Anda di halaman 1dari 5

KASUS MATI

dr. Lenny Puspa Sari


PEMBAHASAN KASUS KEMATIAN

A. Identitas Pasien
Nama : Z.H.S
No RM : 01-82-79-xx
Tanggal lahir : 26 Maret 2008
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bantul
Waktu masuk RS : 06-02-2020
Diagnosis masuk RS : Community Acquired Pneumonia, Alkalosis Respiratorik berat
belum terkompensasi, Cerebral Palsy GMFCS V, Skoliosis,
Dekubitus ulkus regio sacrum, Gizi buruk tipe marasmik
Tanggal meninggal : 17-02-2020
Tempat meninggal : Bangsal Melati 2 RSUP DR. Sardjito

B. Riwayat Singkat Perjalanan Penyakit


Pasien anak laki-laki usia 11 tahun dengan Cerebral Palsy GMFCS V pada hari
masuk rumah sakit dirawat karena demam, sesak nafas, tidak batuk, tidak kejang,
dengan faktor resiko ayah perokok. Pasien pernah dirawat di PICU pada bulan
September 2019 karena gagal nafas akibat pneumonia dan meningoencefalitis. Sejak
September 2019 hingga Februari 2020 pasien rutin kontrol untuk fisioterapi, namun
karena ditemukannya ulkus pada punggung, fisioterapi dihentikan.
Saat anak diterima di IGD anak dalam keadaan distres respirasi, dengan hasil
Rontgen Thoraks pada tanggal 6 Februari 2020 mengarah Pneumonia dan
Levoscoliosis thoracales. Saat sampai di Melati 1, anak ditemukan dalam keadaan
syok, sehingga dilakukan resusitasi syok pada gizi buruk, karena syok refrakter
dilakukan resusitasi syok pada gizi buruk hingga dua kali dan diberi titrasi
norepinefrin, oksigenasi dipertahankan dengan re-breathing mask 5 liter per menit,
karena kondisi alkalosis respiratorik berat belum terkompensasi. Anak diassess
dengan Syok Sepsis dan Sepsis (Pelod 23), dan dirawat bersama dengan bagian
Infeksi dan Penyakit Tropis dan Nutrisi Penyakit Metabolik Anak, pasien mendapat
antibiotik ampicillin sulbaktam sebagai terapi empiris untuk sepsis.
Pada 8-9 Februari 2020 pasien didapatkan perdarahan saluran cerna, mendapat
omeprazole dengan sukralfat. Pada tanggal 9 Februari 2020 dimulai trophic feeding

Bahan pendidikan
KASUS MATI
dr. Lenny Puspa Sari
dan evaluasi dari bagian Respirologi Anak karena distres nafas akibat pneumonia
teratasi, bagian Respirologi lepas rawat dan alih DPJP ke bagian Infeksi dan Penyakit
Tropis Anak, dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk work up sepsis.
Pada 10 Februari 2020 pasien belum buang air kecil selama 12 jam, saat dipasang
kateter urine didapatkan urine 500ml, namun kateter belum dipertahankan, hingga
pada 11 Februari 2020 pasien ditemukan retensi urine, dipasang kateter urine dan
dilakukan bladder training, karena kondisi tekanan darah stabil dimulai untuk
tappering off norepinefrin, hasil evaluasi procalcitonin didapatkan 0.15, infeksi
teratasi sehinga pada tanggal 12 Februari 2020 antibiotik ampicillin sulbaktam distop,
pasien dikonsulkan rawat bersama dengan bagian Nefrologi anak terkait retensi urine,
dan alih DPJP ke Bagian Nefrologi Anak.
Pada tangal 14 Februari 2020 anak mulai kembali demam, setelah bladder
training, kateter urine dilepas, namun pada 15 Februari 2020 pasien kembali retensi
urine dan didapatkan discharge keputihan pada ostium urethra externa diduga pyuria.
Hasil evaluasi urine dan kultur urine didapatkan infeksi saluran kemih akibat Candida
albican,kultur urine dilanjutkan untuk melihat pertumbuhan bakteri, pasien mendapat
terapi Flukonazole. Pasien juga didapatkan desaturasi hingga 85% dan peningkatan
nafas hingga 44x/menit.
Pada 16 Februari 2020 ditemukan kondisi semakin memburuk, peningkatan work
of breathing dan kembali desaturasi, evaluasi darah rutin ditemukan neutrofilia dan
peningkatan procalcitonin 1.25. Pasien direncanakan rontgen thoraks evaluasi namun
gagal karena kondisi pasien tidak dapat ditransport akibat desaturasi berulang. Pasien
kembali dikonsulkan ke bagian Respirologi Anak. Hasil kultur urine juga didapatkan
mikroorganisme Escherichia coli. Karena tekanan darah menurun 50/palpasi mmHg,
pasien mendapat dobutamin 5mcg/kgbb/menit. Pasien juga kembali didapatkan
perdarahaan saluran cerna.
Pada 17 Februari 2020, kondisi semakin memburuk, dobutamin ditingkatkan
hingga 10mcg/kgbb/menit, anak direncanakan non per oral dan mendapat Total
Parenteral Nutrition. Orang tua diberi edukasi terkait kondisi dan prognosis pasien,
hingga kedua orang tua menyatakan Do Not Resucitate (DNR). Pukul 14:15 anak
ditemukan gasping dan bradikardia, karena orang tua menyatakan DNR, tidak
dilakukan resusitasi. Anak apneu hingga henti jantung, pasien dinyatakan meninggal
pada 17 Februari 2020 pukul 14:37 WIB.

Bahan pendidikan
KASUS MATI
dr. Lenny Puspa Sari
C. Sebab kematian

1. Penyakit- penyakit yang perjalanannya berhubungan langsung dengan sebab


kematian.
a. Penyebab kematian langsung ( penyakit yang secara langsung
menyebabkan kematian) SYOK SEPTIK (R.65.21)
b. Penyebab perantara ( penyakit yang menyebabkan terjadinya penyakit
yang disebabkan pada a) SEPSIS (A41.9)
c. Penyebab perantara (penyakit yang menyebabkan terjadinya penyakit yang
disebutkan pada b) PNEUMONIA (J18.9), CAUTI (T83.511A)
d. Penyebab utama ( penyakit atau cedera yang merupakan awal dimulainya
perjalanan penyakit menuju kematian) c) CEREBRAL PALSY
TETRAPARESE SPASTIK GMFC V (G80.9)
2. Penyakit/keadaan lain yang berperan terhadap kematian tetapi tidak
berhubungan dengan urutan/ peristiwa penyakit pada bagian a,b,c,d Gizi
Buruk Tipe Marasmik Fase Rehabilitasi (E41), Ulkus Dekubitus Regio
Sakrum (L89), Retensi Urine (R33.9), Skoliosis (M41.9)

C. Analisis Penyebab Kematian


Pada pasien ini, anak laki-laki dengan cerebral palsy mengalami pneumonia
berulang. Penyakit yang mendasari terjadinya pneumonia berulang adalah asma
bronkial (30,64%), gangguan imunodefisiensi (17,75%), sindrom aspirasi (17,75%),
dan anomali bawaan (16,12%)1. Cerebral palsy adalah penyebab paling umum
inkoordinasi orofaringeal, sindrom aspirasi bisa menjadi penyebab dari berulangnya
pneumonia pada pasien ini.
Anak dengan cerebral palsy memiliki risiko kematian mendadak yang meningkat
selama tidur dan sebagian besar pasien ini memiliki masalah pernapasan seperti
pneumonia aspirasi berulang, bronkitis kronis dan insufisiensi pernapasan
(nokturnal)2. Pneumonia berkontribusi 40% atas mortalitas cerebral palsy3
Anak dengan cerebral palsy cendrung mengalami deformitas muskuloskeletal.
Seperti pada pasien ini terdapat kifoskoliosis, yang dapat menyebabkan hilangnya
kontrol motor selektif, peningkatan tonus dan ketidakseimbangan tonus otot yang
mendasarinya, sehingga dapat menyebabkan perkembangan yang abnormal karena
rangka tulang yang belum matang4.
Kifoskoliosis dapat menyebabkan gangguan mekanis dari otot-otot pernapasan
dan mengurangi komplians dinding dada. Jika terjadi sejak usia dini, kifoskoliosis
juga dapat membatasi perkembangan paru-paru, yang berefek pada peningkatan upaya
pernapasan, menurun kapasitas vital paru dan ventilasi paru yang tidak merata dapat

Bahan pendidikan
KASUS MATI
dr. Lenny Puspa Sari
mengakibatkan risiko gagal napas yang dapat menyebabkan kematian 5,6. Pada sebuah
studi, kifoskoliosis adalah salah satunya dari faktor prediktor utama yang
meningkatkan karbon dioksida pada volume tidal akhir, yang menandakan insufisiensi
ventilasi respirasi. Terkadang, kifoskoliosis yang berat juga dapat menyebabkan
kompresi jalan nafas akibat kelainan posisi tulang belakang7.
Pada pasien ini terjadi retensi urine, pada anak dengan cerebral palsy juga dapat
terjadi hilangnya kontrol mikturisi, pengisian dan pengosongan kandung kemih yang
diatur oleh sistem saraf otonom (simpatik dan parasimpatis) dan dengan sistem saraf
somatis, termasuk jalur kortikal. Pada anak-anak, kontinensia urin berkembang
dengan maturasi jalur kortikal yang mengatur pusat berkemih yang terletak di batang
otak8. Selama pengisian kandung kemih, impuls aferen ditransmisi melalui tulang
belakang oleh jalur simpatik dan parasimpatis yang menyatu di pusat miksi di
pontine, di mana refleks miksi terus-menerus dihambat oleh impuls kortikal hingga
waktu yang tepat untuk pengosongan. Kerusakan/lesi pada otak dapat menyebabkan
hilangnya inhibisi ini, menyebabkan aktivitas detrusor yang berlebihan dan gangguan
berkemih7. Sehingga gangguan kontrol kandung kemih pada pasien ini dapat
dipengaruhi oleh gangguan neurologis pada anak dengan cerebral palsy9.
Infeksi Saluran Kemih juga masih mungkin menjadi penyebab retensi urin pada
pasien ini, karena adanya kondisi inflamasi, maka respon vesica urinaria atau
sphincter menjadi terganggu sehingga proses miksi spontan tidak terjadi, contoh
karena nyeri. Saat urine tidak dikeluarkan, residual urine akan semakin banyak, dan
memperparah Infeksi Saluran Kemih dan menjadi faktor risiko urosepsis. Sehingga
tatalaksana berikutnya harus sesegera mungkin diversi urin dengan kateter.
Pada pasien ini dengan latar belakang komorbid cerebral palsy, dengan
pneumonia berulang dan infeksi saluran kemih menyebabkan pasien jatuh dalam
keadaan sepsis, hingga terjadi syok sepsis berulang hingga membutuhkan
vasopressor. Bukti infeksi pada pasien ini ditemukannya bakteri gram negatif
Escherichia coli pada kultur urin. Mikroorganisme aktif yang paling sering
menyebabkan sepsis dalam masyarakat adalah Escherichia coli, Streptococcus
pneumonia, dan Staphylococcus aureus. Dengan tingkat mortalitas untuk sepsis
bakterial negatif adalah 45-50%, dan 20-30% untuk sepsis bakterial gram positif, serta
15-30% untuk sepsis bakterial anaerob. Rasio mortalitas meningkat bervariasi antara
70% hingga 90% ketika terjadi keadaan syok, disseminated intravascular coagulation
(DIC), acute respiratory distress syndrome (ARDS), dan gagal organ lainnya10

Bahan pendidikan
KASUS MATI
dr. Lenny Puspa Sari
E. Analisis deviasi
1. Defisiensi: sampai di bangsal, pasien didapatkan dalam keadaan syok.
2. Defisiensi: Pengambilan kultur darah tertunda sejak diassess sebagai Sepsis
pada 6/2/2020. Kultur darah baru terambil pada 9/2/2020.

F. Rekomendasi:
1. Dilakukan pemantauan berkala, tanda dehidrasi, maupun berat jenis urine pada
pasien dengan gizi buruk agar tidak jatuh dalam kondisi syok.
2. Koordinasi yang baik antara perawat dengan dokter dalam memastikan kultur
darah, terambil sesuai program

G. Daftar Pustaka
1. Ozdemir, O., et al. Underlying diseases of recurrent pneumonia in Turkish children. Turk J
Med Sci 2010; 40 (1): 25-30
2. Karatas AF, Miller EG, Miller F, et al. Cerebral palsy patients discovered dead during
sleep: experience from a comprehensive tertiary pediatric center. J Pediatr Rehabil Med 2013;
6: 225–231.
3. Reddihough DS, Baikie G, Walstab JE. Cerebral palsy in Victoria, Australia: mortality and
causes of death. J Paediatr Child Health 2001; 37: 183–186
4. Proesmans M. Respiratory illness in children with disability: a serious problem? Breathe
2016; 12: e97–e103.
5. Seddon PC, Khan Y. Respiratory problems in children with neurological impairment. Arch
Dis Child 2003; 88: 75–78
6. Noble-Jamieson CM, Heckmatt JZ, Dubowitz V, et al. Effects of posture and spinal bracing
on respiratory function in neuromuscular disease. Arch Dis Child 1986; 61: 178–181
7. Arumainathan R, Morris SA, George M. Torsion of left main bronchus during general
anesthesia for posterior instrumented spinal fusion. Clin Case Rep 2016; 4: 633–635.
8. Boone TB. The bladder and genitourinary tract in the cerebral palsies. In: Miller G, Clark
GD, editors. The cerebral palsies. Woburn, MA: ButterworthHeinemann; 1998. Ch. 11.
9. Silva et al. Lower Urinary Tract Dysfunction in Children With Cerebral Palsy. 2009.
Neurourology and Urodynamics 28:959–963.
10. Polat, G; Ugan, R.A.; Cadirci, E.; Halici, Z. Sepsis and Septic Shock: Current Treatment
Strategies and New Approaches. Eurasian J Med 2017; 49: 53-8.

Bahan pendidikan

Anda mungkin juga menyukai