NIM : 4802201100022
Dosen Pengampuh : Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D
A. Pendahuluan
Mitokondria merupakan suatu organel seluler yang menghasilkan
sebagian besar ATP yang dibutuhkan untuk mempertahankan sejumlah besar
beragam proses seluler. Mitokondria adalah organel sitoplasmik yang
mengandung DNA sendiri dan berperan penting dalam pembentukan energi
berupa ATP. Mitokondria bertanggung jawab atas mayoritas energi yang
didapat dari pemecahan karbohidrat dan asam lemak. Pada mitokondria
terdapat DNA mitokondria (mtDNA) yang mengkode tRNA, rRNA dan
beberapa protein mitokondria, kerja dari mitokondria melibatkan protein yang
terkode dari genomnya sendiri dan ditranslasikan dalam organelnya (Copper
dan Housman, 2007). DNA mitokondria (mtDNA) merupakan molekul DNA
rantai ganda yang berbentuk sirkuler yang ditransmisikan secara maternal.
DNA mitokondria ini menyandi komplek protein rantai respirasi yang sangat
diperlukan untuk produksi ATP. DNA mitokondria mengkode 37 gen yang
terdiri atas pengode untuk 2 rRNA, 22 tRNA, dan 13 polipeptida.
Mitokondria memiliki sistem genetiknya sendiri yang berbeda dari
DNA inti, mtDNA berbentuk sirkular dan terdapat dalam banyak salinan per
organel. Mayoritas mtDNA mengkode beberapa protein yang merupakan
komponen esensial untuk sistem fosforilasi oksidatif, mtDNA juga mengkode
RNA ribosom dan mayoritas RNA transfer yang dibutuhkan untuk proses
translasi urutan pengkode protein dalam mitokondria (Copper dan Housman,
2007). MtDNA diwariskan secara maternal. Pada saat terjadi pembuahan
sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir
tidak ada mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Hal ini berarti bahwa
sumbangan secara paternal hanya berjumlah 100 mitokondria. Apalagi dalam
proses pertumbuhan sel, jumlah mtDNA secara paternal semakin berkurang.
Maka jika dibandingkan dengan sumbangan secara maternal yaitu 100.000,
maka sumbangan secara paternal hanya 0,01%. Oleh karena itu dapat
dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA
bersifat haploid, diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallace, et al,
1997). Pada mtDNA terjadi proses transkripsi, replikasi, dan translasi.
Gangguan pada mitokondria mungkin disebabkan karena adanya mutasi
dalam nDNA atau dalam mtDNA sendiri, yang biasanya menunjukkan suatu
bagian dari model inheritan (diturunkan). Kedua DNA tersebut berpengaruh
terhadap produksi ATP, dimana hampir semua jaringan sangat bergantung
pada ATP. Gangguan yang terdapat pada mitokondria berasal dari ibu, hal ini
terjadi karena mitokondria dalam zigot berasal dari sitoplasma dari telur/ova,
sedangkan sperma hanya berkontribusi pada nukleus saja. Beberapa penyakit
yang timbul akibat dari mutasi pada mtDNA, salah satunya yaitu Diabeter
mellitus tipe 2 ( Diabetes Mellitus Deafness Syndrome (DMDS)).
ATP dibentuk oleh system rantai respirasi mitokondria melalui
mekanisme fosforilasi oksidatif (OXPHOS). Genom mitokondria berbentuk
sirkuler berukuran 16.569 pb yang menyandi 37 polipeptida yang berperan
pada sistem rantai respirasi. Kemampuan sel pangkreas mengeluarkan
insulin sebagai akibat peningkatan kadar glukosa darah sangat tergantung
pada adanya ATP, sehingga adanya gangguan mekanisme OXPHOS akibat
mutasi mtDNA akan memungkinkan kegagalan sekresi insulin maupun
respon target organ terhadap sekresi insulin dan menyebabkan terjadinya
diabetes mellitus (Pranoto., 2005). Mutasi yang umum ditemukan terdapat
pada gen yang menyandi tRNA leucine yang merupakan etiologik hotspot
mutasi mtDNA.
B. Perjalanan Penyebab Terjadinya Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia akibat terjadinya kelainan pada sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2015).
American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes
melitus berdasarkan etiologinya yakni:
1. Diabetes melitus tipe 1 yang disebabkan karena destruksi dari sel beta
pankreas yang menyebabkan defisiensi insulin,
2. Diabetes melitus tipe 2 yang disebabkan karena resistensi insulin akibat
defek progresif dari sekresi insulin,
3. Diabetes melitus tipe lain, dan diabetes gestasional. Sekitar 90-95% dari
prevalensi DM merupakan DM tipe 2
C. Pembahasan
1. DNA Mitokondria
Mitokondria adalah organel sel yang bertanggung jawab untuk
reaksi dalam siklus asam trikarboksilat, pemindahan elektron dan
metabolisme energi di dalam sel. Fungsi utama dari mitokondria adalah
penghasil energi melalui proses fosforilasi oksidatif yang menghasilkan
produk sampingan radikal oksigen yaitu reactive oxygen spesies (ROS).
Mitokondria mempunyai suatu material genetik tersendiri yang disebut
mitochondrial genome (mtDNA) (Wandia 2001). DNA mitokondria
terletak di luar nukleus dalam satu kompartemen sel atau organel
bernama mitochondrion (Zhao et al. 2004). DNA juga terdapat di
organel sel pada sitoplasma yaitu mitokondria dan plastida pada
tumbuhan. DNA ini disebut sebagai DNA ekstrakromosomal (Yatim,
2003). Berikut ilustrasi letak DNA mitokondria:
3. Organisasi mtDNA
mtDNA dalam mitokondria diatur ke dalam struktur kompak yang
disebut nukleoid. Nukleoida dapat divisualisasikan dengan melabeli
berbagai DNA noda, termasuk antibodi anti-DNA, BrdU, atau
interkalator fluoresen, seperti DAPI dan Pico Green diikuti oleh
mikroskop. Oleh karena itu, jumlah nukleoid yang terdeteksi per sel
(dan dengan demikian, perkiraan jumlah molekul mtDNA per nukleoid)
tergantung pada sifat-sifatnya dari sistem optik yang digunakan, seperti
resolusi optik dan rasio signal-tonoise. Ini mungkin menjelaskan
mengapa nilai untuk konten mtDNA dari nucleoid sangat bervariasi
dalam literatur. Estimasi terendah yang dilaporkan 1,45. Molekul
mtDNA per nukleoid, diperoleh dengan bantuan yang paling banyak.
teknik mikroskop canggih (Kukat, et al (2011)), Kerapatan pengemasan
DNA dalam nukleoid mitokondria lebih besar dari itu dalam nukleoid
Escherichia coli atau nukleus manusia, dan sebanding untuk kerapatan
kemasan dalam papillomavirus capsid. Ini tinggi tingkat pemadatan
dicapai dengan bantuan mitokondria transcription factor A (TFAM),
kotak DNA mobilitas kelompok tinggi (HMG) mengikat protein dengan
fungsi dalam kemasan mtDNA, replikasi dan transkripsi. Protein ini
mengikat mtDNA dengan tapak 23 bp atau 30 bp , dan hadir dalam
mitokondria dengan molar 1000 kali lipat sehubungan dengan molekul
mtDNA, yang cukup untuk lengkap lapisan mtDNA. TFAM dapat
mengikat mtDNA secara khusus, di Promotor H-strand 1 (HSP1) dan
promotor L-strand (LSP) untuk memfasilitasi transkripsi dan replikasi,
dan non-spesifik, seluruh genom mitokondria, untuk menginduksi
pemadatan mtDNA. pemadatan mtDNA oleh TFAM tergantung pada
dimerisasi TFAM, yaitu dimediasi oleh domain HMGA (H.B.Ngo
(2014)). Setelah spesifik dan tidak spesifik mengikat, TFAM
memaksakan putar balik tajam pada mtDNA substratnya, yang sangat
penting untuk transkripsi dan pengemasan. Menariknya,
TFAM mitokondria sebagian besar terikat DNA. Pelepasan TFAM dari
kompleks dengan mtDNA dimediasi oleh fosforilasi pada Ser55 dan
Ser56 oleh PKA diikuti oleh degradasi yang dimediasi Lon.
4. mtDNA Transkripsi
a. Inisiasi
Transkripsi berlangsung pada ketiga promoter yang terletak di
H-strand dan L-strand. Enhancer yang tersusun atas sekuen DNA
pendek diketahui menstimulasi terjadinya transkripsi dengan
mengikat mitochondrial transcription factor A (mtTFA),
selanjutnya mtTFA mengikat mitochondrial RNA polymerase
untuk memulai transkripsi. Initiation transcription H1 (ITH1)
memulai transkripsi H-strand dan berakhir pada ujung 3’ 16S
rRNA, sedangkan ITH2 mentranskripsi seluruh Hstrand dan
menghasilkan mRNA polisistronik. Pada L-strand, ITL memulai
transkripsi dengan arah yang berlawanan dengan H-strand dan
menghasilkan mRNA sekaligus primer replikasi H-strand. Untai
RNA yang terbentuk dari titik ITL mengalami transisi dari RNA
menjadi DNA pada area conserve sequence block (CSB) I, II, dan
III. Untai DNA pendek ini mengalami terminasi pada
terminationassociated sequence (TAS) dan menjadi untai ketiga D-
loop yang dikenal dengan 7S DNA (Taanman, 1999).
5. Primary Transkripsi
Setelah RNA polimerase melewati batas 16S rRNA / tRNALeu
(UUR), transkripsi H-strand tampaknya mudah. Karena tidak ada urutan
intron hadir dalam mtDNA vertebrata dan sekuens intergenetik minimal,
pemrosesan utusan polisistrik H-dan L-untai panjang dianggap sebagai
proses yang relatif sederhana, hanya membutuhkan beberapa enzim. Gen
untuk tRNA mengapit dua gen rRNA dan hampir setiap gen protein.
Organisasi genetik yang unik ini telah mengarah pada proposal bahwa
struktur sekunder dari urutan tRNA memberikan tanda baca dalam
membaca informasi mtDNA. Eksisi endonukleolitik yang tepat dari
tRNA dari transkrip yang baru lahir akan secara bersamaan menghasilkan
rRNA yang diproses dengan benar dan, dalam banyak kasus, mRNA
yang diproses dengan benar (Taanman, 1999).
Pematangan tRNA mitokondria melibatkan tiga aktivitas enzimatik
yang baru-baru ini diidentifikasi oleh Rossmanith dan rekan dalam sistem
pemrosesan tRNA mitokondria sel HeLa in vitro. Eksperimen mereka
menunjukkan bahwa pembelahan pada ujung 5′ mendahului bahwa pada
ujung 3.. Endonuclease yang bertanggung jawab atas belahan 3′ belum
dikarakterisasi. Pembelahan pada ujung 5′ dilakukan oleh mitokondria
RNase P (mtRNase P). Enzim yang mengandung fraksi yang disiapkan
oleh Rossmanith dan rekan memotong prekursor tRNA mitokondria pada
ujung 5′ yang benar, tetapi, tidak seperti persiapan oleh yang lain jangan
membelah prekursor tRNATyr dari Escherichia coli dengan benar. Ini
menunjukkan bahwa preparasi sebelumnya terkontaminasi dengan
isoform sitosolik RNase P yang tampaknya mampu secara akurat
memproses prekursor tRNA bakteri. Yeast mtRNase P telah
dikarakterisasi secara rinci. Enzim Saccharomyces cerevisiae terdiri dari
protein berkode nuklir dan spesies RNA yang dikodekan mtDNA. Bagian
RNA dari kompleks ribonucleoprotein kaya akan AU dan membentuk
inti katalitik enzim. Perbandingan mtRNase P RNA dari spesies ragi
yang berbeda telah mengungkapkan variasi ukuran yang luar biasa dari
490 hingga 140 nukleotida (S.Z. Deluca, 2012).
Pematangan tRNA yang dieksisi diselesaikan dengan penambahan
urutan CCA ke ujung 3 end yang dikatalisis oleh ATP (CTP): tRNA
nucleotidyltransferase . MRNA mitokondria dipoladenilasi oleh
mitokondria poli (A) polimerase selama atau segera setelah pembelahan
sedangkan 3′ ujung kedua rRNA dimodifikasi secara transkripsi dengan
penambahan hanya adenil pendek Utusan mitokondria tidak membawa
sinyal polyadenylation hulu seperti yang ditemukan pada utusan nuklir
(Taanman,1999).
D. Diabetes Melitus
1. Pengertian
Penyakit diabetes mellitus merupakan salah satu gangguan
metabolik pada metabolisme karbohidrat, yakni kondisi glukosa yang
kurang dimanfaatkan dan menyebabkan hiperglikemia
(Balasubramanyam, 2006). Glukosa adalah unit satuan karbohidrat
terkecil digunakan untuk membentuk energi. Kusuma (2008), jika
glukosa berlebihan dalam tubuh maka gula darah dapat diubah
menjadi glikogen dalam bentuk cadangan di hepar, otot dan organ
lainnya. Jika proses tersebut tidak berlangsung seimbang, maka
kelebihan glukosa dalam tubuh akan menimbulkan penyakit yang
dalam istilah medis dikenal dengan diabetes mellitus.
2. Gejala Diabetes Mellitus
Gejala klasik diabetes mellitus disebabkan oleh kelainan
metabolisme glukosa. Kurangnya aktivitas insulin menyebabkan
kegagalan pemindahan glukosa dari plasma ke dalam sel. Glukosa
yang diserap ketika makan tidak dimetabolisme dengan kecepatan
normal sehingga terkumpul di dalam darah (hiperglikemia) dan
diekskresi ke dalam urin (glikosuria) sehingga menyebabkan diuresis
osmotik dan berakibat peningkatan produksi urin (poliuria). Selain itu,
kelainan metabolisme glukosa sebagai akibat kurangnya aktifitas
insulin juga mengakibatkan kehilangan cairan dan merangsang pusat
rasa haus (polidipsia) Misnadiarly (2006). Misnadiarly (2006)
menambahkan, selain gejala-gejala di atas kadang penderita DM
mengalami gejala seperti kesemutan, kulit terasa panas, kram, mudah
mengantuk, gatal-gatal, mata kabur, gigi mudah goyah, berat badan
dan kemampuan seksual menurun.
4. Terapi
Bentuk usaha manusia bermacam-macam untuk
menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Misalnya berobat ke
dokter, minum ramuan herbal, dan mencoba berbagai macam
alternatif. Berikut ini ada beberapa alternatif dalam penyembuhan
penyakit DM.
a. Terapi Insulin
Menurut Ruslianti (2008), terapi insulin yang dianjurkan
adalah saat pagi hari sebelum sarapan, dua jam setelah makan,
dan malam hari sebelum tidur. Selain itu, diperlukan pula
pengukuran pada saat tertentu, misalnya pengukuran yang
lebih ketat jika terjadi hipoglikemi, saat sebelum olah raga, dan
pada kehamilan. Pengobatan diabetes bisa dikatakan berhasil
jika glukosa darah puasa adalah 80 sampai 109 mg/dl, kadar
glukosa darah dua jam adalah 80 sampai 144 mg/dl, dan kadar
HB A1c kurang dari tujuh persen. Pengukuran hemoglobin
(Hb) terglikosilasi HBA1c (A1c) adalah cara yang paling
akurat untuk menentukan tingkat ketinggian gula darah selama
dua sampai tiga bulan terakhir.
b. Terapi Obat Hipoglikemik (OHO)
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk
membantu penanganan pasien DM Tipe II. Berdasarkan cara
kerjanya OHO dibagi menjadi 3 golongan yaitu (Basuki,
2004):
1) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi
obat hipoglikemik oral golongan sulfonilureadan glinida
(meglitinidadan turunan fenilalanin).
2) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan
sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat
hipoglikemik golongan biguanidadan tiazolidindion, yang
dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara
lebih efektif.
3) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-
glukosidaseyang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan
umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-
prandial (post-meal hiperglycemia). Disebut juga “starch-
blocker”.
c. Pola Hidup
Pola hidup yang harus sesuai dengan pemenuhan
kebutuhan tubuh dapat dilakukan dengan makan yang seimbang
antara yang dikonsumsi dan yang digunakan oleh tubuh,
istirahat dan olahraga yang teratur. Makanan yang bergizi
diperlukan oleh tubuh, seperti nasi, ikan, sayur dan buah segar.
Mengkonsumsi nasi kebutuhan karbohidrat akan terpenuhi,
sedangkan ikan, sayur dan buah segar dapat bermanfaat untuk
kebutuhan lemak, vitamin dan protein yang diperlukan oleh
tubuh.
5. Patofisiologis
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau
keduanya dan meyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropati (Sukandar et al, 2009).
Tiga tipe utama dari diabetes adalah diabetes tipe 1, diabetes
tipe 2 dan diabetes gestasional yang terjadi ketika tubuh tidak cukup
memproduksi hormon insulin atau tidak dapat menggunakan insulin
secara efektif. Insulin bertindak sebagai kunci yang memungkinkan
sel-sel tubuh mengambil glukosa dan menggunakannya sebagai energi
(International Diabetes Federation, 2013). Orang dengan DM tipe 1
merupakan hasil dari proses autoimun dengan onset yang sangat
mendadak, membutuhkan terapi insulin untuk bertahan hidup.
Sebaliknya pada DM tipe 2 dapat tidak diketahui dan terdiagnosis
selama beberapa tahun. Diabetes gestasional adalah diabetes yang
terjadi selama kehamilan dapat menjadi resiko kesehatan yang serius
pada ibu dan janinnya dan meningkatkan resiko berkembangnya DM
tipe 2 dikemudian hari (International Diabetes Federation, 2013).
Kejadian DM tipe 2 bervariasi secara substansial dari satu wilayah
geografis ke yang lain, sebagai akibat dari faktor lingkungan dan
resiko gaya hidup. Diperkirakan bahwa prevalensi DM pada orang
dewasa dari jenis DM tipe 2 akan meningkat dalam dua dekade
berikutnya dan banyak dari kenaikan tersebut akan terjadi di negara
berkembang di mana sebagian besar pasien yang berusia antara 45 dan
64 tahun (Olokoba et al, 2012).
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh kombinasi lingkungan
dan faktor genetik yang terkait dengan gangguan sekresi insulin dan
resistensi insulin. Faktor-faktor seperti obesitas, makan yang
berlebihan, kurang olahraga, stres, serta penuaan. Hal ini biasanya
karena penyakit multifaktorial yang melibatkan beberapa gen dan
faktor lingkungan untuk berbagai taraf. Jumlah pasien diabetes yang
meningkat pesat mencerminkan perubahan gaya hidup. Barubaru ini,
sebuah Genomewide Association Study (GWAS) telah
mengidentifikasi terdapat mutasi pada gen KCNQ1 terkait kelainan
sekresi insulin yang berhubungan dengan patogenesis diabetes pada
kelompok etnis Asia (Kaku, 2010). Sekitar 25% pasien dengan DM
tipe 2 telah memiliki komplikasi mikrovaskuler di saat diagnosis yang
menunjukkan bahwa pasien telah memiliki penyakit ini selama lebih
dari 5 tahun pada saat diagnosis. Hal ini masih berdasarkan pada
pedoman American Diabetic Association (ADA) tahun 1997 atau
World Health Organization (WHO) National diabetic group criteria
tahun 2006, yang dibuat untuk pembacaan tunggal naiknya glukosa
dengan gejala (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan) dan nilai yang meningkat baik glukosa plasma puasa atau
fasting plasma glucose (FPG) >=7,0 mmol/L (126 mg/dL) ataupun
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO), dua jam setelah dosis oral
glukosa plasma dengan kadar >=11,1 mmol/L (200 mg/dL). Pada
tahun 1997 rekomendasi ADA untuk diagnosis DM fokus pada FPG,
sementara WHO berfokus pada oral glucose tolerence test (OGTT).
Hemoglobin terglikasi (HbA1c) dan fruktosamin juga masih berguna
untuk menentukan kontrol gula darah dari waktu ke waktu. Pada
bulan Juli 2009, International Expert Committee (IEC)
merekomendasikan kriteria diagnostik tambahan hasil HbA1c >=6,5%
untuk DM. Komite ini menyarankan bahwa penggunaan istilah pra-
diabetes dapat dihapus tetapi mengidentifikasi berbagai tingkat
HbA1c >=6,0% dan panjang kontrol glukosa darah. Sementara pasien
dalam tahap awal setelah onset penyakit menunjukkan peningkatan
glukosa darah posprandial sebagai hasil dari peningkatan resistensi
insulin dan penurunan sekresi fase awal, berkembanganya kerusakan
fungsi sel pankreas kemudian menyebabkan peningkatan glukosa
darah yang permanen (Kaku, 2010).
Wahyuni (2011)
14. Kadowaki, T., Kadowaki, H., Mori, Y., Tobe, K., Sakuta, R., Suzuki, Y.,
Tanabe, Y., Sakura, H., Awata, T., Goto, Y., Hayakawa, T., Matsuoka, K.,
Kawamori, R., Kamada, T., Horai, S., Nonaka, I., Hagura, R., Akanuma, Y.,
Yazaki, Y. 1994. A subtype of diabetes mellitus associated with a mutation of
mitochondrial DNA. NEJM. 330: 962-968.
15. Pranoto, A., 2003. Disertasi: Mutasi DNA mitokondria pada Diabetes
Melitus. Program pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
20. Mposhi, A., van der Wijst, M.G.P., Faber, K.N., Rots, M.G. “Regulation of
Mitochondrial Gene Expression, the Epigenetic Enigma”. Frontiers in
Bioscience 22 (2017): 1099-1113.
21. Chiang, T.Y., Chen, I.S., Chang, W.B., Ju, Y.M. “Complete Mitochondrial
Genome of Sicyopterus japonicus (Perciformes, Gobiidae)”. Mitochondrial
DNA 24 No. 3 (2013): 191-193.
24. Sharma, H. Singh A. Sharma C. Jain SK dan Singh N. 2011. Mutations in the
mitochondrial DNA D-loop region are frequent in cervical cancer. Cancer
Cell International, 5 (34): 1475-2867.
26. Rogaev, E.I. Moliaka YK, Malyarchuk BA, Kondrashov F.A. Derenko
M.V.Chumakov I dan Grigorenko AP. 2006. Complete mitochondrial
genome and phylogeny of pleistocene mammoth Mammuthus primigenius.
PloS Bio, 4(3): 0403-0410.
29. Galtier, N. Nabholz B. Glemin S dan Hurst GDD. 2009. Mitochondrial DNA
as a marker of molecular diversity: a reappraisal. Molecular Ecology, 18:
4541– 4550.
30. Chen, SY. Su YH Wu SF, Sha T dan Zhang YP. 2005. Mitochondrial
diversity and phylogeographic structure of Chinese domestic goats.
Molecular phylogenetic Evolusi, 37:804-814.
32. H.B. Ngo, G.A. Lovely, R. Phillips, D.C. Chan, Distinct structural features of
TFAM drive mitochondrial DNA packaging versus transcriptional activation,
Nat. Commun. 5 (2014) 3077.
35. Olokoba, A.B., Obateru, O.A., & Olokoba, L.B. 2012. Type 2 Diabetes Mellitus:
A Review of Cur- rent Trends. Oman Med J. 27(4):269-273.
36. International Diabetes Federation. 2013. Diabetes at- las, sixth edition:
www.idf.org/diabetesatlas.
38. Kamarudin, K.H., Rehan, A.M., Hashim, R., Usup, G., Ahmad, H.F., Anua,
M.H. Idris, M.Y. “Molecular Phylogeny of Holothuria (Mertensiothuria)
leucospilota (Brandt 1835) as Inferred from Cytochrome C Oxidase I
Mitochondrial DNA Gene Sequences”. Sains Malaysiana 40 No. 2 (2011):
125-133.
40. Chinnery PF, Mowbray C, Patel SK, Elson JL, Sampson M, Hitman
GA, et al. Mitochondrial DNA haplogroups and type 2 diabetes: a study
of 897 cases and 1010 controls. J Med Genet. 2007. 44(6):e80 – e80.