Anda di halaman 1dari 5

EPIDEMIOLOGI

PENYAKIT MENULAR (LEPTOSPIROSIS)

Dosen Pembimbing :

Putri Arida Ipmawati, SKM.M.Kes

Disusun oleh :

Mochammad Rizaldi (P27833320057)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN SANITASI LINGKUNGAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptospira


dan ditularkan oleh tikus. Penyakit ini kebanyakan ditemukan di wilayah tropis dan sub tropis
pada musim penghujan. Leptospirosis terjadi karena adanya interaksi yang kompleks antara
pembawa penyakit, tuan rumah / pejamu dan lingkungan. Bakteri Leptospira dapat
menginfeksi manusia melalui luka yang ada di kulit dan mukosa tubuhnya. Manusia dengan
perilaku kesehatan yang buruk untuk infeksi bakteri ini. Demikian juga dengan sanitasi yang
buruk mendukung kasus kasus leptospirosis pada manusia. Diagnosis leptospirosis dilakukan
dengan Rapid Diagnostic Test, Polymerase Chain Reaction, Microscopic Tes Aglutinasi, dan
lainnya. Pengobatan leptospirosis berupa doksisiklin dan penisilin G intravena. Hemodialisis
dan pemberian ventilasi pernafasan mekanik yang diberikan jika gagal ginjal dan perdarahan
pada paru-paru. Pencegahan leptospirosis dilakukan dengan pencegahan pada hewan sebagai
sumber infeksi, jalur penularan dan manusia.

PEMBAHASAN

Menurut Setiawan (2008), leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri patogen yang disebut Leptospira dan ditularkan dari hewan kepada manusia
(zoonosis). Penularan bisa terjadi secara langsung akibat terjadi kontak langsung antara
manusia (sebagai host) dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi dan secara tidak
langsung akibat terjadi kontak antara manusia dengan air, tanah atau tanaman yang
terkontaminasi urin dari binatang yang terinfeksi leptospira. Jalan masuk yang biasa pada
manusia adalah kulit yang terluka, terutama sekitar kaki, dan atau selaput mukosa di kelopak
mata, hidung, dan selaput lendir. (Ramadhani, 2012). Penyakit ini merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan
sub tropis yang memiliki curah hujan tinggi. Hal ini ditambah dengan kondisi lingkungan
buruk merupakan lahan yang baik bagi kelangsungan hidup bakteri patogen sehingga
memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat yang cocok untuk hidup dan
berkembangbiaknya bakteri Leptospira (Okatini, 2007; Ramadhani, 2010). Di Indonesia
sendiri terdapat empat provinsi yang melaporkan adanya kasus leptospirosis tahun 2014 yaitu
DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Dibandingkan tahun 2013,
terdapat penurunan jumlah kasus dari 640 kasus menjadi 519 kasus pada tahun 2014.

2
Penurunan kasus leptospirosis secara signifikan terjadi di Jawa Timur dengan penurunan
sekitar dua pertiga dibandingkan tahun sebelumnya. Namun di DKI Jakarta dan Jawa Tengah
terjadi kenaikan kasus bahkan merupakan kasus tertinggi di kedua provinis tersebut dalam 5
tahun terakhir. (DKK Semarang, 2016). Sedangkan di Kota Semarang dari tahun ke tahun
sering menjadi peringkat pertama kasus leptospirosis di Jawa Tengah. Pada tahun 2015 di
Kota Semarang terdapat 56 kasus leptospirosis dan 8 diantaranya meninggal. Tingkat
kejadian leptospirosis tertinggi di Kota Semarang berada di wilayah kerja Puskesmas
Pegandan. (DKK Semarang, 2016).

Penularan leptospirosis terjadi akibat buruknya kondisi lingkungan di pemukiman


penduduk. Lingkungan yang buruk dapat meningkatkan ketersediaan makanan, tempat
berlindung, bersarang dan berkembang biak tikus sebagai reservoir leptospirosis. Selain itu
lingkungan yang buruk dapat menyebabkan banjir yang bisa meningkatkan risiko terjadinya
penyakit leptospirosis. (Riyaningsih, 2012). Karakteristik individu seperti jenis pekerjaan dan
kebiasaan mencuci atau mandi di sungai juga dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
leptospirosis. Individu yang bekerja di sawah lebih berisiko terjangkit leptospirosis daripada
yang bekerja di kantor (Anies, 2009).

PENUTUP

KESIMPULAN
Leptospirosis di Indonesia masih menjadi masalah dengan merebaknya beberapa
Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia. Banyak kematian kasus Leptospirosis disebabkan
karena keterlambatan dalam deteksi dini dan keterlambatan rujukan ke rumah sakit. KLB
Leptospirosis yang terus terjadi di berbagai daerah yang mengakibatkan kematian pada
manusia akan menimbulkan kecemasan pada masyarakat di Indonesia. Bahkan para ahli
memperkirakan Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di
dunia, tetapi dikarenakan sulitnya diagnosis klinis dan mahalnya alat diagnostik banyak kasus
Leptospirosis yang tidak terlaporkan. Di Indonesia faktor lingkungan selama ini di curigai
sebagai faktor risiko terinfeksi Leptospirosis seperti daerah rawan banjir, sanitasi lingkungan
yang kurang baik, wilayah dengan populasi tikus tinggi, sehingga dikuatirkan KLB akan terus
terjadi bila upaya penanggulangan Leptospirosis tidak dilaksanakan secara tuntas. Maka dari
itu kita harus membiasakan hidup bersih agar tidak terjangkit berbagai penyakit termasuk
leptospirosis.

3
DAFTAR PUSTAKA

Widjajanti W. Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis. jhecds


[Internet]. 7Feb.2020 [dikutip 7Feb.2021]; 5 (2): 62-8. Tersedia dari:
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jhecds/article/view/174

Setiawan, I.M. (2008). Pemeriksaan Laboratorium untuk Mendiagnosis Penyakit


Leptospirosis. Media Litbang Kesehatan, 18 (1): 44-52

Ramadhani, T., Yunianto, B. (2012). Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian
Luar Biasa. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7(4): 162-168

Okatini, M., Purwana, R., Djaja, I.M. (2007). Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik
Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta 2003-2005. Makara Kesehatan,
11(1): 17-24

Ramadhani, T., Yunianto, B. (2010). Kondisi Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat
Berisiko terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kota Semarang). Suplemen Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 20(1): 46-54

Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2016). Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2015.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang

Riyaningsih, Hadisaputro, S., Suhartono. (2012). Faktor Risiko Lingkungan Kejadian


Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Pati).
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1): 87-94

Anies, Hadisaputro, S., Sakundarno, M., Suhartono. (2009). Lingkungan dan Perilaku pada
Kejadian Leptospirosis. Media Medika Indonesia, 43(6): 306-311

4
DIAGRAM ALIR

1. Pola hidup tidak 1. Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira masuk
sehat kedalam tubuh pejamu.
2. Lingkungan yang 2. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang
kotor merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau
3. Gigitan oleh seseorang yang tertular dari hewan peliharaanya.
binatang terinfeksi 3. Dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui hubungan seksual pada
masa konvalesen atau dari ibu penderita Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan
air susu ibu.
4. Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang
tercemar urin hewan.

Gejala b. Stadium Kedua c. Stadium Ketiga


1) Pada stadium ini biasanya Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga
a. Stadium Pertama
telah terbentuk antibodi di dapat menunjukkan gejala klinis pada stadium
(leptospiremia)
dalam tubuh penderita ketiga (konvalesen phase). Komplikasi
1) Demam, menggigil 2) Sakit
2) Gejala-gejala yang tampak Leptospirosis dapat menimbulkan gejala-gejala
kepala berikut:
3) Bercak merah pada kulit pada stadium ini lebih bervariasi
dibanding pada stadium pertama 1) Pada ginjal, renal failure yang dapat
4) Malaise dan muntah menyebabkan kematian
5) Konjungtivis serta kemerahan antara lain ikterus (kekuningan) 2) Pada mata, konjungtiva yang tertutup
pada mata 3) Apabila demam dan gejala-
gejala lain timbul lagi, besar menggambarkan fase septisemi yang erat
6) Rasa nyeri pada otot terutama hubungannya dengan keadaan fotobia dan
otot betis dan punggung. kemungkinan akan terjadi
meningitis konjungtiva hemorrhagic
Gejalagejala tersebut akan tampak
antara 4-9 hari 4) Biasanya fase ini berlangsung 3) Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi
selama 4-30 hari. pada hari keempat dan keenam dengan adanya
pembesaran hati dan konsistensi lunak
4) Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan
1. Memberikan sosialisasi
2. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia; kegagalan jantung yang dapat menyebabkan
3. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan kematian mendadak
penanggulangan KLB Leptospirosis; 5) Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis
4. Peningkatan surveilans epidemiologi pada manusia dan faktor dengan batuk darah, nyeri dada, respiratory
risiko; distress dan cyanosis
5. Penatalaksanaan kasus Leptospirosis secara dini sejak kasus 6) Perdarahan karena adanya kerusakan
suspek sesuai dengan standar, di fasilitas pelayanan kesehatan pembuluh darah (vascular damage) dari saluran
dan di masyarakat; pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan
6. Pengendalian faktor risiko; saluran genitalia
7. Penguatan upaya prefentif dan promotif (KIE) untuk 7) Infeksi pada kehamilan menyebabkan
peningkatan peran masyarakat; abortus, lahir mati, premature dan kecacatan
8. Penguatan jejaring;
pada bayi
9. Penguatan pelaksanaan monitoring dan evaluasi.
10. Pada hewan yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan
intensif. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin,
enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-
streptomisin. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan
pemberian antidiare, antimuntah, dan infus. Pencegahan dapat
dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.
11. Pada Manusia Leptospirosis yang ringan dapat diobati 5
dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin.
Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan
penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.

Anda mungkin juga menyukai