Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Stroke merupakan penyebab kematian nomor satu di Indonesia dengan

prevalensi 8,3 per 1000 penduduk dan menjadi penyebab kematian utama di

rumah sakit, yakni sebesar 15,4%. Penelitian yang dilakukan di 33 provinsi

diperoleh Sulawesi Utara menempati urutan ke-4 dalam jumlah penderita stroke,

yakni 8,5% penduduk terdiagnosis. Mengingat tingginya angka kejadian stroke

tersebut maka diperlukan diagnosis stroke seawal mungkin untuk menentukan

terapi yang sesuai, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kematian yang

disebabkan stroke. Stroke sebagai diagnosis klinis terbagi menjadi stroke

hemoragik (pendarahan) dan stroke non-hemoragik (iskemik) (Riskesdas, 2013).

Penyebab stroke adalah aliran darah ke otak yang terhambat, sehingga

membuat sel- sel otak tidak mendapatkan makanan. Terhambatnya aliran darah

ke otak ini disebabkan dua hal, pembuluh darah tersumbat (stroke iskhemik)

ataupun pecah (stroke hemoragik) (Fauzan, 2007). Stroke hemoragik merupakan

penyebab utama ketidakmampuan penderita. Hanya sekitar 20% penderita yang

dapat berdiri sendiri dalam 6 bulan dan 10% yang dapat berdiri sendiri setelah 30

hari kejadian. Sekitar 20-30% perdarahan akan bertambah dalam 24 jam dan ini
2

dapat diketahui dengan bertambah buruk keadaan umum penderita serta gejala

neurologis yang timbul. Insiden perdarahannya 8-15% dari semua stroke yang

terjadi di Amerika Serikat dan 20-30% di Jepang dan China diduga insidennya

bertambah karena usia manusia semakin bertambah dimana risiko terjadinya

stroke lebih sering pada usia yang lebih tinggi (Japardi, 2003).

Faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke hemoragik

adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, ras, gender, genetik dan

riwayat transient ischemic attack atau stroke sebelumnya. Sedangkan faktor yang

dapat dimodifikasi seperti hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, alkohol (Putra,

2004). Data menunjukan bahwa stroke, bersama-sama dengan hipertensi dan

penyakit jantung lainnya, stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab

kematian yang ada di Indonesia (Arseta, 2015).

Perdarahan pada stroke hemoragik biasanya disebabkan oleh aneurisma

(arteri yang melebar) yang pecah atau karena suatu penyakit. Penyakit yang

menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh adalah penyebab tersering

perdarahan intraserebrum. Penyakit semacam ini adalah hipertensi. Hipertensi

merupakan faktor reisiko yang kuat untuk terjadinya stroke hemoragik. Apabila

tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-

tahun, akan menyebabkan disfungsi endotel yang membuat dinding arteri

menipis dan rapuh. Bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik, maka tekanan
3

perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Pembuluh darah dapat pecah dan

terjadi pendarahan di otak (Feigin, 2006).

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan

diastolik 90 mmHg (Smeltzer, 2002). Hipertensi sering disebut dengan silent

killer, sebab seseorang dapat mengidap hipertensi selama bertahun-tahun tanpa

dia menyadari. 70% penderita hipertensi tidak merasakan gejala apa-apa,

Sehingga dia tidak mengetehui dirinya menderita hipertensi sampai dia

memeriksakan ke dokter. Sebagian lagi ada yang mengeluh pusing, kencang di

tengkuk, dan sering berdebar-debar. Penyakit hipertensi di dunia semakin

meningkat. Sebanyak 1 miliar orang di dunia atau satu dari empat orang dewasa

menderita hipertensi. Bahkan diperkirakan jumlah penderita meningkat menjadi

1,6 miliar orang menjelang tahun 2025 (Muhammadun, 2010). Menurut WHO

tahun 2008, hipertensi telah menjangkiti 30,4% populasi di dunia dengan

perbandingan 29,6% pada pria dan 28,1% pada wanita. Di Indonesia sendiri

prevalensi hipertensi menurut survey kesehatan rumah tangga/SKRT tahun 2008,

pada orang berusia 25 tahun keatas menunjukan bahwa 30% pria dan 35% wanita

menderita hipertensi (Ahmad, 2008).

Penegakan diagnosis stroke khususnya yang memiliki riwayat hipertensi

diperlukan pemeriksaan penunjang berupa foto thorax dan computed tornografi

scan (CT scan). Pemeriksaan lain yang biasanya dibutuhkan adalah anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan vital sign seperti tekanan darah, frekuensi
4

pernafasan, suhu tubuh dan denyut nadi. Foto thorax penderita hipertensi

biasanya dijumpai gambaran elongasi aorta, kardiomegali dan aterosklerosis

(Kirsch, 2011). Gambaran CT scan kasus stroke akan ditemukan lesi hiperdens

pada stroke hemoragik dan lesi hipodens pada stroke iskemik (Brown, 2000).

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan

antara penyakit hipertensi berdasarkan foto thorax dengan stroke hemoragik

berdasarkan ct scan kepala di RSAM tahun 2019.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya maka

perumusan masalah dalam penilitian ini adalah “apakah terdapat hubungan antara

penyakit hipertensi berdasarkan foto thorax dengan stroke hemoragik

berdasarkan ct scan kepala di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2019”.

I.3 Tujuan penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara penyakit hipertensi berdasarkan foto thorax

dengan stroke hemoragik berdasarkan ct scan kepala.


5

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui angka kejadian stroke hemoragik disertai hipertensi di

rumah sakitAbdul Moeloek.

2. Mengetahui distribusi frekuensi stroke hemoragik disertai hipertensi

berdasarkan jenis kelamin.

3. Mengetahui distribusi frekuensi stroke hemoragik disertai hipertensi

berdasarkan umur.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Klinisi dan Peneliti

Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pengetahuan serta wawasan

penulis tentang penyakit hipertensi dan stroke. Memberikan penatalaksanaan sedini

mungkin agar hipertensi tidak berkembang menjadi stroke dan sebagai salah satu

syarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Memberi informasi pada masyarakat tentang hubungan antara hipertensi

dengan stroke hemoragik, sehingga memberi pengetahuan kepada penderita

hipertensi agar lebih waspada terhadap kejadian stroke hemoragik.

1.4.3 Bagi Universitas Malahayati


6

Menambahkan referensi penelitian bagi peneliti selanjutnya mengenai

Hubungan antara penyakit hipertensi berdasarkan foto thorax dengan stroke

hemoragik berdasarkan ct scan kepala di rumah sakit abdul moeloek tahun 2019.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1 Judul Penelitian

Hubungan antara penyakit hipertensi (berdasarkan foto thorax) dengan

stroke hemoragik (berdasarkan ct scan) kepala di rumah sakit abdul moeloek tahun

2019.

1.5.2 Tempat Penelitian

Tempat Peneltian di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek

1.5.3 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2020.

1.5.4 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini bersifat survey analitik dengan metode cross sectional.

1.5.5 Variabel Penelitian

Variabel independen pada penelitian ini adalah penyakit hipertensi dan

variabel dependen adalah stroke hemoragik scan.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan

darah diukur dengan sphygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80%

dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat, duduk nyaman

dengan tegak atau pasien terlentang. Klasifikasi hipertensi pada orang dewasa

terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi

derajat 2 (Yogiantoro M, 2006).

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan

jantung, penyakit jantung coroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang

berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung

yang dapat berakibat kecacatan hingga kematian. Hipertensi atau yang disebut the

silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab

penyakit jantung (cardiovascular).

2.2 Epidemiologi Hipertensi

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada

umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti

Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%).

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis


8

tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang

minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri.

Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat

hipertensi sebesar 0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5

persen (Rikerdas, 2013).

Sekitar 20% orang dewasa di dunia diperkirakan menderita hipertensi.

Prevalensi ini meningkat pada umur 60 tahun keatas. Di seluruh dunia ada sekitar

satu miliar orang menderita hipertensi dan lebih dari 7,1 juta mengalami kematian

per tahun (Dreisbach, 2013).

2.3 Klasifikasi Hipertensi

The Seventh Report of The Joint National Comitte On Detection And

Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) 2003, dalam buku ajar IPD 2006

telah memperbaharui klasifikasi dari hipertensi sebagai berikut :

Tabel 1, klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII

Kategori TDS TDD


(mmHg) (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prahipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥160 Atau ≥100
(Yogiontoro M, 2006)

2.4 Patogenesis Hipertens


9

Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah, dan

gangguan mekanisme ini mungkin memainkan peran kunci terjadinya

hipertensi. Di antara faktor-faktor lain, seperti faktor genetik, aktivasi system

saraf simpatik/sympathetic nervous system (SNS) dan system

reninangiotensinaldosteron, asupan garam berlebih serta gangguan antara

vasokonstriktor dan vasodilator telah terlibat dalam patofisiologi hipertensi.

Walaupun peran faktor di atas dalam patogenesis hipertensi telah diketahui,

keterlibatan faktor-faktor ini dalam menyebabkan HR belum begitu diketahui

secara menyeluruh.

Sistem renin-angiotensin mungkin yang paling penting dari sistem endokrin

yang mempengaruhi kontrol tekanan darah. Renin disekresikan dari aparatus

jukstaglomerular ginjal, respon terhadap aliran darah yang kurang ke glomerular

atau kurang asupan garam, dan juga dalam menanggapi rangsangan dari sistem

saraf simpatik. Renin bertanggung jawab untuk mengubah substrat renin

(angiotensinogen) menjadi angiotensin I, zat fisiologis tidak aktif yang cepat

dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting

enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat dan dengan demikian

menyebabkan peningkatan tekanan darah. Selain itu merangsang pelepasan

aldosteron dari zona glomerulosa kelenjar adrenal, yang menghasilkan

peningkatan lebih lanjut tekanan darah yang berhubungan dengan retensi

natrium dan air.


10

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer

bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.

Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat

dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya

menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.

Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam

mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),

mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer

(Corwin,2001)

Dalam berbagai tingkat, abbnormalitas regulasi volume, vasokontriksi dan

remodeling dinding arteri mengakibatkan penurunan diameter lumen, serta

peningkatan resistensi memberikan konrtibusi berkembangnya hipertensi.

Perubahan dalam metabolisme elektrolit mengakibatkan hipertrofi vascular dan

proliferasi sel otot polos. Peningkatan pertumbuhan otot polos vascular

merupakan salah satu karakteristik aterosklerosis. Aterosklerosis sendiri adalah

kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya

elastisitas arteri. Pada aterosklerosis terjadi inflamasi dinding pembuluh darah

dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler,

kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam pembuluh darah. Perubahan pada

pembuluh darah besar seperti arteri carotis dan arteri vertebrobasilaris berupa

aterosklerosis. Ketebalan tunika intima medi arteri karotis dapat dianggap


11

sebagai penanda awal aterosklerosis. Aterosklerosis ini yang biasanya dapat

menyebabkan stroke (Arseta, 2015).

Peningkatan kecepatan dan besarnya pantulan gelombang perifer tersebut

terjadi akibat kemampuan aorta proksimal untuk mengubah aliran pulsatil yang

dihasilkan oleh ejeksi ventrikel kiri menjadi aliran yang relatif stabil untuk

dialirkan ke mikrosirkulasi terganggu, hal ini terkait dengan kondisi aorta yang

kaku pada lanjut usia. Oleh karena itu, menyebabkan tekanan pulsasi yang lebih

tinggi. Setelah dipompa keluar jantung, laju aliran (flow rate) bergantung pada

gradien tekanan dan resistensi vaskuler sesuai persamaan berikut: F = ∆P/R,

dengan F adalah laju aliran darah, ∆P adalah gradient tekanan, dan R adalah

resistensi pembuluh darah. Resistensi terhadap aliran darah bergantung pada tiga

faktor: (1) viskositas darah, (2) panjang pembuluh, (3) jari- jari pembuluh

(Sherwood, 2001).

Saat melewati arkus aorta, kecepatan aliran darah menjadi terlalu besar,

sehingga aliran darah menjadi turbulen. Jika darah mengalir dengan resistensi

yang lebih besar maka akan timbul aliran eddy yang sangat memperbesar

seluruh gesekan aliran dalam aorta ascenden (Guyton dan Hall, 2007). Hal

tersebut kemudian mencetuskan terjadinya elongasi aorta.

2.5 Anatomi Kepala

2.5.1 Tulang Tengkorak

Tulang tempurung kepala tersusun dari tulang dahi, tulang kepala  belakang,

tulang ubun – ubun, tulang baji, tulang tapis, dan tulang pelipis. Di bagian bawah
12

tempurung kepala terdapat rongga khusus yang disebut foramen magnum yang

menjadi tempat keluar masuknya  pembuuh darah saraf serta darah yang kemudian

menuju ke sumsum tulang belakang. Tulang muka terdapat pada bagian depan

kepala. Tulang – tulag muka membentuk  rongga mata untuk melindungi mata,

membentuk rongga hidung serta langit –langit, dan memberi bentuk wajah. Tulang

muka terdiri dari tulang rahang atas, tulang rahang bawah, tulang pipih, tulang air

mata, tulang hidung, dan tulang langit – langit.

2.5.2 Otak Besar

Otak besar terdiri dari dua belahan yang disebut hemisferium serebri. Kedua

hemisferum (kanan dan kiri) saling dipisahkan oleh fisura longitudnalis serebri.

Falks serebri, suatu perluasan duramater (lapisan pembungkus otak besar) nampak

menonjol ke dalam fisura longitudinal serebri. Terdiri dari dua belahan otak,

dihubungkan oleh corpus collosum. Ujung anterior  corpus collosum disbut genu

dan ujung posterior corpus collosum disebut splenium.

2.5.3 Otak Kecil

Cerebellum adalah organ sentral yang terletak di fossa posterior intrakranial.

Bagian atas cerebellum ditutupi oleh durameter yang disebut sebagai tentorium

cerebelli. Tentorium cerebelli ini sekaligus memisahkan cerebellum dengan cerebri.

Cerebellum dihubungkan dengan batang otak melalui pedunkulus yang terdiri atas 3

macam, yaitu pedunkulus cerebella superior, pedukulus cerebella media, serta

pedunkulus cerebelli inferior. Ketiga pedunkulus tadi terdiri masing-masing


13

sepasang di bagian lateral cerebellum yang menghubungkan cerebellum dengan

batang otak.

Otak membutuhkan aliran darah yang konstan guna mencukupi kebutuhan

glukosa dan oksigen. Empat arteri yang memberikan aliran darah ke otak adalah

arteri karotis interna kiri, arteri karotis interna kanan, arteri vertebralis kiri, arteri

vertebralis kanan. Arteri karotis interna memberikan darah terutama di daerah

anterior otak, sedangkan arteri vertebralis membeerikan darah ke daerah posterior

otak. Keempat arteri tersebut bertemu pada suatu persimpangan yang biasa disebut

lingkaran willis. Darah kembali ke jantung melalui vena jugularis interna (Tim

Taylor, 2013).
14

Gambar 2.1. Lingkaran willis. Sumber : Medscape, circle of willis anatomy

2.6 Definisi Stroke

Menurut World Healt Organization (WHO) stroke adalah suatu gangguan

fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak,

dimana secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa

jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang

terganggu.

Definisi stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi

mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan
15

tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24

jam, disebabkan oleh terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan (stroke

hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda sesuai

bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau

kematian (Junaidi, 2011).

Dari data South East Asian Medical Information Centre ( SEAMIC)

diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian

diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand

(Dinata et al., 2013). Hasil Riskesdas Kemenkes RI, 2013 terjadi peningkatan

prevalensi stroke dari tahun 2007 hingga 2013 yaitu 8,3 per mil menjadi 12,1 per

mil. Prevalensi tertinggi terjadi di daerah Sulawesi Utara (10,8 per mil ),

Yogyakarta (10,3 per mil), Bangka Belitung (9,7 per mil), dan DKI Jakarta (9,7 per

mil) (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Dinas Kesehatan Provinsi

Jawa Tengah mendapatkan data bahwa kasus tertinggi stroke terdapat di Kota

Semarang sebesar 17,36% yaitu 4.516 (Wurtuningsih, 2012).

2.7 Stroke Hemoragik

2.7.1 Definisi Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh perdarahan ke

dalam jaringan otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum)

atau kedalam ruang subaraknoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan

lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subaraknoid). Ini adalah
16

jenis stroke yang paling mematikan dan merupakan sebagian kecil dari stroke total

yaitu 10-15% perdarahan intraserebrum dan sekitar 5% untuk perdarahan

subaraknoid. Terjadi apabila lesi vascular intraserebrum mengalami rupture

sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam

jaringan otak. Sebagian dari lesi vascular yang dapat menyebabkan perdarahan

subaraknoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan Malformasi Arteriovena (MAV).

Keadaan ini mengakibatkan gangguan fungsi neurologis melalui mekanisme

patofisiologi yang berbeda di dalam jaringan otak yang menimbulkan gejala-gejala

dan tanda-tanda neurologis secara mendadak (Felgin, 2006).

2.7.2 Klasifikasi Stroke Hemoragik

1) Perdarahan sub araknoid

Pembuluh darah yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau

ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang

seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak dapat

dikompensasi tubuh akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat yang bila

berlanjut akan menyebabkan hernisasi otak sehingga timbul kematian. Darah yang

mengalir ke substansi otak atau ruangan subarachnoid akan mengakibatkan edema,

spasme pembuluh darah di otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan

kurangnya aliran darah atau sama sekali tidak ada aliran darah sehingga terjadi

nekrosis jaringan otak.


17

2) Perdarahan Subdural

Perdarahan juga bisa terjadi pada subdural yang biasanya diantara duramater

dan araknoid. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging

veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam

duramater atau karena robeknya araknoid.

3) Perdarahan Intraserebral

Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari

pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma, dimana

70% kasus PIS terjadi di kapsula interna, 20% terjadi di fosa posterior (batang otak

dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). PIS terutama

disebabkan oleh hipertensi (50-68%). Angka kematian untuk perdarahan

intraserebrum hipertensif sangat tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi

diruang supratentorium (diatas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik

apabila volume darah sedikit. Namun, perdarahan kedalam ruang infratentorium

didaerah pons atau cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena

cepatnya timbul tekanan pada struktur–struktur vital dibatang otak.

2.7.3 Epidemiologi Stroke Hemoragik

Insiden stroke hemoragik meningkat signifikan seiring dengan pertambahan

usia, yaitu dari 1,9 kasus per 100.000 jiwa per tahun pada orang berusia dibawah 45

tahun hingga 196 kasus pada orang berusia diatas 84 tahun. Penelitianpenelitian
18

menunjukan bahwa 44,4% dari seluruh insiden stroke hemoragik timbul pada usia

diatas 60 tahun, usia median dari seluruh pasien stroke hemoragik adalah 61, dan

angka insiden bertambah dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun setelah

usia 35 tahun (Japardi, 2018).

Data Kemenkes, 2014, jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun

2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan diperkirakan sebanyak 7,0%,

sedangkan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan gejala diperkirakan sebanyak

12,1%. Prevalensi stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur. Prevalensi

stroke sama banyak pada laki-laki dan perempuan (AHA, 2015).

Di negara berkembang termasuk di Indonesia, angka kejadian penyakit tidak

menular ini justru meningkat. Hal ini akibat pengaruh urbanisasi, perubahan gaya

hidup, dan bertambahnya umur harapan hidup. Angka kejadian stroke di perkotaan

di Indonesia diperkirakan 5 kali lebih besar dari pada angka kejadian penyakit

tersebut di pedesaan. Pertambahan kasus stroke yang tidak diimbangi dengan

perbaikan penatalaksanaan di rumah sakit menyebabkan dalam decade terakhir

stroke merupakan penyebab kematian nomor satu di rumah-rumah sakit di

Indonesia (Tondang, 2016)


19

2.7.4 Faktor Risiko Stroke Hemoragik

Faktor risiko stroke adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi

lebih rentan atau mudah terkena stroke, faktor resiko stroke dibagi menjadi 2 antara

lain :

a. Faktor yang tidak dapat di kontrol (Tondang, 2016)

1. Usia

Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan

meningkat dua kali. Empat puluh persen berumur 65 tahun dan hampir 13%

berumur di bawah 45tahun. Seiring bertambahnya usia kemungkinan terjadinya

stroke semakin besar.

2. Jenis Kelamin

Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan

pada wanita. Akan tetapi, karena usia harapan hidup wanita lebih tinggi daripada

laki-laki, maka tidak jarang pada studi-studi tentang stroke didapatkan pasien

wanita lebih banyak. Menurut SKRT 1995, prevalensi penyakit stroke pada laki-

laki sebesar 0,2% dan pada perempuan sebesar 0,1%. Prevalensi stroke di 3 wilayah

Jakarta didapatkan bahwa prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 7,1% dan

perempuan sebesar 2,8% .


20

3. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keluarga (orang tua, saudara) yang mengalami stroke pada usia

muda maka yang bersangkutan berisiko tinggi terkena stroke. Faktor keturunan

adalah suatu faktor yang cenderung akan dialami seseorang bila dalam keluarganya

mengalami penyakit tersebut. Peranan faktor keturunan ini jika ada, biasanya sudah

menunjukkan tanda dan gejalanya sejak orang tersebut masih bayi atau masa anak-

anak (Junaidi, 2012).

4. RAS

Orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki insiden

stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (Wahjoepramono,

2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke

dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan

yang lebih banyak mengandung kolesterol.

b. Faktor yang dapat di kontrol

a. Hipertensi

Tekanan darah terdiri dari dua komponen yaitu sistolik dan diastolik.

Apabila tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik

lebih dari 90 mmHg maka tekanan darah yang demikian harus benar benar

diwaspadai. Hipertensi merupakan faktor risiko gangguan peredaran darah otak

yang potensial yang dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya

pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah
21

perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke

otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian (Harsono, 2011).

Hipertensi mempercepat pengerasan dinding pembuluh darah arteri dan

mengakibatkan penghancuran lemak pada sel otot polos sehingga mempercepat

proses aterosklerosis. Hipertensi berperanan dalam proses aterosklerosis melalui

efek penekanan pada sel endotel/lapisan dalam dinding arteri yang berakibat

pembentukan plak pembuluh darah semakin cepat (Junaidi,2012).

Usia 30 tahun merupakan awal kewaspadaan tentang munculnya hipertensi,

terutama bagi mereka yang mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarganya.

Makin lanjut usia seseorang maka kemungkinan untuk munculnya hipertensi makin

tinggi (Harsono, 2011)

b. Kadar kolestrol darah

Pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat penting untuk dilakukan, karena

tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya

stroke. Hal ini disebabkan oleh kolesterol darah yang ikut berperan dalam

penumpukkan lemak di dalam lumen pembuluh darah yang dapat mengakibatkan

terjadinya aterosklerosis. Oleh karena itu, jika kadar kolesterol dalam darah

meningkat, maka risiko untuk aterosklerosis meningkat juga. Kolesterol tidak larut

dalam cairan darah, sehingga untuk proses transportasinya ke seluruh tubuh perlu

“dikemas” bersama protein menjadi partikel yang disebut “lipoprotein”.


22

c. Diabetes militus

Gula darah yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel

pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Pada orang yang

menderita Diabetes Mellitus risiko untuk terkena stroke 1,5-3 kali lebih

besar (risiko relatif) (Purbosari, 2010).

d. Merokok

Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk meningkatkan

risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih

berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak

merokok (Japardi, 2018).

e. Riwayat stroke

Bila seseorang telah mengalami stroke, hal ini akan meningkatkan terjadinya

serangan stroke kembali/ulang. Dalam waktu 5 tahun, kemungkinan akan terjadi

stroke kembali sebanyak 35-42% (Japardi, 2018).

2.7.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik

1) Perdarahan Sub Araknoid

Pembuluh darah yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau

ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang

seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak dapat

dikompensasi tubuh akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat yang bila

berlanjut akan menyebabkan hernisasi otak sehingga timbul kematian. Darah yang
23

mengalir ke substansi otak atau ruangan subarachnoid akan mengakibatkan edema,

spasme pembuluh darah di otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan

kurangnya aliran darah atau sama sekali tidak ada aliran darah sehingga terjadi

nekrosis jaringan otak.

2) Perdarahan Subdural

Perdarahan juga bisa terjadi pada subdural yang biasanya diantara duramater

dan araknoid. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging

veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam

duramater atau karena robeknya araknoid.

3) Perdarahan Intraserebral

Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari

pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma, dimana

70% kasus PIS terjadi di kapsula interna, 20% terjadi di fosa posterior (batang otak

dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). PIS terutama

disebabkan oleh hipertensi (50-68%). Angka kematian untuk perdarahan

intraserebrum hipertensif sangat tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi

diruang supratentorium (diatas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik

apabila volume darah sedikit.

Namun, perdarahan kedalam ruang infratentorium didaerah pons atau

cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya timbul

tekanan pada struktur–struktur vital dibatang otak.


24

2.7.6 Gejala Stroke Hemoragik

Membedakan stroke hemoragik dari infark otak tidaklah semudah

mendiagnosis stroke. Saat ini disadari bahwa Computed Tomography Scanning

yang mampu melakukannya. Demikian pula banyak perdarahan intraserebral tidak

menghasilkan perangsangan meningeal maupun gambaran likuor yang berdarah

oleh karena perdarahannya tidak menjebol ke dalam ventrikel. Sakit kepala yang

hebat seringkali menyertai trombosis arteri serebri media, yang relevan

dikorelasikan dengan perdarahan (Tondang, 2016).

a. Perdarahan Subdural

Gejala-gejala perdarahan sub dural adalah nyeri kepala progresif, ketajaman

penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda defisiensi

neorologik daerah otak yang tertekan (Harsono, 2015).

b. Perdarahan Sub Araknoid :

1. Gejala prodormal : nyeri kepala hebat dan akut hanya 10%, 90% tanpa

keluhan sakit kepala.

2. Kesadaran sering terganggu, dari tidak sadar sebentar, sedikit delirium

sampai koma.

3. Fundus okuli : 10% penderita mengalami papil edema beberapa jam

setelah perdarahan.
25

4. Gangguan fungsi saraf otonom, mengakibatkan demam setelah 24 jam

karena rangsangan meningeal, muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi.

5. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hamtemesis dan melena

(stress ulcer), dan sering disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria dan

albuminuria (Japardi, 2018).

c. Perdarahan Intraserebral

Gejala prodormal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi.

Serangan seringkali di siang hari, waktu bergiat atau emosi/ marah. Pada permulaan

serangan sering disertai dengan mual, muntah dan hemiparesis. Kesadaran biasanya

menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara

½ - 2 jam, dan 12% terjadi setelah 2 jam sampai 19 hari (Japardi, 2018).

2.8 Diagnosis Stroke Hemoragik

a. Anamnesis

Gejala-gejala klinis stroke yang sering ditanyakan adalah apakah serangan

terjadi mendadak atau sudah beberapa jam yang lalu, apakah terjadi kelumpuhan

anggota gerak, apakah kesemutan di muka atau salah satu sisi anggota gerak,

apakah tiba-tiba perot, apakah terjadi gangguan keseimbangan, apakah terjadi

penurunan kesadaran. Pasien dengan riwayat hipertensi perlu ditanyakan lama dan

bertnya hipertensi, usianya, gejala sistem syaraf (sakit kepala, ansietas), gejala

sistem kardiovaskular (adanya payah jantung, oedem paru dan nyeri dada).

b. Pemeriksaan fisik
26

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik umum

(pemeriksaan tingkat kesadaran, tekanan darah, suhu, denyut nadi, anemia, paru dan

jantung) dan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan yang dilakukan pada

pemeriksaan neurologis adalah palpasi dan auskultasi arteri karotis yang dekat

dengan permukaan, mencari dan mendengar bruit cranial atau servical, mengukur

tekanan darah dengan posisi berbaring dan duduk, mengukur tekanan arteri

optalmika, melihat oftalmoskop ke retina terutama bagian pembuluh darahnya.

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laborat yang biasanya perlu adalah pemeriksaan darah, yang

digunakan untuk menentukan keadaan hematologik yang dapat mempengaruhi

stroke, terutama stroke iskemik misalnya anemia, polistemia dan keganasaan.

2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dilakunan adalah CT scan yang merupakan gold

standard untuk mendiagnosis stroke. Pada CT scan dapat memberikan informasi

tentang lokasi, ukuran infark, perdarahan dan apakah perdarahan menyebar keruang

intra ventrikuler. CT scan juga dapat membantu untuk perencanaan operasi. Foto

thorax juga biasa dilakukan untuk mengetahui apakah ada riwayat hipertensi atau

tidak pada pasien stroke dengan melihat gambaran aterosklerosis, elongasi aorta

atau kardiomegali.
27

2.9 Gambaran CT Scan (Yuyun,2016)

a. Gambaran ct scan perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau

bulat pada CT scan kepala tanpa kontras. Perdarahan intraserebral sering

mengalami ekstensi ke intraventrikel terutama jika berasal dari ganglia basalis

dan batang otak. Namun terkadang perdarahan intraserebral akut dapat tampak

isodens atau bahkan hipodens. Hal ini disebabkan oleh anemia dan gangguan

koagulasi.

Perdarahan intraserebral yang mengalami resolusi umumnya akan

memberikan penyangatan cincin (ring enhancement) paska pemberian kontras

pada 1-6 minggu sejak kejadian stroke dan akan menghilang setelah 2-6 minggu.

Pada CT perfusi area yang mengalami perdarahan intraserebral akan

menunjukan hipoperfusi (tampak sebagai area berwarna biru).


28

Gambar 2.2 Perdarahan Intraserebra

b. Gambaran ct scan perdarahan sub araknoid

Perdarahan sub araknoid akan tampak sebagai pita hiperdens berlekuk-lekuk

seperti ular (serpingeos) mengisi sub araknoid space yang terdapat pada sulcii

dan sisterna. Pada pasien anuerysma darah biasanya kumpul pada sisterna

basalis, jika penyebab perdarahan sub araknoid adalah trauma, darah akan

berkumpul pada konveksitas otak.

Gambar 2.3 Perdarahan Sub araknoid


29

c. Gambaran ct scan perdarahan subdural

Perdarahan subdural klot terlihat berwarna cerah dan densitas yang

bercampur, yang berbentuk bulan sabit (lunate), memiliki batas yang jelas, dan

tidak melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar

perdarahan subdural terjadi pada permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang

terdapat juga muncul antara hemisphere atau di lapisan diatas tentorium.

Gambar 2.4 Perdarahan Subdural

2.10 Kardiomegali

2.10.1 Definis Kardiomegali

Kardiomegali adalah suatu keadaan dimana terjadi pembesaran pada

jantung. Beberapa penyebab kardiomegali antara lain penyakit miokardia, penyakit

arteri koroner, defek jantung kongenital dengan gagal jantung ataupun beberapa
30

keadaan lain seperti tumor janutung, anemia berat, kelainan endokrin, malnutrisi,

distrofi muskular dan gagal jantung akibat penyakit paru (Ismail, 2009).

2.10. 2 Kardiomegali pada Hipertensive Heart Disease (HHD)

Hypertensive heart disease adalah suatu istilah yang digunakan

secara umum untuk penyakit jantung seperti hipertrofi ventrikel kiri,

penyakit arteri koroner, aritmia jantung, dan gagal jantung kongestif yang

disebabkan oleh efek peninggian tekanan darah kronis. Penyebab dari

hypertensive hart disease adalah hipertensi kronis (Jannah, 2014)

Patofisiologi dari hypertensive heart disease adalah satu hal

kompleks yang melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu

hemodinamik, structural, neuroendokrin, selular, dan faktor molekuler.

Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan pada

struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara yaitu secara langsung melalui

peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui neurohormonal

terkait dan perubahan vascular (Jannah, 2014).

1. Hipertrofi ventrikel kiri

Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi

ventrikel kiri (HVK). HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan masa

pada ventrikel kiri. sebagai respon miosit terhadap berbagai rangsangan

yang menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit dapat terjadi

sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload. Rangsangan mekanik


31

dan neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat menyebabkan aktivasi

pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi gen (beberapa gen diberi ekspresi

secara primer dalam perkembangan miosit Janin), dan HVK . Sebagai

tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin melalui aksi angiotensin II pada

reseptor angiotensin I mendorong pertumbuhan sel-sel interstisial dan

komponen matrik sel. Jadi, perkembangan HVK dipengaruhi oleh hipertrofi

miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur interstisium

skeleton cordis.

Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodeling

konsentrik, HVK konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah

peningkatan pada ketebalan dan massa ventrikel kiri disertai peningkatan

tekanan dan volume diastolik ventrikel kiri, umumnya ditemukan pada

pasien dengan hipertensi. Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana

penebalan ventrikel kiri tidak merata namun hanya terjadi pada sisi tertentu,

misalnya pada septum. LVH konsentrik merupakan pertanda prognosis yang

buruk pada kasus hiperetensi. Pada awalnya proses HVK merupakan

kompensasi perlindungan sebagai respon terhadap peningkatan tekanan

dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac output yang adekuat,

namun HVK kemudian mendorong terjadinya disfungsi diastolik otot

jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot jantung (Jannah,

2014).
32

2.10.2 Gambaran foto thorax hipertrofi ventrikel kiri (HVK)

Dari segi radiologik, cara yang mudah untuk mengukur apakah

membesar atau tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung dan lebar

dada pada foto thorax PA (cardio-thoracis ratio). Pada gambar di

perlihatkan garis-garis untuk mengukur lebar jantung (a+b) dan lebar dada

(c1-c2) (Rasad, 2010).

Gambar 2.6 Pembesaran atrium kiri

Gambaran radiologi pada HVK untuk foto thorax Posterior Anterior didapatkann

apeks ke laterokaudal dan pada foto thorax proyeksi lateral didapatkan retrocardial space

distal menyempit.
33

( normal : 48-50%)

Gambar 2.5 Pengukuran CTR


34

Tabel 2.1 foto thorax PA dan lateral :

Pembesaran ruang X foto Proyeksi PA X foto proyeksi Lateral


jantung
Ventrikel Kanan Apeks ke laterokranial, Ruang retrosternal sempit
segmen pulmomnalis
menonjol
Atrium Kanan Batas jantung kanan, Tak memberikan gambaran
meleber ke kanan, lebih khas
dari 1/3 hemithorax kanan
Ventrikel Kiri Apeks ke laterokaudal Retrocardial space distal
sempit
Atrium kiri Double contour,penonjolan Retrocardiac space bagian
aurikel atrium kiri, atas sempit
brongkus utama kiri
terangkat.
(Rasad, 2010)

Kardiomegali pada foto thoraks PA dan lateral


35

2.11 Kerangka Teori

HIPERTENSI

CHF (crhonic
heart failure)

ANEURISMA

PECAHNYA
PEMBULUH
DARAH DI OTAK

PERDARAHAN
DI OTAK

STROKE
HEMORAGIK
36

Gambar 2.7 kerangka teori

Ket : huruf Tebal yang diteliti.

2.12 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen


Penyakit hipertensi. Stroke hemoragik.

Gambar 2.8 Kerangka Konsep

2.13 Hipotesis

Terdapat hubungan yang bermakna antara penyakit hipertensi berdasarkan foto thorax

dengan stroke hemoragik berdasarkan ct scan.


37

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analitik yang merupakan salah satu studi

penelitian untuk melakukan pengukuran variabel dan mencari hubungan antar variabel..

Dalam penelitian ini mencari hubungan antara penyakit jantung hipertensi dengan stroke

hemoragik berdasarkan ct scan. Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan cross

sectional, pengumpulan data baik variabel dependen maupun independen dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variable

subjek dalam waktu bersamaan (Notoadmodjo, 2014).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian


38

Penelitian ini dilaksanakan adalah di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu pengambilan data adalah di bulan Juni 2020 sampai selesai.

3.3 Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah yang

diteliti ( Nursalam, 2003 ). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita

stroke hemoragik sebanyak 360 orang pada periode Januari – Oktober 2019 yang ada di

Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung sebagai tempat di

lakukannya penelitian.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah objek yang di teliti dan dapat mewaili dari keselurusan populasi

(Notoadmodo, 2014). Adapun besar sampel pada penelitian ini adalah 79 orang. Penentuan

sampel pada penelitian ini menggunakan rumus slovin sebagai berikut :

N
n= 2
1+( Nx e )
39

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

e = taraf kesalahan (error) sebesar 0,10 (10%).

Dari rumus diatas, maka jumlah besar nya sampel (n) sebagai berikut :

360
n= 2
1+(360 x 0,1 )

360
n =
4.6

n = 78.2608

n = 80 (dibulatkan ke atas)

3.3.3 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah pengambilan sampel

secara Purposive sampling yaitu suatu cara pengambilan sampel yang didasarkan pada

suatu karakteristik tertentu yang dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat

populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2014).

3.4 Kriteria Penelitian


40

1. kriteria inklusi

a. Pasien stroke hemoragik yang mempunyai hasil pemeriksaan foto thorax dan CT

scan kepala.

b. Rekam medik pasien stroke hemoragik periode Januari – Oktober 2019.

c. Data rekam medik pasien dalam keadaan baik/tidak rusak.

2. kriteria eksklusi

a. Pasien yang hasil pemeriksaan CT scan dan foto thorak yang rusak.

b. Berkas rekam medik bulan periode Januari – Oktober 2019.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel merupakan sesuatu yang digunakan sebagi ciri, sifat, atau ukuran yang

dimiliki oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu.

3.5.1 Variabel Independen

Variabel Independen dalam penelitian ini adalah penyakit hipertensi.

3.5.2 Variabel Dependen

Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah stroke hemoragik.


41

3.6 Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah berupa uraian tentang batasan variabel yang dimaksud,

atau tentang apa yang harus diukur oleh variabel yang bersangkutan.

Variable Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala

Stroke Pasien yang menjalani Data rekam Terdapat lesi hiperdens pada Nominal

hemoragik perawatan dan telah medik stroke hemoragik berdasarkan

terdiagnosis stroke letaknya

hemoragik berdasarkan hasil

ct scan di RSUAM

Penyakit Data rekam 1 = bila terdapat kardiomegali Nominal


Pasien yang telah
hipertensi medik 0 = besar jantung normal
terdiagnosis hipertensi

berdasarkan hasil foto thorax

di RSUAM
Jenis kelamin Data rekam 1 = laki-laki Nominal

medik 2 = perempuan
Umur
Data rekam remaja (12-25th) dewasa (26- Nominal

medik 44th) lansia (45-65th) manula

( >65th)
Tabel 3.1 Definisi Operasional

3.7 Metode Pengumpulan Data


42

3.1.1 Cara pengambilan data

Dalam penelitian ini, seluruh data diambil menggunakan rekam medis pasien ( data

sekunder) yang meliputi :

a. Meminta izin untuk melakukan penelitian di ruang Radiologi RSUAM dan Unit

Rekam Medik RSUAM

b. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian

c. Pencatatan hasil pengukuran pada formulir lembar penelitian.

3.8 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam

bentuk tabel - tabel, kemudian data diolah menggunakan program SPSS 20.0. for Windows

dengan nilai α = 0,05. Kemudian, proses pengolahan data menggunakan program komputer

ini terdiri beberapa langkah :

● Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan

selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

● Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

● Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang

telah dimasukkan kedalam komputer.

● Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.

3.9 Analisis Data


43

Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan

komputer yaitu dengan program SPSS versi 25.

Data yang akan di peroleh dalam penelitian ini akan disusun dalam table

kontingensi ukuran 2x2 kemudian di uji dengan metode statistik uji Chi Square.

3.10 Alur Penelitian

1. Tahap Persiapan Pembuatan proposal,perijinan.

Penjelasan maksud dan tujuan,


2. Tahap Pelaksanaan
pengumpulan rekam medik

Pencatatan data pasien yang


terdiagnosis stroke dari rekam

3. Tahap Pengolahan Melakukan input data


Data

Analisa dengan SPSS

Gambar 3.1. Alur Penelitian


44

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruang Rekam medik dan Ruang Radiologi

RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung pada bulan Juni 2020 sampai dengan

selesai. Data ini didapat dari hasil pengamatan terhadap data rekam medik RSUD

Abdul Moeloek Bandar Lampung. Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak

80 orang. Berikut ini hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel :

4.1.1 Hasil Univariat

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)


Laki-Laki 51 63,7
Perempuan 29 36,3
Jumlah 80 100

Dari tabel 1, diketahui bahwa responden berjenis kelamin laki-laki (63,1%), lebih

banyak dibanding responden berjenis kelamin perempuan (36,3%).

Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Kelompok Usia

Kelompok Usia Jumlah Persentase (%)


Remaja (12-25 tahun) 5 6,3
Dewasa (26-44 tahun) 14 17,5
Lansia (45-65 tahun) 41 51,2
Manula (>65 tahun) 20 25,0
Jumlah 80 100
45

Dari tabel 2, diketahui dari responden yang diteliti, jumlah responden terbanyak pada

kelompok usia lansia yakni sebanyak 41 orang (51,2 %), kemudian kelompok usia manula

sebanyak 20 orang (25,0 %), kelompok usia dewasa sebanyak 14 orang (17,5 %) dan

jumlah responden paling sedikit pada kelompok usia remaja yakni sebanyak 5 orang (6,3

%).

Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Penyakit Jantung Hipertensi Berdasarkan

Foto Thorax

Hipertensi Jumlah Persentase (%)


Tidak 46 57,5
Ya 34 42,5
Jumlah 80 100

Dari tabel 3, diketahui bahwa dari 80 responden ternyata sebagian besar yakni

berjumlah 46 orang (57,5 %) bersadarkan foto thorax menunjukkan tidak adanya penyakit

jantung hipertensi, sementara sebanyak 34 orang (42,5) menunjukan adanya penyakit

jantung hipertensi.

Tabel 4. Distribusi Responden Menurut Klasifikasi Stroke Hemoragik Hasil CT-Scan

Kepala

Klasifikasi Stroke Jumlah Persentase (%)


Hemoragik
Subdural 6 7,5
Sub Araknoid 17 21,3
Intraserebral 57 71,3
Jumlah 80 100

Dari tabel 4, diketahui bahwa dari 80 responden ternyata sebagian besar yakni

berjumlah 57 orang (71,3 %) menderita stroke hemoragik bagian intraserebral, kemudian


46

sebanyak 17 orang (21,3 %) menderita stroke hemoragik bagian sub araknoid dan jumlah

responden paling sedikit yakni sebanyak 6 orang (7,5 %) menderita stroke hemoragik

bagian subdural.

4.1.2 Hasil Bivariat

Tabel 5. Hasil Uji Statistik Chi-Square tentang Hubungan Jenis Kelamin dan Stroke
Hemoragik Disertai Penyakit Jantung Hipertensi

Stroke Hemoragik Disertai Hipertensi


Jenis
Sub Araknoid Intraserebral Total OR P value
Kelamin
Laki-Laki 4 15 19
(21,1 %) (78,9 %) (100 %)
1,067 1,000
Perempuan 3 12 15
(20,0 %) (80,0 %) (100 %)

Tabel 5 menunjukan pada responden laki-laki berjumlah 19 orang sebanyak 4 orang

(21,1 %) mengalami stroke hemoragik dengan perdarahan sub araknoid dan 15 orang (78,9

%) perdarahan bagian intraserebral. Sedangkan pada responden perempuan berjumlah 15

orang sebanyak 3 orang (20 %) mengalami stroke hemoragik dengan perdarahan bagian sub

araknoid dan 12 orang (80 %) perdarahan bagian interserebral. Hasil analisis menunjukan

tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin dengan stroke

hemoragik.
47

Tabel 6. Hasil Uji Statistik Chi-Square tentang Hubungan Kelompok Usia dan Stroke
Hemoragik Disertai Penyakit Jantung Hipertensi

Stroke Hemoragik Disertai Hipertensi Total P value


Kelompok
Sub Araknoid Intraserebral
Usia
Remaja 1 0 1
(100 %) (0 %) (100 %)
Dewasa 1 6 7
(14,3 %) (85,7 %) (100 %)
0,246
Lansia 3 11 14
(21,4 %) (78,6 %) (100 %)
Manula 2 10 12
(16,7 %) (83,3 %) (100 %)

Tabel 6 menunjukan bahwa pada kelompok usia remaja berjumlah 1 orang

mengalami stroke hemoragik dengan perdarahan pada bagian sub araknoid yakni sebanyak

1 orang (100%). Pada kelompok usia dewasa berjumlah 7 orang paling banyak mengalami

stroke hemoragik dengan perdarahan pada bagian intraserebral yakni bsebanyak 6 orang

(85,7 %). Pada kelompok usia lansia berjumlah 14 orang paling banyak mengalami stroke

hemoragik dengan perdarahan pada bagian intraserebral yakni sebanyak 11 orang (78,6 %).

Sedangkan pada kelompok usia manula berjumlah 12 orang paling banyak mengalami

stroke hemoragik dengan perdarahan pada bagian intraserebral yakni sebanyak 10 orang

(83,3 %). Hasil analisis menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik

antara kelompok usia dengan stroke hemoragik disertai penyakit jantung hipertensi.
48

Tabel 7. Hasil Uji Statistik Chi-Square tentang Hubungan Penyakit Jantung

Hipertensi dan Stroke Hemoragik

Stroke Hemoragik
Hipertensi Subdural Sub Araknoid Intraserebral Total P value

Tidak 6 10 30 46
(13 %) (21,7 %) (65,2 %) (100 %)
0,082
Ya 0 7 27 34
(0 %) (20,6 %) (79,4 %) (100 %)

Tabel 7 menunjukan bahwa dari responden yang tidak mengalami penyakit jantung

hipertensi berjumlah 46, orang sebanyak 6 orang (13 %), mengalami stroke hemoragik

dengan perdarahan pada bagian subdural, 10 orang (21,7 %) perdarahan bagian sub

araknoid dan 30 orang (65,2 %) perdarahan bagian intraserebral. Sedangkan pada

responden yang mengalami penyakit jantung hipertensi berjumlah 34 orang, tidak ada (0

%) yang mengalami stroke hemoragik dengan perdarahan pada bagian subdural, 7 orang

(20,6 %) perdarahan bagain sub araknoid dan 27 orang (79,4 %) perdarahan bagian

intraserebral. Hasil analisis menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik

antara penyakit jantung hipertensi dengan stroke hemoragik.

Berdasarkan tabel diatas didapatkan nilai p adalah 0,082, maka dapat disimpulkan

bahwa hubungan penyakit hipertensi (berdasarkan foto thorax) dengan stroke hemoragik

(berdasarkan CT scan kepala) tidak signifikan (p<0,05). Hal ini berarti tidak ada hubungan

bermakna anatara penyakit hipertensi (berdasarkan foto thorax) dengan stroke hemoragik

(berdasarkan CT scan kepala). Peneliti mengambil data dengan kodisi alat dan dan

pemeriksaan dengan standar yang diusahakan sama.


49

4.2 Pembahasan

Hasil dari table 5 distribusi subyek menurut jenis kelamin,, diketahui bahwa

ternyata dari 80 subyek, didapatkan sebanyk 19 orang yang berjenis kelamin laki-laki yang

mengalami stoke hemoragik disertai hipertensi dan sebnyak 15 orang yang berjenis kelamin

perempuan yang mengalami stroke hemoragik disertai hipertensi. Hasil penelitian ini sama

dengan penelitian (Suroto, 2014) yang menunjukan bahwa angka kejadian stroke pada

laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan, jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko

sebesar 4,37 kali terkena stroke. Jenis kelamin laki-laki cenderung lebih berisiko terkena

stroke karena perempuan cenderung mengalami stroke pasca menopause. Hal itu

dikarenakan pola serangan stroke berhubungan dengan perlindungan oleh hormon, wanita

memiliki hormon esterogen yang dapat melindungi elastisitas pembuluh darah.

Perbandingan serangan stroke antara laki-laki dan wanita akan terstimasi dengan baik

ketika wanita menopause (Handayani, 2013).

Hasil dari table 6 distribusi subyek menurut usia, diketahui bahwa dari 80 subyek

didapatkan hasil usia 45-65 tahun sebanyak 14 orang, usia >65 tahun sebanyak 12 orang,

usia 26-44 tahun sebanyak 7 orang, dan pada usia 12-25 tahun sebanyak 1 orang. Usia

lanjut yang menyebabkan hipertensi biasanya bukan karena tidak menjaga kesehatan saat

muda tetapi memang masa tua yang biasanya ditandai dengan berbagai kemunduran fungsi

tubuh. Kemunduran itu bersifat fisiologis dan berjalan secara alamiah. Arteri besar

biasanya kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga tidak dapat mengembang

pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut (Arseta, 2015). Bahwa setelah
50

umur 45-65 tahun resiko stroke meningkat dua kali lipat, sebagian besar stroke terjadi pada

umur lebih dari 65 tahun.

Hal ini menunjukan umur lebih dari 45 tahun dapat memberikan risiko terjadinya stroke

karena dengan semakin bertambah tua usia seseorang, semakin tinggi risiko stroke ini

dikarenakan pada usia lebih dari 45 tahun terjadi adanya perubahan structural dan

fungsional pada sistem pembuluh perifer (Udani, 2013). Proses penuaan pada lanjut usia

mengakibatkan kehilangan kira-kira 3% sampai dengan 5% jaringan otot total per dekade

mulai usia 30 tahun. Kekuatan otot mulai merosot sekitar usia 40 tahun, dengan suatu

kemunduran yang dipercepat setelah usia 60 tahun. Kerusakan otot terjadi karena

penurunan jumlah serabut otot dan atrofi digantikan oleh jaringan fibrosa (Darmojo, 2009).

Hasil dari tabel 7, didapatkan bahwa kejadian stroke hemoragik dengan penyakit

jantung hipertensi sebanyak 34 orang dan kejadian stroke hemoragik tidak dengan penyakit

jantung hipertensi sebanyak 46 orang dengan hasil p= 0,082 (p<0,05). Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit jantung

hipertensi dengan stroke hemoragik. Pada penelitian ini sejalan dengan penelitian Arseta

(2015), yang didapatkan hasil nilai p adalah 0,403 yang menyatakan bahwa hubungan yang

tidak bermakna antara gambaran foto thorax kasus hipertensi dengan gambaran ct scan

pada kasus stroke karena faktor penyebab seperti kardiomegali tidak selalu disebabkan oleh

adanya hipertensi.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sofyan, Ika, dan

Yusuf, 2012) yang menemukan bahwa terdapat hubungan hipertensi dengan kejadian stroke
51

diperoleh dengan hasil nilai p = 0,000. Hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik

pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik maupun stroke hemoragik.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah

secara abnormal dan terus menurus yang disebabkan satu atau beberapa faktor yang tidak

berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahanan tekanan darah secara normal

(Hayens, 2003).

Tekanan darah sistemik yang meningkat akan membuat pembuluh darah serebral

berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan darah. Apabila

tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan

menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh darah serebral yang mengakibatkan

diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya, karena

pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk

mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah

sistemik maka tekanan perfusi ke jaringan otak tidak adekuat, sehingga akan

mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik

maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi yang mengakibatkan terjadi

hiperemia, edema, dan kemungkinan perdarahan pada otak (Hamra, 2012).

Stroke merupakan penyakit yang ditandai dengan terjadinya defisit neurologik otak

yang terjadi secara cepat dan mendadak. Dan lama terjadinya beragam seperti stroke yang

menetap selama 24 jam dan ada pula yang tidak menetap selama 24 jam ataupun menetap

lebih dari 24 jam. Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah

sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes kedalam suatu daerah
52

otak dan merusaknya (Rustandi, 2019). Stroke merupakan penyakit motor neuron yang

dapat mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik, salah satu

masalah yang berhungan dengan motorik adalah hemiparese. Hemiparese atau kelemahan

otot salah satu sisi tubuh adalah tanda lain yang sering ditemukan pada pasien stroke selain

hemiolegi (Smeltzer, Bare, 2013). Salah satu faktor resiko terjadinya stroke hemoragik

adalah hipertensi (Mardjono, 2006). Selain hipertensi faktor risiko yang dapat

menyebabkan stroke hemoragik adalah hiperkolesterolemia memicu aterosklerosis,

penyempitan, atau pengerasan arteri yang dapat menyebabkan penyakit jantung, stroke, dan

masalah kesehatan mayor lainnya. Bila kolesterol itu terus menumpuk dan membentuk

plak-plak di dalam saluran darah, maka transportasi darah di tubuh pun terhambat dan dapat

mengganggu kerja tubuh secara keseluruhan (Undani, 2013). Selain itu juga menurut

Indrawati (2008), pasien yang mengidap Diabetes Melitus mempunyai risiko serangan

stroke 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak menderita diabetes mellitus. Walaupun

diabetes melitus dikenal sebagai faktor risiko stroke independen, belum ada bukti yang

meyakinkan bahwa pengendalian kadar glukosa darah secara ketat merupakan upaya yang

efektif untuk mencegah terjadinya stroke.

4.2.1 Keterbatasan Penelitian

Peneliti sulit membedakan pembesaran jantung yang disebabkan oleh

hipertensi dikarenakan di buku rekam medik tidak tertulis pembesaran jantung

seperti apa.
53

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien hipertensi dengan

stroke hemoragik di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2019, maka

didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

Diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hubungan

penyakit hipertensi (berdasarkan foto thorax) dengan stroke hemoragik (berdasarkan

Ct scan kepala) di RSUD Abdul Moeloek tahun 2019 dengan hasil p=0,082

(p<0,05).

1. Diketahui jumlah kejadian stroke hemoragik disertai hipertensi berjumlah 34

orang.

2. Diketahui distribusi frekuensi jenis kelamin, pasien laki-laki sebanyak 51 orang

dan pasien perempuan sebanyak 29 prang

3. Diketahui distribusi frekuensi berdasarkan usia paling banyak pada umur lansia

(45-65 tahun) sebanyak 41 orang (51,2%).

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

yang telah dilakukan sebagai berikut :


54

5.2.1 Bagi RSUD Abdul Moeloek Lampung

Disarankan kepada tenaga kesehatan di ruang rekam medic RSUD Abdul

Moeloek agar melengkapi kelengkapan data pasien, sehingga memudahkan peneliti

berikutnya untuk melakukan penelitian dengan variasi variabel yang berbeda.

5.2.2 Bagi pasien

Disarankan kepada pasien agar dapat menjaga pola hidup dan pola makan

sehingga dapat mencegah terjadi nya stroke hemoragik, dan yang memiliki

hipertensi agar rajin kontrol.

5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebaiknya dilakukan penelitian dengan menggunakan lebih banyak sampel

dan di ambil dari beberapa rumah sakit


55

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA), 2015. Heart Disease and Stroke Statistics. AHA

Ahmad, S. (2008). Kendalikan Stres dan Hipertensi, Raih Produktivitas. http://www.dinkes-


sunsel.go.id/view.php?id=600&jenis=berita. Diakses 8 April 2014.

Arseta, Bangga. (2015). Hubungan gambaran foto thorax kasus hipertensi dengan
gambaran CT scan pada kasus stroke. Yogyakarta: UMY.

Corwin, Elizabeth J. (2001). Buku Suku Patafisiologi (hands book of pathophysiologi)


.Jakarta : EGC

Dreisbach, A.W. (2013). Epidemiology of Hypertension. Medscape. Diakses 12 April 2014

Feigin, V. 2006. Stroke: Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke.
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, pp: 17, 86.

Guyton, A.C., Hall, J.E. (2007). Tinjauan Sirkulasi; Fiska Kedokteran Mengenai Tekanan,
Aliran, dan Resistensi. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi IX. Jakarta:
EGC, hal: 168, 170, 172

Handayani, F. (2013). Angka Kejadian serangan stroke pada wanita lebih rendah daripada
laki-laki. Jurnal Keperawatan Medikal Bedah, 1(1).

Harsono. (2015). Buku Ajar Neurologi Klinis. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Hayens, B.R. (2003). Buku Pintar Menaklukan Hipertensi. Jakarta: Ladang Pustaka dan
Intimedia

Indrawati, Lili dkk. (2008). Care Yourself Stroke. Jakarta : Penebar Plus.

Jannah, M. (2014). Gambaran hypertensive heart disease pada lanjut usia yang dirawat di
RSUD Palembang Bari periode Januari-Desember tahun 2012 (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Palembang).

Japardi, D. (2018). Karakteristik Stroke Hemoragik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan Tahun 2016-2017.

Junaidi, I. (2004). Stroke A-Z. Jakarta: Gramedia, pp: 1-47

Lemoick, D. (2010). Subarachnoid Hemorraghe : State of the Artery. American Journal of


clinical medicin, 7(2), pp. 62-73
56

Mitayani, Hana., I, Naim Ismail., M, Tutut Nila. (2015). Radiograph based discussion
kardiomegali pada chf. Semarang: UNISSULA.

Notoatmodjo. S. (2014). Konsep Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Purbosari, M. D. A. (2010). Hubungan gambaran CT Scan kepala pada pasien stroke


dengan diabetes mellitus yang disertai hipertensi.

Pusparani, S. (2009). Hubungan antara hipertensi dan stroke hemoragik pada pemeriksaan
ct- scan kepala di instalasi radiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta.

Pragholapati, A. (2015). Pengaruh Senam Latih Otak (Brain Gym) Terhadap Tingkat
Depresi Lansia di Posyandu Lansia Aji Yuswa Ngebel Tamantirto Kasihan Bantul
Jurnal Skolastik Keperawatan, 5(2), 128-146.

Riskesdas. (2013). Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta . 2013. Diperoleh dari
http://www.depkes.go.id. Diakses 2 November 2018.

Shadine, Mahannad (2010). Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke dan Serangan
Jantung. Jakarta: Keenbooks

Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC, hal: 331

Sofyan, A. M., Sihombing, I. Y., & Hamra, Y. (2015). Hubungan umur, jenis kelamin, dan
hipertensi dengan kejadian stroke. Medula, 1(1).

Suroto. (2004). Gangguan Pembuluh Darah Otak. Dalam : Purwanto C. (ed). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Saraf. Surakarta: BEM Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Press, pp: 87-96

Tondang, R. M., Siregar, F. A., Lubis, S. N. (2016) Karakteristik penderita stroke


hemoragik rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth tahun 2015-2016. Gizi,
Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi, 1(2).

Udani, G., Politeknik, K., Tanjungkarang, K., Angka, P., Sakit, R., & Moeloek, A. (2013).
Faktor resiko kejadian stroke. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai Volume.

Yogiantoro M. (2006). Hipertensi esensial dalam buku ajar Ilmu penyakit dalam. Jakarta :
FKUI.599-603.

Yueniwati, Yuyun. (2016). Pencintraan pada stroke. Malang : Universitas Brawijaya.


57

Anda mungkin juga menyukai