BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Klasifikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2013), diabetes mellitus diklasifikasikan
menjadi :
2.1.2.1 Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 disebut dengan diabetes melitus tergantung
insulin. Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1.
Tipe ini ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas akibat
7
2.1.3 Patofisiologi
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin dan gangguan sekresi insulin yaitu resistensi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin
pada diabetes tipe II disertai penurunan reaksi intrasel sehingga insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan
8
insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II
(Smeltzer & Bare, 2013).
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2.
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkiraan sebelumnya. Selain otot, liber dan sel beta,
organ lain seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pankreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut
berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM
tipe-2 (Perkeni, 2015).
2.1.4 Etiologi
Secara pasti penyebab dari diabetes melitus tipe 2 ini belum diketahui,
faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Diabetes melitus tipe 2 penyakitnya mempunyai pola
pamiliar yang kuat. Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kalianan sekresi
insulin maupun dalam kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2013). Faktor risiko
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2 diantaranya
adalah:
2.1.4.1 Usia
DM tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering
terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia
lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai 50-92% Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun dan 11%
individu diatas usia 65 tahun menderita DM tipe II. Umur sangat erat
kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga
semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan
toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung
setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis
9
2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Perkeni (2015), penatalaksanaan diabetes melitus adalah :
2.1.6.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.Materi edukasi
terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat
lanjutan.
2.1.6.2 Terapi Nutrisi Medis (TNM) TNM merupakan bagian penting dari
penatalaksanaan DMT2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna
mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip pengaturan makan pada
penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang
DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau terapi insulin itu sendiri.
11
2.1.6.3 Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2
apabila tidak disertai adanya nefropati.Kegiatan jasmani sehari-hari
dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali
perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit
perminggu.Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum
latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah 250 mg/dL dianjurkan
untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas
sehari-hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun
dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50- 70% denyut
jantung maksimal)seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi
angka 220 dengan usia pasien. Pada penderita DM tanpa
kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol,
retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training
(latihan beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani.Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM
yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM
yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan
disesuaikan dengan masing-masing individu.
2.1.6.4 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.
12
i. Frekuensi berkemih
j. Fatigue
k. Irirtabel
l. Wawancara
1) Riwayat hipertensi
2) Riwayar kesehatan keluarga
3) Pola kehidupan sehari-hari
4) Riwayat penyakit, terutama yang berhubungan dengan
penyakit yang berbahaya.
5) Riwayat keluarga Terutama yang berkaitan dengan
anggota keluarga lain yang menderita diabetes
mellitus.
1. Nyeri Akut
4. Intoleransi aktivitas