Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1996, penyakit – penyakit yang
dapat menyebabkan sesak napas seperti bronkhitis, emfisema, dan asma merupakan
penyebab kematian ketujuh di Indonesia.
IPD 1679 (sal atas)
ASMA
Asma adalah penyakit paru berupa proses keradangan di saluran napas yang
mengakibatkan hiperrespon saluran napas terhadap berbagai macam rangsangan yang
dapat menyebabkan penyempitan saluran napas yang menyeluruh sehingga dapat
timbul sesak napas yang reversible baik secara spontan maupun dengan terapi
Epidemiologi
Estimasi prevalensi pasien asthma dewasa di dunia yang didiagnosis oleh
dokter adalah 4,3%. Prevalensi paling tinggi dijumpai di negara Australia
(21,5%), Swedia (20,2%), Inggris (18,2%), Belanda (15,3%), dan Brazil (13%).
Epidemiologi asthma pada orang dewasa di negara benua Asia belum sepenuhnya
diketahui akibat minimnya penelitian longitudinal di daerah Asia. Namun secara
umum prevalensi asthma di Asia lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi
asthma di Eropa. Prevalensi asma menurut World Health Organization (WHO)
tahun 2016 sekitar 235 juta dengan angka kematian lebih dari 80% di negara-
negara berkembang. 2018 meningkat menjadi sekitar 300 juta.
Riskesdas: Prevalensi di Indonesia sebesar 4,5% (2013) dan menurun
menjadi 2,4% (2018). Prevalensi paling tinggi di DIY 4,5% dan terendah di Sumut
1%. Di Sumbar 2%. Data dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Padang
(DKK) 2013, penyakit asma termasuk ke dalam daftar 10 penyebab kematian
terbanyak di kota Padang.
Prevalensi asma (diagnosis dokter) pada penduduk semua umur cenderung
meningkat seiring bertambahnya usia. Paling banyak pada usia lebih dari 75
tahun dengan prevalensi 5,1% dan paling rendah pada usia kurang dari 1
tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan hampir sama, 2,3% dan
2,5%.
Berdasarkan tempat tinggal, lebih banyak pada perkotaan 2,6% dibanding
pedesaan 2,1%. Berdasarkan pendidikan terakhir paling banyak yang tidak/belum
pernah sekolah dan tamat D1/D2/D3/PT yaitu 3%. Berdasarkan pekerjaan paling
banyak yang tidak bekerja 3,1%.
Proporsi kekambuhan asma dlm 12 bulan terakhir paling banyak di Aceh 68,9%
dengan rata-rata Indonesi 57,5%. Paling banyak pada usia 65-74 tahun yaitu 72,3%
diikuti lebih dari 75 tahun 71,6% dan usia 1-4 tahun 68,2%. Lebih banyak pada
perempuan 58,8% dibanding laki-laki 56,1%. Di pedesaan 61,9% sementara
perkotaan 54,5%
Etiologi dan FR
Faktor risiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor
internal/pejamu dan faktor eksternal/lingkungan. Faktor pejamu yaitu faktor
predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma pada suatu individu:
- genetik asma. faktor genetik terutama ibu akan meningkatkan risiko anak menderita
asma. Hal ini terkait dengan adanya kecenderungan genetik yang diturunkan oleh
orangtua untuk bereaksi terhadap zat-zat yang terdapat di lingkungan (alergen).
- hipereaktivitas bronkus
- jenis kelamin. prevalensi asma pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
sebelum usia pubertas dan sebaliknya setelah usia pubertas. Perempuan cenderung
menderita asma dibandingkan dengan laki-laki, disebabkan diameter saluran napas
dan fungsi paru pada laki-laki lebih besar daripada perempuan. Resistensi saluran
napas berbanding terbalik sebanyak 4 kali lipat dibandingkan dengan diameter
saluran napas, sehingga resistensi saluran napas dengan mudah meningkat ketika
diameter saluran napas kecil.
Faktor lainnya terdapatnya polimorfisme genetik pada perempuan tetapi tidak
ditemukan pada laki-laki seperti cyclooxygenase-2-765C. Polimorfisme genetik ini
meningkatkan kapasitas monosit untuk memproduksi prostaglandin yang dapat
meningkatkan inflamasi pada saluran napas.
Selain pengaruh dari anatomi dan genetik, hormon pada wanita juga memiliki
peranan penting dalam menyebabkan asma. Progesteron meningkatkan sekresi IL-4
dan estrogen meningkatkan tingkat IgE total.
- umur. insiden asma meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Asma usia lanjut
(ageing asthmatic) secara klinis terdiri dari 2 kelompok yaitu; kelompok yang
menderita asma sejak masa anak atau remaja dan asma onset lambat. populasi usia
lanjut sering terjadi underdiagnosed yang disebabkan oleh penurunan sensitivitas
terhadap gejala, gejala klinis yang tidak spesifik dan sering menjadi efek perancu dari
komorbid
- aktivitas fisik
- berat badan yang berlebih. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa obesitas
adalah faktor risiko asma dan memiliki hubungan yang signifikan antara peningkatan
indeks massa tubuh dengan perkembangan asma. Obesitas adalah faktor risiko utama
untuk gejala respirasi dan penyakit dengan kondisi kronik seperti penyakit
kardiovaskular, asma, dan penyakit paru obstruktif kronis. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa individu yang underweight juga terkait dengan fungsi paru yang
menurun dan asma
- BBLR. anak yang memiliki berat badan lahir rendah memiliki risiko 4,87 kali lebih
besar untuk menderita asma dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan cukup
atau lebihHal ini dihubungkan dengan fungsi pernafasan yang lebih buruk. Ada
proses perkembangan saat dalam kandungan yang tidak dapat digantikan pada
lingkungan post natal, hal ini menyebabkan fungsi respirasi yang lebih rendah dan
peningkatan kecenderungan asma hingga dewasa
- pengetahuan terhadap asma, kepatuhan dalam menjalani pengobatan
- penyakit komorbid. adanya penyakit komorbid pada pasien asma seperti penyakit
refluks gastroesofagus, gangguan tidur, obstructive sleep apnea dan rinitis
mempengaruhi saluran napas, memperberat manajemen penyakit, dan pencapaian
asma kontrol
- sensitif thd obat dan makanan,
faktor lingkungan yaitu faktor yang mempengaruhi suatu individu dengan
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma dan menyebabkan terjadinya
eksaserbasi serta gejala asma yang menetap.
- alergen inhalasi yang didapatkan di rumah atau di tempat kerja. debu rumah yang
menempel pada kipas angin, langit-langit rumah, jendela kamar tidur anak yang
selalu tertutup, membersihkan debu tidak dengan lap basah merupakan faktor risiko
asma pada anak. Tungau Debu Rumah (TDR) adalah alergen inhalan penting yang
berhubungan dengan asma. Kasur yang telah lama tidak dijemur dan tidak
dibersihkan akan menampung TDR dan serpihan kulit manusia yang merupakan
makanannya. Selain itu karpet juga sering menampung alergen seperti TDR
- iritan inhalasi dari polusi udara misalnya asap rokok, asap industri dan asap
kendaraan. Paparan asap rokok selama masa kehamilan meningkatkan kemungkinan
terjadinya wheezing pada bayi. Pada orang dewasa yang menderita asma, merokok
dapat meningkatkan derajat keparahan asma, dan menurunkan respon terhadap
penggunaan kortikosteroid inhalan. Tembakau yang terdapat di dalam rokok tidak
hanya merusak sel silia paru, tetapi juga dapat mengakibatkan kerusakan permanen
saluran napas.
- polusi udara,
- infeksi pernapasan (virus). Serangan asma paling banyak dipicu oleh infeksi saluran
napas bagian atas dan aktivitas fisik
- diet,
- status sosial ekonomi dan besarnya keluarga. tingkat sosial ekonomi rendah,
- binatang peliharaan
- perubahan suhu terkait perubahan musim/cuaca atau kondisi geografis lainnya
Sal. Napas penderita asma memiliki sifat khas yaitu sangat peka thd berbagai
rangsangan. Namun kepekaan yg berlebihan bukan syarat satu-satunya utk tjdnya
asma karna banyak orang yg saluran napas peka tapi tdk tjd asma. Syarat kedua yaitu
adanya rangsangan yg cukup kuat pd sal napas yg telah peka tadi, yg kita kenal sbg
faktor pencetus/pemicu, dan ini umum dijumpai pd penderita asma, walaupun mgkin
masih ada kemungkinan lain yg blm diketahui.
Klasifikasi
- Asma ekstrinsik/alergi: disebabkan kepekaan individu thd alergen (biasanya
protein) dlm bentuk serbuk sari yg dihirup, bulu halus binatang, spora jamur, debu,
serat kain. Biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dg keluarga yang mempunyai
riwayat penyakit atopik termasuk hay fever, ekzema, dermatitis, asma. Pajanan kecil
sj dpt mengakibatkan serangan asma. Anak yg menderita sering sembuh sempurna
ketika dewasa muda.
- Asma intrinsik/idiopatik: sering tdk ditemukan faktor-faktor pencetus yg jelas.
Faktor nonspesifik spt flu biasa, latihan fisik, emosi dpt memicu serangan asma.
Lebih sering timbul stl umur 40 tahun, timbul stl infeksi sinus hidung/pd percabangan
trakeobronkial. Makin lama serangan makin hebat => bronkitis kronik, kadang
emfisiema.
- Asma campuran (eks-intrinsik). sebagian asma instrinsik berlanjut mjd campuran.
Asma bronkial dikelompokkan menjadi dua subtipe intrinsik dan ekstrinsik,
namun terminologi ini telah ditinggalkan. Saat ini dikenal sebagai:
- asma bronkial atopi
- asma bronkial non atopi
berdasarkan adanya tes kulit yang positif terhadap alergen dan ditemukan adanya
peningkatan imunoglobulin (Ig) E dalam darah. Sekitar 80% penderita asma bronkial
adalah asma atopi dan telah dibuktikan bahwa bahwa tes kulit mempunyai korelasi
yang baik dengan parameter-parameter atopi.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut), antara lain intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan berat. Selain itu,
asma diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan.
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis scr umum pd orang dewasa.
Patogenesis dan patofisiologi
Dimulai dg adanya suatu inflamasi kronis yg berhubungan dg alergi/atopi
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori. Inflamasi yg
dimaksud bukan inflamasi infeksi, tapi inflamasi sistem imun shg tjd terus menerus.
Pada suatu waktu bisa tjd pertambahan inflamasi mendadak => serangan asma =>
remodelling dinding brokus (kaku)
Penyempitan jalan napas disebabkan bronkospasme/bronkokontriksi, edema
mukosa, hipersekresi mukus yang kental (merangsang reseptor batuk)
Faktor:
- Faktor genetik: Atopi sebagian besar sbg dasar tjdnya asma
- Faktor sex: Laki-laki lebih sering
- Faktor lingkungan: alergen, infeksi, asap rokok, polutan
Keluhan: batuk-batuk, sesak
- episodisitas: timbul episodik/berulang dalam beberapa minggu
- variabilitas: intensitas dlm dalam sehari, biasanya malam
- reversibilitas: membaik dg pemberian obat
Reaksi alergi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi menurut cara
berikut ini: Seseorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar. Antibodi ini menyebabkan reaksi alergi
bila orang tersebut bereaksi dengan antigen spesifik yang memicu terbentuknya
antibodi tersebut pada pertama kali. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada
sel mast yang terdapat dalam interstitial paru yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang yang menderita asma menghirup serbuk
sari yang sensitif baginya (telah terbentuk antibodi IgE terhadap serbuk sari pada
orang tersebut), serbuk sari bereaksi dengan antibodi yang terlekat sel mast dan
menyebabkan sel mast mengeluarkan berbagai macam zat, antara lain:
(a) histamin,
(b) zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan campuran leukotrien)
(c) faktor kemotaktik
(d) bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor ini, terutama zat anafilaksis yang bereaksi lambat,
akan menghasilkan
(1) edema lokal pada dinding bronkiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental ke
dalam lumen bronkiolus
(2) spasme otot polos bronkiolus.
Oleh karena itu, tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat
Saat keadaan serangan, terjadi spasme saluran napas sehingga saluran napas
menyempit, dinding saluran napas menebal karena terjadi udem, serta terjadi
hipersekresi kelenjar sub mukosa saluran napas dan sel radang akan mengeluarkan
zat-zat kimia sitokin dan mediator yang dapat menyebabkan peradangan saluran
napas.
Pemeriksaan penunjang
Asma adl suatu sindroma klinik jadi tdk ada gold standar utk diagnosisnya.
Pem.penunjang antara lain
- spirometri/tes fungsi paru utk menunjukkan adanya penyempitan sal napas. Stl
pasien menghirup udara sebanyak-banyaknya, diminta meniup udara dg cepat sampai
habis ke dalam spirometer. Selain itu jg utk menilai beratnya obstruksi dan efek
pengobatan.
- rontgen, hny dilakukan pd pasien dg tanda dan gejala adanya pneumothoraks, yaitu
- tes kulit, utk menentukan alergen sbg pencetus serangan. Skin prick test
menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pd kulit.
- penanda inflamasi, bisa mll biopsi paru, pem sel eosinofil dlm sputum dan kadar
oksida nitrat udara yg dikeluarkan dg napas.
- uji hiperaktivitas bronkus.
Diagnosis dan DB
Riwayat penyakit:
Rincian ini termasuk eksaserbasi yg berjalan (misalnya waktu onset dan penyebab
potensial), keparahan gejala, khususnya
Untuk mengetahui apakah seseorang menderita asma, maka sejumlah tes akan
dilakukan oleh seorang dokter. Dokter biasanya akan mengajukan sejumlah
pertanyaan mengenai gejala yang dirasakan, waktu kemunculan gejala tersebut, dan
riwayat kesehatan pasien serta keluarga. Selanjutnya serangkaian pemeriksaan
penunjang utk memperkuat diagnosis asma.
Diagnosis banding
Tatalaksana komprehensif
Latar belakang proses penyakit (fenotip) asma antara satu orang dengan lainya
berbeda-beda. Fenotip asma meliputi asma alergi, asma non alergi, asma usia tua,
asma dengan hambatan aliran udara yang menetap serta asma pada obesitas.
Perbedaan fenotip-fenotip inilah yang menyebabkan perbedaan penatalaksanaan
asma satu dengan lainnya.
Target pengobatan:
Perilaku pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma yang dilakukan terus-
menerus, seperti memakai alat pelindung diri saat bekerja, akan sangat membantu
penderita asma untuk meningkatkan kontrol terhadap penyakit asma. Semakin baik
kontrol penderita terhadap asma, terapi farmakologis dapat diminimalkan sehingga
sangat berguna dalam menghindari efek samping obat-obat anti asma.
Anak
Berdasarkan hasil perhitungan rerata usia anak pertama kali menderita asma
adalah lima tahun. Apabila anak menderita serangan asma terus-menerus, maka
mereka akan mengalami gangguan proses tumbuh kembang serta penurunan kualitas
hidup. Oleh karena itu, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai
potensinya, orangtua harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal-hal yang
menjadi pencetus asma pada anak, sehingga dapat mencegah kambuhnya asma pada
anak. Dengan demikian, anak dapat hidup secara normal dan tidak terganggu dalam
mengerjakan kegiatan sehari-hari
Dalam hal penanganan anak yang menderita asma, pengendalian terhadap
pencetus serangan asma sangat perlu diperhatikan. pencetus asma harus dihindari
agar tidak terjadi serangan asma. Selain itu, pengendalian asma juga harus dilakukan
yaitu dengan mengonsumsi obat-obatan, vitamin, berolahraga serta makanan yang
bergizi agar tidak mudah sakit.
Selain pengetahuan dan obat-obatan, orangtua juga harus memperhatikan
kebugaran anak agar asma dapat terkontrol. Dalam suatu penelitian, 69,9% anak
mengakui bahwa pernah mengalami serangan asma dalam 12 bulan terakhir.
Tingkatan asma terkontrol terbagi menjadi tiga bagian, yaitu terkontrol, terkontrol
sebagian dan tidak terkontrol.
- Asma terkontrol apabila tidak terdapat (dua kali atau kurang) gejala asma dalam
seminggu.
- Terkontrol sebagian apabila serangan asma terjadi lebih dari dua kali seminggu.
- Tidak terkontrol apabila tiga atau lebih gejala asma dalam seminggu, terbangun di
malam hari bahkan kondisi asma semakin memburuk sekali dalam seminggu.
Kematian:
EMFISIEMA
Menurut American Lung Association, pada 2011 lebih dari 4,5 juta orang di
Amerika Serikat menderita emfisema. Mayoritas berusia di atas 65 tahun. Baik pria
dan wanita memiliki risiko yang sama untuk mendapatkan penyakit ini.
Emfisema adalah suatu penyakit obstruktif paru yang bersifat kronis dan progresif,
ditandai dengan adanya kelainan anatomis paru berupa pelebaran rongga udara distal
pada bronkiolus terminal dan kerusakan parenkim paru, disertai pembesaran
alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar. Dalam keadaan
normal alveolus bersifat elastis. Namun pada emfisema, dinding alveoli yang
mengalami kerusakan akan kehilangan elastisitasnya sehingga udara terperangkap di
dalam alveoli dan penderita akan mengalami kesulitan untuk mengeluarkan udara
dari paru-paru. Pelebaran menetap disertai kerusakan alveoli dapat mengurangi aliran
udara ekspirasi maksimal akibat daya rekoil elastik paru berkurang (kemampuan jar
paru utk kembali ke bentuk semula stl diregangkan). Pelebaran ruang udara tanpa
disertai kerusakan disebut sebagai overinflation
2. Emfisema paraseptal, terjadi di sekitar pleura atau septa pada struktur asinar
distal di bagian anterior atau posterior lobus atas (apeks) yang berhubungan dengan
bekas TB atau di bagian posterior lobus bawah. Sering ditemukan pada pasien usia
dewasa muda dengan pneumotoraks spontan (akibat pecahnya bullae). jenis ini dapat
muncul sendiri atau berhubungan dengan 2 kondisi lainnya (asinar proksimal dan
panasinar).
Paparan Zat Berbahaya Paparan zat berbahaya atau asap rokok dalam jangka
panjang akan memicu respon inflamasi oleh sel-sel imun inflamatorik seperti sel
polimorfonuklear, eosinofil, makrofag, limfosit CD4+ dan limfosit CD8+.
Makrofag akan teraktivasi dan melepaskan faktor kemotaktik neutrofil seperti
leukotrien B4 dan IL-8 (Interleukin 8). Pada saat neutrofil-neutrofil direkrut, maka
secara bersama-sama dengan makrofag akan menghasilkan enzim proteolitik
seperti metalloproteinases matrix (MMPs), protease-protease lainnya, dan hidrogen
peroksida yang berperan dalam penghancuran lapisan epitel paru dan menyebabkan
hipersekresi mukus. Derivat neutrofil protease (elastase dan protease) bertindak
melawan elastin dan merusak jaringan ikat pada parenkim paru. Padahal, elastin
merupakan suatu komponen penting pada matriks ekstraseluler yang digunakan untuk
mempertahankan integritas parenkim paru dan saluran napas. Ketidakseimbangan
elastase akan merusak paru dan menyebabkan pelebaran dari alveoli. Hal ini
mengakibatkan pertukaran gas di alveoli terganggu.
Gambaran klinis sesak napas, batuk dan suara meninggi saat bernapas. Gejala-
gejala yang lain yang perlu diwaspadai adalah penurunan kemampuan untuk
berolahraga dan menjalani aktivitas rutin secara bertahap, napas pendek sehingga
tidak bisa menaiki tangga, bibir dan kuku menjadi biru atau abu-abu, serta menjadi
kurang awas secara mental.
Sebagian besar penderita emfisema juga memiliki bronkitis kronis. Bronkitis kronis
adalah peradangan pada bronkus paru-paru. Gejalanya berupa sesak napas dan batuk
yang berkepanjangan.
Terdapat beberapa faktor penentu prognosis dari penderita emfisema paru, salah
satunya volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1), kapasitas difusi dari karbon
monoksida, hasil perhitungan gas darah, indeks massa tubuh (IMT), kapasitas
olahraga, dan keadaan klinis.
KISTIK FIBROSIS
Patofisiologi cystic fibrosis (fibrosis kistik) disebabkan oleh mutasi pada gen
penghasil protein cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR).
Protein CFTR berfungsi mengatur pergerakan ion klorida dan natrium melintasi
membran sel epitel. Ketika mutasi terjadi pada salinan gen, transpor ion rusak dan
menghasilkan penumpukan lendir kental di seluruh tubuh, menyebabkan insufisiensi
pernapasan disertai banyak penghalang dan kelainan sistemik lainnya.
Kombinasi dari penurunan clearance mukosiliar dan transportasi ion yang
berubah tersebut memungkinkan terjadi kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan,
umumnya bakteri Pseudomonas, Haemophilus influenza, dan Staphylococcus aureus.
Patogen ini menyebabkan respon peradangan yang luar biasa. Pada akhirnya, infeksi
kronis dan respons inflamasi berulang ini dapat menyebabkan kerusakan saluran
napas. Kehadiran protein CFTR yang sama di saluran pankreas dan kelenjar keringat
di kulit juga menyebabkan gejala pada sistem ini.
Manifestasi klinik
Gejala cystic fibrosis timbul akibat proses radang dan infeksi pada paru dan
gangguan sistem pencernaan, seperti batuk lama, sesak napas, produksi dahak
berlebihan, diare, malnutrisi akibat gangguan absorbsi nutrisi, hingga gangguan pada
sistem hepatobilier seperti batu empedu.
Diagnosis Cystic fibrosis didiagnosis pada bayi rata-rata usia 6-8 bulan, sebagian
besar pada usia 1 tahun. Keluhan pasien bervariasi sesuai dengan usia, di antaranya
pada neonatus bisa mengalami ileus mekonium atau gejala lain seperti edema
anasarka. Pasien usia <1 tahun dapat datang dengan mengi, batuk, dan/atau infeksi
saluran pernapasan dan pneumonia berulang. Keluhan saluran pencernaan pada bayi
bisa steatorrhea, kegagalan untuk berkembang, atau keduanya. Pasien yang
didiagnosis pada usia dewasa lebih cenderung memiliki insufisiensi pankreas, dan
sering mengalami keluhan batuk kronis dengan dahak produktif. Keluhan berupa
gangguan pernapasan hingga gangguan pencernaan seperti diare, dispepsia dan
malnutrisi. Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan sesuai dengan organ yang terkena,
misalnya suara wheezing dan ronchi pada kedua lapang paru, hingga produksi
keringat yang berlebihan. Deteksi dini dilakukan melalui berbagai pemeriksaan
seperti tes genetik, dan tes kadar klorida keringat. Berbagai pemeriksaan pencitraan
juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang.
Pem penunjang
Diagnosis
Tatalaksana Cystic fibrosis merupakan penyakit genetik dan tidak dapat
disembuhkan. Karena itu penatalaksanaan cystic fibrosis hanya bertujuan untuk
mengobati gejala dan mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Penatalaksanaan
cystic fibrosis bertujuan untuk mengobati gejala dan mencegah komplikasi lebih
lanjut. Anak dengan cystic fibrosis harus mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi
yang adekuat, sehingga pertumbuhannya tidak terganggu. Oleh karena itu,
penanganan penyakit ini termasuk multidisiplin spesialis dan membutuhkan kontrol
rutin pasien.
PPOK
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan/keterbatasan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible
parsial, bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang
disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan
sistemik. Pajanan terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama
sesak nafas, batuk dan produksi sputum. Sehingga PPOK berkorelasi dengan jumlah
total partikel yang telah dihirup oleh seseorang selama hidupnya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) bukan penyakit tunggal tetapi
merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru
kronis yang menyebabkan keterbatasan dalam aliran udara paru. Istilah lebih umum
bronkitis kronis dan emfisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam
diagnosis PPOK. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati.
Faktor risiko Keterangan
Genetik Defisiensi α-1 antitripsin
Umur & jenis Pria = wanita, namun wanita lebih rentan terhadap efek dari asap te
kelamin mbakau dibandingkan laki-laki
Paparan terhad Rokok tembakau sebagai faktor risiko yang paling umum terhadap
ap partikel COPD
Status sosio- Terdapat bukti yang kuat perihal korelasi yang terbalik antara perk
ekonomi embangan COPD dengan status sosio-ekonomi seseorang
Asma Orang dewasa dengan asma memiliki risiko yang 12 kali lebih besa
r dalam mendapatkan COPD, setelah penyesuaian faktor merokok
Bronkitis kron Terdapat hubungan antara hipersekresi mukus dengan penurunan F
is EV1
Infeksi Riwayat infeksi saluran pernafasan, TB, dan HIV
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau empat
dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor
pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan
VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas
kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas darah dengan
kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan hiperkapnia
Patogenesis
Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamousa akan mengalami
metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi.
Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya
saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi
yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas
yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya,
termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa,
peningkatan otot polos
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin
dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidakseimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin
menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum,
perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat
keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan
mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4,
chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related
oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß.
Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease,
adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi
seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear
factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang
sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang
kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan
menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter
< 2 mm dan air trapping pada emfisema paru
Ada beberapa mekanisme utama terjadinya PPOK, yaitu adanya proses inflamasi
kronik pada saluran napas, stress oksidatif, gangguan keseimbangan antara proteolitik
dan anti proteolitik. Inflamasi kronik dari saluran napas karena masuknya sel
inflamasi ke paru sebagai respons terhadap asap rokok. Beberapa sel inflamasi seperti
makrofag, netrofil, sel T CD8+ telah diketahui berperan dalam proses inflamasi pada
saluran napas pasien PPOK. Stres oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan
fungsi sel atau bahkan kematian sel serta dapat menginduksi kerusakan matriks
ekstraseluler paru.
Stres oksidatif selanjutnya akan mempengaruhi keseimbangan antara proteolitik
dan anti proteolitik melalui aktivasi protease dan mengnonaktifkan antiproteinase.
Gangguan keseimbangan antara proteolitik dan anti proteolitik pada paru,
mengakibatkan kerusakan parenkim paru sehingga terjadi emfisema. Peningkatan
aktivitas proteolitik ini merupakan konsekuensi dari respons inflamasi, yaitu
pelepasan enzim proteolitik oleh sel inflamasi seperti makrofag dan netrofil atau juga
karena faktor genetik yaitu defisiensi a1-antitripsin.
Respons inflamasi pada pasien PPOK selain melibatkan kekebalan bawaan
(netrofil, makrofag, eosinofil, sel mast, natural killer cells, dan sel dendritik) dan
kekebalan adaptif (limfosit T dan B), tetapi juga ada aktivasi terhadap sel-sel
struktural seperti sel epitel alveolar, sel endotel dan fibroblast
Gambaran klinis
Pada stadium dini, keluhan sesak napas dirasakan jika sedang melakukan
pekerjaan fisik ekstra (dyspnoe d’effort) yang masih dapat ditoleransi penderita
dengan mudah, namun lama kelamaan sesak itu semakin progresif. Pada stadium
berikutnya penderita secara fisik tak mampu melakukan aktivitas apapun tanpa
bantuan oksigen, karena sambil duduk pun pasien akan tetap merasakan sesak napas
manifestasi sistemik PPOK antara lain Inflamasi sistemik, penurunan berat
badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi.
Osteoposrosis yang terjadi pada pasien PPOK disebabkan faktor seperti malnutrisi
yang menetap, merokok, penggunaan steroid dan inflamasi sistemik
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. pasien PPOK akan mengalami produksi sputum kronis yang berlebih
(hipersekresi lendir), batuk, dan sering dispnea. Gejala PPOK secara umum ada tiga
yaitu, batuk, berdahak dan sesak napas khsususnya saat beraktivitas. hipersekresi
mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi
mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang
lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%
keluhan-keluhan disebabkan oleh adanya hipersekresi mucus dan sesak, maka
penderita mengeluh terutama pada batuk dan dahak serta mengeluh sesak napas. Bila
tidak disertai infeksi sekunder, dahak akan berwarna keputih-putihan yang mungkin
sampai kelabu (karena partikel-partikel debu bila ada polusi udara).
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai
hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik.
Keterbatasan aktivitas merupa-kan keluhan utama penderita PPOK yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang
berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK.
Diagnosis Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda
inflasi paru. diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi atau anak, misalnya berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1. Inspeksi
a. Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas.
d. Hipertropi otot bantu napas
e. Pelebaran sela iga
f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis dan edema
tungkai Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi. Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
3. Perkusi. Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
4. Auskultasi
a. suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
c. ekspirasi memanjang
d. bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan
spirometri. The National Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan
spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang
dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten.
b. Pemeriksaan Penunjang lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes
tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada harus
dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.
Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau
polisitemia.Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi
pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi
paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus
dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non
farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi
gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan
komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas
hidup dan mengurangi angka kematian
Penatalaksanaan PPOK harus sesuai derajat PPOK pasiennya. Disamping
pemberian obat-obatan, penderita PPOK perlu diberikan edukasi yang adekuat.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan
merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti
kortikoteroid, antibiotic dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu.
Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan denganklasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
Prognosis apabila keduanya terjadi bersamaan adalah dubia ad malam jika tidak
segera mendapatkan penatalaksanaan yang tepat.