien sudah masuk kedalam stadium
anestesi barulah dilakukan intubasi endotrakeal pada pasien.12

12
BAB 4
PEMBAHASAN

Seorang pasien perempuan, Ny. R 50 tahun, Didiagnosa saat masuk IGD RS


M.Natsir dengan colic abdomen ec suspek ca serviks + AKI, keluhan utama masuk
mengalami nyeri ulu hati sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, tekanan darah 70/40 mmhg, pasien sebelumnya mempunyai
riwayat ca serviks direncanakan tindakan operasi pada pasien dengan kesadaran
composmentis. Dilakukan tindakan operasi laparotomy kepada pasien dan kemudian dirawat
ke ICU untuk rawatan lebih lanjut. Di ICU pasien di diagnosa Syok sepsis + Perikarditis +
AKI.
Pasien dikonsulkan untuk perawatan di ICU karena mengalami penurunan kesadaran
post laparotomy dengan tekanan darah 70/40mmhg, 104x/menit, nafas 28x/menit, suhu 36'C,
dan saturasi 98%.
Terapi medikamentosa untuk penanganan pada peritonitis adalah pemberian
ceftriaxone direkomendasikan sebagai terapi empirik setelah hasil kultur keluar berikan
antibiotik sesuai hasil kultur/uji resistensi dengan melanjtukan memberikan metronidazol .
Monitoring tekanan darah selama di ICU dengan menggunakan nonivasif, selama
perawatan ICU tekanan darah dikontrol dengan nifedipin, karena jika tekanan darah sistolik
kurang dari 180 mmHg atau tekanan darah kurang dari 110 mmHg diberikan Nifedipin 3x10
mg jika tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg atau tekanan darah lebih dari 100 mmHg
pada pasien yang belum dilakukan clipping maka disarankan untuk menurunkan dengan
antagonis kalsium atau dengan penghambat β.
Pemberian metronidazol merupakan terapi pilihan pada tatalaksana
berat.Kemungkinan infeksi pasca tatalaksana metronidazol masih dapat terjadi, oleh karena
itu pemantauan pasca pemberia obat sangat penting untuk dilakukan.

13
BAB 5

KESIMPULAN

Laparotomi merupakan salah satu tindakan bedah yang sering dilakukan di Indonesia.
Indikasi dilakukannya laparotomi biasanya karena adanya trauma abdomen, peritonitis,
internal bleeding, obstruksi, atau adanya masa pada abdomen. Anestesi yang digunakan
dalam laparotomi adalah anestesi umum. Sebelum dilakukan tindakan laparotomy pasien
harus dievaluasi dan diklasifikasikan kedalam ASA terlebih dahulu. Komplikasi yang terjadi
setelah dilakukannya tindakan laparotomi juga tidak jauh berbeda dengan tindakan bedah
lainnya yaitu bisa terjadi perdarahan, infeksi luka operasi, hernia insisional, pembentukan
abses, serta komplikasi lain yang berhubungan dengan anestesi.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Dahlan M, Jusi D (2010). Gawat Abdomen. Dalam: (Sjamsuhidajat R,


Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R) Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta:
EGC.
2. Fahmi F (2012). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Gangguan Tidur Pada Pasien
Pasca Laparotomi di IRNA B (Teratai) dan IRNA Ambun Pagi RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.
3. Haryanti L, Hegar B, Pudjiadi AH, Irfan EKB, Thayeb A, Idham A (2013). Prevalensi
dan Faktor Resiko Infeksi Luka Pasien Pasca Bedah. Sari Pediatri, 15:207-2012.
4. Yuwono (2013). Pengaruh Beberapa Faktor Resiko Terhadap Kejadian Surgical Site
Infection (SSI) Pada Pasien Laparotomi Emergensi. Departemen Mikrobiologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
5. Murtaza B, Saeed S, Shariff M (2010). Postoperative complication in emergncy versus
elective laparotomies at pheriperal hospital. Journal of Ayub Medical Collage
Abbottabad.
6. Depkes RI. 2007. Keputusan Mentri Kesehatan RI No: 900/MENKES/VII/2007.
7. Ikhsan M (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya peningkatan
tekanan darah pada pasien pre operasi laparotomi di Rumah Sakit Faisal Makasar.
STIKES Nani Hassanuddin Makassar.
8. Thomas P (2010). After Laparotomy. Monash ivf
9. Arisanty IP (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta: EGC
10. King M (2013). Expolatory Laparotomy. Canada West 2013 Symposium.
11. American Society of Anesthesiologist, (2015). 10. American Society of
Anesthesiologists. Statement on Documentation of Anesthesia Care

15

Anda mungkin juga menyukai