Anda di halaman 1dari 15

JOURNAL READING

Disusun Guna untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Nutrisi pada Siklus Hidup Wanita
Dosen Pengampu: Leny Budhi Harti, S.Gz., M.Si.Med
Cleonara Yanuar Dini, S.Gz., Dietisien., M.Sc

Oleh Kelompok 8:
Iin Tri Marlinawati 206070400111007
Jesica Mulyadi 206070400111008

PASCASARJANA KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
Jurnal 1

Abstrak
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini untuk mengeksplorasi hubungan potensi obesitas
dan penyakit kronis lainnya dengan hasil yang parah, seperti masuknya unit
perawatan intensif (ICU) dan ventilasi mekanis invasif (IMV), pada pasien
rawat inap penyakit coronavirus 2019 (COVID- 19). 
Metode : Penelitian ini menganalisis kohort retrospektif dari 103 pasien yang dirawat
di rumah sakit dengan COVID-19. Data demografi, riwayat kesehatan masa
lalu, perjalanan rumah sakit dikumpulkan dan dianalisis. Multivariat  Analisis
regresi logistik diterapkan untuk memeriksa asosiasi.
Hasil : Dari 17 Februari hingga 5 April, 103 pasien berturut-turut dirawat di rumah
sakit dengan COVID-19. Di antara mereka, 44 pasien (42,7%) dirawat di ICU,
dan 29 (65,9%) membutuhkan IMV. Prevalensi obesitas adalah 47,5% (49
dari 103). Dalam analisis multivariat, obesitas berat (BMI ≥35 kg / m 2 )
dikaitkan dengan masuk ICU (disesuaikan odds rasio [aOR]: 5,39, 95% CI:
1,13-25,64). Selain itu, pasien yang diperlukan IMV lebih cenderung memiliki
penyakit jantung memiliki (AOR: 3,41, 95% CI: 1,05-11,06), obesitas (BMI =
30-34,9 kg / m2 ; aOR: 6,85, 95% CI: 1.05- 44,82), atau obesitas berat (BMI
≥35 kg / m2; aOR : 9,99, 95% CI: 1,39-71,69).
Kesimpulan : Dalam analisis kami, obesitas berat (BMI≥35 kg / m2) dikaitkan dengan
masuk ICU, sedangkan riwayat penyakit jantung dan obesitas (BMI≥30 kg /

2
m2) secara independen terkait dengan penggunaan IMV. Peningkatan
kewaspadaan dan pengobatan agresif pasien dengan obesitas dan COVID-
19 diperlukan. 
Jurnal 2

Abstrak
Latar Belakang : Obesitas adalah epidemi di New York City, episentrum global
pandemi virus corona. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
obesitas adalah faktor risiko yang mungkin menyebabkan keadaan
yang buruk pada pasien COVID-19.
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan antara
obesitas dan COVID-19.
Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan studi kohort retrospektif
terhadap pasien rawat inap COVID-19 sebanyak 684 pasien yang
berusia 18 tahun atau lebih, yang masuk kriteria inklusi sebanyak 504
pasien yang diuji antara 10 Maret-13 April 2020 di SUNY Downstate
Health Sciences University, rumah sakit khusus COVID di New York.
Pasien dikategorikan menjadi tiga kelompok berdasarkan BMI: normal
(BMI 18,50 - 24,99), kelebihan berat badan atau overweight (BMI
25,00 - 29,99), dan obesitas (BMI ≥ 30.00). Pengujian dilakukan
melalui nasopharyngeal swab dan Reverse-Transcription Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR). Data dikumpulkan dan diidentifikasi melalui
sistem Catatan Kesehatan Medis Elektronik Healthbridge.
Hasil : Ada 139 pasien (27%) dengan IMT normal, 150 pasien overweight
(30%), dan 215 pasien obesitas (43%). Setelah dilakukan kontrol
terhadap umur, jenis kelamin, diabetes, hipertensi, dan skor qSOFA
terdapat tanda signifikan yang meningkatkan risiko kematian secara
terus menerus pada orang yang overweight (RR 1.4, 95% CI 1.1 - 1.9)
dan obesitas (RR 1.3, 95% CI 1.0 - 1.7) dibandingkan dengan mereka
yang memiliki BMI normal. Begitu juga ada signifikan meningkatkan
risiko intubasi pada orang yang overweight (RR 2.0, 95% CI 1.2 - 3.3)

3
dan obesitas (RR 2.4, 95% CI 1.5 - 4.0) dibandingkan dengan orang
dengan IMT normal. Obesitas tidak mempengaruhi Acute Kidney
Iinjury (AKI), Acute Cardiac Injury (ACI), Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). Obesitas signifikan meningkatkan risiko kematian
pada laki-laki (RR 1.4, 95% CI 1.0 - 2.0, P= 0,03), tetapi tidak pada
wanita (RR 1.2, 95% CI 0.77-1.9, P= 0.40).
Kesimpulan : Studi ini mengungkapkan bahwa pasien dengan overweight dan
obesitas yang menderita COVID-19 memiliki risiko lebih tinggi untuk
terjadinya kematian dan intubasi dibandingkan dengan mereka yang
memiliki BMI normal. Temuan tersebut mendukung hipotesis bahwa,
obesitas merupakan faktor risiko komplikasi COVID-19 dan harus
menjadi pertimbangan dalam penanganan COVID-19.

Latar Belakang
Berdasarkan latar belakang 2 jurnal yang telah dipilih oleh penulis dapat disimpulkan
bahwa, kasus pertama penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) muncul dari Wuhan, China
pada Desember 2019 yang disebabkan Severe Acure Respiratory Syndrome Coronasvirus 2
(SARS-CoV-2), dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. COVID-19 telah diklasifikasikan
sebagai pandemi oleh World Health Organization pada bulan Maret 2020. Manifestasi klinis
COVID-19 berkisar dari infeksi asimtomatik atau ringan hingga bentuk penyakit parah yang
mengancam jiwa. Kondisi kronis seperti penyakit kardiovaskular, paru-paru kronis, diabetes
mellitus, dan hipertensi dapat meningkatkan risiko hasil COVID-19 ((Kalligeros et al., 2020) ;
(Nakeshbandi et al., 2020)).

Gambar 1. Keterkaitan faktor risiko perilaku untuk penambahan berat badan yang telah dipengaruhi
oleh pandemi COVID-19 (Parekh and Deierlein, 2020)

Munculnya pandemi COVID-19 melumpuhkan aktivitas semua kalangan masyarakat


yang dilakukan di luar rumah. Salah satu upaya memutus mata rantai penyebaran COVID-

4
19 dengan melakukan pembatasan fisik maupun sosial (physical distancing) dan karantina
mandiri, meskipun hal tersebut diperlukan untuk mengendalikan pandemi, tindakan tersebut
juga akan memperburuk epidemi obesitas dan penyakit penyerta lainnya. Karantina mandiri
telah mengubah perilaku kesehatan lingkungan dan makanan secara signifikan dengan
membatasi kesempatan melakukan aktivitas fisik sehari-hari, mendorong waktu layar dan
perilaku menetap, mengganggu tidur, dan mempromosikan konsumsi makanan dan alkohol
yang diproses secara ultraproses. Semua perilaku ini dapat menyebabkan penambahan
berat badan dan perkembangan penyakit kardiometabolik, seperti DM, hipertensi, dan CVD
(Parekh and Deierlein, 2020). Pernyataan di atas juga diperkuat oleh (Cuthbertson, Alam
and Tahrani, 2020) yaitu, dengan adanya pandemi COVID-19, semua kegiatan diliburkan,
diharuskan dilakukan dari rumah via online. Berada di rumah dengan cara menghabiskan
banyak waktu untuk duduk, berbaring, atau sekadar bermain gadget, tak dipungkiri dapat
memperburuk kondisi kesehatan kronis dan menyebabkan obesitas. Menurut (Ammar et al.,
2020), obesitas terjadi tidak hanya disebabkan oleh makanan yang berlebihan, melainkan
juga disebabkan oleh aktivitas fisik yang kurang, sehingga terjadi kelebihan energi.
Selama lockdown sangat berkaitan dengan perubahan negatif pada aktivitas fisik di
bidang pekerjaan harian, transportasi, dan kegiatan olahraga dengan adanya perubahan
keseluruhan -16,3% (95% CI, -17,3 hingga -15,4). Perubahan jangka pendek pada aktivitas
fisik dan perilaku menetap sebagai reaksi terhadap COVID-19 dapat menjadi terpatri secara
permanen, dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya obesitas, diabetes, dan
penyakit kardiovaskular, sehingga perlu adanya program dan strategi kebijakan untuk
mempromosikan pentingnya melakukan aktivitas fisik yang cukup dan mengurangi perilaku
menetap atau monoton (Bourdas and Zacharakis, 2020). Selain itu, keparahan COVID-19
diperkirakan disebabkan oleh tidak seimbangnya tingkat daya tahan tubuh dengan reaksi
peradangan yang terjadi. Aktifitas fisik rutin yang tepat dapat meningkatkan daya tahan
tubuh, sehingga menekan reaksi peradangan yang berlebihan. Rutin melakukan aktivitas
fisik efektif untuk mengontrol penyakit pemberat COVID-19 seperti obesitas, penyakit
jantung, paru-paru, DM, dan beberapa jenis kanker (Simonnet et al., 2020). Berdasarkan
uraian di tersebut, maka penulis tertarik untuk mengeksplorasi mengenai hubungan antara
obesitas dengan COVID-19.

Overview Studi (Menggunakan 2 Jurnal yang Dibahas)


Tabel 1. Jurnal yang Berkaitan dengan Dampak Obesitas dengan COVID-19 (Metode dan Hasil)
Author (Year) Popolasi Krikteria Penelitian dan Studi Pengumpulan Keluaran Penelitian Hasil
dan Sampel yang digunakan Data dan Desain
Penelitian
Kalligeros, 1. Populasi : 1. Krikteria Inklusi Data diambil 1. Faktor risiko 1. Pasien dengan
Markos, Seluruh a. Seluruh pasien dewasa melalui rekam spesifik, yaitu usia, obesitas berat (≥35
et,al., 2020 pasien (≥18 tahun) dengan hasil medis dan ras, jenis kelamin, kg /m2 ), memiliki

5
COVID-19 di laboratorium dikonfirmasi diekstrak sesuai BMI, diabetes, risiko 5,39 kali lipat
Rumah Sakit (dengan uji reaksi berantai kebutuhan hipertensi, jantung masuk ICU
Rhode Island, Transkriptase – polimelare penelitian dan kronis, dan 2. Pasien dengan
Meriam, atau terbalik) infeksi SARS-CoV- menggunakan penyakit paru-paru jantung, memiliki
Newport di 2 studi Kohort kronis, dikaitkan risiko 3.41 kali;
Rhode Island b. Dirawat di Rumah Sakit Retrospektif dengan masuk ICU Obesitas (30-34,9
2. Sampel : 103 Rhode Island, Rumah Sakit dalam 10 hari kg / m2), berisiko
pasien Miriam , atau Rumah Sakit pertama masuk 6,85 kali ; obesitas
Newport di Rhode Island rumah sakit dengan berat (≥35 kg / m2)
antara 17 Februari dan 5 COVID -19 berisiko 9,99 kali
April 2020 2. Faktor risiko dalam penggunaan
spesifik dikaitkan IMV
2. Krikteria Ekslusi dengan kebutuhan
a. Memiliki usia kurang dari IMV selama 10 hari
18 tahun pertama masuk
b. Hasil pemeriksaan belum rumah sakit dengan
terkonfirmasi infeksi SARS- COVID-19.
CoV-2
Nakeshbandi 1. Populasi : 1. Kriteria Inklusi Data diambil 1. Hasil utama adalah 1. Orang yang
, et al., 2020 Seluruh a. Seluruh pasien dewasa melalui rekam 30 hari kematian di overweight
pasien rawat yang berusia 18 tahun atau medis Elektronik rumah sakit signifikan
inap COVID- lebih, dengan pengujian Healthbridge 2. Hasil sekunder meningkatkan
19 sebanyak melalui nasopharyngeal dan termasuk status risiko kematian (RR
684 pasien di swab dan Reverse- menggunakan intubasi, cedera 1.4, 95% CI 1.1 -
SUNY Transcription Polymerase studi Kohort ginjal akut (AKI), 1.9); dan kelompok
Downstate Chain Reaction (RT-PCR). Retrospektif. cedera jantung akut obesitas (RR 1.3,
Health b. Dirawat di SUNY (ACI), atau sindrom 95% CI 1.0 - 1.7)
Sciences Downstate Health Sciences gangguan 2. Orang yang
University, University, rumah sakit pernapasan akut overweight
rumah sakit khusus COVID di New (ARDS). signifikan
khusus York antara 10 Maret-13 a. AKI didiagnosis meningkatkan
COVID di April 2020. menggunakan risiko intubasi (RR
New York. kriteria Kdigo 2.0, 95% CI 1.2 -
2. Sampel : 504 2. Kriteria Ekslusi b. ARDS didiagnosis 3.3); dan kelompok
pasien a. Hasil tes COVID-19 negatif menggunakan obesitas (RR 2.4,
b. Indeks massa tubuh (BMI) kriteria Berlin 95% CI 1.5 - 4.0)
tidak dicatat dalam rekam c. ACI terlihat 3. Obesitas signifikan
medis elektronik atau jika mengalami meningkatkan
pasien kurus (BMI <18,50 peningkatan kadar risiko kematian
kg / m2) troponin di atas pada laki-laki (RR
c. Mereka masih dirawat di 99% dari batas 1.4, 95% CI 1.0-
rumah sakit pada akhir referensi atas yang 2.0, P = 0,03),
masa studi. terjadi dalam waktu tetapi tidak pada
30 hari sejak wanita (RR 1.2,
diagnosis COVID- 95% CI 0.77 - 1.9,
19. P = 0,40).

Metode
Berdasarkan metode 2 jurnal yang telah dipilih oleh penulis dapat disimpulkan
bahwa, pada dua jurnal tersebut sama-sama menggunakan desain kohort retrospektif,
karena faktor risiko dan efek atau penyakit sudah terjadi dimasa lampau sebelum dimulainya
penelitian, sehingga variabel tersebut diukur dengan menggunakan catatan historis atau
rekam medis. Pada saat pemilihan sampel, kedua jurnal tersebut sama-sama menggunakan
kriteria inklusi dan ekslusi pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit khusus COVID-19,
dengan pasien yang berusia 18 tahun atau lebih. Kedua jurnal tersebut juga menggunakan
faktor risiko spesifik, seperti usia, ras, jenis kelamin, BMI, DM, hipertensi, jantung kronis, dan
penyakit paru-paru kronis ((Kalligeros et al., 2020) ; (Nakeshbandi et al., 2020)).

6
Pada analisis data kedua jurnal tersebut ada perbedaan uji analisis yang digunakan,
yaitu jurnal pertama menampilkan pengukuran kontinu sebagai median, membandingkannya
menggunakan uji Mann-Whitney Wilcoxon. Data kategorikal menggunakan 2-proportion z
test, serta menggunakan regresi logistik univariat dan multivariat. Analisis menggunakan
95% CI dan nilai P. Semua analisis dilakukan dengan menggunakan Stata Statistics
Software versi 15.1 (StataCorp LLC, College Station, Texas), sedangkan pada jurnal dua,
pada perbedaan karakteristik demografi dan klinis dibandingkan di tiga kelompok BMI
dengan menggunakan χ2 atau Fisher’s Exact untuk variabel kategori dan Kruskal-Wallis
untuk variabel kontinu. Karakteristiknya secara statistik signifikan di tingkat alpha 0,10 dalam
analisis bivariat dimasukkan ke dalam model regresi multivariabel. Menggunakan model
regresi log-binomial untuk menentukan keterkaitan kelompok BMI dengan hasil peningkatan
risiko setelah penyesuaian kovariat dan semua analisis statistik dilakukan menggunakan
SAS Studio 3.8 Software ((Kalligeros et al., 2020) ; (Nakeshbandi et al., 2020)).

Hasil Penelitian
Artikel ini dibuat berdasarkan 2 jurnal yang telah dipilih oleh penulis, yang sesuai
dengan kriteria penulis. Berdasarkan tabel 1:
1. Pada jurnal 1 didapat hasil penelitian bahwa responden dengan obesitas berat (≥35 kg /
m2), memiliki risiko 5,39 kali masuk ICU. Pasien dengan jantung, memiliki risiko 3.41 kali;
Obesitas (30-34,9 kg / m2) berisiko 6,85 kali; obesitas berat (≥35 kg / m 2) berisiko 9,99
kali dalam penggunaan IMV.
2. Pada jurnal 2, didapat hasil, pasien obesitas dengan COVID-19, memiliki risiko 1,3 kali
untuk kematian, sedangkan pasien overweight dengan COVID-19 berisiko 1,4 kali untuk
kematian. Pasien obesitas dengan COVID-19, memiliki risiko intubasi sebesar 2,4 kali
dibandingkan dengan kelompok overweight. Laki-laki obesitas dengan COVID-19, pada
laki-laki berisiko 1,4 kali untuk kematian, dibandingkan dengan wanita, yang hanya 1,2
kali.

Pembahasan
Secara historis, obesitas telah dilaporkan sebagai faktor yang mempengaruhi
mortalitas tinggi dan durasi penyakit mirip flu, bahkan pada individu yang tidak memiliki
kondisi kronis lain yang dapat meningkatkan risiko komplikasi (Luzi and Radaelli, 2020).
Meskipun tidak banyak penelitian yang mengkonsolidasikan implikasi COVID-19 pada
populasi obesitas, paralel dapat ditarik antara penyakit mirip influenza dan novel
coronavírus, yang dapat mendikte konsekuensi infeksi SARS-CoV-2 pada individu obesitas
(Luzi and Radaelli, 2020).

7
Obesitas adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan ketidakseimbangan
hormonal, anti inflamasi dan adiponektin proinflamasi akibat kelebihan jaringan adiposa
yang tidak berfungsi. Ketidakseimbangan ini mengganggu aktivasi sistem kekebalan, yang
dapat menghasilkan respon imun yang buruk dan, akibatnya, prognosis yang lebih buruk
untuk obesitas ((Luzi and Radaelli, 2020); (Gómez, Lorido and Sánchezb, 2020)). Pasien
obesitas sering mengalami disfungsi pernapasan fisiologis dan obesitas meningkatkan risiko
pneumonia terkait hipoventilasi, hipertensi paru, dan stres jantung, faktor-faktor yang dapat
menyebabkan prognosis COVID-19 yang lebih buruk (Stefan et al., 2020).

Implikasi dan Mekanisme Obesitas Potensial COVID-19

Gambar 2. Implikasi dan Mekanisme Obesitas Potensial COVID-19


(Sanchis-Gomar et al., 2020)

Obesitas juga dikaitkan dengan gangguan fungsi paru, dengan penurunan volume
cadangan ekspirasi, kapasitas fungsional, dan kepatuhan sistem pernapasan. Obesitas
perut yang meningkat mengganggu fungsi paru pada pasien terlentang dengan penurunan

8
ekskursi diafragma, sementara dasar ventilasi paru juga terganggu, mengakibatkan
penurunan kadar oksigen dalam darah jenuh (Dietz and Santos-Burgoa, 2020).

Skema Efek COVID-19 pada Orang Gemuk

Gambar 3. Skema Efek SARS-CoV-2 pada Orang Gemuk (Sanchis-Gomar Fabian, et al., 2020;
Sanchis-Gomar et al., 2020)

Penjelasan :
1. Peningkatan produksi angiotensinogen oleh jaringan adiposa menyebabkan peningkatan
kadar angiotensin (Ang) II pada obesitas.
2. SARS-CoV-2 melemahkan metabolisme Ang II dengan mengikat enzim pengubah
angiotensin 2 (ACE2), meningkatkan ketidakseimbangan sistem.
3. Kadar Ang II yang tinggi menyebabkan vasokonstriksi paru dan peradangan yang
berkontribusi pada cedera paru akut (sisi kiri gambar).
4. Ekspresi ACE2 di jaringan adiposa lebih tinggi daripada di paru-paru, organ target utama
yang terkena penyakit coronavirus 2019 (COVID-19).
5. Peningkatan ekspresi ACE2 dalam adiposit dapat membuatnya lebih rentan terhadap
infeksi SARS-CoV-2 dan reservoir virus potensial yang mengarah pada pembersihan
virus yang berkepanjangan (sisi kanan gambar).

Pasien obesitas mengalokasikan persentase yang sangat tinggi dari konsumsi


oksigen tubuh total untuk pekerjaan pernapasan mereka, yang menyebabkan penurunan
kapasitas residu fungsional dan volume ekspirasi ((Jia et al., 2020); (Wrapp et al., 2020)).
Kelainan ventilasi-perfusi berikutnya dapat menurunkan cadangan ventilasi dan
mempengaruhi obesitas untuk kegagalan pernapasan setelah tantangan paru-paru ringan
((Bourgeois et al., 2019); (Rao, Lau and So, 2020)). Selain itu, individu dengan obesitas

9
berada pada peningkatan risiko pengembangan emboli paru dan pneumonia aspirasi dan
dapat mengembangkan peningkatan berkelanjutan karbon dioksida arteri karena
hipoventilasi siang hari kronis. Pasien dengan obesitas lebih mungkin membutuhkan unit
perawatan intensif untuk cedera paru akut dan memiliki ventilasi mekanis yang lama dan
tinggal di rumah sakit bila dibandingkan dengan pasien dengan berat badan normal ((Rao,
Lau and So, 2020) ; (Liu et al., 2020) ; (Henry et al., 2020) ; (Kuba et al., 2005)).
Keterbatasan Penelitian
Kedua jurnal tersebut mempunyai keterbatasan masing-masing yang belum dikontrol
oleh peneliti, yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian tersebut. Keterbatasan
penelitian yang terdapat pada jurnal pertama, yaitu CI relatif lebar, kemungkinan karena
ukuran sampel yang kecil. Selain itu, ada kekuatan statistik yang rendah untuk menguji
interaksi, meskipun desain penelitian kohort retrospektif yang digunakan hanya dapat
memperkirakan asosiasi, mirip dengan desain prospektif. Keterbatasan penelitian yang
terdapat pada jurnal kedua, yaitu karena sifat observasi desain studi, potensi pengganggu
atau counfonding ada yang tidak terukur. Tingkat kematian karena semua penyebab dan
intubasi mungkin dipengaruhi oleh banyak faktor lain, seperti kesenjangan sosial ekonomi,
arahan dan keputusan perawatan kesehatan, akses ke asuransi kesehatan, ketergantungan
pada transportasi umum, dan kepadatan penduduk. Populasi penelitian sebagian besar
adalah orang Afrika-Amerika, kelompok dengan tingkat obesitas dan penyakit penyerta
lainnya yang dilaporkan lebih tinggi, dan mungkin tidak mewakili populasi penduduk Amerika
Serikat secara umum.
Terlepas dari keterbatasan tersebut, masing-masing jurnal tetap memiliki kelebihan,
seperti pada jurnal pertama memiliki kelebihan dalam hal kepastian pada urutan temporal
dari eksposur dan hasil, sedangkan pada jurnal kedua memiliki kekuatan penting, yaitu hal
pertama yang menunjukkan hubungan antara mortalitas dan obesitas, dan menggunakan
risiko relatif yang bertentangan dengan odds rasio yang sering dihitung dalam penelitian lain
dan dapat membesar-besarkan rasio risiko. Saran yang dapat kami sampaikan yaitu peneliti
selanjutnya sebaiknya membahas faktor risiko dan komorbiditas lain yang membuat pasien
COVID-19 berisiko tinggi dan mengklarifikasi keputusan perawatan kesehatan.

Kesimpulan
Berdasarkan 2 jurnal, dapat disimpulkan bahwa, pasien dengan BMI diatas normal
dengan COVID-19, berpeluang mendpaatkan perawatan akut dan kritis, seperti berpeluang
tinggi untuk masuk ICU, menggunakan IMV, memperburuk keadaan umum pasien dan
berujung pada kematian. Selain itu, pasien laki-laki obesitas dengan COVID-19, berisiko
tinggi untuk kematian dibandingkan dengan perempuan. Selain pasien dengan BMI berlebih,
pasien dengan jantung juga berpeluang tinggi untuk mendapatkan IMV. Tetapi sampai saat

10
ini, belum ada penelitian yang lebih lanjut dalam pembahasan tentang pasien jantung
dengan COVID-19, sehingga diperlukannya penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui
mekanisme jantung terhadap tingkat keparahan COVID-19.

Rekomendasi
Beberapa faktor-faktor risiko perilaku yang dapat dimodifikasi untuk penambahan
berat badan yang telah dipengaruhi oleh pandemik (Parekh and Deierlein, 2020) :
1. Aktivitas fisik 
Individu yang melakukan aktivitas fisik secara teratur cenderung memiliki status
berat badan yang sehat; mengurangi risiko penyakit kardiometabolik, beberapa jenis
kanker dan osteoposis; peningkatan kognisi; dan periode depresi dan kecemasan yang
lebih pendek (Anderson E & Durstine JL., 2019). Aktivitas fisik juga penting untuk
meningkatkan kualitas hidup individu dengan kondisi kronis dan kecacatan.
Selama ini, upaya harus dilakukan untuk menjadwalkan gerakan sepanjang hari,
terutama bagi individu yang tidak memiliki rutinitas olahraga yang teratur. Jalan kaki
adalah olahraga berdampak rendah yang sangat baik yang dapat meningkatkan
kebugaran kardiovaskular dan meningkatkan pengeluaran energi, bahkan dalam
peningkatan singkat selama 10 menit (Lee IM & Buchner DM, 2008). Kegiatan
pengasuhan dan rumah tangga, seperti bermain dengan anak-anak, membersihkan dan
berkebun, juga dapat digunakan untuk mengganti aktivitas harian yang hilang dari
domain lain.
2. Perilaku menetap 
Meskipun bukti keseluruhan untuk hubungan antara perilaku menetap dan
obesitas pada orang dewasa tidak konsisten, duduk untuk waktu yang lama dikaitkan
dengan lingkar pinggang yang lebih besar dan tingkat darah yang lebih tinggi dari TAG,
glukosa dan insulin, yang merupakan biomarker dari kesehatan kardiometabolik yang
buruk (Wilmot EG, Edwardson CL, Achana FA et al., 2012). Jenis perilaku menetap yang
dilakukan individu juga penting.
Menonton televisi merupakan stimulus lingkungan yang meningkatkan asupan
makanan, terlepas dari sinyal rasa lapar atau kelezatan makanan; oleh karena itu
konsumsi makanan dan makanan ringan padat energi di depan televisi mengakibatkan
kelebihan energi, lemak dan asupan gula (Bellisle F, Dalix A & Slama G , 2004).
Menonton televisi juga memaparkan individu untuk mengiklankan makanan dan minuman
tidak sehat, yang selanjutnya dapat mendorong konsumsi mereka (Harris JL, Bargh JA &
Brownell KD , 2009).

11
Istirahat aktivitas fisik selama waktu menetap dapat mengurangi risiko kesehatan
terkait duduk dan dikaitkan dengan BMI yang lebih rendah dan peningkatan biomarker
kesehatan kardiometabolik (Chastin SF, Egerton T, Leask C et al., 2015). Individu juga
dapat memisahkan makan dan ngemil dari semua perilaku menetap yang berhubungan
dengan pekerjaan, sekolah dan rekreasi untuk mengurangi kesempatan makan
berlebihan dan konsumsi junk food. 
3. Tidur 
Kurang tidur dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi, CVD dan
obesitas (Ogilvie RP & Patel SR, 2017). Studi eksperimental menunjukkan bahwa tidur
yang terbatas atau terganggu mengurangi toleransi glukosa dan sitivitas insulin dan
mengubah hormon pengatur nafsu makan, mengakibatkan penurunan rasa kenyang dan
peningkatan perasaan penghargaan dan kesenangan sebagai respons terhadap
rangsangan makanan (Dashti HS, Scheer FA, Jacques PF et al.,2015). Individu dengan
tidur yang singkat atau terganggu melaporkan asupan energi yang lebih besar, yang
dapat dikaitkan dengan waktu makan yang lebih sering, ukuran porsi yang lebih besar
dan preferensi untuk makanan padat energi yang tinggi lemak dan karbohidrat. Selain itu,
pengeluaran energi dari aktivitas fisik seringkali berkurang pada orang dengan tidur yang
tidak memadai (St-Onge MP, 2013).
4. Diet 
Lingkungan makanan eksternal dan rumah tangga sangat berkorelasi dengan
kualitas makanan dan kesehatan individu. Akses yang lebih besar ke dan pembelian
buah-buahan, sayuran dan biji-bijian dikaitkan dengan asupan nutrisi yang lebih tinggi,
fungsi kekebalan yang lebih baik dan penyakit kronis yang berkurang, sementara akses
yang lebih besar ke dan pembelian makanan yang diproses secara ultra dikaitkan
dengan defisiensi nutrisi dan perkembangan penyakit kronis (Fardet A, 2018).
Pedoman Diet AS merekomendasikan bahwa jika alkohol dikonsumsi maka itu
harus dilakukan dalam jumlah sedang, didefinisikan sebagai satu minuman untuk wanita
dan dua minuman untuk pria per hari (U.S. Department of Health and Human Services
and U.S.Department of Agriculture, 2015-2020). Bagi individu yang mengonsumsi
alkohol, minum setiap hari harus dibatasi dan tidak boleh lebih tinggi dari asupan
sebelum pandemi, yang mungkin menunjukkan bahwa alkohol digunakan sebagai
mekanisme penanggulangan untuk isolasi sosial, kebosanan, dan pemicu stres lainnya. 

Hal yang dapat dilakukan individu untuk menghindari obesitas, terutama saat
COVID-19 (Parekh and Deierlein, 2020) :

12
1. Bertujuan untuk mengakumulasi setidaknya 30 menit/hari atau 150 menit/minggu
aktivitas fisik sedang; terlibat dalam aktivitas di dalam rumah atau dalam aktivitas luar
ruangan yang berjarak secara sosial seperti berjalan, jogging, atau bersepeda 
2. Memasukkan jeda gerakan selama periode kerja santai atau selama waktu layar yang
lama 
3. Batasi ngemil larut malam dan hindari makan saat tidak ada rasa lapar 
4. Batasi konsumsi makanan asin dan manis kemasan serta minuman yang dimaniskan
dengan gula 
5. Konsumsi lebih banyak makanan nabati, khususnya biji-bijian, sayuran, buah-buahan,
protein tanpa lemak, dan produk susu. Gantikan dengan makanan rendah gula, rendah
garam, beku atau kalengan jika produk segar tidak tersedia 
6. Masak makanan sehat di rumah 
7. Pertahankan praktik kebersihan tidur yang baik; usahakan untuk tidur setidaknya 7 jam
setiap malam, hindari layar, cahaya terang, serta minuman berkafein dan beralkohol
sebelum tidur
8. Konsumsi alkohol secukupnya atau jangan minum sama sekali
9. Atasi stres dengan melakukan latihan pernapasan, yoga, meditasi, melakukan aktivitas
rutin dan memastikan tidur yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ammar, A. et al. (2020) ‘Effects of COVID-19 Home Confinement on Eating Behaviour


and Physical Activity : Results of the ECLB-COVID19 International Online Survey’,
Nutrients, 12, pp. 1583–1596.

2. Bourdas, D. I. and Zacharakis, E. D. (2020) ‘Impact of COVID-19 Lockdown on Physical


Activity in a Sample of Greek Adults’, Sports, 8(10), p. 139. doi: 10.3390/sports8100139.

3. Bourgeois, C. et al. (2019) ‘Specific Biological Features of Adipose Tissue , and Their
Impact on HIV Persistence’, 10(December), pp. 1–25. doi: 10.3389/fmicb.2019.02837.

4. Cuthbertson, D. J., Alam, U. and Tahrani, A. (2020) ‘COVID-19 and obesity: an


opportunity for change’, Therapeutic Advances in Endocrinology and Metabolism, 11,
pp. 1–4. doi: 10.1177/2042018820949742.

5. Dietz, W. and Santos-Burgoa, C. (2020) ‘Obesity and its Implications for COVID-19
Mortality’, Obesity, 28(6), p. 1005. doi: 10.1002/oby.22818.

6. Djalalinia, S. et al. (2015) ‘Health Impacts of Obesity - Obesity Canada’, Pak J Med Sci,
31(1), pp. 239–242. Available at: https://obesitycanada.ca/understanding-obesity/health-
impacts-obesity/.

7. Gómez, J. C., Lorido, J. C. A. and Sánchezb, F. J. C. (2020) ‘Obesity and 2019-nCoV. A


risky relationship. Obesidad y coronavirus 2019nCoV: una relación de riesgo’, Rev Clin
Esp, 220 (6)(August-September, epub 2020 Apr 27), pp. 387–388. doi:

13
10.1016/j.rce.2020.04.008.

8. Henry, B. M. et al. (2020) ‘Lymphopenia and neutrophilia at admission predicts severity


and mortality in patients with COVID-19: A meta-analysis’, Acta Biomedica, 91(3), pp.
1–16. doi: 10.23750/abm.v91i3.10217.

9. Jia, X. et al. (2020) ‘Two Things About COVID-19 Might Need Attention’, 2(February).
doi: 10.20944/preprints202002.0315.v1.

10. Kalligeros, M. et al. (2020) ‘Association of Obesity with Disease Severity Among
Patients with Coronavirus Disease 2019’, Obesity, 28(7), pp. 1200–1204. doi:
10.1002/oby.22859.
11. Kuba, K. et al. (2005) ‘A crucial role of angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) in
SARS coronavirus-induced lung injury’, Nature Medicine, 11(8), pp. 875–879. doi:
10.1038/nm1267.

12. Liu, Y. et al. (2020) ‘Clinical and biochemical indexes from 2019-nCoV infected patients
linked’, Science China Life Sciences, 63(3), pp. 364–374.

13. Luzi, L. and Radaelli, M. G. (2020) ‘Influenza and obesity: its odd relationship and the
lessons for COVID-19 pandemic’, Acta Diabetologica, 57(6), pp. 759–764. doi:
10.1007/s00592-020-01522-8.

14. Murphy, N.F. and Stewart, S. and Hart, C. and MacIntyre, K. and Hole, D.J. and
McMurray, J. J. V. (2006) (2008) ‘A population study of the long-term consequences of
Rose angina: 20-year follow-up of the Renfrew–Paisley study.’, 92(June), pp. 1739–
1746.

15. Nakeshbandi, M. et al. (2020) ‘The impact of obesity on COVID-19 complications: a


retrospective cohort study’, International Journal of Obesity, 44(9), pp. 1832–1837. doi:
10.1038/s41366-020-0648-x.

16. Parekh, N. and Deierlein, A. (2020) ‘Health Behaviors during the COVID-19 Pandemic:
Implications for Obesity’, Public Health Nutrition, 23(17), pp. 3121–3125. doi:
10.1017/S1368980020003031.

17. Rao, S., Lau, A. and So, H.-C. (2020) ‘Exploring Diseases / Traits and Blood Proteins
Causally Related to Expression of ACE2 , the Putative Receptor of SARS-CoV-2 : A
Mendelian Randomization Analysis Highlights Tentative Relevance of Diabetes-Related
Traits’, 43(July), pp. 1416–1426. doi: 10.2337/dc20-0643.

18. Sanchis-Gomar, F. et al. (2020) ‘Obesity and Outcomes in COVID-19: When an


Epidemic and Pandemic Collide’, Mayo Clinic Proceedings, 95(7), pp. 1445–1453. doi:
10.1016/j.mayocp.2020.05.006.

19. Simonnet, A. et al. (2020) ‘High Prevalence of Obesity in Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) Requiring Invasive Mechanical Ventilation’,
Obesity, 28(7), pp. 1195–1199. doi: 10.1002/oby.22831.

20. Stefan, N. et al. (2020) ‘Obesity and impaired metabolic health in patients with COVID-
19’, Nature Reviews Endocrinology, 16(7), pp. 341–342. doi: 10.1038/s41574-020-0364-
6.

21. Wrapp, D. et al. (2020) ‘Cryo-EM structure of the 2019-nCoV spike in the prefusion
conformation’, Science, 367(6483), pp. 1260–1263. doi: 10.1126/science.aax0902.

14
15

Anda mungkin juga menyukai