Anda di halaman 1dari 38

Nama : Jesica Mulyadi

NIM : 4802201100022
Dosen Pengampuh : Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D

Diabetes Melitus Karena Mutasi Gen Pada DNA Mitokondria

A. Pendahuluan
Mitokondria merupakan suatu organel seluler yang menghasilkan
sebagian besar ATP yang dibutuhkan untuk mempertahankan sejumlah besar
beragam proses seluler. Mitokondria adalah organel sitoplasmik yang
mengandung DNA sendiri dan berperan penting dalam pembentukan energi
berupa ATP. Mitokondria bertanggung jawab atas mayoritas energi yang
didapat dari pemecahan karbohidrat dan asam lemak. Pada mitokondria
terdapat DNA mitokondria (mtDNA) yang mengkode tRNA, rRNA dan
beberapa protein mitokondria, kerja dari mitokondria melibatkan protein yang
terkode dari genomnya sendiri dan ditranslasikan dalam organelnya (Copper
dan Housman, 2007). DNA mitokondria (mtDNA) merupakan molekul DNA
rantai ganda yang berbentuk sirkuler yang ditransmisikan secara maternal.
DNA mitokondria ini menyandi komplek protein rantai respirasi yang sangat
diperlukan untuk produksi ATP. DNA mitokondria mengkode 37 gen yang
terdiri atas pengode untuk 2 rRNA, 22 tRNA, dan 13 polipeptida.
Mitokondria memiliki sistem genetiknya sendiri yang berbeda dari
DNA inti, mtDNA berbentuk sirkular dan terdapat dalam banyak salinan per
organel. Mayoritas mtDNA mengkode beberapa protein yang merupakan
komponen esensial untuk sistem fosforilasi oksidatif, mtDNA juga mengkode
RNA ribosom dan mayoritas RNA transfer yang dibutuhkan untuk proses
translasi urutan pengkode protein dalam mitokondria (Copper dan Housman,
2007). MtDNA diwariskan secara maternal. Pada saat terjadi pembuahan
sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir
tidak ada mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Hal ini berarti bahwa
sumbangan secara paternal hanya berjumlah 100 mitokondria. Apalagi dalam
proses pertumbuhan sel, jumlah mtDNA secara paternal semakin berkurang.
Maka jika dibandingkan dengan sumbangan secara maternal yaitu 100.000,
maka sumbangan secara paternal hanya 0,01%. Oleh karena itu dapat
dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA
bersifat haploid, diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallace, et al,
1997). Pada mtDNA terjadi proses transkripsi, replikasi, dan translasi.
Gangguan pada mitokondria mungkin disebabkan karena adanya mutasi
dalam nDNA atau dalam mtDNA sendiri, yang biasanya menunjukkan suatu
bagian dari model inheritan (diturunkan). Kedua DNA tersebut berpengaruh
terhadap produksi ATP, dimana hampir semua jaringan sangat bergantung
pada ATP. Gangguan yang terdapat pada mitokondria berasal dari ibu, hal ini
terjadi karena mitokondria dalam zigot berasal dari sitoplasma dari telur/ova,
sedangkan sperma hanya berkontribusi pada nukleus saja. Beberapa penyakit
yang timbul akibat dari mutasi pada mtDNA, salah satunya yaitu Diabeter
mellitus tipe 2 ( Diabetes Mellitus Deafness Syndrome (DMDS)).
ATP dibentuk oleh system rantai respirasi mitokondria melalui
mekanisme fosforilasi oksidatif (OXPHOS). Genom mitokondria berbentuk
sirkuler berukuran 16.569 pb yang menyandi 37 polipeptida yang berperan
pada sistem rantai respirasi. Kemampuan sel  pangkreas mengeluarkan
insulin sebagai akibat peningkatan kadar glukosa darah sangat tergantung
pada adanya ATP, sehingga adanya gangguan mekanisme OXPHOS akibat
mutasi mtDNA akan memungkinkan kegagalan sekresi insulin maupun
respon target organ terhadap sekresi insulin dan menyebabkan terjadinya
diabetes mellitus (Pranoto., 2005). Mutasi yang umum ditemukan terdapat
pada gen yang menyandi tRNA leucine yang merupakan etiologik hotspot
mutasi mtDNA.
B. Perjalanan Penyebab Terjadinya Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia akibat terjadinya kelainan pada sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2015).
American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes
melitus berdasarkan etiologinya yakni:
1. Diabetes melitus tipe 1 yang disebabkan karena destruksi dari sel beta
pankreas yang menyebabkan defisiensi insulin,
2. Diabetes melitus tipe 2 yang disebabkan karena resistensi insulin akibat
defek progresif dari sekresi insulin,
3. Diabetes melitus tipe lain, dan diabetes gestasional. Sekitar 90-95% dari
prevalensi DM merupakan DM tipe 2

Kekurangan hormon insulin baik secara absolut maupun relatif


merupakan penyebab terjadinya hiperglikemia atau peningkatan kadar gula
darah dalam darah. Diabetes melitus tipe 1 atau Insulin-dependent Diabetes
Melitus (IDDM) terjadi akibat kerusakan sel beta pankreas sehingga tubuh
menjadi kekurangan insulin dan biasanya disebabkan karena serangan
autoimun. Onset diabetes melitus tipe 1 biasanya dimulai saat masa kanak-
kanak, manifestasi tampak saat masa pubertas, dan terus berkembang seiring
perjalanan usia. Pasien dengan diabetes melitus tipe 1 biasanya membutuhkan
insulin eksogen seumur hidup karena jika tanpa insulin dapat menyebabkan
komplikasi seperti ketoasidosis dan koma (Kumar et al., 2015).
Diabetes melitus tipe 2 atau Non-insulin Dependent Diabetes Melitus
dapat disebabkan karena resistensi insulin atau disfungsi dari sel beta yang
bermanifestasi terhadap jumlah sekresi insulin yang tidak adekuat. Diabetes
melitus tipe 2 merupakan penyakit multifaktorial.
Mitokondria merupakan sumber ATP untuk sel  pangkreas. ATP
dihasilkan pada setiap mitokondria pada berbagai sel eukariotik melalui suatu
mekanisme fosforilasi oksidatif (OXPHOS), yaitu suatu rentetan reaksi
enzimatik yang melibatkan 5 kompleks enzim yang terletak pada membrane
bagian dalam mitokondria. Rentetan reaksi enzimatik ini terbagi dalam
bentuk rantai transport elektron (kompleks I sampai IV) dan proses
pembentukan ATP melalui kompleks V. Sebagai hasil akhir dari proses
OXPHOS terjadi peningkatan kadar ATP yang selanjutnya akan
menyebabkan penurunan ATP-dependent Kchannel. Selanjutnya akan terjadi
suatu depolarisasi dari membran potensial yang diikuti dengan pembukaan
dari Ca++ cahnnel. Peningkatan kadar kalsium intraseluler menjadi pencetus
proses pengeluaran hormon insulin (Gerbizt, et al., 1996).
Cacat molekul akibat mutasi mtDNA yang menyandi komponen
kompleks enzim yang terkait OXPHOS akan memungkinkan gangguan
produksi ATP yang berakibat gangguan produksi insulin dan menyebabkan
terjadinya DM. MtDNA adalah suatu gen ekstra inti beruntai ganda berbentuk
sirkuler dan diturunkan secara maternal. DNA sirkuler ini berukuran 16,569
pb dan menyandi 13 buah polipeptida rantai respirasi. 2RNA ribosom 12S
dan 16S dan 22 tRNAs. Gen mitokondria ini bersifat rentan terhadap mutasi
karena tidak dilindungi oleh histon, dan tidak memiliki mekanisme reparasi
DNA. Proses OXPHOS menghasilkan kadar radikal bebas yang memudahkan
terjadinya kerusakan pada mtRNA (Pranoto, 2005).
Berbagai mutasi yang memberikan ekspresi klinik DM telah dapat
diidetifikasi A3243G merupakan mutasi kausal pada DM, dimana 3243
tersebut terletak pada gen yang menyandi tRNAleu. Mutasi ini terjadi pada
sisi pengikatan DNA mitokondria untuk protein promotor terminasi
transkripsi pada batas antara RNA ribosom 16S dan gen tRNALeu. Mutasi ini
tidak hanya mempengaruhi sintesis dari tRNALeu tetapi juga menggangu
mekanisme pengikatan faktor terminasi transkripsi, yang dapat menyebabkan
terganggunya sintesis dari protein-protein mitokondria (Kadowaki et al.,
1994). Dan masih banyak lagi diperkirakan sejumlah di atas 70 mutasi
noktah.
Mutasi G3316A dan T3394C telah ditemukan dalam frekuensi yang
cukup tinggi pada populasi, sehingga digolongkan sebagai SNP (Pranoto.,
2005) Dengan adanya bukti bahwa DM merupakan penyakit poligenik, maka
penelitian genetik bisa bertitik tolak dari defek mtDNA. Penelitian gen
poligenik bisa menjurus pada kombinasi antara gen kandidat dari DNA inti
dan/atau gen mtDNA. Wawasan penelitian poligenik dengan basis gen
mtDNA sebagai titik tolak penemuan gen poligenik yang mendasari DM
merupakan lahan penelitian yang belum terbuka dan mempunyai potensi
untuk mengungkap lebih lanjut patomekanisme DM yang kompleks dan yang
sebagian besar masih belum diketahui (Pranoto, 2003).

Mutasi pada Genom Mitokondria Manusia yang diketahui menyebabkan penyakit


(Maksum, Iman P., et al (2010))

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit poligenik. Berbagai gen


pada DNA inti telah dilaporkan berperan serta pada mekanisme terjadinya
Diabetes mellitus tipe 2 demikian pula DNA mitokondria (mtDNA). Mutasi
mtDNA A3243G berperan sebagai mutasi kausal pada Diabetes mellitus tipe
2 yang diturunkan secara materal terutama yang disertasi ketulian dan dikenal
sebagai Maternally inherited diabetes & deafness (MIDD). Mutasi kausal ini
telah dilaporkan oleh berbagai peneliti pada banyak populasi.. Sejauh ini telah
dilaporkan oleh berbagai peneliti pada banyak populasi. Sejauh ini telah
dilaporkan lebih dari 70 Kajian Mutasi Gen Pada DNA Mitokondria (Mtdna)
Sebagai Predisposisi Diabetes Melitus 86 mutasi titik lainnya atau delesi
mtDNA yang terkait dengan Diabetes melitus meskipun sebagian besar
bersifat sebagai Single Nucleotide polymorphism (SNP) (Pranoto., 2005).

C. Pembahasan
1. DNA Mitokondria
Mitokondria adalah organel sel yang bertanggung jawab untuk
reaksi dalam siklus asam trikarboksilat, pemindahan elektron dan
metabolisme energi di dalam sel. Fungsi utama dari mitokondria adalah
penghasil energi melalui proses fosforilasi oksidatif yang menghasilkan
produk sampingan radikal oksigen yaitu reactive oxygen spesies (ROS).
Mitokondria mempunyai suatu material genetik tersendiri yang disebut
mitochondrial genome (mtDNA) (Wandia 2001). DNA mitokondria
terletak di luar nukleus dalam satu kompartemen sel atau organel
bernama mitochondrion (Zhao et al. 2004). DNA juga terdapat di
organel sel pada sitoplasma yaitu mitokondria dan plastida pada
tumbuhan. DNA ini disebut sebagai DNA ekstrakromosomal (Yatim,
2003). Berikut ilustrasi letak DNA mitokondria:

Struktur mitokondrian pada Susmiarsih (2010)


Selain DNA nukleus, informasi genetik makhluk hidup juga dapat
diperoleh melalui DNA mitokondria. DNA mitokondria merupakan
DNA rantai ganda yang ditransmisikan secara maternal dan berbentuk
sirkuler. DNA mitokondria mengkode kompleks protein rantai respirasi
yang penting pada proses produksi ATP (Susmiarsih, 2010). Untai
ganda DNA mitokondria terdiri atas heavy strand (H) dan light strand
(L) yang mengkode 13 polipeptida penyusun kompleks I, III, IV, dan V
pada rantai transpor elektron. Kompleks I terdiri atas ND1, ND2, ND3,
ND4L, ND4, ND5, dan ND6. Kompleks III yaitu Cytochrome b.
Kompleks IV terdiri atas COI, COII, dan COIII. Serta kompleks V yang
terdiri atas ATPase 6 dan ATPase 8 (Mposhi, et al., 2017).
Penamaan untai H dan L didasarkan pada perbedaan berat
molekul masing-masing untai, untai H tersusun atas lebih banyak basa
purin yang memiliki 2 cincin (Ngili, dkk., 2012). Meskipun secara
keseluruhan DNA mitokondria membentuk untai ganda, namun bagian
displacement loop (D-loop) 22 yang merupakan area non-coding
membentuk untai tiga, untai ketiga ini dikenal dengan 7S DNA
(Satiyarti, dkk., 2017). DNA mitokondria Gobiidae pada spesies
Sicyopterus japonicus diketahui berbentuk sirkular, untai ganda, dan
berukuran sekitar 16 kb. DNA mitokondria ini terdiri atas 16.514 bp,
dengan 13 gen pengkode protein, 2 rRNA, 22 tRNA, dan 1 non-coding
region yang terletak di antara tRNA (Pro) dan tRNA (Phe) dengan
panjang 843 bp (Chiang, et al., 2013).
Ada satu area melingkar tertutup dengan urutan nekleotida
lengkap dan satu wilayah non coding yang disebut Displacement loop
(D-loop) yang pada itik mempunyai ukuran 1.049 pb (GenBank:
HM010684.1). Molekul mtDNA terbagi atas dua untai, yaitu untai berat
atau heavy strand (H) yang banyak mengandung basa guanina dan untai
ringan atau light strand (L) yang mengandung basa guanina lebih
sedikit (Sharma et al. 2005; Hou et al. 2006).
Setiap genom DNA mitokondria terdiri atas daerah coding dan
noncoding. Daerah coding mengambil proporsi 90% dari total genom
sedangkan sisanya merupakan noncoding.
a. Daerah coding mengandung 37 gen penyandi yang terdiri atas 22
gen penyandi transfer RNA (rRNA), dua gen penyandi ribosomal
RNA (rRNA) dan 13 gen penyandi protein. Protein yang disandi
pada mtDNA terdiri atas tiga subunit sitokrom oksidase (sitokrom
oksidase I-III), tujuh sub unit NADH-dehidrogenase, dua sub unit
ATPase dan sitokrom-b (cyt-b). Proteinprotein tersebut terlibat
dalam transpor elektron dan reaksi fosforilasi oksidatif dari
mitokondria (Wibowo et al. 2010). Gen-gen tersebut umumnya
lebih banyak tersebar di untai berat.
b. Daerah noncoding terletak pada daerah intergenik COI/tRNA Tyr,
daerah intergenik COII/tRNA Lys, dan daerah kontrol atau disebut
juga dengan D-loop (Rogaev et al. 2006).

mtDNA memiliki beberapa perbedaan karakteristik dari DNA inti.


a. Pertama, mtDNA mengandung copy per sel lebih banyak
dibandingkan copy DNA inti, yaitu sekitar 1.000-10.000.
Karakteristik mtDNA ini sangat berguna jika jumlah DNA sampel
sangat terbatas, seperti pengambilan sampel-sampel pada kasus
kriminal seperti rambut, tulang, gigi, cairan tubuh (air liur, air mani
dan darah) (Morin et al. 2001; Tapio dan Grigaliunaite 2003;
Hoong dan Lex 2005; Pakendrof dan Stoneking 2005; Ratnayani
dkk. 2007).
b. Kedua, mtDNA tidak memiliki protein histon serta tidak memiliki
enzim untuk perbaikan kesalahan replikasi atau kerusakan DNA
sehingga lebih mudah terjadi mutasi. Laju mutasi yang tinggi
mengakibatkan mtDNA mampu mengakumulasi polimorfisme 5-10
kali lebih cepat dari DNA inti sehingga dapat menunjukkan variasi
yang tinggi pada berbagai level, baik antar individu maupun
populasi (Ratnayani dkk. 2007). Mutasi yang terjadi umumnya
berupa mutasi basa, namun dapat pula berupa delesi atau insersi.
Laju mutasi yang tinggi disebabkan karena mtDNA rentan terhadap
peristiwa mutagenik serta produksi Radical Oxydative Species
(ROS) dari proses fosforilasi oksidatif di organel tersebut (Rose et
al. 2007).
c. Ketiga, mtDNA diwariskan secara maternal karena mitokondria
dari sel sperma tidak ikut menembus sel telur pada saat fertilisasi.
mtDNA yang diwariskan bukan merupakan hasil rekombinasi,
sehingga diversifikasi genetik hanya terjadi melalui mutasi. Setiap
individu pada garis keturunan induk yang sama akan mempunyai
tipe mtDNA yang identik. Pewarisan uniparental yang demikian
akan memudahkan mengungkap silsilah kekerabatan berdasarkan
garis keturunan maternal, tanpa harus dibaurkan dengan pengaruh
yang muncul akibat rekombinasi dan pewarisan biparental
(Pakendrof dan Stoneking 2005; Ratnayani et al. 2007; Galtier et
al. 2009).
Berikut ilustrasi dari DNA Mitokondria :

Iborra FJ, et al (2004)


DNA mitokondria mewakili unsur genomik yang paling
informatif untuk menguraikan asal usul ternak. Hingga kini, sekuens
mitokondria secara luas telah dipelajari pada sapi, babi, domba, kuda,
anjing, keledai, dan kambing. Studi identifikasi kambing domestik
menggunakan mtDNA menghasilkan sedikitnya empat garis keturunan
utama (Chen et al. 2005). Garis keturunan A adalah yang paling
berbeda dan secara luas penyebarannya ke semua benua. Garis
keturunan B dari timur dan Asia Selatan, mencakup Mongolia, Laos,
Malaysia, Pakistan, dan India. Garis keturunan C dengan frekuensi
rendah di Mongolia, Switzerland, Slovenia, Pakistan, dan India. Garis
keturunan D jarang dan hanya diamati di Pakistan dan kambing lokal
India (Chen et al. 2005). Selain itu analisis mtDNA juga telah
dilakukan pada Egretta garzetta (kuntul kecil) yang memiliki ukuran
17.361 bp serta menganalisis kekerabatan antara Egretta garzetta
dengan spesies lain dari famili Ardeidae (Zou et al. 2015).
2. DNA Mitokondria Non Kaninik
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin jelas bahwa selain dengan
gen "formal", mtDNA dapat menyandikan frame pembacaan terbuka
pendek (ORFs) yang dapat diterjemahkan menjadi peptida dengan
fungsi biologis yang penting. Peptida pertama semacam itu, humanin,
diidentifikasi 14 tahun lalu di layar fungsional yang tidak bias untuk
klon yang melindungi sel-sel saraf dari kematian yang disebabkan oleh
mutan amiloid prekursor protein (APP), yang berhubungan dengan
penyakit Alzheimer familial onset dini (Y. Hashimoto,2001). Humanin
dikodekan oleh ORF 75 bp dalam gen untuk 16S rRNA, dan secara
terpisah diisolasi dalam layar dua-hibrida ragi sebagai pasangan insulin-
like protein-3 growth factor-binding (seperti IGFBP-3). Humanin sejak
itu telah terbukti memberikan efek sitoprotektif terhadap tidak hanya
aplikasi mutan, tetapi juga terhadap kematian sel saraf yang disebabkan
oleh rangsangan lain seperti presenilin mutan 1 dan 2, peptida Aβ
sitotoksik, Aβ1-42, Aβ1-43, dan Aβ25-35. Itu juga terbukti melindungi
IGFBP-3 diinduksi apoptosis. ORF pendek lain yang menyandikan
kerangka pembacaan terbuka mitokondria peptida 16 aminoacid-long
6S rRNA-c (MOTS-c) baru-baru ini ditemukan dalam gen untuk
mitokondria 12S rRNA. Peptida ini menargetkan otot rangka, dan
selulernya tindakan menghambat siklus folat dan biosintesis purin de
novo, memimpin untuk aktivasi protein kinase yang diaktifkan-AMP.
Perawatan MOTS-c pada tikus dicegah insulin yang tergantung pada
usia dan diet tinggi lemak resistensi, serta obesitas yang disebabkan
oleh diet (I.N Shokolenkon (2015)).

3. Organisasi mtDNA
mtDNA dalam mitokondria diatur ke dalam struktur kompak yang
disebut nukleoid. Nukleoida dapat divisualisasikan dengan melabeli
berbagai DNA noda, termasuk antibodi anti-DNA, BrdU, atau
interkalator fluoresen, seperti DAPI dan Pico Green diikuti oleh
mikroskop. Oleh karena itu, jumlah nukleoid yang terdeteksi per sel
(dan dengan demikian, perkiraan jumlah molekul mtDNA per nukleoid)
tergantung pada sifat-sifatnya dari sistem optik yang digunakan, seperti
resolusi optik dan rasio signal-tonoise. Ini mungkin menjelaskan
mengapa nilai untuk konten mtDNA dari nucleoid sangat bervariasi
dalam literatur. Estimasi terendah yang dilaporkan 1,45. Molekul
mtDNA per nukleoid, diperoleh dengan bantuan yang paling banyak.
teknik mikroskop canggih (Kukat, et al (2011)), Kerapatan pengemasan
DNA dalam nukleoid mitokondria lebih besar dari itu dalam nukleoid
Escherichia coli atau nukleus manusia, dan sebanding untuk kerapatan
kemasan dalam papillomavirus capsid. Ini tinggi tingkat pemadatan
dicapai dengan bantuan mitokondria transcription factor A (TFAM),
kotak DNA mobilitas kelompok tinggi (HMG) mengikat protein dengan
fungsi dalam kemasan mtDNA, replikasi dan transkripsi. Protein ini
mengikat mtDNA dengan tapak 23 bp atau 30 bp , dan hadir dalam
mitokondria dengan molar 1000 kali lipat sehubungan dengan molekul
mtDNA, yang cukup untuk lengkap lapisan mtDNA. TFAM dapat
mengikat mtDNA secara khusus, di Promotor H-strand 1 (HSP1) dan
promotor L-strand (LSP) untuk memfasilitasi transkripsi dan replikasi,
dan non-spesifik, seluruh genom mitokondria, untuk menginduksi
pemadatan mtDNA. pemadatan mtDNA oleh TFAM tergantung pada
dimerisasi TFAM, yaitu dimediasi oleh domain HMGA (H.B.Ngo
(2014)). Setelah spesifik dan tidak spesifik mengikat, TFAM
memaksakan putar balik tajam pada mtDNA substratnya, yang sangat
penting untuk transkripsi dan pengemasan. Menariknya,
TFAM mitokondria sebagian besar terikat DNA. Pelepasan TFAM dari
kompleks dengan mtDNA dimediasi oleh fosforilasi pada Ser55 dan
Ser56 oleh PKA diikuti oleh degradasi yang dimediasi Lon.

4. mtDNA Transkripsi
a. Inisiasi
Transkripsi berlangsung pada ketiga promoter yang terletak di
H-strand dan L-strand. Enhancer yang tersusun atas sekuen DNA
pendek diketahui menstimulasi terjadinya transkripsi dengan
mengikat mitochondrial transcription factor A (mtTFA),
selanjutnya mtTFA mengikat mitochondrial RNA polymerase
untuk memulai transkripsi. Initiation transcription H1 (ITH1)
memulai transkripsi H-strand dan berakhir pada ujung 3’ 16S
rRNA, sedangkan ITH2 mentranskripsi seluruh Hstrand dan
menghasilkan mRNA polisistronik. Pada L-strand, ITL memulai
transkripsi dengan arah yang berlawanan dengan H-strand dan
menghasilkan mRNA sekaligus primer replikasi H-strand. Untai
RNA yang terbentuk dari titik ITL mengalami transisi dari RNA
menjadi DNA pada area conserve sequence block (CSB) I, II, dan
III. Untai DNA pendek ini mengalami terminasi pada
terminationassociated sequence (TAS) dan menjadi untai ketiga D-
loop yang dikenal dengan 7S DNA (Taanman, 1999).

Mekanisme transkripsi pada mtDNA (S.Peralta (2012))

Meskipun ada gambaran yang cukup rinci tentang unsur-


unsur cis-akting yang terlibat dalam transkripsi mtDNA,
pengetahuan tentang faktor-faktor yang dikodekan-trans-akting
nuklir masih belum lengkap. Fraksionasi biofisik ekstrak
transkripsi mitokondria manusia telah mengungkapkan persyaratan
setidaknya dua protein trans-acting: inti RNA polimerase inti yang
relatif tidak selektif dan faktor transkripsi yang dapat dipisahkan
yang memberikan selektivitas promotor pada polimerase. Enzim
inti diharapkan untuk berinteraksi dengan HSP dan LSP karena
mutasi dalam domain ini melenyapkan bahkan tingkat transkripsi
terendah. RNA polimerase mitokondria belum dimurnikan menjadi
homogenitas. Namun demikian, cDNA manusia yang menentukan
RNA polimerase mitokondria baru-baru ini diidentifikasi dengan
menyaring database tag urutan yang diekspresikan (EST) dengan
urutan ragi. Menariknya, setengah terminal-C dari polipeptida yang
diprediksi memiliki identitas asam amino yang signifikan dengan
RNA polimerase subunit tunggal bakteriofag T3, T7 dan SP6
(S.Peralta,2012).
Faktor transkripsi terdisosiasi manusia yang bekerja bersama
dengan inti mitokondria RNA polimerase telah dimurnikan,
cDNA-nya telah dikloning dan diurutkan dan gennya telah
dikarakterisasi. Faktornya, sekarang disebut mtTFA , adalah
protein mitokondria 25-kDa yang melimpah dan sebagian besar
terdiri dari dua domain kelompok mobilitas tinggi (HMG) yang
dipisahkan oleh penghubung residu asam 27-amino dan diikuti
oleh residu asam 25-asam amino dasar C-terminal tail. Domain
HMG dianggap terlibat dalam pengikatan DNA dan ditemukan
dalam keluarga protein yang agak beragam yang anggotanya
terlibat dalam proses seperti peningkatan transkripsi dan
pengemasan kromatin. Analisis mutasi mtTFA manusia telah
menunjukkan bahwa ekor C-terminalnya penting untuk pengenalan
DNA spesifik dan sangat penting untuk mensponsori inisiasi
transkripsi tingkat tinggi . Setelah melewati proses transkripsi,
transkrip primer mengalami proses pasca transkripsi. tRNA
dipisahkan dari untaian transkrip dengan bantuan enzim mtRNase
yang memotong ujung 5’ dan endonuklease yang memotong ujung
3’. Selanjutnya ujung 3’ ditambahkan sekuen CCA oleh ATP/CTP
yang dikatalisis oleh tRNA nucleotidyltransferase. Adapun mRNA
mengalami poliadenilasi oleh mitochondrial poly (A) polymerase
tanpa signal poliadenilasi seperti mRNA nukleus. Sedangkan
rRNA ditambahkan sekuen pendek adenin pada ujung 3’
(Taanman, 1999).

b. Elongasi dan Terminasi


Setelah diinisiasi di LSP, L-strand ditranskripsi sebagai
RNA prekursor polycistronic tunggal, yang mencakup sebagian
besar, jika tidak semua, informasi genetik berpotensi dikodekan
pada untai. Meskipun HSP dapat mengarahkan transkripsi seluruh
untaian-H dengan cara yang serupa, model yang lebih rumit telah
didalilkan oleh Attardi dan rekan. Dalam sel HeLa yang tumbuh
secara eksponensial, rRNA disintesis pada tingkat yang jauh lebih
tinggi daripada mRNA individu yang dikodekan pada untaian-H.
Menurut model transkripsi H-strand ganda, transkripsi mulai relatif
sering di ITH1 dan kemudian berakhir di ujung hilir gen 16S
rRNA. Proses transkripsi ini bertanggung jawab untuk sintesis
sebagian besar kedua spesies rRNA. Sebaliknya, transkripsi yang
dimulai pada ITH2 lebih jarang tetapi menghasilkan molekul
polikistronik yang sesuai dengan hampir seluruh untaian-H,
menghasilkan semua mRNA dan sebagian besar tRNA yang
dikodekan pada untaian-H. Bukti untuk dua unit transkripsi yang
dikendalikan secara independen dan tumpang tindih didukung oleh
pengamatan, baik in vivo dan di mitokondria terisolasi, dari dua
jenis transkrip gen ribosom dengan sifat kinetik yang berbeda.
Konsisten dengan model ini, kelompok Attardi menemukan bahwa
laju transkripsi relatif rRNA dan mRNA dapat dimodulasi secara
independen oleh senyawa ethidium bromide dan oleh ATP.
Ethidium bromide yang baru-baru ini diamati dan modifikasi yang
bergantung pada ATP pada jejak protein-DNA hulu ITH1, yang
dapat dikorelasikan dengan perubahan laju sintesis rRNA tetapi
bukan sintesis mRNA, dan indikasi situs interaksi protein-DNA di
hulu ITH2 telah memberikan kepercayaan lebih lanjut kepada
model. Namun demikian, sulit untuk membayangkan bagaimana
dua peristiwa inisiasi yang terjadi kurang dari 100 bp terpisah
dapat menentukan nasib sintesis RNA di ujung distal gen 16S
rRNA, lebih dari 2500 nukleotida di hilir (Taanman, 1999).
Selain model transkripsi dual-strand H, perbedaan dalam
tingkat sintesis rRNA dan mRNA telah dijelaskan oleh peristiwa
pelemahan di perbatasan gen 16S rRNA dan tRNALeu (UUR).
Indikasi pertama penghentian awal transkrip H-strand polycistronic
berasal dari analisis struktural 3′-ujung molekul 16S rRNA yang
mengungkapkan bahwa sebagian besar molekul telah merobek 3′-
termini yang dikodekan oleh yang berbatasan langsung. gen untuk
tRNALeu (UUR). Hal ini menunjukkan bahwa spesies 16S rRNA
dewasa dihasilkan oleh terminasi transkrip yang tidak tepat pada
gen tRNALeu (UUR) serta oleh pembelahan endonukleolitik
akurat dari RNA prekursor yang lebih lama. Kemudian, sebuah
fraksi protein kasar diisolasi dari lisat mitokondria sel HeLa yang,
dalam studi tapak DNase I, melindungi daerah di hilir wilayah
mtDNA yang sesuai dengan in vivo menghasilkan 3′ ujung 16S
rRNA molekul dan mempromosikan penghentian spesifik
transkripsi (S.Peralta,2012).
Faktor mediasi redaman transkripsi telah disebut mTERF
atau mtTERM dan diketahui menginduksi pembengkokan heliks
DNA. MtTERM terikat mungkin menghentikan pemanjangan
transkripsi dengan membentuk penghalang fisik, bukan oleh
interaksi spesifik dengan mitokondria RNA polimerase, karena
mtTERM juga memediasi penghentian transkripsi oleh RNA
polimerase heterolog.CDNA dari polipeptida dominan dari fraksi
ini baru-baru ini dikloning dan diurutkan. Polipeptida mengandung
dua daerah dasar yang terpisah secara luas dan tiga motif ritsleting
leusin yang terbukti diperlukan untuk kapasitas pengikatan DNA
spesifiknya. Jejak yang dihasilkan oleh protein rekombinan serupa
tetapi tidak identik dengan yang dihasilkan oleh fraksi polipeptida
34-kDa.

5. Primary Transkripsi
Setelah RNA polimerase melewati batas 16S rRNA / tRNALeu
(UUR), transkripsi H-strand tampaknya mudah. Karena tidak ada urutan
intron hadir dalam mtDNA vertebrata dan sekuens intergenetik minimal,
pemrosesan utusan polisistrik H-dan L-untai panjang dianggap sebagai
proses yang relatif sederhana, hanya membutuhkan beberapa enzim. Gen
untuk tRNA mengapit dua gen rRNA dan hampir setiap gen protein.
Organisasi genetik yang unik ini telah mengarah pada proposal bahwa
struktur sekunder dari urutan tRNA memberikan tanda baca dalam
membaca informasi mtDNA. Eksisi endonukleolitik yang tepat dari
tRNA dari transkrip yang baru lahir akan secara bersamaan menghasilkan
rRNA yang diproses dengan benar dan, dalam banyak kasus, mRNA
yang diproses dengan benar (Taanman, 1999).
Pematangan tRNA mitokondria melibatkan tiga aktivitas enzimatik
yang baru-baru ini diidentifikasi oleh Rossmanith dan rekan dalam sistem
pemrosesan tRNA mitokondria sel HeLa in vitro. Eksperimen mereka
menunjukkan bahwa pembelahan pada ujung 5′ mendahului bahwa pada
ujung 3.. Endonuclease yang bertanggung jawab atas belahan 3′ belum
dikarakterisasi. Pembelahan pada ujung 5′ dilakukan oleh mitokondria
RNase P (mtRNase P). Enzim yang mengandung fraksi yang disiapkan
oleh Rossmanith dan rekan memotong prekursor tRNA mitokondria pada
ujung 5′ yang benar, tetapi, tidak seperti persiapan oleh yang lain jangan
membelah prekursor tRNATyr dari Escherichia coli dengan benar. Ini
menunjukkan bahwa preparasi sebelumnya terkontaminasi dengan
isoform sitosolik RNase P yang tampaknya mampu secara akurat
memproses prekursor tRNA bakteri. Yeast mtRNase P telah
dikarakterisasi secara rinci. Enzim Saccharomyces cerevisiae terdiri dari
protein berkode nuklir dan spesies RNA yang dikodekan mtDNA. Bagian
RNA dari kompleks ribonucleoprotein kaya akan AU dan membentuk
inti katalitik enzim. Perbandingan mtRNase P RNA dari spesies ragi
yang berbeda telah mengungkapkan variasi ukuran yang luar biasa dari
490 hingga 140 nukleotida (S.Z. Deluca, 2012).
Pematangan tRNA yang dieksisi diselesaikan dengan penambahan
urutan CCA ke ujung 3 end yang dikatalisis oleh ATP (CTP): tRNA
nucleotidyltransferase . MRNA mitokondria dipoladenilasi oleh
mitokondria poli (A) polimerase selama atau segera setelah pembelahan
sedangkan 3′ ujung kedua rRNA dimodifikasi secara transkripsi dengan
penambahan hanya adenil pendek Utusan mitokondria tidak membawa
sinyal polyadenylation hulu seperti yang ditemukan pada utusan nuklir
(Taanman,1999).

6. mtDNA Translasi (Tahapan Inisiasi dan Elongasi)


Perangkat translasi mitokondria unik dalam banyak hal. Seperti
disebutkan sebelumnya, spesies rRNA dan tRNA secara mengejutkan
kecil. Awal proses penerjemahan menarik karena mRNA mitokondria
mamalia tidak memiliki urutan pemimpin hulu untuk memfasilitasi
pengikatan ribosom, tidak seperti pembawa pesan sitosolik prokariotik
dan eukariotik, tetapi mulai pada atau sangat dekat ujung 5′ dengan
kodon untuk memulai N-formylmethionine. Selain itu, 5-termini
mRNA mitokondria tidak memiliki struktur kap 7-metilguanylate. Ini
tidak termasuk cap cap dan mekanisme pemindaian untuk mengarahkan
ribosom ke kodon inisiasi seperti yang diamati dalam sitosol sel
eukariotik. Efisiensi translasi yang rendah dari utusan mitokondria
sebenarnya mungkin merupakan akibat dari tidak adanya situs
pengenalan ribosom 5-ujung dan mengharuskan kelimpahan yang
diamati dari utusan mitokondria, untuk memastikan bahwa tingkat yang
cukup dari terjemahan terjadi.
Eksperimen in vitro dengan bovine mitoribosomes telah
menunjukkan bahwa subunit ribosom kecil (28S) memiliki kemampuan
untuk mengikat mRNA dengan erat dalam urutan-independen dan
dalam ketiadaan faktor inisiasi tambahan atau inisiator tRNA, tidak
seperti prokariotik dan sistem sitosol eukariotik. Dilihat dari ukuran
fragmen RNA yang dilindungi dari pencernaan RNase T1, interaksi
utama antara subunit kecil dan kurir terjadi pada rentang 30-80-
nukleotida, tetapi nucle400 nukleotida minimal diperlukan untuk
pengikatan yang efisien. Setelah mengikat subunit ribosom kecil ke
kurir, subunit diasumsikan bergerak ke ujung 5-mRNA yang dimediasi
oleh faktor inisiasi tambahan yang belum ditentukan. Satu-satunya
faktor inisiasi yang diidentifikasi dalam mitokondria mamalia sampai
saat ini adalah mtIF-2. CDNA untuk sapi dan manusia mtIF-2 telah
dikloning dan diurutkan. Faktor manusia menunjukkan 36% identitas
asam amino dengan E. coli IF-2. Faktor protein monomerik ini milik
keluarga GTPase dan mempromosikan ikatan fMet-tRNA ke subunit
ribosom kecil di hadapan GTP dan templat, yang mengingatkan pada
faktor bakteri IF-2. Karakterisasi in vitro terperinci dari bovine mtIF-
telah mengindikasikan bahwa mtIF-2 dapat berikatan dengan subunit
ribosom kecil sebelum interaksinya dengan GTP, namun, GTP
meningkatkan afinitas antara mtIF-2 dan subunit kecil. dan
memungkinkan fMet-tRNA untuk bergabung dengan kompleks.
Hidrolisis GTP diperkirakan memfasilitasi pelepasan mtIF-2 dan
hubungan yang bersamaan dari subunit ribosom besar (39S) untuk
membentuk kompleks inisiasi 55S. Analog GTP yang tidak terhidrolisa
masih dapat meningkatkan pembentukan kompleks inisiasi, yang
menunjukkan bahwa hidrolisis GTP tidak sepenuhnya diperlukan untuk
subunit yang bergabung (S.Peralta,2012).
Tiga faktor pemanjangan mitokondria, mtEF-Tu, mtEF-Ts dan
mtEF-G, telah dimurnikan dari hati sapi. CDNA untuk ketiga faktor
telah dikloning dan diurutkan dari sumber mamalia dan gen untuk
manusia mtEF-Tu telah dipetakan ke kromosom 16q11.2. Karakterisasi
in vitro dari faktor-faktor yang dimurnikan dan informasi urutan cDNA
telah mengungkapkan kesamaan yang mencolok dengan faktor
prokariotik yang sesuai. Akibatnya, perpanjangan polipeptida
mitokondria yang baru lahir diasumsikan berjalan dengan cara yang
sama seperti pada E. coli. Berbeda dari E. coli EF-Tu dan EF-Ts,
mtalian mtEF-Tu dan mtEF-Ts membentuk kompleks yang terkait erat,
yang tidak seperti kompleks bakteri, tidak dapat dengan mudah
dipisahkan oleh nukleotida guanidin saja. Namun, baru-baru ini
ditunjukkan bahwa kompleks mtEF-Tu-Ts akan berdisosiasi dengan
adanya GTP dan mengisi tRNA (Taanman,1999).
7. mt DNA Replikasi
Asal usul replikasi untai-H (OH) terletak di hilir LSP di wilayah
D-loop genom, sedangkan asal replikasi untai-L (untai-untai) (OL)
berada pada dua pertiga dari jarak genomik dari OH dengan
sehubungan dengan polaritas sintesis untai-H. Putaran replikasi dimulai
pada OH dengan sintesis anak-untai H dan berlanjut sepanjang untai-
induk L untuk menghasilkan lingkaran untai-H penuh. Hanya setelah
garpu replikasi telah melewati asal replikasi kedua, OL, adalah sintesis
dari untai-L yang dimulai yang menghasilkan arah yang berlawanan
dengan replikasi untai-H (I.N. Shokolenko, 2015).
a. Inisiasi sintesis untai-H
Pemetaan halus spesies RNA dan DNA di wilayah D-loop
mtDNA manusia dan tikus telah menyarankan bahwa transkrip
mitokondria pendek, yang berasal dari ITL, berfungsi sebagai
primer untuk inisiasi sintesis untaian H yang baru lahir. Dengan
demikian, replikasi mtalian mamalia tampaknya terkait erat dengan
transkripsi mitokondria. Tidak ada perbedaan yang diketahui antara
inisiasi transkripsi L-strand dan inisiasi pembentukan primer RNA
untuk replikasi mtDNA [36] dan tidak jelas mekanisme mana yang
memutuskan antara pemanjangan transkrip atau sintesis H-strand.
Transisi dari RNA ke sintesis DNA berlangsung di beberapa lokasi
berbeda yang secara kolektif membentuk OH di wilayah tiga blok
sekuens yang dilestarikan secara evolusioner, bernama CSB I, II
dan III (K.Agaronyan, et al., 2015).
Karena primer RNA prekursor melampaui situs transisi RNA
ke sintesis DNA, transkrip primer diyakini diproses secara
enzimatik untuk menghasilkan primer matang RNA 3′-termini.
Karena lokasinya, telah berspekulasi bahwa CSB I, II dan III
mengarahkan pembelahan transkrip primer yang tepat untuk
menyediakan spesies primer yang tepat [36]. Studi transkripsi in
vitro terbaru dari wilayah OH dengan fraksi RNA polimerase
mitokondria [148] menunjukkan bahwa primer RNA prekursor ada
sebagai hibrida RNA-DNA yang stabil dan persisten juga dikenal
sebagai R-loop. Pembentukan hibrida membutuhkan elemen CSB
II dan juga dipengaruhi oleh mutasi pada CSB III.
Lokasi nukleolar dominan enzim telah menyebabkan
kontroversi mengenai fungsi mitokondria. Namun, percobaan
hibridisasi in situ ultrastruktural baru-baru ini menunjukkan
lokalisasi preferensi RNase MRP RNA ke nukleolus serta
mitokondria dibandingkan dengan nukleoplasma dan sitosol,
konsisten dengan peran ganda MRP RNase dalam pematangan
rRNA nuklir dan primer RNA mitokondria. . Analisis mull Null
gen RNase MRP RNA di S. cerevisiae menunjukkan bahwa gen
sangat penting untuk kelangsungan hidup seluler, setuju dengan
fungsi nuklir dari faktor tersebut. Bukti genetik yang
menghubungkan RNase MRP dengan biogenesis mitokondria baru-
baru ini diberikan oleh strain Schizosaccharomyces pombe dengan
mutasi dominan fungsional pada gen RNase MRP RNA-nya. Strain
terbukti membutuhkan mitokondria terkait, mutasi nuklir ptp-1
untuk kelangsungan hidup. Nuklease lain yang terlibat dalam
pemrosesan primer RNA prekursor untuk replikasi untai H adalah
endonuklease G (Taanman,1999). Enzim ini pertama kali diisolasi
dari mitokondria jantung bovine sebagai homodimer polipeptida
a29 kDa dan sekuens cDNA yang menentukan endonuklease G
dari beberapa spesies mamalia, termasuk manusia, baru-baru ini
dilaporkan. Lokasi mitokondria endonuklease G tidak perlu
dipersoalkan tetapi enzim juga ditemukan dalam nucleus. Pada
vertebrata, sebagian besar peristiwa sintesis untai H berhenti segera
setelah inisiasi. Untaian H-helai yang baru lahir tetap anil ke
templat L-untai dan membuat struktur D-loop tripleks. 3′-ujung
peta H-helai terminasi dini ∼50 nukleotida di hilir dari elemen
sekuens yang dikonservasi (15 bp) pendek, yang disebut sekuen
terkait-terminasi. Jumlah elemen TAS dan situs terminasi H-strand
bervariasi per spesies. Genom mitokondria manusia hanya
mengandung elemen TAS tunggal dan hanya ada satu situs
terminasi H-strand utama, dengan dua pemetaan situs terminasi
kecil yang berbatasan langsung dengan situs utama (J. Miralles
Fuste, et al., 2014). Mekanisme yang menentukan apakah untai-H
yang baru lahir berakhir di bagian hilir elemen TAS atau
memanjang pada seluruh panjang genom tidak diketahui tetapi
kemungkinan menjadi pengatur utama dari nomor salinan mtDNA
dalam sel.

b. Inisiasi sintesis L-strand

Replikasi pada mtDNA (Brown, et al., 2005)

Asal replikasi OL pertama-tama diidentifikasi pada tikus dan


kemudian pada mtDNA manusia dengan pemetaan 5 end-akhir dari
L-strands in vivo yang baru lahir. Asalnya terletak di daerah non-
coding ∼30 nukleotida dan diapit oleh lima gen tRNA. OL hanya
diaktifkan ketika helai H-induk dipindahkan sebagai untai tunggal
oleh helai-H yang sedang tumbuh. Setelah perpindahan strand, OL
dianggap mengadopsi struktur batang-loop yang khas. Studi
replikasi run-off in vitro dari OL telah menyarankan bahwa
konfigurasi ini berfungsi sebagai struktur pengenalan untuk mitase
DNA primokondria yang menyediakan primer RNA pendek untuk
sintesis L-strand. Namun, lokasi OL dalam sekelompok gen tRNA
dan fakta bahwa struktur batang-loop potensial mungkin tidak ada
dalam mtDNA dari beberapa spesies vertebrata menunjukkan
bahwa struktur sekunder tambahan berkontribusi pada pengenalan
primase DNA in vivo (Fuste, J.Miralles, et al., 2014).
Priming RNA dimulai pada bagian T-kaya dari OL-loop yang
diprediksi dan transisi dari RNA ke sintesis DNA berlangsung di
lokasi spesifik dekat elemen kaya GC yang kritis di dasar jepit
rambut. Primase DNA mitokondria yang terlibat dalam priming
sintesis L-strand hanya sebagian dimurnikan . Sifat fisik dari enzim
mitokondria berbeda dari primase DNA inti utama. Mitokondria
DNA primase dikaitkan dengan RNA. Pengobatan dengan
ribonuklease A menyebabkan inaktivasi aktivitas primase yang
cepat dan menunjukkan peran penting untuk RNA terkait. Bagian
RNA dominan co-fractioning dengan aktivitas primase adalah
produk gen nuklir 5.8S rRNA [173]. Namun, karena hanya fraksi
kasar dari DNA mitokondria primase yang telah dianalisis, ko-
fraksinasi 5,8S rRNA mungkin merupakan hasil dari kontaminasi
adventif.

D. Diabetes Melitus
1. Pengertian
Penyakit diabetes mellitus merupakan salah satu gangguan
metabolik pada metabolisme karbohidrat, yakni kondisi glukosa yang
kurang dimanfaatkan dan menyebabkan hiperglikemia
(Balasubramanyam, 2006). Glukosa adalah unit satuan karbohidrat
terkecil digunakan untuk membentuk energi. Kusuma (2008), jika
glukosa berlebihan dalam tubuh maka gula darah dapat diubah
menjadi glikogen dalam bentuk cadangan di hepar, otot dan organ
lainnya. Jika proses tersebut tidak berlangsung seimbang, maka
kelebihan glukosa dalam tubuh akan menimbulkan penyakit yang
dalam istilah medis dikenal dengan diabetes mellitus.
2. Gejala Diabetes Mellitus
Gejala klasik diabetes mellitus disebabkan oleh kelainan
metabolisme glukosa. Kurangnya aktivitas insulin menyebabkan
kegagalan pemindahan glukosa dari plasma ke dalam sel. Glukosa
yang diserap ketika makan tidak dimetabolisme dengan kecepatan
normal sehingga terkumpul di dalam darah (hiperglikemia) dan
diekskresi ke dalam urin (glikosuria) sehingga menyebabkan diuresis
osmotik dan berakibat peningkatan produksi urin (poliuria). Selain itu,
kelainan metabolisme glukosa sebagai akibat kurangnya aktifitas
insulin juga mengakibatkan kehilangan cairan dan merangsang pusat
rasa haus (polidipsia) Misnadiarly (2006). Misnadiarly (2006)
menambahkan, selain gejala-gejala di atas kadang penderita DM
mengalami gejala seperti kesemutan, kulit terasa panas, kram, mudah
mengantuk, gatal-gatal, mata kabur, gigi mudah goyah, berat badan
dan kemampuan seksual menurun.

3. Klasifikasi dan Kriteria Diabetes Mellitus


Balasubramanyam (2006) menyebutkan bahwa Amerikan
Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan DM sebagai berikut:
a. Diabetes mellitus tipe 1 (IDDM)
Tipe ini disebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga tubuh
kekurangan insulin atau tubuh sedikit menghasilkan insulin.
Penyebab IDDM juga karena suatu gangguan autoimun, dimana
sistem kekebalan tubuh melancarkan serangan pada sel-sel beta.
b. Diabetes mellitus tipe 2 (NIDDM)
Tipe ini disebabkan defisiensi insulin atau terjadi resistensi
insulin karena reseptor insulin pada jaringan adiposa viceral
berkurang atau strukturnya berubah sehingga tidak tanggap
terhadap insulin.
c. Diabetes kehamilan
DM kehamilan yaitu diabetes yang diderita oleh wanita
hamil. Penyakit ini umumnya terjadi pada trimester 3 dan akan
kembali normal sesudah hamil.

Di dalam laporan Expert Committee on the Diagnosis and


Classification of Diabetes Mellitus memodifikasi kriteria DM yang
berasal dari National Diabetes Data Group (NDDG) atau WHO
menjadi Balasubramanyam (2006) :
a. Kadar glukosa darah sewaktu (tidak puasa) adalah > atau =
11,1mmol/l ( > atau = 200 mg/dl),
b. Kadar glukosa darah pada saat puasa 8 jam adalah > atau = 126
mg/dl ( > atau = 7.0 mmol/l ),
c. Kadar glukosa darah 2 jam setelah dilakukan tes toleransi glukosa
adalah 75 gram > atau = 11,1 mmol/l ( > atau = 200 mg/dl).

4. Terapi
Bentuk usaha manusia bermacam-macam untuk
menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Misalnya berobat ke
dokter, minum ramuan herbal, dan mencoba berbagai macam
alternatif. Berikut ini ada beberapa alternatif dalam penyembuhan
penyakit DM.
a. Terapi Insulin
Menurut Ruslianti (2008), terapi insulin yang dianjurkan
adalah saat pagi hari sebelum sarapan, dua jam setelah makan,
dan malam hari sebelum tidur. Selain itu, diperlukan pula
pengukuran pada saat tertentu, misalnya pengukuran yang
lebih ketat jika terjadi hipoglikemi, saat sebelum olah raga, dan
pada kehamilan. Pengobatan diabetes bisa dikatakan berhasil
jika glukosa darah puasa adalah 80 sampai 109 mg/dl, kadar
glukosa darah dua jam adalah 80 sampai 144 mg/dl, dan kadar
HB A1c kurang dari tujuh persen. Pengukuran hemoglobin
(Hb) terglikosilasi HBA1c (A1c) adalah cara yang paling
akurat untuk menentukan tingkat ketinggian gula darah selama
dua sampai tiga bulan terakhir.
b. Terapi Obat Hipoglikemik (OHO)
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk
membantu penanganan pasien DM Tipe II. Berdasarkan cara
kerjanya OHO dibagi menjadi 3 golongan yaitu (Basuki,
2004):
1) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi
obat hipoglikemik oral golongan sulfonilureadan glinida
(meglitinidadan turunan fenilalanin).
2) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan
sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat
hipoglikemik golongan biguanidadan tiazolidindion, yang
dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara
lebih efektif.
3) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-
glukosidaseyang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan
umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-
prandial (post-meal hiperglycemia). Disebut juga “starch-
blocker”.
c. Pola Hidup
Pola hidup yang harus sesuai dengan pemenuhan
kebutuhan tubuh dapat dilakukan dengan makan yang seimbang
antara yang dikonsumsi dan yang digunakan oleh tubuh,
istirahat dan olahraga yang teratur. Makanan yang bergizi
diperlukan oleh tubuh, seperti nasi, ikan, sayur dan buah segar.
Mengkonsumsi nasi kebutuhan karbohidrat akan terpenuhi,
sedangkan ikan, sayur dan buah segar dapat bermanfaat untuk
kebutuhan lemak, vitamin dan protein yang diperlukan oleh
tubuh.
5. Patofisiologis
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau
keduanya dan meyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropati (Sukandar et al, 2009).
Tiga tipe utama dari diabetes adalah diabetes tipe 1, diabetes
tipe 2 dan diabetes gestasional yang terjadi ketika tubuh tidak cukup
memproduksi hormon insulin atau tidak dapat menggunakan insulin
secara efektif. Insulin bertindak sebagai kunci yang memungkinkan
sel-sel tubuh mengambil glukosa dan menggunakannya sebagai energi
(International Diabetes Federation, 2013). Orang dengan DM tipe 1
merupakan hasil dari proses autoimun dengan onset yang sangat
mendadak, membutuhkan terapi insulin untuk bertahan hidup.
Sebaliknya pada DM tipe 2 dapat tidak diketahui dan terdiagnosis
selama beberapa tahun. Diabetes gestasional adalah diabetes yang
terjadi selama kehamilan dapat menjadi resiko kesehatan yang serius
pada ibu dan janinnya dan meningkatkan resiko berkembangnya DM
tipe 2 dikemudian hari (International Diabetes Federation, 2013).
Kejadian DM tipe 2 bervariasi secara substansial dari satu wilayah
geografis ke yang lain, sebagai akibat dari faktor lingkungan dan
resiko gaya hidup. Diperkirakan bahwa prevalensi DM pada orang
dewasa dari jenis DM tipe 2 akan meningkat dalam dua dekade
berikutnya dan banyak dari kenaikan tersebut akan terjadi di negara
berkembang di mana sebagian besar pasien yang berusia antara 45 dan
64 tahun (Olokoba et al, 2012).
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh kombinasi lingkungan
dan faktor genetik yang terkait dengan gangguan sekresi insulin dan
resistensi insulin. Faktor-faktor seperti obesitas, makan yang
berlebihan, kurang olahraga, stres, serta penuaan. Hal ini biasanya
karena penyakit multifaktorial yang melibatkan beberapa gen dan
faktor lingkungan untuk berbagai taraf. Jumlah pasien diabetes yang
meningkat pesat mencerminkan perubahan gaya hidup. Barubaru ini,
sebuah Genomewide Association Study (GWAS) telah
mengidentifikasi terdapat mutasi pada gen KCNQ1 terkait kelainan
sekresi insulin yang berhubungan dengan patogenesis diabetes pada
kelompok etnis Asia (Kaku, 2010). Sekitar 25% pasien dengan DM
tipe 2 telah memiliki komplikasi mikrovaskuler di saat diagnosis yang
menunjukkan bahwa pasien telah memiliki penyakit ini selama lebih
dari 5 tahun pada saat diagnosis. Hal ini masih berdasarkan pada
pedoman American Diabetic Association (ADA) tahun 1997 atau
World Health Organization (WHO) National diabetic group criteria
tahun 2006, yang dibuat untuk pembacaan tunggal naiknya glukosa
dengan gejala (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan) dan nilai yang meningkat baik glukosa plasma puasa atau
fasting plasma glucose (FPG) >=7,0 mmol/L (126 mg/dL) ataupun
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO), dua jam setelah dosis oral
glukosa plasma dengan kadar >=11,1 mmol/L (200 mg/dL). Pada
tahun 1997 rekomendasi ADA untuk diagnosis DM fokus pada FPG,
sementara WHO berfokus pada oral glucose tolerence test (OGTT).
Hemoglobin terglikasi (HbA1c) dan fruktosamin juga masih berguna
untuk menentukan kontrol gula darah dari waktu ke waktu. Pada
bulan Juli 2009, International Expert Committee (IEC)
merekomendasikan kriteria diagnostik tambahan hasil HbA1c >=6,5%
untuk DM. Komite ini menyarankan bahwa penggunaan istilah pra-
diabetes dapat dihapus tetapi mengidentifikasi berbagai tingkat
HbA1c >=6,0% dan panjang kontrol glukosa darah. Sementara pasien
dalam tahap awal setelah onset penyakit menunjukkan peningkatan
glukosa darah posprandial sebagai hasil dari peningkatan resistensi
insulin dan penurunan sekresi fase awal, berkembanganya kerusakan
fungsi sel pankreas kemudian menyebabkan peningkatan glukosa
darah yang permanen (Kaku, 2010).

Wahyuni (2011)

Menurut (Hartwell, et.al., 2011), DNA mitokondria manusia juga


memiliki variasi kode genetik diantaranya:
Variasi kode genetik DNA mitokondria
Karakteristik Kode universal Kode DNA mitokondria
UGG Trp Trp
UGA Stop Trp
AGG Arg Stop
AGA Arg Stop
AUG Met Met
AUA Ile Met
DNA mitokondria digunakan secara luas pada studi genetika
populasi, identifikasi spesies, identifikasi penyakit, filogeni kedokteran
hewan, dan sebagainya (Wibowo, dkk., 2013). Beberapa keunggulan DNA
mitokondria sehingga cocok dijadikan sebagai penanda molekuler berskala
besar diantaranya genom DNA mitokondria dapat menghasilkan salinan
dalam jumlah yang besar dari berbagai metode ekstraksi, DNA mitokondria
memiliki tingkat mutasi yang tinggi sehingga memungkinkannnya menjadi
genom yang informatif terhadap pola dan proses evolusi (Hubert, et al.,
2008), paparan rekombinasi terbatas, pewarisannya dalam bentuk haploid
(Hebert, et al., 2003), pewarisan maternal efektif, replikasi kontinyu, dan
laju substitusi dalam DNA mitokondria 5 sampai 10 kali lebih besar
daripada salinan tunggal DNA nukleus (Kamarudin, et al., 2011).

E. Hubungan Diabete Melitus dengan mtDNA


Diabetes melitus (DM) dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit
gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar gula
darah yang dapat diakibatkan oleh kerja hormon insulin yang tidak
optimal (insufisiensi insulin). Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel - sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel - sel tubuh terhadap insulin (Alberti, 1998).
Diabetes mellitus dibagi menjadi dua jenis yaitu diabetes mellitus
tipe 1 dan 2, diabetes khusus lainnya, dan diabetes kehamilan. Diabetes
melitus Tipe-2 (DMT2) disebabkan oleh faktor pola gaya hidup dan
faktor genetik. Beberapa faktor pola gaya hidup diketahui
berpengaruh besar pada pembentukan DMT2. Diantaranya adalah
fisik yang tidak aktif bergerak, merokok dan konsumsi alkohol yang
berlebih. Penyakit diabetes melitus tipe-2 (DMT2) ada hubungannya
dengan mitokondria. Mitokondria berpengaruh dalam sekresi insulin
dari sel β pankreas. Sekresi insulin oleh sel β pankreas sangat
bergantung pada sintesis adenosin trifosfat (ATP) melalui fosforilasi
oksidatif mitokondria (Chinnery, 2007). Salah satu bentuk DM tipe 2
adalah disebabkan adanya disfungsi sekresi insulin, karena adanya
penghambatan dalam produksi ATP yang diperlukan dalam sekresi
insulin. Disfungsi tersebut berkaitan dengan Leu adanya mutasi pada gen
tRNA DNAmitokondria (mtDNA) dengan fenotipe Maternally Inherited
Diabetes and Deafness (MIDD) dan mutasi pada ekson 8 gen glukokinase
DNAinti (nDNA) dengan fenotip Matury Onset Diabetes of The Youth
(MODY2) (So et al., 2000; Maassen et al., 2004). Mutasi A menjadi G
pada posisi 3243 mtDNA telah diteliti sebagai mutasi kausal pada diabetes
turunan maternal dengan ketulian dan pada optalmoplegia eksternal MIDD
(Kirino et al., 2004). Mutasi tersebut menyebabkan struktur Leu tRNA
mengalami dimerisasi pada D-stem loop karena ada urutan GGGCCC.
Dimerisasi tersebut menghambat aktivitas Leusil-tRNA sintetase sampai
10 kali lipat, yang terjadi pada tahapan aktivasi tRNA dengan asam amino
leusin dalam biosintesis protein respirasi sehingga dapat menghambat
produksi ATP. Studi yang dilakukan terhadap sejumlah besar pasien
MIDD di Perancis, menyebutkan bahwa fenotip diabetes pada sindrom ini
agak berbeda dari fenotipe-fenotipe lainnya. Namun demikian obat
metformin untuk pasien DM tipe 2 fenotipe MIDD dan MODY 2 dapat
menyebabkan lactate acidosis dengan gejala sakit otot dan lemas serta
berkurangnya berat badan sehingga terapi insulin lebih tepat untuk
fenotipe ini (Guillausseau et al., 2001).
Beberapa penelitian telah menjelaskan hubungan mutasi DNA
pada mitokondria dengan penyakit DMT2 ini, yaitu pada daerah
gen tRNAleu, gen ATP6 dan ATP8. Karakteristik mutasi fenotip ini
adalah heteroplasmi, yang mana jumlah DNA mutan di dalam darah masih
relatif rendah. Oleh karena itu perlu dikembangkan metode yang tepat,
akurat dan relatif lebih murah sehingga dapat digunakan untuk keperluan
analisis. Beberapa penelitian yang telah dilakukan baik di Indonesia
maupun di negara lain melaporkan kesulitan mendeteksi mutasi
heteroplasmi mtDNA frekuensi rendah (5-10%) dan biasanya lebih rendah
lagi pada jaringan darah perifer (kurang dari 0,1%), sehingga sulit untuk
menentukan secara pasti apakah jaringan yang diteliti tidak memiliki
mutasi yang dimaksud atau akibat keterbatasan metode analisis yang
digunakan. Load of mutation pada jaringan berbeda menunjukkan adanya
perbedaan tingkat mutasi penelitian sebelumnya. Sel pada jaringan yang
diserang memiliki tingkat heteroplasmi paling tinggi (Shanske et al, 2004;
Zhaoxia et al., 2002; Narbonne et al., 2001). Daerah pada mtDNA yang
mengalami laju mutasi paling tinggi dan menjadi fokus studi dalam
pemeriksaan keterkaitan mutasi genetik dan berbagai jenis penyakit
adalah daeah D-loop (Palit, 2016).
Daerah D-loop merupakan Molekul mtDNA memiliki daerah
yang disebut displacement loop atau D- loop. Daerah D-loop mengandung
pangkal replikasi untai berat atau operant (O), promoter transkripsi untai
berat atau heavy stand (H), dan promoter tanskripsi untai ringan atau light
strand (L). Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah D-loop berperan
penting dalam replikasi dan transkripsi (Ruokonen 2001). Daerah D-loop
mengandung sekuens DNA yang paling bervariasi dari keseluruhan genom
mtDNA hewan. Hipervariabilitas tersebut disebabkan oleh laju mutasi yang
tinggi, yaitu sekitar 0,075-0,165 x 10 subtitusi/situs/tahun (Sumida et al.
2000). Daerah ini bersifat sangat polimorfik dan memiliki tiga daerah
hipervariabel yaitu Hipervariabel I (HVI), Hipervariabel II (HVII), dan
Hipervariabel III (HVIII) dengan urutan sangat bervariasi antar individu.
Daerah HVI terletak pada urutan nukleotida 57-372, sedangkan HVII
terletak pada nukleotida 438-594, dan HVIII terletak pada nukleotida
16.024-16.383. tiga daeah ini memiliki laju mutasi yang lebih tinggi dari
daerah coding. Laju mutasi sejauh ini diketahui 1:33 generasi, artinya
perubahan urutan nukleotida hanya akan terjadi setiap 33 generasi. Individu
yang terkait hubungan maternal akan memiliki urutan sekuen yang sama
dan yang tidak terkait hubungan maternal akan berbeda. Daerah HVI, HVII,
dan HVIII terletak di daerah kontrol, yang juga bertanggung jawab terhadap
replikasi dan transkripisi mtDNA. Daerah kontrol yang terletak antar gen
tRNA yang masing-masing mengkode asam amino prolin dan fenilalanin
(Hoong dan Lex 2005). Oleh karena itu, daerah ini sering dianalisis dan
sangat penting untuk digunakan dalam proses identifikasi individu.

I.N. Shokolenko (2015)


D-Loop yang merupakan bagian dari mtDNA yang memiliki dua
daerah dengan laju mutasi dan tingkat polimorfisme paling tinggi, yaitu
daerah Hipervariabel I (HVI) dan Hipervariabel II (HVII) . Tingginya
laju mutasi mtDNA disebabkan karena DNA polymerase γ yang
digunakan pada proses replikasi mtDNA tidak memiliki proffreading
yang dapat mengoreksi kesalahan -kesalahan selama proses replikasi.
Laju mutasi mtDNA 5 - 10 kali lebih tinggi dibanding laju mutasi
DNA inti (nDNA) (Palit, 2016).
Mutasi titik A3243G pada gen tRNA terjadi pada sisi pengikatan
DNA mitokondria untuk protein promotor terminasi transkripsi pada batas
antara RNA ribosom 16S dan gen tRNALeu. Mutasi ini tidak hanya
mempengaruhi sintesis dari tRNALeu tetapi juga menggangu mekanisme
pengikatan faktor terminasi transkripsi, yang dapat menyebabkan
terganggunya sintesis dari protein-protein mitokondria (Kadowaki et al.,
1994). Dan masih banyak lagi diperkirakan sejumlah di atas 70 mutasi
noktah. Mutasi G3316A dan T3394C telah ditemukan dalam frekuensi yang
cukup tinggi pada populasi, sehingga digolongkan sebagai SNP (Pranoto.,
2005). Dengan adanya bukti bahwa DM merupakan penyakit poligenik,
maka penelitian genetik bisa bertitik tolak dari defek mtDNA. Penelitian
gen poligenik bisa menjurus pada kombinasi antara gen kandidat dari DNA
inti dan/atau gen mtDNA. Wawasan penelitian poligenik dengan basis gen
mtDNA sebagai titik tolak penemuan gen poligenik yang mendasari DM
merupakan lahan penelitian yang belum terbuka dan mempunyai potensi
untuk mengungkap lebih lanjut patomekanisme DM yang kompleks dan
yang sebagian besar masih belum diketahui (Pranoto, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown, T.A., Cecconi, C., Tkachuk, A.N., Bustamante, C., Clayton, D.A.
“Replication of Mitochondrial DNA Occurs by Strand Displacement with
Alternative Light-Strand Origins, not Via a Strand-Coupled Mechanism”.
Genes Dev. 19 (2005): 2466-2476.

2. Taanman, J. “Review: The Mitochondrial Genome; Structure, Transcription,


Translation and Replication”. Biochimica et Biophysica Acta (1999): 103-
123.

3. Cooper, G.M. and R. E. Hausman. 2007. An overview of cells and cell


research. In The cell: A molecular Approach (4th Edition). Washington D.C.
ASM Press, pp 3-42.

4. Wallace, D.C. et al. (1997). "Ancient mtDNA Sequences in the Human


Nuclear Genome: A Potential Source of Errors in Identifying Pathogenic
Mutations". Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95, 14900-14905.

5. T. Yasukawa, A. Reyes, T.J. Cluett, M.Y. Yang, M. Bowmaker, H.T. Jacobs,


I.J. Holt, Replication of vertebrate mitochondrial DNA entails transient
ribonucleotide incorporation throughout the lagging strand, EMBO J. 25
(2006) 5358–5371.

6. J. Miralles Fuste, Y. Shi, S. Wanrooij, X. Zhu, E. Jemt, O. Persson, N.


Sabouri, C.M. Gustafsson, M. Falkenberg, In vivo occupancy of
mitochondrial single-stranded DNA binding protein supports the strand
displacement mode of DNA replication, PLoS Genet. 10 (2014) e1004832.

7. S.Z. DeLuca, P.H. O'Farrell, Barriers to male transmission of mitochondrial


DNA in sperm development, Dev. Cell 22 (2012) 660–668.

8. American Diabetes Association (ADA) (2015). Diagnosis and classification


of diabetes mellitus. American Diabetes Care, Vol.38, pp: 8-16.

9. Wahyuni, E. 2011. Pengaruh Pemberian Folat Terhadap Kadar


Homosistein Serum dan Malondialdehid Plasma Studi Eksperimental pada
Tikus Sprague Dawley yang Diinduksi Streptozotocin.
http://eprints.undip.ac.id/ 29184/.

10. Pranoto, A. 2005. The Association of Mitochondrial DNA mutation G3316A


and T3394C with Diabetes mellitus. Folia Medica Indonesia. Vol.41 No 1

11. DeFronzo RA, Bonadonna RC, Ferrannini E, 1997. Pathogenesis of NIDDM.


In : Internasional Texbook of Diabetes Mellitus. Editors : Albert KGMM,
Zimmet P, DeFronzo, Keen H. Volume I. 2th edition. John Wiley & Sons.
Chichestor, 1997, p.635
12. Kumar, V., Abbas, A.K.., Aster, J.C., 2015. Buku Ajar Patologi Robbins
Edisi 9, Elsevier Saunders, Singapura.

13. Gerbitz KD, Gempel K, Brdiczka D.1996. Mitochondrial and Diabetes


Genetic, biochemical and clinical Implications of the cellular energy unit.
Diabetes 45: 13-126.

14. Kadowaki, T., Kadowaki, H., Mori, Y., Tobe, K., Sakuta, R., Suzuki, Y.,
Tanabe, Y., Sakura, H., Awata, T., Goto, Y., Hayakawa, T., Matsuoka, K.,
Kawamori, R., Kamada, T., Horai, S., Nonaka, I., Hagura, R., Akanuma, Y.,
Yazaki, Y. 1994. A subtype of diabetes mellitus associated with a mutation of
mitochondrial DNA. NEJM. 330: 962-968.

15. Pranoto, A., 2003. Disertasi: Mutasi DNA mitokondria pada Diabetes
Melitus. Program pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.

16. Maksum, Imam P., Sriwidodo., Suprijana O., G. Natadisastra , S. Nuswantara


& A.S. Noer. 2010. Identifikasi Mutasi Heteroplasmi A3243g DNA
Mitokondria Dan Studi Pewarisan Maternal Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2. Bionatura-Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati Dan Fisik . Vol. 12, No. 2, Juli
2010 : 78 - 85 . Issn 1411 – 0903.

17. Inna N. Shokolenko , Mikhail F. Alexeyev. 2015. Mitochondrial DNA: A


disposable genome?. Elsevier. Biochimica et Biophysica Acta 1852 (2015)
1805–1809.

18. Yatim, W. Biologi Sel Lanjut. Bandung: Tarsito, 2003.

19. Susmiarsih, T. “Peran Genetik DNA Mitokondria (DNA mitokondria) Pada


Motilitas Spermatozoa”. Majalah Kesehatan Pharma Medika 2 No. 2 (2010):
178-184.

20. Mposhi, A., van der Wijst, M.G.P., Faber, K.N., Rots, M.G. “Regulation of
Mitochondrial Gene Expression, the Epigenetic Enigma”. Frontiers in
Bioscience 22 (2017): 1099-1113.

21. Chiang, T.Y., Chen, I.S., Chang, W.B., Ju, Y.M. “Complete Mitochondrial
Genome of Sicyopterus japonicus (Perciformes, Gobiidae)”. Mitochondrial
DNA 24 No. 3 (2013): 191-193.

22. Satiyarti, R.B., Nurmilah, Rosahdi, T.D. “Identifikasi Fragmen DNA


Mitokondria Pada Satu Garis Keturunan Ibu dari Sel Epitel Rongga Mulut
dan Sel Folikel Akar Rambut”. BIOSFER Jurnal Tadris Pendidikan Biologi 8
No. 1 (2017): 13-27.
23. Zhao, X., N. Li, W. Guo, X. Hu, Z. Liu, G. Gong, A. Wang, J. feng and C.
Wu. 2004. Futher evidence for paternal inheritance of mitochondrial DNA in
the sheep (Ovis aries). Heridity. 93:399-403.

24. Sharma, H. Singh A. Sharma C. Jain SK dan Singh N. 2011. Mutations in the
mitochondrial DNA D-loop region are frequent in cervical cancer. Cancer
Cell International, 5 (34): 1475-2867.

25. Hou, WY. Chen X. Wu J. Hu Z. Peng J. Yang Z. Tang C. ZhouY. Li S. Yan


Y. Du L. Kong Z. Ren H. Zhang and Shui S. 2006. A Complete mitochondrial
genome sequence of Asian black bear Sichuan sub species (Ursus thibetanus
mupinensis). International Journal of Biological Sciences, 3(2):85-90.

26. Rogaev, E.I. Moliaka YK, Malyarchuk BA, Kondrashov F.A. Derenko
M.V.Chumakov I dan Grigorenko AP. 2006. Complete mitochondrial
genome and phylogeny of pleistocene mammoth Mammuthus primigenius.
PloS Bio, 4(3): 0403-0410.

27. Ratnayani, K.I.N. Wirajana dan Laksmiwati. 2007. Analisis Variasi


Nukleotida Daerah D-loop DNA Mitokondria pada Satu Individu Suku Bali
Normal. Jurnal Kimia, 1(1):7-14.

28. Rose, G. Passarino G. Scornaienchi V. Romeo G. Dato S. Bellizzi D. Mari V.


Feraco E. Maletta R. Bruni A. Franceschi C dan Giovanna De Benedictis.
2007. The mitochondrial DNA control region shows genetically correlated 33
levels of heteroplasmy in leukocytes of centenarians and their off spring.
BMC Genom, 8: 1-10.

29. Galtier, N. Nabholz B. Glemin S dan Hurst GDD. 2009. Mitochondrial DNA
as a marker of molecular diversity: a reappraisal. Molecular Ecology, 18:
4541– 4550.

30. Chen, SY. Su YH Wu SF, Sha T dan Zhang YP. 2005. Mitochondrial
diversity and phylogeographic structure of Chinese domestic goats.
Molecular phylogenetic Evolusi, 37:804-814.

31. Zou, Y. Jing M. Bi X. Zhang T dan Huang L. 2015. The complete


mitochondrial genome sequence of the little egret (Egretta garzetta). Genetics
and Molecular Biology, 38 (2): 162-172.

32. H.B. Ngo, G.A. Lovely, R. Phillips, D.C. Chan, Distinct structural features of
TFAM drive mitochondrial DNA packaging versus transcriptional activation,
Nat. Commun. 5 (2014) 3077.

33. Y. Hashimoto, T. Niikura, H. Tajima, T. Yasukawa, H. Sudo, Y. Ito, Y. Kita,


M. Kawasumi, K. Kouyama, M. Doyu, G. Sobue, T. Koide, S. Tsuji, J. Lang,
K. Kurokawa, I. Nishimoto, A rescue factor abolishing neuronal cell death by
a wide spectrum of familial Alzheimer's disease genes and Abeta, Proc. Natl.
Acad. Sci. U. S. A. 98 (2001) 6336–6341.

34. C. Kukat, C.A. Wurm, H. Spahr, M. Falkenberg, N.G. Larsson, S. Jakobs,


Superresolution microscopy reveals that mammalian mitochondrial nucleoids
have a uniform size and frequently contain a single copy of mtDNA, Proc.
Natl. Acad. Sci. U. S. A. 108 (2011) 13534–13539.

35. Olokoba, A.B., Obateru, O.A., & Olokoba, L.B. 2012. Type 2 Diabetes Mellitus:
A Review of Cur- rent Trends. Oman Med J. 27(4):269-273.

36. International Diabetes Federation. 2013. Diabetes at- las, sixth edition:
www.idf.org/diabetesatlas.

37. Hartwell, Hood, Goldberg, Reynolds, Silver. GeneticsFrom Genes to


Genomes Fourth Edition. New York: Mc Graw Hill, 2011.

38. Kamarudin, K.H., Rehan, A.M., Hashim, R., Usup, G., Ahmad, H.F., Anua,
M.H. Idris, M.Y. “Molecular Phylogeny of Holothuria (Mertensiothuria)
leucospilota (Brandt 1835) as Inferred from Cytochrome C Oxidase I
Mitochondrial DNA Gene Sequences”. Sains Malaysiana 40 No. 2 (2011):
125-133.

39. Palit EIY, Ngili Y. Kuantifikasi dan Filogenetika Mutasi DNA.


Yogyakarta: Innosain; 2016.

40. Chinnery PF, Mowbray C, Patel SK, Elson JL, Sampson M, Hitman
GA, et al. Mitochondrial DNA haplogroups and type 2 diabetes: a study
of 897 cases and 1010 controls. J Med Genet. 2007. 44(6):e80 – e80.

Anda mungkin juga menyukai