Oleh :
Po.62.20.1.19.414
PALANGKARAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
5. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering dijumpai pada penderita umumnya dikelompokan atas 4
macam :
a) Dystensia ( gangguan fungsi motorik ) berupa :
1) Kelumpuhan ( hemiplegi atau paraplegi )
2) Paralisis ( kehilangan total dari gangguan kekuatan motoriknya )
3) Paresis ( kehilangan sebagian kekuatan otot motoriknya )
b) Disnestasia ( gangguan fungsi sensorik ) berupa :
1) Hipoarasthesia dan Arasthesia.
2) Gangguan penciuman, penglihatan dan gangguan rasa pada lidah.
c) Dyspasia ( gangguan berbicara )
d) Dymentia ( gangguan mental ) dengan manifestasi :
1) Gangguan neurologis.
2) Gangguan psikologis.
3) Keadaan kebingungan.
4) Reaksi depresif
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular.
b. Lumbal pungsi: Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carran
lumbal menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil
pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu
hari-hari pertama.
c. CT scan.: Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
d. MRI: MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetik untuk
menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
e. USG Doppler: Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
f. EEG: Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
g. Pemeriksaan Laboratorium
7. Penatalaksanaan
a. Bantuan kepatenan jalan nafas, ventilasi dengan bantuan oksigen.
b. Pembatasan aktivitas/ tirah baring.
c. Penatalaksanaan cairan dan nutrisi.
d. Obat-obatan seperti anti Hipertensi, Kortikosteroid, analgesik.
e. Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
f. Pantau Tekanan Intra Kranial ( TIK ).
8. Komplikasi
a. Hipoksia,
b. Penurunan aliran darah serebral,
c. Embolisme serebral
d. Dekubitus.
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi
bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien
stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat
kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan.
Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan
dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena
konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia
urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan
pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik
paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas
dan istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberian asuhan.
8) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa,
lobus frontal, dan hemisfer.
9) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.+++
10) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa
kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan
dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi fungsi
dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari
girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien
tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada
bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia
ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat
dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan
bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan
tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien mengambil sisir
dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
8. Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII.
Saraf kranial I: (olfaktori)
Saraf olfaktori lah yang berperan dalam penciuman atau penghidu. Saraf tersebut
mengirim informasi dari hidung ke otak terkait bau yang ada di sekitar kita. Jadi, jika
Anda tidak sengaja mencium aroma mi instan, maka saraf olfaktori Anda sedang
bekerja.
Saraf kranial II: (optik)
Saraf optik masuk ke dalam saraf kranial yang berperan dalam sensori. Sebab, saraf
inilah yang berperan dalam penglihatan kita. Saat kita menerima cahaya dari luar,
bersama dengan bagian-bagian mata lainnya, saraf ini akan membantu menyampaikan
informasi ke otak untuk diolah sehingga kita bisa mengenali objek yang dilihat.
Saraf kranial III:( okulomotor)
Saraf okulomotor memiliki dua fungsi motorik, yaitu mengontrol fungsi otot serta respon pupil
di mata. Saraf inilah yang mengatur empat dari total enam otot yang ada di sekitar mata Anda.
Otot-otot tersebut akan membantu mata Anda bergerak dan fokus terhadap objek tertentu
Saraf kranial IV:( troklear)
Saraf troklear mengontrol otot oblik superior yang berperan untuk menggerakkan bola mata ke
bawah, atau saat Anda melotot dan kembali seperti semula
Saraf kranial V: (trigeminal)
Saraf trigeminal adalah saraf kranial terbesar dan memegang kedua fungsi, motorik maupun
sensorik
Saraf trigeminal sendiri dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Saraf optalmikus
Saraf maksilaris
Saraf mandibular
P : provokes, Apa yang menyebabkan rasa sakit/nyeri; apakah ada hal yang menyebabkan kondisi
palliative memburuk/membaik; apa yang dilakukan jika sakit/nyeri timbul; apakah nyeri ini sampai
(penyebab) mengganggu tidur.
Q : quality Bisakah anda menjelaskan rasa sakit/nyeri; apakah rasanya tajam, sakit, seperti diremas,
(kualitas) menekan, membakar, nyeri berat, kolik, kaku atau seperti ditusuk (biarkan pasien menjela
kondisi ini dengan kata-katanya).
R : Radiates Apakah rasa sakitnya menyebar atau berfokus pada satu titik.
(penyebaran)
S : severety Seperti apa sakitnya; nilai nyeri dalam skala 1-10 dengan 0 berarti tidak sakit dan 10 yang
(keparahan) paling sakit. Cara lain adalah menggunakan skala FACES untuk pasien anak-anak lebih d
tahun atau pasien dengan kesulitan bicara
T : time (waktu) Kapan sakit mulai muncul; apakah munculnya perlahan atau tiba-tiba; apakah nyeri munc
secara terus-menerus atau kadang-kadang; apakah pasien pernah mengalami nyeri seperti
sebelumnya. apabila "iya" apakah nyeri yang muncul merupakan nyeri yang sama atau be
b. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan istirahat dan tidur
2. Gangguan rasa aman dan nyaman
3. Hambatan mobilitas fisik
c. Intervensi
Diagnosa
No Keperawa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
tan
1. 1.GanSetelah dilakukan 1. elaskan
gg asuhan keperawatan pentingnya tidur 1. Memberikan
ua diharapkan pasien yang ade kuat informasi kepada
n pasiendan keluarga
tidak terganggu saat
2.ciptakan lingkungan
isti tidur.dengan kriteria pasien
yang nyaman 2. Agar periode tidur
rah
hasil:
3.kolaborasi tidak terganggu dan
at
da1.jumlah jam tidur dalam pemberian obat rileks
n batas normal 6 tidur 3.mengurangi gangguan
sampai 8 jam perhari tidur
tid 4.diskusikan dengan
ur
2.pola tidur kualitas pasien dan
4.meningkatkan pola tidur
dalam batas normal keluarga tentang yang baik secara
mandiri
teknik tidur
3.rasa segar sesudah
pasien
tidur atau istirahat 5.mengetahui pola tidur
pasien
5.instrusikan untuk
4.mampu
memonitor tidur
mengidentifik
pasien
asi hal-hal
yang
meningkatkan
tidur.
4.dengarkan
dengan
penuh
perhatian
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T.Heather (2017).NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2016-2018. Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta
Chang, Ester .2010 .Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J .2015 .Buku Saku Patofisiologi . Jakarta: E G C.
Doengoes, Marilyn dkk .2012 .Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta: E G C
Muttaqin, Arif. 2015 .Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Wilkinson, Judith .2013 .Diagnosis NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.