Selama dua puluh satu tahun kita melewati banyak hal bersama. Melalui masa kanak-
kanak, remaja bahkan dewasa awal ini dengan tetap saling bergandeng tangan. Sama saat
pertama kali kita bertatap mata. Saat dimana kita seperti film upin ipin dan kawan-kawan,
seperti itulah gambaran kita waktu masih belia. Kita tidak selalu seirama, namun selalu satu
jiwa. Ku katakan pada diriku sendiri, bahwa kalian adalah takdir terindah yang pernah ku
miliki. Aku tidak tahu bagaimana semua ini berawal. Namun aku tidak ingin semua yang
telah kita pertahankan selama ini hancur secara tiba-tiba hanya karena alasan sudah dewasa.
Tuhan maha tahu apa yang terbaik untuk hubungan ini. Aku percaya pada-Nya. Ku titipkan
segala rasa ini pada-Nya.
Disebuah gang kecil yang merupakan rukun tetangga 12 di Desa Bagi, Kabupaten
Madiun tempat kita mengukir kisah dari awal dan semoga sampai akhir nanti (entah kapan).
Dahulu, kita sering menghabiskan waktu bersama. Mulai dari jam pulang sekolah sampai
adzan maghrib berkumandang. Ibu kita pasti berteriak “Ayo, waktunya pulang...” lalu kita
mengucap sampai jumpa besok. Setiap hari seperti itu, dan kita tak pernah bosan. Berbeda
dengan masa sekarang jika main banyak bosannya. Awalnya pasukan kita sangat banyak ada
10 orang yang terdiri dari 5 perempuan 5 laki-laki. Dan jurus andalan kita adalah main petak
umpet dan gobak sodor. Seiring berjalanya waktu mereka sudah menemukan teman baru.
Tinggalah aku, kamu delfi, kamu dita dan kamu dea. Empat srikandi yang semakin dewasa
semakin meresahkan warga kampung rt 12. Sejak kecil kita terkenal usil dan unik. Ada saja
tingkah kita yang membuat warga heran. Bahkan hingga sekarang.
Menginjak usia dewasa, kita mulai terjeda. Ada jarak yang harus membuat kita jarang
bisa bertukar cerita. Sering juga kita bertengkar karena hal sepele, saling block nomor telfon.
Yang paling sering berkelahi adalah aku, Dita dan Delfi. Disaat itu, Dea adalah penengah
yang bijak meski dia tidak pernah paham. Kita mulai disibukkan oleh apa yang menjadi
impian kita. Jadi kita punya impian pribadi dan impian bersama. Jarak semakin melebar saat
Dita memutuskan untuk kuliah diluar kota. Semenjak itu, kita jarang berkomunikasi. Seiring
berjalannya waktu, Dita mendapat kenyamanan baru. Awalnya Dita sering pulang ke
kampung supaya bisa berkumpul dengan kita. Namun mustahil itu akan konstan, biaya
pulang pergi juga mahal. Tinggalah aku, Delfi dan Dea. Kami masih sering berkumpul seperti
biasa hingga aku menyusul Dita untuk melanjutkan studi.
“ Yah...” Tunduk Delfi.
“ Yaa, Ponorogo tidak sejauh Malang. Aku akan pulang seminggu sekali. Janji.” Kataku
dengan penuh keyakinan.
“ Apa itu bisa dipercaya?” Tanya Dea.
“ Semoga bisa.” Balasku tersenyum.
Aku memenuhi janji itu. Kabar baiknya Delfi sudah mendapat pekerjaan di Kota
Madiun. Sedangkan Dea memutuskan untuk kuliah juga namun tetap di Madiun juga. Kita
masih sering nimbrung di grup WA. Namun jarang untuk kumpul berempat. Bila Ramadhan
datang, itulah moment yang tepat empat srikandi berkumpul. Kita suka jajan, kita suka main,
kita suka berbuat onar, kita suka membuat konten yang bermanfaat. Ada banyak hal baik
yang sudah kita lakukan. Kita punya gaya yang berbeda dalam menjalani kehidupan. Aku dan
Delfi adalah anak agamis yang tetap open minded. Dita dan Dea adalah anak fashionable
yang selalu uptodate mengenai dandanan. Tapi anehnya kita punya satu pikiran yang sama.
Mungkin beda jalan, namun ujungnya pasti sama.
Ini hanya sebuah serpihan kecil dari kisah kami. Sangat kecil sekali. Separuhnya tak
bisa ditulis dengan kata karena tak cukup tinta. Dewasa ini, kami sepakat menyakini bahwa
terpisah itu pasti. Kita punya kehidupan masing-masing. Meski 21 tahun kita tumbuh
bersama, pastilah ada suatu ruang yang isinya tidak hanya untuk kita. Kita juga punya teman-
teman lainnya yang mungkin lebih bermakna. Namun, kita juga pernah bilang bahwa ini
bukan teman ataupun sahabat. Tapi ini adalah rumah, bila kau terombang-ambing oleh ombak
singgahlah disini juga.