Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tentang

“ HIWALAH”

Dosen Pembimbing :

Di Susun Oleh :

JURUSAN MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ( STIE ) BENGKALIS
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat  menyelesaikan
makalah bertema “ Hiwalah ”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami mendapatkan begitu banyak
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada siapa saja yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk
belajar mengajar, Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan
nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap
kritik dan sarannya yang akan menjadikan makalah ini lebih baik.

Bengkalis, 12 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Rukun dan Syarat Hiwalah...............................................................................3
B. Jenis Hiwalah....................................................................................................6
C. Beda Hiwalah Klasik dan Kontemporer...........................................................8
BAB III PENUTUP...................................................................................................10
A. Kesimpulan.......................................................................................................10
B. Saran.................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan di dunia ini, manusia tidak akan pernah lepas dari manusia
yang lain. Saling membutuhkan dan membantu satu sama lain dalam berbagai aspek
kehidupan. Termasuk dalam kegiatan utang-piutang. Utang-piutang merupakan istilah
yang tak asing lagi di telinga kita.
Dalam kegiatan ada istilah hiwalah, yaitu pemindahan utang, namun
pemindahan ini ada ketentuan-ketentuan yang harus diketahui bersama. Dan
pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh
kaum muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Hiwalah ini
merupakan suatu bentuk saling tolong menolong. Hiwalah meruapakan sistem yang
unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada manusia. Hal ini karena hiwalah sangat
erat hubungannya dengan kehidupan manusia.
Hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang, maka salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah hiwalah.
Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang, akan
tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu kepada individu lain
atau syarikat dan firma. Sebagaimana telah digunakan oleh sebagian sistem
perbankan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hiwalah?
2. Bagaimana dasar hukum Hiwalah?
3. Bagaimana rukun dan syarat hiwalah?
4. Apa saja jenis-jenis Hiwalah?
5. Bagaimana perbedaan Hiwalah klasik dan kontemporer?

1
C. Tujuan Penulisan
Sebagai bahan pembelajaran dan pedoman bagi saya penulis maupun pembaca
pada materi tentang Hiwalah ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rukun Hiwalah dan Syarat Hiwalah
1. Rukun Hiwalah
Sementara itu rukun dan syarat hiwalah menurut hanafiah adalah :
a. Muhil, yaitu orang yang memindahkan utang. Ia berutang pada seseorang dan
mempunyai piutang pada seseorang lalu, ia memindahkan pembayaran
utangnya atas orang yang berutang padanya (Syafi’1, 1982: 125)
b. Muhal ‘alaih adalah orang yang dihiwalahi (orang yang berkewajiban
melaksanakan hiwalah), ia adalah orang yang mempunyai utang orang yang
pertama (muhil), orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah. Syarat-
syaratnya adalah (Zuhaili, 1989, 4191):
c. Muhtal adalah orang yang menerima hiwalah atas hiwalah muhil, ia merupakan
orang yang berpiutang pada pihak pertama (muhil).
d. Adanya utang, yaitu utang muhtal kepada muhil dan utang muhil kepada muhal
‘alaih.
e. Shiqat Hiwalah, adalah ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan katakatanya
“Aku menghiwalahkan utangku kepada si Anu”. Dan Qobul adalah dari muhal
‘alaih dengan katakatanya “ Aku terima hiwalah engkau” (Zuhaili, 1989: 4191)1

Sedangkan rukun hiwalah menurut mazhab maliky adalah:


1. Orang yang memindahkan utang ( muhil)
2. Hutang yang di pindahkan ( muhal bih)
3. Ijab dan Kabul ( shighat)

Sedangkan menurut mayoritas ulama selain kedua diatas adalah

1. Muhil ( orang yang berutang dan berpiutang)

1 Shidiqy, Teungku M. Hasbi As.h Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001

3
2. Muhal ( yaitu orang yang berpiutang )
3. Muhal alaih ( orang yang berhutang dan  berkewajiban membayar utang kepada
muhal)
4. Muhal bih ( hutang muhil kepada muhal)
5. Utang muhal alaih kepada muhil
6. Shigat
Dengan demikian muhal adalah orang yang berpiutang atau memberi pinjaman
kepada muhil , muhil berpiutang kepada muhal alaih namun juga berhutang kepada
muhal. Sedangkan muhal alaih adalah orang yang berhutang kepada muhil, bila
hiwalah dilaksanakan posisinya tinggal antara muhal dan muhal alaih. Pihak yang
berpiutang dan pihak yang harus membayar utang.2

2. Syarat  Hiwalah
Hiwalah dianggap sah apabila memenuhi persyaratan-persyaratan yang
adakalanya berkaitan dengan muhil,muhal, muhal ‘alaih, shighat, maupun hutang itu
sendiri.
Menurut semua Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali)
berpendapat, bahwa hiwalah menjadi sah, apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang
berkaitan dengan pihak pertama, kedua dan ketiga serta yang berkaitan dengan
hutang itu.
1. Syarat bagi pihak pertama (muhil):
a. Cakap melakukan hukum, dalam bentuk akad, yaitu baliqh dan berakal.
Maka, tidak sah hiwalah nya orang gila atau anak kecil.
b. Adanya persetujuan (ridha). Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan
hiwalah, maka akad tersebut tidak sah.
2. Syarat bagi pihak kedua (muhal):
a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baliqh dan berakal.

2 Muhammad syafi,I Antonio, bank syariah wacana ulam adan cendekiawan ( Jakarta : 1999) hlm 202

4
b. Disyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang
melakukan hiwalah (Mazhab Hanafi, sebagian besar Mazhab Maliki dan
Syafi‟i).
3. Syarat bagi pihak ketiga (muhal ‘alaih):
a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagai syarat bagi
pihak pertama dankedua.
b. Disyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (Mazhab Hanafi).
Sedangkan Mazhab lainnya (Maliki, Syafi‟i dan Hanbali) tidak
mensyaratkan hal ini. Sebab dalam akad hiwalah pihak ketiga dipandang
sebagai objek akad. Dengan demikian persetujuannya tidak merupakan
syarat sah hiwalah.
c. Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani menambahkan,
bahwa kabul tersebut, dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di
dalam suatu majlis akad.67
4. Syarat yang diperlukan terhadap hutang yang dialihkan (muhal bih):
a. Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang
piutang yang sudah pasti. Jika yang dialihkan itu belum merupakan utang
piutang yang pasti, misalnya mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli
yang masih berada dalam masa khiar (masa yang dimiliki pihak penjual dan
pembeli untuk mempertimbangkan apakah akad jual beli dilanjutkan atau
dibatalkan), maka hiwalah tidak sah.
b. Apabila pengalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadahsemua
ulama fikih sepakat menyatakan, bahwa baik hutang pihak pertama kepada
pihak kedua maupun hutang pihak ketiga kepada pihak pertama mesti sama
jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua hutang tersebut terdapat
perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang), atau perbedaan kualitas
(hutang dalam bentuk barang), maka hiwalah tidak sah. Tetapi apabila
pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al-muthlaqah (Mazhab Hanafi), maka
kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.

5
c. Mazhab Syafi‟i menambahkan, bahwa kedua hutang tersebut mesti sama
pula, waktu jatuh temponya. Jika tidak sama, maka tidak sah.
d. Stabilnya hutang, jika penghiwalahan itu kepada pegawai yang gajinya
belum dibayar, maka hiwalah tidak sah. Artinya apabila penghiwalahan
diberikan kepada seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah
batal.
5. Syarat Shighat(Ijabdan Qabul):Ijabadalah ucapan muhil, misalnya “saya alihkan
kepadamu kewajiban (untuk membayar utang) kepada si fulan”. Qabul adalah
ucapan mual, misalnya “saya terima” atau “saya ridha”. Ijab dan qabul harus
dilakukan ditempat akad.3

B. Jenis – Jenis  Hawalah .


1. Hawalah al haq
Pemindahan hak atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu
dilakukan bila pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar
utangnya tersebut  dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda,
maka perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal
ini adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk
memindahkan haknya
2. Hawalah al dain
Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang  kepada
penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih
mempunyai piutang pada penghutang kedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang
yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar
hutangnya. Hiwalah ini di syariatkan berdasarkan kesepakatan ulama .4

3 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat)...., h.224
4 Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)-cet. 51-,Bandung;Sinar Baru Algensindo,2011.

6
Jenis-jenis hawalah dalam pandangan ulama,antara lain adalah sebagai berikut (M
ustafa Dib, 2003: 187):
1. Hiw a la h Mu t h la q o h
Hiw alah M ut hlaqoh terjadi jika orang yang berhut ang(orang pertama) kepada
orang lain (orang kedua) mengalih-kan hak penagihannya kepada pihak ket iga
tanpa didasaripihak ket iga ini berhut ang kepada orang p ert am a. Ataudengan
kata lain, seseorang memindahkan hutangnya kepa-da orang lain dan t idak m
engait kan dengan hut ang yangada pada orang itu. M enurut ketiga mazhab lain
kalau muhal‘alaih t idak punya hutang kapada m uhil, maka hal ini samadengan
kafalah, dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak.Jika A berhutang kepada B
dan A mengalihkan hak penagihanB kepad a C, sem ent ara C t idak punya hub
ungan hut angpit uang kepada B, m aka hiw alah ini disebut M uthlaqoh.
2. Hiw a la h Mu q o yya d a h
Hiw alah Muqoyyadah terjadi jika M uhil mengalihkan hakpenagihan M uhal
kepada M uhal Alaih karena yang terakhirpunya hutang kepada Muhal.
Seseorang memindahkan utangdan mengaitkan dengan piutang yang ada
padanya. Inilahhaw alah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakat an paraulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahw a hanya m em
bolehkan haw alah muqayyadah d anmensyariatkan pada hiw alah muqayyadah
agar utang muhalkepada m uhil dan ut ang m uhal alaih kepada m uhil
harussam a, baik sifat m aupun jum lahnya. Jika sudah sam a jenisdan jum
lahnya, m aka sahlah hiw alahnya. Tet api jika salahsatunya berbeda, maka haw
alah t idak sah.
3. Hiw a la h Ha q
Hiw alah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang
lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang
bertindak sebagai M uhiladalah pem beri ut ang dan ia m engalihkan haknya
kepadapemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutangtidak berubah
atau berganti, yang berganti adalah piutang.Imam Syafi’i lebih berpendapat

7
bahw a haw alah hanyalahsat u, yait u haw alahmuqayyadah, sedang kan ulam a
d arim ad zab Hanaf i m em bolehkan haw alahmut laqah d anmuqayyadah
sebagaimana fatw a DSN M UI tentang haw alahbil ujrah. Fat w a juga m
enegaskan bahw a t erdapat pihak-pihak dalam akad haw alah dan diperlukan
kerelaan dari parapihak.Terkait dengan hutang yang dialihkan t idak disebut
kansecara t egas dalam Fatw a DSN, nam un Sayyid Sabiq dalam f ikihnya m
enent kan bahw a syarat hut ang yang dialihkanadalah (Sayid Sabiq, 1987:13):a.
jum lah hut ang yang jelas dalam nom inal;b. Sam anya ked ua hal, b aik jenis
m aupun kad arnya,penyelesaian tempo waktu, mutu baik dan buruk.
Karenahaw alah tidak akan sah apabila hutang berbentuk emasdan di hiw
alahkan agar ia m engam bil p erak sebagaipengg ant inya. Dem ikian p
ula,sekiranya hut ang it usekarang dan dihiw alahkan unt uk dibayar kem ud
ian(dit angg uhkan) at au seb aliknya. Dan t idak sah p ulahiwalah yang mutu
baik dan buruknya berbeda atau salahsatunya lebih banyak.5

C. Perbedaan Hiwalah Klasik dan Kontemporer


Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu
supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank
mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko
kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak
yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan
yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya
kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan
supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya.
Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
Saat ini, akad hiwalah juga dapat diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syari’ah,
seperti anjak piutang maupun debt transfer. BMT BIF Gedongkuning sebagai salah

5 Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Hawalah, No.12 /DSN-MUI/IV/2000, Majelis Ulama
Indonesia

8
satu Lembaga Keuangan Syari’ah juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu
produk pembiayaan. Akad hiwalah digunakan jika anggota mengajukan pinjaman
untuk keperluan membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar hutang
anggota di pihak lain yang hampir jatuh tempo. Dalam pelaksanaan akad hiwalah
tersebut, BMT BIF Gedongkuning mengenakan fee.
Namun, dalam prakteknya di BMT BIF Gedongkuning hanya dilakukan oleh
dua pihak yaitu pihak BMT BIF dan pihak anggota, sehingga jika dilihat, praktek
tersebut hampir sama dengan akad al-Qard (hutang piutang).
Setelah melakukan penelitian di BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta tentang
praktek hiwalah, dapat diambil kesimpulan antara lain: dari segi subyek, akad
hiwalah di BMT BIF Gedongkuning adalah sah. Dimana anggota sebagai muhil,
pihak lain (Rumah Sakit, sekolah atau person) adalah muhal, BMT BIF
Gedongkuning adalah muhal ‘alaih. Dari segi sigah, tidak sah karena salah satu dari
tiga pihak tidak mengetahui adanya akad hiwalah
Dengan melihat berbagai transaksi modern saat ini yang menggunakan akad
Hiwalah, ditemukan bahwa telah terjadi perubahan model dalam proses akad
Hiwalah. Dimana pada model klasik berdasarkan definisi, Muhil menjadi hilang
tanggung jawab hutangnya karena muhal ’alaih yang meneruskan hutang muhil
kepada Muhal karena Muhal ’alaih telah memiliki hutang kepada muhil sebelumnya.
Namun dalam model modern saat ini, Muhil masih bertanggungjawab terhadap
hutangnya. Hanya pihak piutangnya saja yang berpindah dari muhal ke muhal ’alaih.
Dengan membandingkan Gambar 3 dan Gambar 1, kita bisa melihat perbedaanya
Kemudian contoh yang lain adalah dalam praktek Credit Card, istilah yang pas
(sesuai) adalah hiwalah haqq, karena terjadi perpindahan menuntut tagihan (piutang)
dari  nasabah kepada bank oleh merchant. Contoh ini pun sama dengan contoh BMT,
dimana dari segi sigah, transaksi ini tidak sah dikarenakan salah satu dari tiga pihak
tidak mengetahui adanya akad hiwalah.6
BAB III
6 Karim Adiwarman A. Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. RajaGrafindo Persada. 2006

9
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akad hiwalah telah dapat diterapkan dalam Institusi Keuangan Islam di
Indonesia. Fatwa untuk akad ini telah dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional –
Majelis Ulama Indonesia NO: 12/DSN-MUI/IV/2000. Hal ini akan mendukung
perkembangan produk-produk keuangan Islam dengan akad Hiwalah, yang mana
akan mendukung pula perkembangan perbankan dan investasi Syariah di Indonesia.

B. Saran
Dalam penulisan ini tentu terjadi banyak kesalahan. Saran dan kritikan tentu
akan di tampung guna untuk meperbaiki kesalahan tersebut. Penulis menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini belum semua penulis jelaskan dalam
pembahasan diatas, masih terdapat banyak kekurangan dari itu penulis akan
menerima segala saran dan masukan yang membangun

DAFTAR PUSTAKA

10
Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Hawalah, No.12 /DSN-MUI/IV/2000,
Majelis Ulama Indonesia
Karim Adiwarman A. Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. RajaGrafindo
Persada. 2006
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat)...., h.224
Muhammad syafi,I Antonio, bank syariah wacana ulam adan cendekiawan ( Jakarta :
1999) hlm 202
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)-cet. 51-,Bandung;Sinar Baru
Algensindo,2011.
Shidiqy, Teungku M. Hasbi As.h Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT. Pustaka
Rizki, 2001

11

Anda mungkin juga menyukai